Mengenai Saya

Foto saya
Saya Orangnya Humoris, Suka Bercanda dan Mudah Bergaul, dengan Catatan yang Positif.

Selasa, 05 Oktober 2010

PPMDI

Pendudukan Napoleon dan Pengaruhnya Terhadap Pembaharuan di Mesir



PENDAHULUAN

Masyarakat Mesir adalah masyarakat religius yang sangat menghormati agama. Mereka memandang agama di atas segala-galanya, sebagai bagian integral dari budaya, adat istiadat, dan masyarakat. Kelompok-kelompok Islam, masing-masing menurut doktrinnya, memanfaatkannya dengan menggunakan semua kekuatan untuk menrongrong negara dan meraih tujuan bersama, penerapan hukum Islam (syariah) dan menegakkan pemerintahan Islam yang terbebas dari segala pengaruh Barat. Demikianlah kelompok-kelompok itu yakin pada masa Nabi Muhammad dan para pengikut awalnya. Mereka mengidealisasikan periode awal Islam dan menurut ajaran mereka hanya kembali ke zaman keemasan inilah Mesir modern bisa sembuh dari segala penyakit. Dengan berdalih bahwa pengaruh Barat yang dimulai dari invasi Napoleon sebagai akar segala kebobrokan, mereka mendukung tulisan-tulisan dan deklarasi-deklarasi mereka dengan tafsir Al-Qur’an dari Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah yang keduanya menyeru untuk membaca Al-Qur’an secara tekstual, sembari menolak semua penafsiran, filsafat, dan teks-teks yang menyertai.
Di makalah ini kami membahas tentang pendudukan Napoleon dan pengaruhnya terhadap pembaharuan di Mesir. Untuk lebih jelasnya lagi anda bisa membaca hasil pembahasan kami mengenai ini.


PEMBAHASAN
TOKOH PEMBAHARUAN DI MESIR
PENDUDUKAN NAPOLEON DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMBAHARUAN DI MESIR

Sebelum membahas tentang pendudukan Napoleon dan pembaharuan di Mesir, kami akan membahas terlebih dahulu sedikit tentang mengenai perkembangan modern di Mesir sebelum gagasan Modernisme.


