Mengenai Saya

Foto saya
Saya Orangnya Humoris, Suka Bercanda dan Mudah Bergaul, dengan Catatan yang Positif.

Jumat, 09 Juli 2010

Teks Reading

The place of Islam and Muslims in the West has been a source of much debate in the post-September 11 era

Such simplistic views of Islamic religious educational systems and institutions ignore the complex history of Islamic education and the diverse forms that it has taken across different times, places and cultures. This chapter from the book Islam and the West: Reflections from Australia explores the development of Islamic religious education over time, tracing its growth and decline in the pre-modern period and moves towards reform in the modern era.

This is followed by a discussion of the generally simplistic perception, held particularly among Western commentators post-September 11, 2001, that Islamic religious education is closely linked to terrorism Saeed notes that the hijackers involved in the 2001 attacks were not graduates of traditional Islamic education, a fact overlooked by many commentators.

Although many prominent Muslim academics and scholars have been working to reform Islamic education over the past century, Saeed argues that these efforts may well have been hindered rather than helped by the authoritarian and coercive forms of reform which are being called for by some commentators in the West. In fact, the war on terror may well be the biggest stumbling block to the reform of Islamic religious education.

Artinya :

Pendidikan Agama Islam dan Debat di Pasca Reformasi pada September-11

Dilihat sederhana seperti Islam sistem pendidikan keagamaan dan lembaga mengabaikan sejarah yang kompleks pendidikan Islam dan beragam bentuk yang telah diambil di waktu yang berbeda, tempat dan budaya. Ini bab dari buku Islam dan Barat: Refleksi dari Australia mengeksplorasi perkembangan pendidikan agama Islam dari waktu ke waktu, menelusuri pertumbuhan dan penurunan pada periode pra-modern dan bergerak ke arah reformasi di era modern.

Ini diikuti dengan diskusi mengenai persepsi umumnya sederhana, diselenggarakan terutama di kalangan Barat komentator pasca-September 11 September 2001, bahwa pendidikan agama Islam sangat erat terkait dengan terorisme. Saeed catatan bahwa para pembajak yang terlibat dalam serangan tahun 2001 tidak lulusan pendidikan Islam tradisional, fakta diabaikan oleh banyak komentator.

Meskipun banyak akademisi terkemuka dan cendekiawan Muslim telah bekerja untuk reformasi pendidikan Islam selama abad yang lalu, Saeed berpendapat bahwa upaya ini mungkin telah dihalangi daripada dibantu oleh bentuk-bentuk otoriter dan pemaksaan reformasi yang sedang diminta oleh beberapa komentator di Barat. Bahkan, perang melawan teror mungkin menjadi batu sandungan terbesar bagi reformasi pendidikan agama Islam.
Islamic School

The emphasis on the Pancasila in public schools has been resisted by some of the Muslim majority. Distinct but vocal minority of these Muslims prefer to receive their schooling in a pesantren or residential learning center. Usually in rural areas and under the direction of a Muslim scholar, pesantren are attended by young people seeking a detailed understanding of the Quran, the Arabic language, the sharia, and Muslim traditions and history. Students could enter and leave the pesantren any time of the year, and the studies were not organized as a progression of courses leading to graduation. Although not all pesantren were equally orthodox, most were and the chief aim was to produce good Muslims.

In order for students to adapt to life in the modern, secular nation-state, the Muslim-dominated Department of Religious Affairs advocated the spread of a newer variety of Muslim school, the madrasa. In the early 1990s, these schools integrated religious subjects from the pesantren with secular subjects from the Western-style public education system. The less-than 15 percent of the school-age population who attended either type of Islamic schools did so because of the perceived higher q However, among Islamic schools, a madrasa was ranked lower than a pesantren. Despite the widespread perception in the West of resurgent Islamic orthodoxy in Muslim countries, the 1980s saw little overall increase in the role of religion in school curricula in Indonesia. uality instruction.

In general, Indonesia's educational system still faced a shortage of resources in the 1990s. The shortage of staffing in Indonesia's schools was no longer as acute as in the 1950s, but serious difficulties remained, particularly in the areas of teacher salaries, teacher certification, and finding qualified personnel. Providing textbooks and other school equipment throughout the farflung archipelago continued to be a significant problem as well.

Artinya :

Sekolah Islam

Penekanan pada Pancasila di sekolah umum telah ditentang oleh beberapa mayoritas Muslim. tetapi vokal minoritas yang berbeda dari Muslim memilih untuk menerima pendidikan mereka di pesantren atau perumahan pusat pembelajaran. Biasanya di daerah pedesaan dan di bawah arahan seorang sarjana Islam, pesantren yang dihadiri oleh orang-orang muda mencari pemahaman terperinci dari Quran, bahasa Arab, syariah, dan tradisi Islam dan sejarah. Siswa dapat memasuki dan meninggalkan pesantren setiap saat sepanjang tahun, dan studi tidak diatur sebagai sebuah kemajuan dari program yang mengarah ke kelulusan. Meskipun tidak semua pesantren sama-sama ortodoks, sebagian besar dan tujuan utama adalah untuk menghasilkan muslim yang baik.


Agar siswa untuk beradaptasi dengan kehidupan di sekuler, negara-bangsa modern, yang didominasi Departemen Agama Islam menganjurkan penyebaran berbagai sekolah Islam yang lebih baru, madrasah. Pada awal 1990-an, sekolah-sekolah terpadu mata pelajaran agama dari pesantren dengan mata pelajaran sekuler dari sistem pendidikan gaya publik-Barat. Dari 15 persen lebih dari penduduk usia sekolah yang mengikuti kedua jenis sekolah-sekolah Islam melakukannya karena kualitas instruksi yang lebih tinggi dirasakan. Namun, di antara sekolah-sekolah Islam, madrasah yang berada di peringkat lebih rendah dari pesantren. Meskipun persepsi yang berkembang luas di Barat ortodoksi Islam bangkit kembali di negara-negara Muslim, tahun 1980-an melihat keseluruhan sedikit peningkatan peran agama dalam kurikulum sekolah di Indonesia.

Secara umum, sistem pendidikan Indonesia masih menghadapi kekurangan sumber daya pada 1990-an. Kekurangan staf di sekolah Indonesia yang tidak lagi sebagai akut seperti pada tahun 1950-an, tetapi tetap kesulitan serius, khususnya dalam bidang gaji guru, sertifikasi guru, dan mencari pegawai yang berkualitas. Menyediakan buku pelajaran dan peralatan sekolah lainnya di seluruh nusantara farflung terus menjadi masalah yang signifikan.

Pendidikan Islam di Syria Suriah : Undoing Secularism : Kehancuran Sekularisme [1] [1]

Islamic education in Syrian schools is traditional, rigid, and Sunni. pendidikan Islam di sekolah Suriah adalah tradisional, kaku, dan Sunni. The Ministry of Education makes no attempt to inculcate notions of tolerance or respect for religious traditions other than Sunni Islam. Departemen Pendidikan tidak akan mencoba untuk menanamkan pengertian tentang toleransi atau menghormati tradisi agama selain Islam Sunni. Christianity is the one exception to this rule. Kekristenan adalah satu pengecualian dari aturan ini. Indeed, all religious groups other than Christians are seen to be enemies of Islam, who must be converted or fought against. Memang, semua kelompok agama lain selain Kristen dianggap musuh-musuh Islam, yang harus dikonversi atau berperang melawan. The Syrian government teaches school children that over half of the world's six billion inhabitants will go to hell and must be actively fought by Muslims. Pemerintah Suriah mengajarkan anak-anak sekolah bahwa lebih dari setengah dari enam miliar penduduk dunia akan masuk neraka dan harus secara aktif diperjuangkan oleh umat Islam. Jews have their own status. Yahudi memiliki status mereka sendiri. The Jewish religion – the Torah and the Jewish prophets – are considered divine – but the Jewish people, who, it is claimed, deny their prophets, are fated to go to hell and must be eliminated. Agama Yahudi - Taurat dan para nabi Yahudi - dianggap ilahi - tetapi orang-orang Yahudi, yang, itu diklaim, menyangkal nabi mereka, sudah ditakdirkan untuk masuk neraka dan harus dihilangkan.

At first view, one might expect Pada pandangan pertama, orang mungkin berharap Syria Suriah to promote a liberal and tolerant view of religious difference in its religion curriculum. untuk mempromosikan pandangan liberal dan toleran terhadap perbedaan agama dalam kurikulum agamanya. The reasons for this are many. Alasan untuk hal ini adalah banyak. Syria Suriah has been ruled by leaders belonging to a religious minority, the Muslim Alawi sect, for 40 years and is home to many religious minorities both Christian and Muslim. telah diperintah oleh pemimpin milik minoritas agama, sekte Alawi Muslim, selama 40 tahun dan merupakan rumah bagi banyak agama minoritas Kristen dan Muslim. It plays a commanding role in the politics of Hal ini memainkan peran komandan dalam politik Lebanon Libanon , a country in which no more than 20% of the population is Sunni Muslim. , Sebuah negara di mana tidak lebih dari 20% dari populasi adalah Muslim Sunni. Most importantly, Yang paling penting, Syria Suriah has been good to its minorities, who enjoy greater security and opportunity than in any other Arab country. telah baik untuk minoritas-nya, yang menikmati keamanan yang lebih besar dan kesempatan daripada di negara Arab lainnya.

Yayasan Islam Pemerintah

The government is to be an Islamic State without separation of church and state. Pemerintah menjadi Negara Islam tanpa pemisahan gereja dan negara. The student is constantly reminded that the Islamic state is a divine order whose wisdom, justice, and laws are imposed by God. Mahasiswa terus mengingatkan bahwa negara Islam adalah perintah ilahi yang hikmat, keadilan, dan hukum yang dikenakan oleh Allah. The chapter of the twelfth grade text entitled, “The System of Government in Islam,” concludes with the following sentences: Bab dari teks kelas dua belas yang berjudul, "Sistem Pemerintahan dalam Islam," diakhiri dengan kalimat berikut:

We can summarize everything in this chapter by explaining that this system is a divine system of independent laws and principles. Kita dapat merangkum semuanya dalam bab ini dengan menjelaskan bahwa sistem ini adalah sistem ilahi hukum independen dan prinsip-prinsip. It has its own characteristics and unique benefits because it is the imprint of God (12:173) Memiliki karakteristik tersendiri dan manfaat yang unik karena merupakan jejak Allah (12:173)

Although the texts make no mention of “democracy” or “republicanism,” they do insist on consultation and popular participation in government. Meskipun membuat teks tidak menyebutkan "demokrasi" atau "republikanisme," mereka bersikeras pada konsultasi dan partisipasi rakyat dalam pemerintahan. All the same, when faced with the ultimate question of who should rule – man or God – God naturally wins out. Semua sama, ketika dihadapkan dengan pertanyaan utama yang seharusnya aturan - manusia atau Allah - Allah memenangkan keluar secara alami. The Islamic ruler must confer with and be guided by a shura or advisory council as well as by the people (12:168-171; 9:130). Penguasa Islam harus berbicara dengan dan dibimbing oleh syura atau dewan penasihat serta oleh orang-orang (12:168-171; 9:130). We are told that “the Islamic community implements its power to choose its leader by voting and the free expression of opinion,” but the consultative process is not described in detail (12:170). Kita diberitahu bahwa "masyarakat Islam melaksanakan kekuasaannya untuk memilih pemimpin dengan suara dan ekspresi bebas berpendapat," tetapi proses konsultasi adalah yang tidak dijelaskan secara rinci (12:170). The ruler's term of office is not limited to a defined period, but can be extended indefinitely so long as the people support the ruler. Istilah penguasa kantor tidak terbatas pada periode tertentu, tetapi dapat diperpanjang tanpa batas sehingga selama rakyat dukungan penguasa. An Islamic ruler should take advice from his advisory council, which should be made up of “men of religion and fiqh and of people who have specialties in all different walks of life” (12:171). Seorang pemimpin Islam harus mengambil nasihat dari dewan penasehat, yang harus terdiri dari "orang agama dan fiqh dan orang-orang yang memiliki spesialisasi dalam semua lapisan masyarakat yang berbeda" (12:171). The primary duty of the ruler is to “follow the book of Allah and the Sunna of his Messenger by implementing Islamic life in all different fields, and he must protect Islam from its internal and external enemies” (12:171). Tugas utama dari penguasa adalah untuk "mengikuti kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya dengan menerapkan kehidupan Islam di semua bidang yang berbeda, dan ia harus melindungi Islam dari internal dan eksternal musuh-musuhnya" (12:171). Though the ruler must be a Muslim and must know “the aims and judgments of shari`a law,” the texts do not explicitly state that he must have formally studied Islam or be an Imam (12:170-171). Meskipun penguasa harus menjadi seorang Muslim dan harus mengetahui "tujuan dan penilaian dari shari` hukum, "teks tidak secara eksplisit menyatakan bahwa dia harus mempelajari Islam secara formal atau menjadi Imam (12:170-171). All the same, knowledge of Islam and its laws is the major qualification for all politicians and state employees. Semua sama, pengetahuan tentang Islam dan hukum-hukumnya adalah kualifikasi utama untuk semua politisi dan pegawai negara.

Senin, 05 Juli 2010

STIT Muara Bulian

STIT Muara Bulian menerima Mahasiswa Baru TA. 2010/2011

PEDOMAN UMUM PENDAFTARAN MAHASISWA BARU
STIT MUARA BULIAN TAHUN AKADEMIK 2010 / 2011

A. WAKTU PENDAFTARAN DAN SELEKSI
1. Pendaftaran dimulai dari tanggal 1 Maret 2010 – 30 Juni 2010, setiap hari dari pukul 08.00 – 17.00 WIB.
2. Waktu pelaksanaan Seleksi diadakan dibulan Juli 2010, untuk kepastiannya nanti akan diberitahukan melalui sms ke tiap ponsel calon mahasiswa baru.

B. TEMPAT PENDAFTARAN & TEMPAT SELEKSI
Kampus STIT Muara Bulian, Jl. Gajahmada Teratai Muara Bulian Kabupaten Batanghari Jambi Telp. 0743-21749, HP : 085266439111 (an. Mustopa, S.Ag.), 085266358540 (an. Kholid Ansori, S.E.) e-mail : stit.muarabulian@yahoo.com

C. SYARAT-SYARAT PENDAFTARAN
1. Membayar uang pendaftaran;
2. Mengisi formulir pendaftaran;
3. Foto copy Ijazah/Tanda Lulus 2 lembar atau Raport kelas III (bagi yang belum menerima Ijazah/Tanda Lulus.);
4. Pas Foto berwarna ukuran 2 x 3 = 3 lembar serta 3 x 4 = 3 lembar (bukan foto HP atau yang dicetak menggunakan printer inkjet biasa);
5. Stopmap warna hijau 2 lembar;
6. Seluruh berkas tersebut diatas dimasukkan kedalam stopmap tersebut diatas;

D. MATERI SELEKSI
1. Test Tertulis, terdiri dari ; Pengetahuan Umum dan Agama, serta Pengetahuan Bahasa (Indonesia, Inggris dan Arab)
2. Test Lisan ; Kemampuan membaca dan menulis Al-Qur’an



E. PROSEDUR PENDAFTARAN
1. Calon mahasiswa mendaftarkan diri kepada Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) STIT Muara Bulian;
2. Membayar uang pendaftaran masuk;
3. Calon mahasiswa akan menerima kartu peserta seleksi, dll.

F. BIAYA PENDAFTARAN DAN BIAYA PENDIDIKAN
1. Uang Pendaftaran masuk: Rp. 250.000.- (dua ratus lima puluh ribu rupiah);
2. Uang Pengenalan Kehidupan Akademik / Silmaru (Silaturrahmi Mahasiswa Baru) ditetapkan tersendiri oleh panitia silmaru;
3. Uang SPP dan Rincian daftar ulang lainnya, terlampir;
4. Pembayaran daftar ulang dapat diangsur selama 6 bulan sebanyak 3 X angsuran;
5. Uang ujian semester diatur tersendiri.


Jadwal Kuliah / Roster Kuliah Semester Genap TA. 2009/2010

Setelah kita lama menikmati liburan semester ganjil tahun akademik 2009/2010, kini saatnya kita kembali ke aktifitas seperti biasa, yaitu kuliah.

Status Baru STIT Muara Bulian

Alhamdulillah, berkat kerja keras dan kerjasama yang baik antara pengurus, yayasan, mahasiswa, pemerintah daerah serta seluruh stockholder STIT Muara Bulian. akhinya kita dapat mempertahankan Status Akreditasi dengan peringkat B dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) Jakarta. Adapun status tersebut berlaku selama lima tahun, terhitung dari tahun 2010-2015 dengan surat keptusan nomor : 042-044/BAN-PT/Ak-XII/S1/I/2010.
semoga kita tidak terlalu cepat puas dengan pencapaian sekarang, bahkan harus menjadi motivasi untuk lebih baik lagi sehingga untuk Akreditasi yang akan datang mendapat peringkat A. aminnn!!!

Daftar Rincian Biaya Kuliah Semester Genap 2009/2010

DAFTAR RINCIAN BIAYA SPP DAN HERREGISTRASI (DAFTAR ULANG)
SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2009/2010

Angkatan Semester Herregistrasi dan SPP Kartu Tatap Muka Jumlah Keterangan
2009/2010 II dan VI Rp. 700.000.- Rp. 20.000.- Rp. 720.000.-
2008/2009 IV dan VIII Rp. 700.000.- Rp. 20.000.- Rp. 720.000.-
2007/2008 VI dan X Rp. 600.000.- Rp. 20.000.- Rp. 620.000.-
2006/2007 VIII Rp. 500.000.- Rp. 20.000.- Rp. 520.000.-
2005/2006 X Rp. 400.000.- Rp. - Rp. 400.000.-

Ujian Praktik Komputer

Untuk Mahasiswa yang menepuh matakuliah Komputer yang diasuh oleh Kholid Ansori, S.E., khususnya lokal PAI F dan KI B semester II tahun akademik 2008/2009 yang lalu, agar dapat mendownload soal ujian excel dibawah ini (klik ling download) dan mengerjakan nya dirumah. untuk yang NIM nya dengan angka ganjil, maka soal yang dikerjakan adalah soal yang ganjil, begitu juga sebaliknya.

Untuk soal Microsoft Office Word ditugaskan untuk membuat Curiculum Vitae (CV)/ Riwayat Hidup, dengan mmencamtumkan minimal Nama dan NIM. CV tersebut dibuat semenarik mungkin, untuk dinilai. diharapkan, jangan meminta bantuan orang lain, karena kejujuran jauh lebih berharga dari pada sebuah nilai ujian. Nama file dibuat dengan NAMA dan NIM kalian agar mudah dalam menilainya.

Kedua file tersebut, (ujian Microsoft Excel dan Word) dikirimkan via e-mail ke alamat : kholid.ansori@gmail.com paling lambat diterima tanggal 10 Februari 2010, lebih dari tanggal tersebut tidak akan diterima.