A. Perkembangan Modern Di Mesir Sebelum Gagasan Modernisme
Memulai sejarah Mesir, akan lebih menarik dilacak dari munculnya (kekhalifahan) dinasti Fatimiyah, sebab pada masa inilah dibangunan Universitas Al-Azhar sebagai Perguruan Tinggi Islam besar tertua yang dianggap mewakili peradaban dan basis ilmiah-intelektual pasca-kalsik sampai modern, yang kini dianggap masih ada dan tidak terhapus oleh keganasan perang, berbeda dengan Universitas Nizamiyah di Bagdad yang hanya tinggal kenangan. Setelah keruntuhan Bagdad, Al-Azhar dapat disimbolkan sebagai khasanah pewarisan bobot citra keagamaan yang cukup berakar di dunia Islam. Tonggak inilah yang membawa Mesir memiliki aset potensial dikemudian hari dalam gagasan-gagasan modernisme.
Setelah Dinasti Fatimiyah dan penerus-penerusnya dilanjutkan lagi oleh Sultan Mamluk, yang pertama adalah Aybak (1250-1257 M), salah satu yang termasyhur diantara pemimpin dinasti ini adalah Sultan Baybars (1260-1277) yang sanggup mengalahkan panglima Hulagu Khan di ‘Ain Jalut. Dinasti Mamluk berkuasa di Mesir sampai tahun 1517 M. mereka inilah yang terkenal sanggup membebaskan Mesir dan Suriah dari peperangan Salib serta yang membendung kedahsyatan tentara Mogol di bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk, dengan demikian Mesir terbebaskan dari penghancuran terutama dari pasukan Mogol sebagaimana yang terjadi di dunia Islam yang lain.
Mesir di bawah kekuasaan Kaum Mamluk kian menurun pamornya, sampai bangkit Kerajaan Turki Usmani yang mengadakan penyerbuan militer ke arah Kerajaan Bizantium di Asia Kecil. Setelah ia meninggal, ekspansi militer ini diteruskan oleh anaknya Orkhan I (1326-1389 M) yang sanggup menaklukkan bagian Timur dari Benua Eropa, benteng Tzimpe dan gallipoli jatuh ke tanganya dan masih banyak penerus-penerusnya setelah Orkhan I.
Situasi kekuasaan dan pemerintahan di Mesir pada waktu itu sudah tidak dapat lagi dikatakan stabil. Kekacauan, kemerosotan sosial-kemasyarakatan sebagai wilayah yang selalu diperebutkan dan diincar oleh negara-negara Islam kuat sungguh-sungguh membuat rakyat Mesir diliputi rasa ketakutan. Perhatian untuk membangun pun sangat lemah, sebab setiap saat selalu dihantui oleh perang. Dengan keadaan sedemikian lemah posisi Mesir, datanglah tentara Napoleon yang melebarkan sayap imperialnya ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi kekayaan alam, peradaban dan warisan-warisan historis yang memungkinkan untuk dijadikan batu pijakan bagi kejayaan mereka dalam membangun impian menguasai dunia.
Metode penguasaan ilmu yang sangat doktrinal seperti menghafal di luar kepala tanpa ada kengkajian dan telaah pemahaman, membuat ajaran-ajaran Islam seperti dituangkan demikian rupa ke kepala murid dan mahasiswa. Para murid dan mahasiswa tinggal menerima apa adanya. Diskusi dan dialog menjadi barang langka dalam pengkajian keislaman. Selain itu filsafat dan logika dianggap tabu sebagai mata kuliah di perguruan tinggi dan madrasah. Sebagaimana dikatakan Muhammad Abduh, ia merasa jenuh dengan cara menerima ilmu dengan metode menghafal luar kepala.[1]
Belum lagi realitas sosial-keagamaan secara umum yaitu berkembangnya pengaruh paham keagamaan dalam Tarikat yang membuat klaim Islam makin terorientasi kepada akhirat. Zuhud ekstrem dari metode Tarikat membuat ummat Islam lebih berusaha mengurusi alam ghaib, ketimbang dunia realitas. Pelarian kepada dunia akhirat membuat umat Islam tidak mempunyai semangat perjuangan melawan dominasi kezaliman disekitarnya, termasuk kezaliman penguasa. Guru-guru tarikat akhirnya menjadi top figur dalam kepemimpinan agama.
Setelah meninggal dunia pun kuburan para syaikh Tarikat ini masih dimuliakan dan dianggap sebagai wali yang selalu diziarahi. Namun ummat Islam yang menziarahi itu tidak benar-benar menginsyaratkan kepada akhirat, tapi hanya meminta berkah dan mengais keberuntungan material terhadap makna kekeramatan yang dihajatkan mereka. Pada klimaksnya, timbullah pengkultusan individu berlebihan yang membuat seseorang akan mudah terpuruk kepada perilaku mensyariatkan Allah. Karena mereka lebih mengutamakan meminta kepada para wali yang ada di dalam kubur sehingga mengabaikan berdoa langsung kepada-Nya.
Kondisi sosial-keagamaan demikian, sebagaimana dilukiskan oleh Muhammad al-Bahy telah membuat rakyat Mesir dan dunia Islam pada umumnya lebih mementingkan tindakan individual. Ukhuwah Islamiyah yang menekankan kepada kebersamaan, persatuan, dinamisme hidup, rasionalitas berpikir dalam lapangan keagamaan, dan sebagainya telah hilang dikalangan ummat Islam. Termasuk di kalangan Universitas Al-Azhar sendiri, yang digambarkan oleh Muhammad Abduh sudah kehilangan roh intelektual dan jihad keagamaan yang berpijak kepada kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.[2]
Lebih jauh Muhamamd Abduh menggambarkan bahwa metode pendidikan yang otoriter juga merupakan salah satu pendorong mandegnya kebebasan intelektual, sehingga ia sendiri merasa tidak begitu tertarik mendalami agama pada masa kecil lantaran kesalahan metode itu, yakni berupa cara menghafal pelajaran di luar kepala.[3]


B. Pendudukan Napoleon dan Pembaharuan di Mesir
Setelah selesai revolusi 1789 Prancis mulai menjadi negara besar yang mendapat saingan dan tantangan dari Inggris. Inggris di waktu itu telah meningkat kepentingan-kepentingannya di India dan untuk memutuskan komunikasi antara Inggris di Barat dan India di Timur, Napoleon melihat bahwa Mesir perlu diletakkan di bawa kekuasaan Prancis. Di samping itu Prancis perlu pada pasaran baru untuk hasil perindustriannya. Napoleon sendiri kelihatnnya mempunyai tujuan sampingan lain. Alexander Macedonia pernah menguasai Eropa dan Asia sampai ke India, dan Napoleon ingin mengikuti jejak Alexander ini. Tempat strategis untuk menguasai kerajaan besar seperti yang dicita-citakannya itu, adalah Kairo dan bukan Roma atau Paris. Inilah beberapa hal yang mendorong Perancis dan Napoleon untuk menduduki Mesir.
Mesir pada waktu itu berada di bawah kekuasaan kaum Mamluk, sungguh pun sejak ditaklukkan oleh Sultan Salim di tahun 1517, daerah ini pada hakikatnya merupakan bagian dari Kerajaan Usmani. Tetapi setelah bertambah lemahnya kekuasaan sultan-sultan diabad ke 17, Mesir mulai melepaskan diri dari kekuasaan Istambul dan akhirnya menjadi daerah otonom.
Sultan-sultan Usmani tetap mengirim seorang Pasya Turki ke Kairo untuk bertindak sebagai wakil mereka dalam memerintah daerah ini. Tetapi karena kekuasaan sebenarnya terletak di tangan kaum Mamluk, kedudukannya di Kairo tidak lebih dari kedudukan seorang duta besar
Kaum Mamluk berasal dari budak-budak yang dibeli di Kaukasus, suatu daerah pegunungan yang terletak di daerah perbatasan antara Rusia dan Turki.
Bagaimana lemahnya pertahanan Kerajaan Usmani dan kaum Mamluk di ketika itu, dapat digambarkan dari perjalanan perang di Mesir. Napoleon mendarat di Alexandria pada tanggal 2 Juni 1798 dan keesokan harinya kota pelabuhan yang penting ini jatuh.sembilan hari kemudian, Rasyid, suatu kota yang terletak di sebelah timur Alexadria, jatuh pula. Pada tanggal 21 Juli tentara Napoleon sampai di daerah piramid di dekat Kairo. Pertempuran melawan terjadi di tempat itu dan kaum Mamluk karena tak sanggup melawan senjata-senjata meriam Napoleon, lari ke Kairo. Tetapi di sini mereka tidak mendapat simpati dan sokongan dari rakyat Mesir. Akhirnya mereka terpaksa lari lagi ke daerah Mesir sebelah selatan. Pada tanggal 22 Juli, tidak sampai tiga minggu setelah mendarat di Alexandaria, Napoleon telah dapat menguasai Mesir.
Usaha Napoleon untuk menguasai daerah-daerah lainnya di Timur tidak berhasil dan sementara itu perkembangan politik di Prancis menghendaki kehadirannya di Paris. Pada tanggal 18 Agustus 1799, ia meninggalkan Mesir kembali ke tanah airnya. Ekspedisi yang dibawanya ia tinggalkan di bawah pimpinan Jendral Kleber. Dalam pertempuran yang terjadi di tahun di tahun 1801 dengan armada Inggris, kekuatan Prancis di Mesir mengalami kekalahan. Ekspedisi yang dibawa Napoleon itu meninggalkan Mesir pada tanggal 31 Agustus 1801.[4]
Kedatangan Napoleon tersebut secara umum membawa semangat imperialisme (kolonialisme) untuk menaklukkan Mesir agar menjadi daerah jajahannya. Namun ada beberapa hal yang dianggap positif dan meniupkan angin segar bagi persentuhan antara dunia Arab (Islam) dengan Eropa, yaitu terbukanya mata dan pengetahuan tentang ketinggian peradaban Perancis. Hal ini membersitkan isyarat bahwa Mesir dan Dunia Arab umumnya saat ini berada di alam kegelapan dan keterbelakangan. Yang menguntungkan bagi Mesir, Perancis ketika datang di bawah komando Napoleon juga menyertakan kaum cerdik pandai dan kalangan ilmuwan. Di dalam rombongan itu terdapat 500 kaum sipil dan 500 wanita. Di antara kaum sipil itu ada 167 pakar yang menguasai pelbagai disiplin pengetahuan. Ekspedisi ini memang berorientasi militer namun juga mengandung nilai ilmiah. Semangat dan keperluan ilmiah ini meliputi antara lain: dibentuknya lembaga ilmiah bernama institut d’Egypte yang mempunyai empat bidang bahasan; Bagian Ilmu Pasti, bagian Ilmu Alam, Bagian Ekonomi-Politik dan Bagian Sastra-Seni. Sebagai sarana pendukung rombongan tersebut juga membawa peralatan yaitu dua set percetakan huruf Latin Arab, dan Yunani. Alat-alat perlengkapan Ilmu Alam seperti teleskop, mikroskop dan percobaan-percobaan kimiawi dan sebagainya. Ditambah dengan sarana bantu berupa perpustakaan besar yang menghimpun buku-buku dalam berbagai bahasa eropa dan buku-buku agama dalam bahasa Arab, Persia dan Turki yang amat lengkap.
Institut d’Egypte boleh dikunjungi orang Mesir, terutama para ulamanya, yang diharapkan oleh ilmuwan-ilmuwan Prancis yang bekerja di lembaga itu, akan menambah pengetahuan mereka tentang Mesir, adar istiadatnya, bahasa dan agamanya. Disinilah orang-orang Mesir dan umat Islam buat pertama kali mempunyai kontak langsung dengan peradaban Eropa yang baru lagi asing bagi mereka itu.
Abd al-Rahman al-Jabarti, seorang ulama dari Al-Azhar dan penulis sejarah, pernah mengunjungi lembaga itu di tahun 1799. yang menarik perhatiannya ialah perpustakaan besar yang mengandung buku-buku, bukan hanya dalam bahasa-bahasa Eropa, tetapi juga buku-buku agama dalam bahasa Arab, Persia dan Turki. Diantara ahli-ahli yang dibawa Napoleon memang terdapat kaum orientalis yang pandai dan mahir berbahasa Arab. Merekalah yang menerjemahkan perintah dan maklumat-maklumat Napoleon ke dalam bahasa Arab.
Alat-alat kimiah, seperti teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimiawi, dan sebagainya, eksperimen-eksperimen yang dilakukan di lembaga itu, kesungguhan orang Perancis bekerja dan kegemaran mereka pada ilmu-ilmu pengetahuan, semua itu ganjil dan menakjubkan bagi al-Jabarti.
Kesimpulan tentang kunjungan itu ia tulis dengan kata-kata berikut:
“Saya lihat di sana benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal yang besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita”.