Kamis, 01 Juli 2010

Sosiologi Pendidikan

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

1. Pengertian sosiologi pendidikan
Sosiologi pendidikan terdiri dari dua kata, sosiologi dan pendidikan. Kedua istilah ini dari segi etimologi tentu saja berbeda maksudnya, namun dalam sejarah hidup dan kehidupan serta budaya manusia, kedua ini menjadi satu kesatuan yang terpisahkan. Terutama dalam system memberdayakan manusia, dimana sampai saat ini memanfaatkan pendidikan sebagai instrument pemberdayaan tersebut11.
Beberapa pemikiran pakar mengenai sosiologi pendidikan yang dikemukakan oleh Ahmadi (1991). Menurut George Payne, yang kerap disebut sebagai bapak sosiologi pendidikan, mengemukakan secara konsepsional yang dimaksud dengan sosiolgi pendidikan adalah by educational sosiologi we the science whith desribes andexlains the institution, social group, and social processes, that is the spcial relationships in which or through which the individual gains and organizes experiences”. Payne menegaskan bahwa, di dalam lembaga-lembaga, kelompok-kelompok social, proses social, terdapatlah apa yang yang dinamakan social itu individu memproleh dan mengorganisir pengalamannya-pengalamannya. Inilah yang merupaka asepek-aspek atau prinsip-prinsip sosiologisnya.
Charles A. Ellwood mengemukakan bahwa Education Sosiologi is the sciense aims to reveld the connetion at all points between the cdukative process and the social, sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari menuju untuk melahirkan maksud hubungan-hubungan antara semua pokok-pokok masalah antara proses pendidikan dan proses social.
Menurut E.B Reuter, sosiologi pendidikan mempunyai kewajiban untuk menganalisa evolusi dari lembaga-lembaga pendidikan dalam hubungannya dengan perkembangan manusia, dan dibatasi oleh pengaruh-pengaruh dari lembaga pendidikan yang menentukan kepribadian social dari tiap-tiap individu. Jadi perinsipnya antara individu dengan lembaga-lembaga social itu selalu saling pengaruh mempengaruhi (process social interaction).
F.G Robbins dan Brown mengemukakan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan social yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta mengorganisasi pengalamannya. Sosiologi pendidikan mempelajari kelakukan social serta perinsip-perinsip untuk mengontrolnya.
E.G Payne secara spesifik memandang sosiolgi pendidikan sebagai studi yang konfrenhensif tentang segala aspek pendidikan dari segi ilmu yang diterapkan. Bagi Payne sosiologi pendidikan tidak hanya meliputi segala sesuatu dalam bidang sosiologi yang dapat dikenakan analisis sosiologis. Tujuan utamanya ialah memberikan guru-guru, para peneliti dan orang lain yang menaruh perhatian akan pendidikan latihan yang serasi dan efektif dalam sosiologi yang dapat memberikan sumbangannya kepada pemahaman yang lebih mendalam tentang pendidikan (Nasution 1999:4)
Menurut Dictionary of Socialogy, sosiologi pendidikan ialah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental.
Menurut Prof. DR.S.Nasution. Sosiologi pendidikan ialah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik.
Menurut F.G. Robbins, Sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang bertugas menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidika.
Menurut penulis, Sosiologi pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis.
Dengan berbagai definisi tersebut diatas menunjukkan bahwa sosiologi pendidikan merupakan bagian dari matakuliah-matakuliah dasar-dasar kependidikan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan dan sifatnya wajib diberikan kepada seluruh peserta didik.
1. Tujuan sosiologi pendidikan
Francis Broun mengemukakan bahwa sosiologi pendidikan memperhatikan pengaruh keseluruhan lingkungan budaya sebagai tempat dan cara individu memproleh dan mengorganisasi pengalamannya. Sedang S. Nasution mengatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah Ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk memproleh perkembangan kepribadian individu yang lebih baik. Dari kedua pengertian dan beberapa pengertian yang telah dikemukakan dapat disebutkan beberapa konsep tentang tujuan sosiologi pendidikan, yaitu sebagai berikut:
1.
1. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis proses sosialisasi anak, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Dalam hal ini harus diperhatiakan pengaruh lingkungan dan kebudayaan masyarakat terhadap perkembangan pribadi anak. Misalnya, anak yang terdidik dengan baik dalam keluarga yang religius, setelah dewasa/tua akan cendrung menjadi manusia yang religius pula. Anak yang terdidik dalam keluarga intelektual akan cendrung memilih/mengutamakan jalur intlektual pula, dan sebagainya.
2. Sosiologi pendidikan bertjuan menganalisis perkembangan dan kemajuan social. Banyak orang/pakar yang beranggapan bahwa pendidikan memberikan kemungkinan yang besar bagi kemajuan masyarakat, karena dengan memiliki ijazah yang semakin tinggi akan lebih mampu menduduki jabatan yang lebih tinggi pula (serta penghasilan yang lebih banyak pula, guna menambah kesejahteraan social). Disamping itu dengan pengetahuan dan keterampilan yang banyak dapat mengembangkan aktivitas serta kreativitas social.
3. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis status pendidikan dalam masyarakat. Berdirinya suatu lembaga pendidikan dalammasyarakat sering disesuaikan dengan tingkatan daerah di mana lembaga pendidikan itu berada. Misalnya, perguruan tinggi bisa didirikan di tingkat propinsi atau minimal kabupaten yang cukup animo mahasiswanya serta tersedianya dosen yang bonafid.
4. Sosiologi pendidikan bertujuan menganalisis partisipasi orang-orang terdidik/berpendidikan dalam kegiatan social. Peranan/aktivitas warga yang berpendidikan / intelektual sering menjadi ukuan tentang maju dan berkembang kehidupan masyarakat. Sebaiknya warga yang berpendidikan tidak segan- segan berpartisipasi aktif dalam kegiatan social, terutama dalam memajukan kepentingan / kebutuhan masyarakat. Ia harus menjadi motor penggerak dari peningkatan taraf hidup social.
5. Sosiologi pendidikan bertujuan membantu menentukan tujuan pendidikan. Sejumlah pakar berpendapat bahwa tujuan pendidikan nasional harus bertolak dan dapat dipulangkan kepada filsafat hidup bangsa tersebut. Seperti di Indonesia, Pancasila sebagai filsafat hidup dan kepribadian bangsa Indonesia harus menjadi dasar untuk menentukan tujuan pendidikan Nasional serta tujuan pendidikan lainnya. Dinamika tujuan pendidikan nasional terletak pada keterkaitanya dengan GBHN, yang tiap 5 (lima) tahun sekali ditetapkan dalam Sidang Umum MPR, dan disesuaikan dengan era pembangunan yang ditempuh, serta kebutuhan masyarakat dan kebutuhan manusia.
6. Menurut E. G Payne, sosiologi pendidikan bertujuan utama memberi kepada guru- guru (termasuk para peneliti dan siapa pun yang terkait dalam bidang pendidikan) latihan – latihan yang efektif dalam bidang sosiologi sehingga dapat memberikan sumbangannya secara cepat dan tepat kepada masalah pendidikan. Menurut pendapatnya, sosiologi pendidikan tidak hanya berkenaan dengan proses belajar dan sosialisasi yang terkait dengan sosiologi saja, tetapi juga segala sesuatu dalam bidang pendidikan yang dapat dianalis sosiologi. Seperti sosiologi yang digunakan untuk meningkatkan teknik mengajar yaitu metode sosiodrama, bermain peranan (role playing) dan sebagainya.dengan demikian sosiologi pendidikan bermanfaat besar bagi para pendidik, selain berharga untuk mengalisis pendidikan, juga bermanfaat untuk memahami hubungan antara manusia di sekolah serta struktur masyarakat. Sosiologi pendidikan tidak hanya mempelajari masalah – masalah sosial dalam pendidikan saja, melainkan juga hal – hal pokok lain, seperti tujuan pendidikan, bahan kurikulum, strategi belajar, sarana belajar, dan sebagainya. Sosiologi pendidikan ialah analisis ilmiah atas proses sosial dan pola- pola sosial yang terdapat dalam sistem pendidikan.
Jika dilihat zaman peradaban yunani pada masa Plato (427-327 BC), pendidikannya lebih mengutamakan penciptaan manusia sebagai pemikir, kemudian sebagai ksatria dan penguasa. Pada zaman Romawi, seperti masa kehidupan Cicero (106-43 BC),2 pendidikan mengutamakan penciptaan manusia yang hmanistis. Pada abad pertengahan, pendidikan mengutamakan menjadikan manusia sebagai pengabdi Khalik (baik versi Islam maupun versi Kristiani). Pada abad pertengahan (1600-an-1800-an), melahirkan teori Nativisme (Rousseau, 1712-1778), Empirisme oleh Locke (1632-1704) dan konvergensi oleh Stern (1871-1939). Semuanya cendrung kepada nilai individu anak sebagai manusia yang memiliki karakteristik yang unik.
Menurut Nasution (1999:2-4) ada beberapa konsep tentang tujuan Sosiologi Pendidikan, antara lain sebagai berikut:
1. analisis proses sosiologi (2) analisis kedudukan pendidikan dalam masyarakat, (3) analisis intraksi social di sekolah dan antara sekolah dengan masyarakat, (4) alat kemajuan dan perkembangan social, (5) dasar untuk menentukan tujuan pendidikan, (6) sosiologi terapan, dan (7) latihan bagi petugas pendidikan.
Konsep tentang tujuan sosiologi pendidikan di atas menunjukkan bahwa aktivitas masyarakat dalam pendidikan merupakan sebuah proses sehingga pendidikan dapat dijadikan instrument oleh individu untuk dapat berintraksi secara tepat di komunitas dan masyarakatnya. Pada sisi yang lain, sosiologi pendidikan akan memberikan penjelasan yang relevan dengan kondisi kekinian masyarakat, sehingga setiap individu sebagai anggota masyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan berbagai fenomena yang muncul dalam masyarakatnya.
Namun demikian, pertumbuhan dan perkembangan masyarakat merupakan bentuk lain dari pola budaya yang dibentuk oleh suatu masyarakat. Pendidikan tugasnya tentu saja memberi penjelasan mengapa suatu fenomena terjadi, apakah fenomena tersebut merupakan sesuatu yang harus terjadi, dan bagaimana mengatasi segala implikasi yang bersifat buruk dari berkembangnya fenomena tersebut, sekaligus memelihara implikasi dari berbagai fenomena yang ada.
Tujuan sosiologi pendidikan pada dasarnya untuk mempercepat dan meningkatkan pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan. Karena itu, sosiologi pendidikan tidak akan keluar darim uapaya-upaya agar pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan tercapai menurut pendidikan itu sendiri. Secara universalm tujuan dan fungsi pendidikan itu adalah memanusiakan manusia oleh manusia yang telah memanusia. Itulah sebabnya system pendidikan nasional menurut UUSPN No. 2 Tahun 1989 pasal 3 adalah “ untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujaun nasional”. Menurut fungsi tersebut jelas sekali bahwa pendidikan diselenggarakan adalan: (1) untuk mengembangkan kemampuan manusia Indonesia, (2) meningkatkan mutu kehidupan manusia Indonesiam (3) meningkatkan martabat manusia Indonesia, (4) mewujudkan tujuan nasional melalui manusia-masusia Indonesia. Oleh karena itu pendidikan diselenggarakan untuk manusia Indonesia sehingga manusia Indonesia tersebut memiliki kemampuan mengembangkan diri,mmeningkatkan mutu kehidupan, meninggikan martabat dalam ragka mencapai tujuan nasional.
Upaya pencapaian tujuan nasional tersebut adalah untuk menciptakan masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang berpradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya, demokratis, bertanggungjawab, berdisiplin, menguasai sumber informasi dalam bidang iptek dan seni, budaya dan agama (Tilaar, 1999). Dengan demikian proses pendidikan yang berlangsung haruslah menciptakan arah yang segaris dengan upaya-upaya pencapaian masyarakat madani tersebut.
Menurut pandangan Nurcholis Majid mengemukakan bahwa masyarakat madani itu adalah masyarakat yang berindikasi seperti termaktub dalam piagam madinah pada zaman Rasulullah Muhammad SAW (Tilaar, 2000).
Saat ini kita mengalami perubahan yang begitu cepat dan drastic, sehingga terjadi perubahan nilai dan menciptakan perbedaan dalam melihat berbagai nilai yang berkembang dalam masyarakat. Menurut Langgulung (1993:389) “kelompokpertama melihat nilai-nilai lama mulai runtuh sedangkan nilai-nilai baru belum muncul yntuk menggantikan yang lama, sedang kelompok kedua melihat keruntuhan nilali-nilai lama itu, tetapi dalam waktu yang bersamaan dapat melihat bagaimana nilai-nilai lama itu, menyelinap masuk kedalam nilai-nilai baru dan membantu menegakkannya”.
Perubahan nilai-nilai dalam masyarakat bukan berarti tidak terperhatikan oleh masyarakat. Namun dalam memperhatikan nilali-nilai yang berkembang tersebut, arah yang menjadi anutan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya tidaklah sama. Tidak semua masyarakat secara terarah memahami arah dan tujuan hidup secara benar. Arah dan tujuan yang benar menurut Mulkham (1993:195) adalah “secara garis besar arah dan tujuan hidup manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap. Tahap pertama, mengenai kebenaran, tahap kedua, memihak kepada kebenaran dan tahap terakhir adalah berbuat ikhsan secara dan secara individual maupun social yangb terealisasi dalam laku ibadah”.
Sampai saat ini pendidikan dianggap dapat dijadikan sebagai sarana yang efektif dalam menyadarkan manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota komunitas dan masyarakat. Pendidikan akan mengembangkan kecerdasan dan penguasaan ilmu pengetahuan, pada sisi yang lain agama akan semakin popular dan terinternalisasi dalam diri setiap pemeluknya, jika diberikan melalui pendidikan.
1. Masyarakat sebagai ruang lingkup pembahasan sosiologi pendidikan
Sosiologi disebut juga sebagai ilmu Masyarakat atau ilmu yang membicarakan masyarakat., maka perlu diberikan pengertian tentang masyarakat. Berikut ini adalah pengertian yang diberikan oleh beberapa pakar sosiologi:
1. Masyarakat merupakan jalinan hubungan social, dan selalu berubah. (Mac Iver dan Page).
2. Masyarakat adalah kesatuan hidup makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu system adat istiadat tertentu. (Koentjaraningkat).
3. Masyarakat adalah tempat orang-orang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaa. (Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi).
Menurut Soerjono Soekanto, ada 4 (empat) unsure yang terdapat dalam masyarakat, yaitu:
1. Adanya manusia yang hidup bersama, (dua atau lebih)
2. Mereka bercampur untuk waktu yang cukup lama, yang menimbulkan system komunikasi dan tata cara pergaulan lainnya.
3. Memiliki kesadaran sebagai satu kesatuan
4. Merupakan system kehidupan bersama yang menimbulkan kebudayaan.
Komunitas (communiti) adalah suatu daerah/wilayah kehidupan social yang ditandai oleh adanya suatu derajat hubungan social tertentu. Dasar dari suatu komunitas adalah adanya lokasi (unsure tempat) dan perasaan sekomunitas. (Mac Iver dan Page).
Contohnya: 1). Komunitas yang sangat besar adalah Negara, persekutuan Negara-negara. 2). Komunitas yang besar, adalah kota, dan 3). Komunitas kecil adalah desa pertanian, rukun tetangga, dan sebagainya.