Demikianlah kesan seorang cendekiawan Islam waktu itu terhadap kebudayaan Barat. Ini menggambarkan berapa mundurnya umat Islam si ketika itu. Keadaan menjadi berbalik 180 derajat. Kalau diperiode Klasik orang Barat yang kagum melihat kebudayaan dan peradaban Islam. Di periode Modern kaum Islam yang heran melihat kebudayaan dan kemajuan barat.
Ada hal-hal baru selain kemajuan materi yang dianggap sebagai ide-ide hasil revolusi Perancis yang dibawah Napoleon, yaitu memperkenalkan:
1. Sistem Pemerintah Republik.
Selama ini belum ada dikenal seorang kepala negara dipilih oleh parlemen yang berkuasa dalam masa tertentu dan harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar. Sedangkan UUD itu sendiri dibuat bukan oleh kepala negara atau raja melainkan oleh parlemen. Parlemenlah yang menentukan kredibiltas seorang kepala negara, yang kalau menyimpang dari kedudukannya. Sedangkan sistem pemerintah Islam selama ini bersifat absolut.
2. Ide persamaan (egalite) yaitu adanya persamaan kedudukan antara penguasa dengan rakyat yang diperintah, serta turut berperan aktifnya rakyat dalam pemerintahan. Sebelumnya rakyat mesir tidak tahu menahu dalam soal pemerintahan, maka ketika Napoleon mendirikan suatu badan kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al Azhar dan pemuka-pemuka dalam dunia bisnis dari Kairo dan daerah-daerah. Tugas badan ini membuat UU, memelihara ketertiban umum dan menjadikan perantara penguasa-penguasa Perancis dengan rakyat Mesir. Disamping itu dibentuk pula suatu badan yang bernama Diwan Al Ummah yang pada waktu tertentu mengadakan sidang untuk membicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan nasional.
3. Ide kebangsaan yang terkandung dalam maklumat Napoleon bahwa orang Perancis merupakan suatu bangsa, dan kaum Mamluk adalah orang asing yang datang ke Mesir dari Kaukasus, jadi sungguh pun orang Islam tapi berlainan bangsa dengan rakyat Mesir.[5]