Sosiologi dapat berfungsi sebagai ilmu murni dan ilmu terapan, misalnya dalam ilmu murni meneliti tentang budaya mencontek ketika ujian dan jika dalam ilmu terapan akan mengkaji bagaimana cara mencegah siswa mencontek saat ujian. Sosiologi sangat dibutuhkan dalam masyarakat, baik sebagai peneliti, teknisi, konsultan, maupun sebagai pendidik.
Antropologi di dalam masyarakat berperan sebagai peneliti tentang keanekaragaman masyarakat. Suku bangsa yang dapat digunakan untuk ilmu itu sendiri (pengembangan metode ilmiah), juga sebagai dasar untuk mengambil kebijakan pembangunan yang dapat memecahkan masalah – masalah social di dalam masyarakat. Para antropolog bersama – sama dengan sosiolog dapat membantu memecahkan masalah social budaya dan merencanakan pembangunan social. Para antropolog dapat menjalin hubungan dengan para ahli dari ilmu – ilmu lain untuk mengembangkan metode penelitian yang intensif dan mendalam tentang beragam kebudayaan yang jumlahnya ribuan di dunia.
Antropologi dan sosiologi dapat membantu memecahkan masalah – masalah social budaya dan perencanaan pembangunan seperti masalah tenaga kerja anak – anak.
Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan

Masalah-masalah yang diselidiki sosiologi pendidikan antara
lain meliputi pokok-pokok berikut ini.
1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain
dalam masyarakat
a. Hubungan pendidikan dengan sistem sosial atau struktur sosial,
b. Hubungan antara sistem pendidikan dengan proses control sosial dan sistem kekuasaan,
c. Fungsi pendidikan dalam kebudayaan,
d. Fungsi sistem pendidikan dalam proses perubahan social dan kultural atau usaha mempertahankan status quo, dan
e. Fungsi sistem pendidikan formal bertalian dengan kelompok rasial, kultural dan sebagainya.
2. Hubungan antarmanusia di dalam sekolah
Lingkup ini lebih condong menganalisis struktur sosial di
dalam sekolah yang memiliki karakter berbeda dengan relasi
sosial di dalam masyarakat luar sekolah, antara lain yaitu:
a. Hakikat kebudayaan sekolah sejauh ada perbedaannya dengan kebudayaan di luar sekolah.
b. Pola interaksi sosial dan struktur masyarakat sekolah, yang antara lain meliputi berbagai hubungan kekuasaan, stratifikasi Sosial.
c. Pola kepemimpinan informal sebagai terdapat dalam clique serta kelompok-kelompok murid lainnya.
3. Pengaruh sekolah terhadap perilaku dan kepribadian semua
pihak di sekolah/lembaga pendidikan
a. Peranan sosial guru-guru/tenaga pendidikan,
b. Hakikat kepribadian guru/ tenaga pendidikan,
c. Pengaruh kepribadian guru/tenaga kependidikan terhadap
kelakuan anak/peserta didik, dan
d. Fungsi sekolah/lembaga pendidikan dalam sosialisasi
murid/peserta didik.
4. Lembaga Pendidikan dalam masyarakat
Di sini dianalisis pola-pola interaksi antara sekolah/ lembaga
pendidikan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya
dalam masyarakat di sekitar sekolah/lembaga pendidikan.
Hal yang termasuk dalam wilayah itu antara lain yaitu
a. Pengaruh masyarakat atas organisasi sekolah/lembaga pendidikan,
b. Analisis proses pendidikan yang terdapat dalam sistemsistem sosial dalam masyarakat luar sekolah,
c. Hubungan antarsekolah dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan, dan
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi dalam masyarakat berkaitan dengan organisasi sekolah, yang perlu untuk memahami sistem pendidikan dalam masyarakat serta integrasinya di dalam keseluruhan kehidupan masyarakat

Pendidikan dan Modernisasi Bangsa

Secara prinsipil, modernisasi merupakan proses transformasi sosio-kultural. Dengan modernisasi berarti diupayakan terciptanya kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan. Itulah mengapa, modernisasi meniscayakan terjadinya perubahan nilai, perubahan norma, struktur dan institusi. Dimensi lama [dalam nilai, norma, struktur dan institusi] yang sudah tak relevan, digantikan oleh dimensi baru. Pada titik inilah modernisasi amat sangat membutuhkan pendidikan. Bahkan, pendidikan merupakan prasyarat untuk melaksanakan segenap agenda modernisasi.

Sangatlah jelas, pendidikan merupakan domain yang memungkinkan agenda perubahan nilai, norma, struktur dan institusi disimulasikan serta dicanangkan membentuk kesadaran kolektif. Tanpa kejelasan peran pendidikan, sangatlah sulit membayangkan modernisasi bakal mampu mencapai tujuan-tujuan luhurnya yang mulia. Maka, pendidikan merupakan wilayah yang memungkinkan segenap aspek dalam modernisasi dibicarakan secara saksama.

Hubungan antara pendidikan dan modernisasi pun tampak jelas pada besarnya kebutuhan akan literacy. Dengan literacy berarti, modernisasi memiliki kejelasan konsepsi dan pemikiran. Terlebih lagi, modernisasi mengusung spirit persamaan, kebebasan dan kemanusiaan. Dengan spirit itu berarti, modernisasi bukanlah gagasan dan kehendak yang remeh-temeh. Sebagai konsekuensinya, dibutuhkan literacy. Tanpa daya dukung penyebaran literacy, melalui proses-proses pendidikan, dengan sendirinya sulit mengarahkan spirit modernisasi mampu mendatangkan maslahat terhadap orang banyak.

Hanya saja, tidaklah sederhana hubungan modernisasi dan pendidikan. Di Indonesia, hubungan tersebut masih dilematis dan membingungkan. Pengakuan bahwa pendidikan merupakan prasyarat modernisasi tak dengan sendirinya memosisikan pendidikan berada dalam kedudukan terhormat. Malah, proses-proses modernisasi melecehkan dan menisbikan pendidikan. Pada derajat tertentu, esensi dan eksistensi pendidikan benar-benar diporak-porandakan oleh proses-proses modernisasi.

Dalam contoh kasus pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) di DKI Jakarta, kita mencatat dua hal yang kontras. Pada satu sisi, BKT merupakan wujud konkret dari agenda modernisasi. Tujuannya, membebaskan rakyat Jakarta dari ancaman dehumanisasi yang dibawa serta oleh kecamuk banjir. Dengan sendirinya, BKT merupakan teknikalitas yang relevan dan masuk akal untuk membebaskan Jakarta dari ancaman permanen bencana banjir. Tapi pada lain sisi, BKT mengganggu akses keluar-masuk ke sejumlah lembaga pendidikan. Dengan fakta ini kita menyaksikan kenyataan yang amat tragis: betapa sesungguhnya sebuah agenda modernisasi menisbikan peran dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan.

Sebagaimana dapat dicatat, akses jalan tersingkat menuju lima sekolah di Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur, makin jauh setelah jalan lintas diubah menjadi Kanal Timur. Lima sekolah ini terpaksa harus menerima takdir buruk disengsarakan oleh keberadaan BKT. Dengan sangat terpaksa, siswa dan guru harus menempuh jalan memutar untuk bisa sampai ke sekolah-sekolah tersebut. Tragisnya, hanya ada satu jalan memutar, sehingga berlangsung ”perebutan ruang publik” pada saat datang dan pulang sekolah. Lima sekolah dimaksud adalah SMA Negeri 100, SMP Negeri 149, SD Negeri 02, SD Negeri 13, dan SD Negeri 14. Khusus di lingkungan SMA Negeri 100, hujan lebat 20 menit menciptakan genangan air 20 cm. Inilah genangan yang terjadi setelah ujung saluran air menuju Kanal Timur yang semula lebar, berubah menjadi sempit.

Realitas ini mencederai hubungan yang niscaya antara pendidikan dan modernisasi. Apa yang dengan telanjang bisa kita saksikan dan sekaligus bisa kita rasakan adalah pragmatisme pembangunan infrastruktur. Begitu kuatnya pragmatisme itu, sampai-sampai mengorbankan pendidikan. Sekolah yang mengusung peran universal pencerdasan umat manusia justru diporak-porandakan eksistensinya oleh keberadaan sebuah infrastruktur.

Birokrasi Pendidikan

Birokrasi berasal dari bahasa Prancis “bureau” yang berarti meja. Pengertian meja ini berkembang menjadi kekuasaan yang diwenangkan kepada meja kantor. Dalam kamus bahasa Indonesia, birokrasi mempunyai 3 (tiga) arti (1) pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat (2) cara pemerintahan yang dikuasai oleh pegawai negeri (3) cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lambat (WJS. Purwadaminta, 2007:164)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa birokrasi selalu identik dengan pegawai negeri yang kerjanya lamban, bertele-tele dan berliku-liku dalam memberikan layanan.
Sementara itu birokrasi menurut Weber memiliki 6 pokok:
1. Dalam organisasi ada pembagian tugas dan spesialisasi
2. Hubungan dalam organisasi bersifat impersonal
3. Dalam organisasi ada hiearki wewenang, dimana yang rendah patuh kepada perintah yang lebih tinggi.
4. Administrasi selalu dilaksananakan dengan dokumen tertulis.
5. Orientasi pengembangan pegawai adalah pengembangan karir yang berarti keahlian merupakan ktiteria utama yang diterima atau ditolaknya seseorang sebagai suatu organisasi dan berlaku pula untuk mempromosikannnya.
6. Untuk mendapatkan efisiensi maksimal, setiap tindakan yang diambil harus selalu dikaitkan dengan besarnya sumbangan terhadap pencapaian tujuan organisasi,
Selanjutnya dari enam pokok tersebut diatas, Weber membagi birokrasi dalam 2 tipe;
1. Organisasi karismatik, organisasi yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang memiliki pengaruh pribadi yang sangat besar bagi anggotanya.
2. Organisasi tradisional, organisasi yang pemimpinnya diangkat berdasarkan warisan.
Dalam mengambil keputusan, Weber berpendapat bahwa keputusan yang diambil harus menghindari penggunaan emosi dan perasaan suka atau tidak suka. Birokrasi menurutnya adalah usaha untuk menghilangkan tradisi organisasi yang membuat keputusan secara emosional atau berdasarkan ikatan kekeluargaan yang dapat menyebabkan organisasi tidak efektif dan efisien serta tidak sehat.
Dilihat dari berbagai teori tentang birokrasi yang dikemukakan Weber, dapat diambil kesimpulan bahwa kelebihan birokrasi Weber antara lain :
a. Cocok dengan budaya Indonesia yang paternalistik
b. dapat menstabilkan kesatuan dan persatuan bangsa
c. ketepatan, kejelasan, kontinuitas, keseragaman memudahkan kontrol dan kepatuhan pegawai.
Namun dibalik kelebihan tersebut diatas terdapat pula kelemahan dari birokrasi Weber
1) merangsang berpikir mengutamakan konformitas
2) merupakan rutinitas yang membosankan
3) ide-ide inovatif tidak sampai kepada pengambilan keputusan karena panjangnya jalur komunikasi
4) tidak memperhitungkan organisasi nonformal yang seringkali lebih berpengaruh kepada organisasi formal.
5) dijalankan secara berlebihan sehingga terjadi over bureaucratization
6) kecendrungan menjadi parkinsonian, yaitu terlalu banyak aturan yang berbelit-belit (simpul-simpul birokrasi) yang diatur oleh orang-orang yang menjadikan simpul-simpul birokrasi untuk menyelewengkan wewenang
7) kecendrungan menjadi orwelian, yaitu keinginan birokrasi mencampuri (turut melaksanakan) bukan mengendalikan urusan.
Menurut Husaini birokrasi berkembang secara berlebihan karena :
1. Lemahnya kontrol
2. Ambisi berlebihan untuk menambah pemasukan daerah
3. adanya unjuk kekuasaan pejabat bahwa dirinya harus diangggap penting, sehingga segala sesuatunya harus melalui persetujuannya
4. Memang dikondisikan untuk membuka peluang pungutan liar, kolusi, dan korupsi.
5. Birokrasi Pendidikan
Sebelum masuk pada pengertian birokrasi pendidikan, alangkah baiknya diluas pengertian pendidikan. Pendidikan dalam arti luas adalah segala kegiatan pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kegiatan kehidupan. Pendidikan berlangsung disegala jenis, bentuk dan tingkat lingkungan hidup yang kemudian mendorong pertumbuhan segala potensi yang ada dalam diri individu. Dengan kegiatan pembelajaran seperti itu, individu mampu mengubah dan mengembangkan diri menjadi semakin dewasa, cerdas dan matang. Jadi singkatnya, pendidikan merupakan system proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan dan pematangan diri. Pada dasarnya pendidikan adalah wajib bagi siapa saja dan kapan saja dan dimana saja, karena menjadi dewasa, cerdas dan matang adalah hak asasi manusia pada umumnya.
Sedangkan dalam arti sempit, pendidikan adalah seluruh kegiatan belajar yang direncanakan, dengan materi terorganisasi, dilaksanakan secara terjadwal dalam system pengawasan dan diberikan evaluasi berdasar pada tujuan yang telah ditentukan. Kegiatan belajar seperti itu dilaksanakan didalam lembaga pendidikan sekolah. Tujuan utamanya adalah pengembangan potensi intelektual dalam bentuk penguasaan bidang ilmu khusus dan kecakapan merakit system tekhnologi.
Dari pendekatan dikotomis antara arti luas dan dan arti sempit, muncul pemikiran alternative. Secara alternative, pelaku pendidikan adalah keluarga, masyarakat, dan sekolah (dibawah otoritas pemerintah) dalam suatu sistem integral yang disebut tripartite pendidikan. Fungsi dan peran tripartit pendidikan adalah menjembatani pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat luas. Tujuannya, agar aspirasi pendidikan yang tumbuh dari setiap keluarga dapat dikembangkan didalam kegiatan pendidikan sekolah, untuk kemudian dapat diimplementasikan didalam kehidupan masyarakat luas.
Sementara itu birokrasi pendidikan yang dimaksud disini adalah penggunaan praktik-praktik birokrasi dalam pendidikan. Banyak persoalan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan segera menjadi berlarut-larut karna rumitnya birokrasi contoh kasus tentang usulan perbaikan dan perawatan sarana dan prasarana serta perlengkapan ¬pendidikan yang diajukan oleh sekolah kepada pemerintah bahkan diajuka¬n setiap tahun, namun tidak ada respon dan penyelesaian yang memadai dari birokrasi pemerintah daerah di provinsi dan kabupaten/kota maupun pemerintah pusat. Kondisi objektif ini menunjukkan bahwa sistem sentralistik kebijakan pendidikan, penentuan alokasi anggaran yang selama ini terjadi, meskipun sudah dilakukan kebijakan desentralisasi pemerintahan, bagi sekolah pola sentralistik dari sekolah ke pemerintah ¬daerah masih berjalan.
PP No. 38 tahun 1992 masih berlaku hingga kini, dan dalam PP ¬tersebut tidak dinyatakan bahwa Kantor Departemen Pendidikan maupun Dinas Pendidikan di Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai institusi pendidikan yang diurus atas dasar profesionalisme kependidikan, kemudian persyaratan para pimpinan : pejabatnya juga bukan berlatar belakang tenaga kependidikan.
Hal yang sama dalam Pasal 1 Ayat 10 UUSPN No. 20 tahun 2003 mengatatakan bahwa satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada jenjang dan jenis pendidikaN. ¬Hal ini berarti Dinas Pendidikan di Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah. Oleh karena itu persyaratan pejabat yang ada pada ¬lingkungan Dinas Pendidikan adalah persyaratan pengangkatan jabatan pada Pemerintah Daerah yaitu pengangkatan personal yang menduduki jabatan pada Dinas Pendidikan pada umumnya atas dasar golongan kepangkatan, pendidikan kedinasan eselon jabatan sebelumnya, dan DP3 terakhir bukan atas dasar profesionalitas pendidikan dalam arti berijazah pendidikan dan pengalamannya dalam bidang pengelolaan pendidikan. Pernyataan ini diperjelas oleh PP No. 38 tahun 1992 Pasal 4 Ayat 1 mengatakan hirarki yang diberlakukan untuk tenaga pendidik di masing-masing satuan pendidikan didasarkan atas dasar wewenang dan tanggung jawab dalam kegiatan belajar mengajar, Ayat 2 mengatakan hirarki yang diberlakukan untuk tenaga kependidikan yang bukan tenaga pendidik didasarkan pada pengaturan wewenang dan tanggung jawab dalam bidang pekerjaan masing-masing. Penempatan dan formasi bagi tenaga kependidikan pada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tidak jelas atau kabur.