Beberapa gambaran ide-ide Napoleon tersebut merupakan kontak pertama antara Mesir dengan Barat (Eropa) dan walaupun belum mempunyai pengaruh nyata yang kuat kepada rakyat Mesir, namun lambat laun telah membuka mata ummat Islam tentang kelemahan dan kemunduran mereka selama ini. Dan di abad ke 19 ide-ide ini makin dapat diterima karena terdapat nilai-nilai positif di dalamnya yang kalau dipraktikkan akan mendorong kemajuan bagi dunia Islam khususnya rakyat Mesir.
Keuntungan positif inilah nantinya yang menghidupkan gairah intelektual untuk banyak-banyak menyerap peradaban Barat dalam semua aspeknya. Khusus bagi kemajuan pemahaman dinamika beragama, bangkitnya kesadaran bahwa selama ini umat telah salah kaprah dalam mengapresiasi komitmen roh yang terkandung dalam al-Qur’an. Artinya Barat yang tidak secara langsung diilhami oleh spirit al-Qur’an pun dapat maju dan jaya karena pola hidup dan orientasi akal yang benar, sedangkan ini hanya sebagian kecil dari isi kandungan al-Qur’an yang bisa diserap oleh Barat dalam mencapai kemajuan-kemajuannya.
Setelah persentuhan peradaban Eropa terhadap Mesir itulah, kondisi umat Islam kian menata diri memperhitungkan kemungkinan langkah-langkah modernisme yang bisa mengangkat citra kaum muslimin secara umum nantinya sebagai negara maju melalui pemikiran-pemikiran cemerlang dan tercerahkan pada modernis seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya.
Setelah membahas tentang pendudukan Napoleon kami akan menambahi sedikit tentang ekspedisi-ekspedisi yang dibawah oleh Napoleon:
a. Ekspedisi Napoleon
Pendudukan negeri Mesir merupakan penduduk campuran dari bermacam-macam ras, agama, budaya dan peradaban. Di samping itu daerah Mesir masih merupakan daerah di belahan Timur yang terbanyak dikunjungi dan derasnya arus gelombang pengaruh Barat dengan bibit-bibit peradaban Eropa.[6]
Mesir sebelum ditaklukkan oleh Napoleon berada di bawah kekuasaan Turki Usmani dan sebagian di bawah pengaruh/kekuasaan Mamluk.
Asal-usul kaum Mamluk berasal dari daerah pengunungan Kaukasus yaitu daerah dipengunungan yang berbatasan antara Rusia dan Turki. Mereka didatangkan ke Istambul atau Mesir untuk dididik menjadi militer. Dalam perkembangan selanjutnya kedudukan mereka dalam kemiliteran meningkat bahkan di antara mereka ada yang dapat mencapai jabatan militer yang tinggi.[7] Akhirnya di antara mereka ada yang mengambil alih daerah kekuasaan Turki Usmani dan tidak tunduk pada Istambul.
Pemimpin Mamluk disebut Syekh Balad, akan tetapi Syekh Balad ini sering bertabiat kasar, sehingga hubungan mereka dengan rakyat Mesir tidak baik. Hal ini salah satu faktor yang memudahkan tentara Napoleon menguasai daerah-daerah yang dikuasai Mamluk.[8]

b. Penaklukan Napoleon Terhadap Mesir
Napoleon menyerbu Mesir pada tanggal 2 Juli 1798. mula-mula mendarat di Iskandariyah dan dalam waktu tiga minggu Napoleon dapat menguasai seluruh Mesir. Setelah menguasai Mesir Napoleon terus menyerang Palestina. Akan tetapi setelah sampai terus menyerang Palestina, akan tetapi setelah selesai di Palestina sedang berjangkit penyakit kolera, sehingga banyak tentara Palestina yang meninggal dunia.
Walaupun Napoleon menguasai Mesir hanya dalam waktu sekitar tiga tahun, namun pengaruh yang ditinggalkannya sangat besar dalam kehidupan bangsa Mesir.