Sekolah dalam Birokrasi Pemerintah

Rendahnya biaya pendidikan yang disediakan negara pada negara berkembang menjadi alasan klasik rendahnya kemampuan pemerintah mendukung penyelenggaraan pendidikan yang memenuhi kebutuhan sekolah yang sangat mempengaruhi kualitas pendidikan. Hal inilah yang membedakan kualitas pendidikan pada negara berkembang dengan negara maju (Fangerlind, I dan Saha, L. J., 1983). Dunia pendidikan kita telah terpuruk. Pendidikan telah mendapat perhatian yang tinggi dari para birokrasi pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Tetapi perhatian itu hanya berbentuk sloganisme, secara faktual fasilitas dan sarana pendidikan memburuk, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan rendah yaitu hanya mampu memenuhi kebutuhan dan pangan tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan anak¬-anaknya dan kesehatan keluarganya. Jika hanya mengandalkan gaji dari guru, fasilitas pembelajaran tidak memadai, penerapan strategi belajar mengajar di kelas tidak memadai (monoton), dan kualitas lulusan seadanya saja tidak mempunyai daya saing yang memadai.
Sebagai implikasinya bagi generasi muda potensial memandang jabatan guru dan tenaga kependidikan adalah lahan kering, tidak memberikan jaminan kesejahteraan. Oleh karena itu generasi yang merasa memiliki kemampuan dan kecerdasan yang memadai tidak memilih jabatan guru atau tenaga kependidikan sebagai pilihan. Hal ini menggambarkan kemerosotan kualitas sumber daya manusia pendidikan yang cukup memprihatinkan. Dewasa ini satuan pendidikan atau sekolah pada semua jenjang dan jenis dihadapkan pada persaingan mutu yang ketat dan manajemen sekolah yang kompleks, sehingga pemahaman yang akurat tentang tujuan serta metode oleh setiap kepala sekolah untuk mencapai tujuan amat vital.
Namun dilihat dari posisi kepala sekolah di hadapan birokrasi pemerintahan seperti birokrasi Dinas Pendidikan di provinsi dan kabupaten/kota, birokrasi ini tidak banyak memberi dorongan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Pendekatan yang dilakukan pendekatan birokrasi antara bawahan dan atasan. Berbagai hasil penelitian menunjukkan para birokrat pendidikan pada pemerintah daerah tersebut menempatkan diri sebagai atasan yang dipandang dapat mengambil kebijakan yang mengancam posisi kepala sekolah. Kepala sekolah dapat saja diusulkan oleh kepala dinas kepada bupati/walikota untuk diganti dalam waktu-waktu yang mengejutkan kepala sekolah. Kondisi demikian menjadikan kepala sekolah pada posisi yang gamang, tidak dapat melaksanakan tugas dengan optimal, tidak ada jaminan programnya menjadi perhatian memadai dinas pendidikan maupun pemerintah daerah di mana sekolah itu berada. Birokrasi tersebut cenderung memperlakukan kepala sekolah hanya sebagai unit kerja mereka, bukan dipandang sebagai pemimpin institusi profesional kependidikan yang memiliki otonomi atas dasar profesional tersebut. Perlakuan birokrasi yang demikian ini terhadap kepala sekolah tentu saja berkontribusi positif terhadap rendahnya mutu dan martabai pendidikan, bahkan menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Perilaku birokrat yang sangat mempersempit ruang profesional kepala sekolah dan para guru serta tenaga kependidikan lainnya yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pembelajaran. Meskipun demikian, tentu saja ada birokrat pendidikan dan kepala dinas pendidikan yang visioner dan memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan pendidikan dan juga memperhatikan serta mempertahankan kepala sekolah yang menunjukkan kinerja yang berkualitas. Tetapi kita tidak dapat menunjukkan seberapa banyak birokrat pendidikan dan kepala dinas yang visioner.
PENDIDIKAN DAN MASA DEPAN
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat.Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa dan bukannya perpecahan.
Mempertimbangkan pendidikan anak-anak sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa, siap merefleksikan semua yang ditampakkan padanya.
Empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan oleh UNESCO yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu: (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
Dalam rangka merealisasikan `learning to know`, Guru seyogyanya berfungsi sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan siswa dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.
Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) akan bisa berjalan jika sekolah memfasilitasi siswa untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan namun tumbuh berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Keterampilan dapat digunakan untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang.
Pendidikan yang diterapkan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan dari daerah tempat dilangsungkan pendidikan. Unsur muatan lokal yang dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.
learning to be (belajar untuk menjadi seseorang) erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Bagi anak yang agresif, proses pengembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi anak yang pasif, peran guru dan guru sebagai pengarah sekaligus fasilitator sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri siswa secara maksimal.
Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima (take and give), perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya proses “learning to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Penerapan pilar keempat ini dirasakan makin penting dalam era globalisasi/era persaingan global. Perlu pemupukkan sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama agar tidak menimbulkan berbagai pertentangan yang bersumber pada hal-hal tersebut.
Dengan demikian, tuntutan pendidikan sekarang dan masa depan harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral manusia Indonesia pada umumnya. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian diharapkan dapat mendudukkan diri secara bermartabat di masyarakat dunia di era globalisasi ini.
Mengenai kecenderungan merosotnya pencapaian hasil pendidikan selama ini, langkah antisipatif yang perlu ditempuh adalah mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, serta perbaikan manajemen di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah, khususnya di kabupaten/kota, seyogyanya dikaji lebih dulu kondisi obyektif dari unsur-unsur yang terkait pada mutu pendidikan, yaitu:
1. Bagaimana kondisi gurunya? (persebaran, kualifikasi, kompetensi penguasaan materi, kompetensi pembelajaran, kompetensi sosial-personal, tingkat kesejahteraan);
2. Bagaimana kurikulum disikapi dan diperlakukan oleh guru dan pejabat pendidikan daerah?;
3. Bagaimana bahan belajar yang dipakai oleh siswa dan guru? (proporsi buku dengan siswa, kualitas buku pelajaran);
4. Apa saja yang dirujuk sebagai sumber belajar oleh guru dan siswa?;
5. Bagaimana kondisi prasarana belajar yang ada?;
6. Adakah sarana pendukung belajar lainnya? (jaringan sekolah dan masyarakat, jaringan antarsekolah, jaringan sekolah dengan pusat-pusat informasi);
7. Bagaimana kondisi iklim belajar yang ada saat ini?.

Mutu pendidikan dapat ditingkatkan dengan melakukan serangkaian pembenahan terhadap segala persoalan yang dihadapi. Pembenahan itu dapat berupa pembenahan terhadap kurikulum pendidikan yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal, menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan mandiri. Perlu diidentifikasi unsur-unsur yang ada di daerah yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses peningkatan mutu pendidikan, selain pemerintah daerah, misalnya kelompok pakar, paguyuban mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat daerah, perguruan tinggi, organisasi massa, organisasi politik, pusat penerbitan, studio radio/TV daerah, media masa/cetak daerah, situs internet, dan sanggar belajar.

Inovasi Pendidikan
Pengertian Inovasi Pendidikan
• Inovasi adalah an idea, practice or object thatperceived as new by an individual or other unit of adoption. Menurut Prof. Azis Inovasi berarti mengintrodusir suatu gagasan maupun teknologi baru, inovasi merupakan genus dari change yang berarti perubahan. Inovasi dapat berupa ide, proses dan produk dalam berbagai bidang. Contoh bidangnya adalah :
o Managerial
o Teknologi
o Kurikulum
• Menurut Miles karakteristik inovasi adalah
o Deliberate
o Novel
o Specific
o Direction to goal attaintment
• Aspek pokok yang mempengaruhi inovasi adalah :
o Struktur
o Prosedur
o Personal
Inovasi yang berbentuk metode dapat berdampak pada perbaikan, meningkatkan kualitas pendidikan serta sebagai alat atau cara baru dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam kegiatan pendidikan. Dengan demikian metode baru atau cara baru dalam melaksanakan metode yang ada seperti dalam proses pembelajaran dapat menjadi suatu upaya meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Sementara itu inovasi dalam teknologi juga perlu diperhatikan mengingat banyak hasil-hasil teknologi yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, seperti penggunaannya untuk teknologi pembelajaran, prosedur supervise serta pengelolaan informasi pendidikan yang dapat meningkatkan efisiensi pelaksanaan pendidikan.
• Praktisi Pendidikan dapat dikelompokan ke dalam :
1. Administrator terdiri dari :
1. Principal
2. Superintendent
2. Teacher
• Dalam hal penerimaan atau sikap terhadap perubahan dua kelompok ini mempunyai pandangan dan sikap yang tidak selalu sama, karena peran yang dimainkan dalam melaksanakan kegiatan pendidikan berbeda dan lingkungan kerja yang sering dijalani masing-masing juga berbeda
• Menurut Ernest R House, dalam pendidikan Administrator (Kepala dan Pengawas lebih mudah menerima inovasi disbanding guru karena :
1. Sosial interaction inhibit diffusion across professional boundaries
2. Teacher remain isolated in classroom which does not enhance the diffusion of new idea within the profession
3. Never adopt innovation as a whole, only bits and pieces
4. Passive adopter
• Dalam konteks Indonesia, inovasi pendidikan umumnya merupakan suatu gerakan yang bersifat top down,dalam arti inisiatif dalam melakukan inovasi selalu dating dari pihak pemerintah
Proses Inovasi
Proses Inovasi berkaitan dengan bagaimana suatu inovasi itu terjadi, di sini ada unsure keputusan yang mendasarinya, oleh karena itu proses inovasi dapat dimaknai sebagai proses keputusan Inovasi (Innovation decision Process). Menurut Everett M Rogers proses keputusan inovasi adalah the process through which abn individual (or other decision making unit) passes from first knowledge of an innovation,to forming an attitude toward the innovation, to a decision to adopt or reject, to implementation of the new ide, and to confirmation of this decision
Prinsip-prinsip Komunikasi dalam proses inovasi
1. Mass media lebih penting/efektif pada tahap Knowledge
2. Komunikasi interpersonal lebih penting/efektif pada tahap Persuasion
3. Mass media lebih penting/efektif untuk adopter pemula
Atribut Dan Sumber-Sumber Inovasi
1. Kondisi dimana inovasi dipandang lebih baik dari ide sebelumnya,yang nampak dari keuntungan ekonomis, pemberian status, atau cara lainnya
2. Keadaan dimana suatu inovasi dipandang konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan potensil adopter, atau inovasi itu dipandang sesuai dengan : 1) Socio cultural value and belief; 2) Previously introduces idea; 3) Clients needs for innovation
3. Keadaan dimana inivasi dipandang secara relative sulit difahami dan digunakan. Keadaan ini berpengaruh negatif terhadap tingkat adopsi.
4. Keadaan dimana suatu inovasi dapat diuji secara terbatas, kondisi ini berhubungan positif dengan tingkat adopsi.
5. Keadaan dimana hasil suatu inovasi dapat dilihat orang lain. Kondisi ini berhubungan secara positif dengan tingkat adopsi
 Disamping hal tersebut di atas tingkat adopsi juga dipengaruhi oleh :
1. Tipe keputusaninovasi (optional, kolektif, otoritas)
2. Communication (Saluran komunikasi)
3. Nature of Sosial system ( Norma, tingkat hubungan sosial)
4. Extent of Change agents (upaya promosi)





Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran.

A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
•Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
•Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
•Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
•Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
•Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
•Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
•Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
•Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.
C. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.


3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).


4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
D. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

Kepemimpinan Pendidikan
Guna menyikapi tantangan globalisasi yang ditandai dengan adanya kompetisi global yang sangat ketat dan tajam, di beberapa negara telah berupaya untuk melakukan revitalisasi pendidikan. Revitalisasi ini termasuk pula dalam hal perubahan paradigma kepemimpinan pendidikan, terutama dalam hal pola hubungan atasan-bawahan, yang semula bersifat hierarkis-komando menuju ke arah kemitraan bersama. Pada hubungan atasan-bawahan yang bersifat hierarkis-komando, seringkali menempatkan bawahan sebagai objek tanpa daya. Pemaksaan kehendak dan pragmatis merupakan sikap dan perilaku yang kerap kali mewarnai kepemimpinan komando-birokratik-hierarkis, yang pada akhirnya hal ini berakibat fatal terhadap terbelenggunya sikap inovatif dan kreatif dari setiap bawahan. Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, mereka cenderung bersikap a priori dan bertindak hanya atas dasar perintah sang pemimpin semata. Dengan kondisi demikian, pada akhirnya akan sulit dicapai kinerja yang unggul.
Menyadari semua itu, maka perubahan kebijakan kepemimpinan pendidikan yang dapat memberdayakan pihak bawahan menjadi amat penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, Larry Lashway (ERIC Digest, No. 96) mengetengahkan tentang Facilitative Leadership. yang pada intinya merupakan kepemimpinan yang menitikberatkan pada collaboration dan empowerment. Sementara itu, David Conley and Paul Goldman (1994) mendefinisikan facilitative leadership sebagai : “the behaviors that enhance the collective ability of a school to adapt, solve problems, and improve performance.” Kata kuncinya terletak pada collective. Artinya, keberhasilan pendidikan bukanlah merupakan hasil dan ditentukan oleh karya perseorangan, namun justru merupakan karya dari team work yang cerdas.
Dengan model kepemimpinan demikian, diharapkan dapat mendorong seluruh bawahan dan seluruh anggota organisasi dapat memberdayakan dirinya, dan membentuk rasa tanggung atas tugas-tugas yang diembannya. Kepatuhan tidak lagi didasarkan pada kontrol eksternal organisasi, namun justru berkembang dari hati sanubari yang disertai dengan pertimbangan rasionalnya.
Kepemimpinan fasilitatif merupakan alternatif model kepemimpinan yang dibutuhkan guna menghadapi tantangan masa depan abad ke-21, yang pada intinya model ini merujuk kepada upaya pemberdayaan setiap komponen manusia yang terlibat dan bertanggung jawab dalam pendidikan.
Pemberdayaan pada dasarnya merupakan proses pemerdekaan diri, dimana setiap individu dipandang sebagai sosok manusia yang memiliki kekuatan cipta, rasa dan karsa dan jika ketiga aspek kekuatan diri manusia ini mempunyai tempat untuk berkembang secara semestinya dalam suatu organisasi, maka hal ini akan menjadi kekuatan yang luar biasa bagi kemajuan organisasi. Oleh karena itu, partisipasi dan keterlibatan individu dalam setiap pengambilan keputusan memiliki arti penting bagi pertumbuhan organisasi. Dengan keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan, pada gilirannya akan terbentuk rasa tanggung jawab bersama dalam mengimplementasikan setiap keputusan yang diambil.
Paul M. Terry mengemukakan bahwa untuk dapat memberdayakan setiap individu dalam tingkat persekolahan, seorang pemimpin (baca: kepala sekolah) seyogyanya dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pemberdayaan (create an environment conducive to empowerment), memperlihatkan idealisme pemberdayaan (demonstrates empowerment ideals), penghargaan terhadap segala usaha pemberdayaan (encourages all endeavors toward empowerment) dan penghargaan terhadap segala keberhasilan pemberdayaan (applauds all empowerment successes).
Pendapat di atas mengindikasikan bahwa upaya pemberdayaan bukanlah hal yang sederhana, melainkan di dalamnya membutuhkan kerja keras dan kesungguhan dari pemimpin agar anggotanya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang berdaya.
Jika saja seorang pemimpin sudah mampu memberdayakan seluruh anggotanya maka di sana akan tumbuh dinamika organisasi yang diwarnai dengan pemikiran kreatif dan inovatif dari setiap anggotanya. Mereka dapat mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya secara leluasa tanpa hambatan sosio-psikologis yang membelenggunya. Semua akan bekerja dengan disertai rasa tanggung jawab profesionalnya.
============
Materi Terkait:
• Kepemimpinan Kepala Sekolah
• Kompetensi Kepala Sekolah
• Kualifikasi Kepala Sekolah
• Kemampuan Manajerial Kepala Sekolah
• Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah
• Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah
• Tujuh Puluh Persen (70%) Kepala Sekolah Tidak Kompeten
• Kepemimpinan Perempuan
• Tigas Belas Faktor Menjadi Kepala Sekolah yang Efektif
• Profil Manajer dan Pemimpin Pendidikan yang Dibutuhkan Saat ini

Perlunya Profesionalisasi dalam Pendidikan
Dalam rangka menjaga dan meningkatkan layanan profesi secara optimal serta menjaga agar masyarakat jangan sampai dirugikan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, tuntunan jabatan profesional harus sangat tinggi. Profesi kependidikan, khususnya profesi keguruan mempunyai tugas utama melayani masyarakat dalam dunia pendidikan. Sejalan dengan alasan tersebut, jelas kiranya bahwa profesioanalisasi dalam bidang keguruan mengandung arti peningkatan segala daya dan usaha dalam rangak pencapaian secara optimal layanan yang akan diberikan kepada masyarakat. Sehingga dimunculkan sejumlah asumsi yang melandasi pekerjaan mendidik sebagai profesi sehingga perlu ada profesi sehingga perlu ada profesionalisasi dalam pendidikan, yakni sebagai berikut :
1) Subjek pendidikan adalah manusia dengan segala potensinya untuk berkembang. Karena itu, pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan; pendidikan menghargai martabat manusia, manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi dan perasaan.
2) Dalam melakukan aktivitasnya, pendidikan dilakukan secara sadar dan bertujuan, jadi intensional. Ia tidak dilakukan secara random. Oleh karena ada unsur tujuan ini, maka pendidikan menjadi normatif, diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai, baik yang bersifat universal maupun yang nasional atau lokal yang menjadi acuan pelaku pendidikan, yaitu pendidik, peserta didik, dan pengelola pendidikan itu.

3) Oleh karena yang dihadapi oleh pendidikan adalah manusia dengan segala teka-tekinya (enigma), maka ada teori-teori pendidikan yang merupakan jawaban kerangka hipotesis tentang bagaimana seharusnya pendidikan dilakukan.
4) Dalam memandang manusia, pendidikan bertolak dari asumsi yang positif tentang potensi manusia. Potensi yang baik itulah yang harus dikembangkan, yang oleh Norton (1977) disebut sebagai “daimon” yakni suatu potensi yang unggul pada diri manusia ( a potential excellence in personhood). Pendidikan merupakan usaha mengembangkan potensi manusia yang baik (education as development).
5) Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yaitu situasi pendidikan yang memungkinkan terjadi dialog antara pendidik dan terdidi. Dialog memungkinkan terdidik untuk tumbuh ke arah tujuan yang dikehendaki oleh pendidik yang selaras dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
6) Tujuan utama pendidikan terletak pada dimensi intrinsiknya, yakni menjadikan manusia sebagai manusia yang baik, yang dalam tujuan pendidikan nasional digambarkan sebagai manusia yang beriman, bertaqwa, berbudi luhur dst. Oleh karena pendidikan tidak berlangsung dalam kevakuman dari tuntutan masyarakat.
Karena asumsi-asumsi dan karakteristik-karakteristik pekerjaan kependidikan yang demikian, maka terlalu penting jika pendidikan dilakukan secara random, hanya menurut “common sense”. Pendidikan harus dilakukan secara profesional. Konsekuensinya, diperlukan upaya- upaya yang sistematis dan intensional dalam rangka profesionalisasi tenaga kependidikan yang dibahas dalam bagian selanjutnya.