c. Tujuan Ekspedisi Napoleon ke Mesir
Perancis adalah salah satu negara yang cukup besar dan menjadi saingan Inggris yang telah menguasai India untuk memutuskan hubungan Inggris dan India. Napoleon berpendapat, Mesir harus dapat dikuasai. Dengan penguasaan Mesir maka hubungan Inggris ke India terhambat dan di samping itu Mesir merupakan daerah yang cukup baik untuk pemasaran baru hasil-hasil produksi industri Perancis.
Selain dari tujuan tersebut di atas, tampaknya Napoleon mempunyai tujuan tertentu pula yaitu ingin mengikuti jejak Alexander yang pernah menguasai Eropa dan Asia sampai ke India. Tempat yang strategis untuk maksud harus menguasai Mesir, bukan Roma atau Paris yang dapat dijadikan basis ekspansi ke India.

d. Pengaruh Ekspedisi dalam pembaharuan di Mesir
Walaupun Napoleon menguasai Mesir hanya sekitar tiga tahun saja (1789 – 1801) namun pengaruhnya besar sekali terhadap hidup dan kehidupan bangsa Mesir.
Takkala Napoleon menyerbu Mesir ia membawa dua set alat percetakan (alat cetak Bahasa Arab Latin) hasil rampasan Napoleon di Vatican, di samping itu dibawa pula 600 orang sipil yang diantaranya terdapat 167 orang ilmuwan-ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu.
Untuk keperluan ilmu pengetahuan Napoleon membentuk lembaga ilmiah yang diberi nama “ Institut de Egypte” di dalamya terdapat empat bidang pengetahuan, yaitu Ilmu pasti, ilmu alam, ekonomi, politik dan seni sastra.
Lembaga ini telah meneritkan majalah “le Courie’d Egypte” yang ditertibkan oleh seorang pengusaha perrancis yang ikut rombongan ekpedisi napoleon.
Alat percetakan dibawa Napoleon tersebut di atas menjadi perusahaan percetakan Balaq, perusahaan tersebut berkembang sampai sekarang. Peralatan moder pada Institut ini seperti mikroskop, teleskop, atau alat-alat percobaan lainnya serta kesungguhan kerja orang Perancis merupakan hal yang asing dan menakjubkan bagi orang Mesir.
Keberhasilan lainnya yang telah dicapai oleh orang sipil Perancis:

1. Membuat saluran air di lembah Sungai Nil, sehingga hasil pertaniannya berlibat ganda.
2. Di bidang sejarah, ditemukan batu berukir yang terkenal dengan Rossetta Stone.
3. Di Bidang pemerintahan, merambahnya ide sistem pemerintahan yang kepala negaranya dipilih dalam waktu tertentu dan tunduk pada perundang-undangan. Hal ini tentu saja sulit diterima oleh para menguasa.[9]





KESIMPULAN


Setelah kami membaca dari beberapa referensi yang bisa kami pergunakan sebagai landasan kami dalam membahas makalah, dan telah kami baca dapat ditarik kesimpulan bahwa:
• Metode penguasaan ilmu yang sangat doktrinal seperti menghafal di luar kepala tanpa ada pengkajian dan tela’ah pemahaman membuat ajaran-ajaran Islam seperti dituangkan demikian rupa ke kepala murid dengan mahasiswa.
Para murid dan mahasiswa tinggal menerima apa adanya, sehingga Muhammad Abduh menggambarkan bahwa metode pendidikan yang otoriter juga merupakan salah satu mandegnya kebebasan intelektual, sehingga ia sendiri merasa tidak bagitu tertarik mendalami agama pada masa kecil lantaran kesalahan metode itu, yakni berupa cara menghafal pelajaran di luar kepala.
• Napoleon dapat menguasai Mesir ketika mereka bertempur dengan Kaum Mamluk di daerah Piramid di dekat Kairo, karena kaum Mamluk tidak sanggup melawan senjata-senjata meriam Napoleon. Tetapi, usaha, Napoleon untuk menguasai daerah-daerah lainnya di Timur tidak berhasil.
• Ada beberapa hal baru selain kemajuan materi yang dianggap sebagai ide-ide hasil revolusi Perancis yang dibawa oleh Napoleon diantaranya : Sistem pemerintahan republik, ide persamaan (legalite) ide kebangsaan yang terkandung dalam maklumat Napoleon, sehingga ide-ide Napoleon tersebut adalah gambaran yang merupakan kontak pertama antara Mesir dengan Barat (Eropa).
• Ekspedisi Napoleon, terdapat asal-usul kaum Mamluk yang datang ke Istambul atau Mesir untuk dididik menjadi militer sehingga kedudukan militer mereka meningkat, bahkan antara mereka mendapat jabatan militer yang tinggi.
• Dalam waktu tiga minggu Napoleon dapat menguasai seluruh Mesir, tetapi Napoleon dapat menguasai Mesir hanya dalam waktu sekitar tiga tahun.
• Tujuan ekspedisi Napoleon ialah ingin mengikuti jejak Alexandr yang pernah menguasai Eropa dan Asia sampai ke India.
• Pengaruh Napoleon dalam pembaharuan di Mesir sangat besar sekali, terhadap hidup dan kehidupan bangsa Mesir, yaitu Napoleon membentuk lembaga ilmiah yang diberi nama “Institut de Egypte” yang terdapat empat bidang pengetahuan, yaitu ilmu pasti, ilmu alam, ekonomi, politik dan seni sastra.



DAFTAR PUSTAKA

Asmuni, Yusran, 1998, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Nasution, Harun, 2003, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang

-------------------, 1975, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang

Sani, Abdul, 1998, Lintas Sejarah Pemikiran, Jakarta : PT. Grafindo Persada

Rais, M. Amien dan David Sagiv, 1997, Islam Orientalis Liberalisme, Yogyakarta : Bulan Bintang

[1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1986, hlm. 59
[2] Muhammad Al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, Pustaka, Panjimas, Jakarta, 1986, hln. 90-92
[3] T. Al-Tanawi, Muzzakir Al-Imam Muhammad Abduh, Qahirah Darul Hilal, t.t. hlm. 29
[4] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. Ke-14 PT. Bulan Bintang, Jakarta, 2003, hlm. 21-22
[5] Ibid., hal. 27-29
[6] Drs. Sucipto Wiryosuparto, Sejarah Dunia II, Balai Pustaka, jakarta, 196, hal. 29
[7] Dr. Harun Nasution, Op.cit., hal. 29
[8] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan pembaharuan dalam Dunia Islam, PT. Raja Grafindo Persada. 1998, hal. 65-66.
[9] Ibid., hal. 68


Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid At Tamimi, lahir pada tahun 1115 H./ 1703 M. di sebuah tempat yang bernama Uyainah yang berada di sebelah Utara Riyadh. Jarak antara Riyadh dan Uyainah sekitar 70 kilo meter jika ditempuh dari sebelah barat.[2]

Dia sangat mencintai ilmu pengetahuan sejak masa kecilnya. Selama masa kanak-kanaknya, telah tampak beberapa hal yang sangat istimewa dari dirinya. Dia hafal Al-Quran, belajar fikih Hanbali, tafsir dan hadits. Dia banyak mempelajari dan mengagumi buku-buku yang ditulis Ibnu Taimiyah dalam bidang fikih, akidah dan logika. Selain itu juga, is pun sangat terpengaruh dengan buku-buku Ibnu Qayyim, Ibnu `Urwah Al-­Hanbali dan yang lainnya. Maka jadilah dia seorang yang menganut paham salafi.[3]

Dia mengembara untuk menuntut ilmu ke Mekkah, Madinah, Bashrah dan Ahsa’. Dia harus menghadapi tantangan yang demikian keras dan fitnah yang bertubi-tubi di Irak tatkala dia menyatakan pandangan-pandangannya di sana. Setelah itu dia kembali lagi ke Najd.