Pendidikan dan Aspek Politik

Idealnya, peran guru memang tak lagi sekedar mengajar di menara gading, tetapi dengan bekal karakter idealitas dan pengetahuannya yang memadai, para tenaga pendidikan harus nyata memberi warna dalam proses berbangsa dan bermasyarakat.
Pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari aspek kebijakan. Kebijakan, yang dalam bahasa politik dikenal sebagai produk atas kewenangan atau kuasa, inilah yang kemudian menjadi peluru bagi proses implementasi sebuah konsep. Itulah sebabnya, setiap proses kebijakan tidak mungkin bisa dilepaskan dari aspek politik, demikian pula halnya dalam dunia pendidikan. Formulasi kebijakan inilah yang pada akhirnya menjadi persenyawaan antara kepentingan idealis dan pragmatis, filosofis dan teknokratis, juga senyawa kepentingan individualis dan populis. Pada senyawa terakhir inilah sesuatu yang absurd akan mudah diamati, bahwasanya kebijakan kerapkali tidak bisa dilepaskan dari aspek pergumulan kepentingan pribadi dan golongan sehingga tidaklah mengherankan jika seorang kepala daerah seringkali membuat kebijakan bersendikan pada kepentingan diri dan kelompoknya ketimbang dihajatkan untuk kepentingan yang lebih luas.
Tabiat dan Niat

Secara historis dapat dicermati bahwa pola pengambilan kebijakan pendidikan sangat dipengaruhi oleh tabiat dan niat pemimpinnya. Penjajahan dalam kurun waktu yang sangat lama terhadap negeri ini oleh Belanda dan sedikit masa oleh Jepang telah memunculkan aroma pembodohan dengan dalih bahwa masyarakat nusantara hanyalah sekumpulan budak. Itulah sebabnya, politik balas budi mengalami tentangan dari pihak kolonialis dan hanya menjadikan bangsa kita sebagai produsen kekayaan negeri mereka. Bibit-bibit awal pergerakan yang diawali oleh Budi Utomo dan kawan-kawan nampak betul diarahkan pada proses pendidikan. Para pemimpin kita pada masa pra kemerdekaan tersebut nampak menyadari betul bahwa kebodohan sebuah bangsa akan menjadi gerbang utama bagi ketertindasan mereka.

Selanjutnya, masa awal kemerdekaan kemudian lebih diisi oleh instabilitas politik sehingga Sukarno tidaklah terlalu menempatkan pendidikan sebagai instrumen yang paling vital. Selain berbagai agresi dan ancaman disintegrasi, Sukarno dan para pemimpin di jaman itu juga lebih disibukkan dengan urusan pembagian kekuasaan. Tradisi subordinasi pendidikan ini dilanjutkan oleh Suharto dalam kurun waktu yang sangat lama. Pendidikan tidak diarahkan pada pembangunan mental, tetapi lebih sibuk dengan urusan kurikulum yang kaku dan pengukuran pendidikan dari sisi capaian nilai. Kebebasan akademik dan urusan berserikat menjadi harga yangsangatmahalpadamasaitu.

Pada masa reformasi bergulir, wacana pemberian otonomi kepada dunia pendidikan menjadi isu hangat. Selain pengelolaan pendidikan yang lebih mandiri, pemerintah juga lebih banyak memberikan hak ketimbang menuntut kewajiban. Ada nuansa baru dalam pola pengaturan pendidikan,meskinampaksetengahhati.

Pada saat yang bersamaan, desentralisasi pemerintahan yang mengikutkan aspek desentralisasi pendidikan nyatanya justru memindahkan masalah dari pusat ke daerah. Munculnya “raja-raja kecil” yang berjuluk kepala daerah menyebabkan guru tidak terpasung oleh pusat, tetapi oleh politik kebijakan daerah yang muaranya ditentukan kiblatnya oleh kepala daerah. Politik pendidikan pun bergeser dari pusat ke kepala daerah sehingga muncullah banyak ceritera mengenai tabiat dan niat kepala daerah dalam pengelolaan pendidikan di daerah yang bersangkutan. Dengan demikian, keberhasilan pendidikan di daerah kini sangat ditentukan oleh niatan baik kepala daerah.
Politik Pendidikan

Kini, setelah demokratisasi semu Orde Baru runtuh digantikan dengan demokrasi yang lebih substansial, peran guru dan para tenaga kependidikan menempati posisi penting. Berbagai tuntutan dunia pendidikan yang selama ini terkungkung oleh politik jargon mulai menampakkan hasil yang baik. Guru pun tidak lagi menjadi organ yang sekedar pelengkap, tetapi mulai menjadifokusperhatian.

Aksi unjuk rasa guru di berbagai daerah menuntut penyesuaian banyak hal telah menjadi pendobrak tradisi lama yang dikultuskan. Sosok guru bukan lagi anak manis yang harus patuh pada atasan, tetapi sosok pembaharu yang harus menunjukkan idealitasnya. Demo ribuan guru di Merangin Jambi, penolakan penggusuran sekolah oleh seorang guru di Jakarta beberapa tahun yang lalu, demo guru yang menuntut kenaikan anggaran, unjuk rasa guru honor yang menuntut kepastian kepegawaian, dan sebagainya menjadi peristiwa penting yang memangkas nilai-nilai ketabuan guru. Guru tak lagi memainkan peran pencerahan budi semata, tetapi juga pencerahan relasikuasadanmasadepan.

Guru kemudian menjadi sebuah simpul kekuatan yang efektif yang dapat mempengaruhi kekuatan politik dalam mengambil kebijakan. Bahkan fenomena kekuatan guru pun terlihat dalam sistem politik. Seorang Bupati di salah satu kabupaten di Riau harus rela turun dari jabatannya gara-gara di demo oleh ribuan guru dan siswa secara kontinyu. Masalahnya, sang bupati mengusir seorang guru di sebuah pertemuan. Pergerakan guru yang menentang kezoliman pun marak terjadi sebagai bentuk koreksi guru atas jalannya pemerintahan. Itulah sebabnya, praktik pemasungan suara-suara guru dan dosen yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya harus berganti dengan suara-suara kritis yang memberikan pencerahan. Idealnya, peran guru memang tak lagi sekedar mengajar di menara gading, tetapi dengan bekal karakter idealitas dan pengetahuannya yang memadai, para tenaga pendidikan harus nyata memberi warna dalam proses berbangsa dan bermasyarakat.
Pendidikan Politik

Berkaitan dengan peran dan fungsi guru yang tidak hanya mampu mentransfer teori-teori saja, maka guru pun dituntut untuk mampu menerjemahkan praksis sosialita ke dalam pengajaran mereka. Mungkin dapat disimplifikasi bahwa maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah bagian inheren dari kegagalan pembangunan mental peserta didik. Mental instan yang diimbuhi dengan nilai-nilai keculasan boleh jadi disebabkan oleh pola pendidikan yang selama ini hanya mengukur keberhasilan dari matematika angka-angka, padahal pembangunan karakter yang tangguh adalah sisi balik dari sebuah proses pendidikan.

Politik pendidikan dikategorikan keras apabila melibatkan kekuatan (fisik) untuk mendesakkan implementasi kebijakan tertentu. Sebaliknya, politik pendidikan lunak menekankan implementasi kekuasaan secara halus (subtle) lewat strategi taktis.

Meski segera lenyap dari pemberitaan media, pemogokan 6.200 guru di Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, baru-baru ini penting diulas karena merupakan wujud politik pendidikan yang keras. Dalam aksi itu, para guru mengolah potensi kekuasaan kolektif—mogok mengajar—untuk menghasilkan kekuatan nyata guna memengaruhi tatanan keseharian masyarakat (menghentikan kegiatan belajar-mengajar di sekolah).

Strategi politik para guru itu untuk melawan politik ”lunak” pemerintah terkait anggaran pendidikan dan tunjangan kesejahteraan guru. Melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, Pemkab Merangin menurunkan anggaran pendidikan dari Rp 28 miliar (2007) menjadi Rp 23 miliar (2008) (Kompas, 24/1/2008) dan tidak membayar tunjangan lauk-pauk bagi guru (Kompas, 26/1/2008).

Apa arti pemogokan itu dari sisi politik pendidikan di Indonesia?

Sebagai bentuk penerapan kekuasaan, politik pendidikan (keras/lunak) didasarkan tujuan yang hendak dicapai, bukan dampak yang ditimbulkan. Karena itu, tolok penilaian yang tepat atas aksi pemogokan itu bukan apakah ia berdampak baik atau buruk, tetapi efektifkah ia untuk meraih tujuan yang ditetapkan.

Sepakat dengan Tajuk Rencana Kompas (25/1/2008), di zaman pascareformasi, perjuangan para guru perlu melampaui batasan klasik sosok dan citra guru. Unjuk rasa ribuan guru menuntut kenaikan anggaran pendidikan, kesejahteraan, dan status kepegawaian di Jakarta, Tangerang, dan Yogyakarta beberapa waktu lalu menunjukkan, garis perjuangan guru telah memangkas tabu-tabu keningratan ”semu” profesi guru yang ditonjolkan, terutama sepanjang pemerintahan Orde Baru.

Berbagai unjuk rasa itu merupakan indikasi, kesadaran tentang keharusan pemerintah melaksanakan ketentuan konstitusi tentang anggaran pendidikan mulai menyebar ke kalangan guru. Tampaknya para guru merasa ikut bertanggung jawab untuk menuntut pemerintah agar memenuhi ketentuan anggaran pendidikan. Di zaman pascareformasi, kesadaran dan tanggung jawab itu terekspresikan dalam unjuk rasa guru yang kian lazim terjadi.
Meski demikian, demonstrasi guru di Kabupaten Merangin adalah kasus politik pendidikan yang unik.

Pertama, dengan mogok guna mendesakkan tuntutan, para guru mengeksploitasi potensi kekuasaan dalam kolektivitas mereka. Ketika disalurkan lewat politik pendidikan yang keras, potensi kekuasaan itu mewujud dalam kekuatan massa yang secara nyata menentukan nasib anak didik, masyarakat, bahkan hitam/putihnya kewibawaan pemerintah.