Saat dia pulang ke Huraimala’ di Najd. dia memulai dakwahnya untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, menyibukkan diri dengan ilmu dan mengajar serta mengajak manusia pada akidah tauhid yang bersih. Dia memperingatkan akan bahaya syirik, macam-macam dan berbagai bentuknya. Bahkan dia harus sering mengalami ancaman pembunuhan dari orang-orang yang bodoh di Huraimala’ akibat seruannya ini. Setelah itu, dia kembali ke tempat kelahirannya di Huraimala’. Dia disambut hangat oleh penguasa dan mendorongnya untuk melanjutkan dakwah yang sekarang dia tekuni. Di Huraimala‘, syariah ditegakkan dan hukum bagi pelaku kriminal -hudud­diberlakukan. Namun dia tidak tinggal lama di Huraimala’, karena adanya tekanan penguasa Al-Ihsa’ terhadap penguasa Huraimala’ agar penguasa Huraimala’ membunuh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Maka Syaikh pun keluar dengan berjalan kaki menuju Dir’ iyyah.

Kerjasama dengan Muhammad bin Sa’ud

Muhammad bin Abdul Wahhab mampu menjalin kerja sarna dengan Muhammad bin Sa’ud yang mengorbankan harta dan anak buahnya untuk menegakkan dakwah tauhid. Kerjasama ini terjalin dengan asas asas yang kokoh. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berhasil melanjutkan dakwahnya kepada manusia melalui taklim, penulisan brosur dan buku-buku kecil juga nasehat-nasehat. Dia terus melakukannyak mengajar dan menulis buku-buku kecil yang dibarengi dengan hujjah-hujjah dan dalil yang menerangkan kebenaran apa yang dia dakwahkan. Dia mengajak manusia untuk menumpas kemungkaran dan menghancurkan kubah-kubah kuburan, serta mencegah semua sarana yang mengantarkan pada kemusyrikan dan melakukan ibadah sepenuhnya hanya pada Allah Yang Maha Esa.[4]

Dakwah yang dia lakukan berlangsung dengan cara yang damai, pelan-pelan sambil mengetuk pintu hati dengan penuh lemah lembut dengan penuh hikmah dan nasehat yang baik. Dia terus mengajar siapa saja yang datang menghadiri majlisnya dan senantiasa menerapkan akidah yang dianutnya. Dia menjelaskan prinsip-prinsip dakwahnya, baik pada orang yang dekat maupun yang jauh. Namun dia ternyata dihadapkan pada kenyataan, dimana dakwah dengan cara lembut ini dihadapkan pada penerimaan yang sangat keras. Kebenaran diterima dengan pendustaan, sedangkan nasehat yang baik ditanggapi dengan konspirasi. Maka tidak ada cara lain kecuali memasuki fase jihad dan melakukan perubahan kemungkaran dengan menggunakan kekuatan. Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair,

Jika tak ada lagi kecuali kepada tombak yang harus menjadi tunggangan
Maka tak ada jalan bagi yang terpaksa kecuali menungganginya.[5]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mulai didukung oleh pangeran Muhammad bin Sa’ud dengan bantuan pengikutnya dan senjata untuk mengumpulkan kaum mujahidin dari Dir’iyyah keluar batas negerinya, dengan tujuan menebarkan dakwah dan pengokohan tiang-­tiangnya di Jazirah Arabia maupun di luar Jazirah Arabia. Syaikh sendiri yang langsung memimpin pengumpulan pasukan itu, persiapan dan pemberangkatan mereka. Walaupun demikian, dia terus mengajar, menulis surat pada orang-orang yang dia anggap penting, menerima tamu, mengantar delegasi. Allah telah menyatukan dalam dirinya ilmu dan kedudukan, kekuatan dan kekokohan setelah melalui jihad yang panjang.[6] Dia memiliki pandangan politik yang tajam, pengalaman yang sangat luas dalam masalah perang dan politik.[7]

Peperangan antara pendukung dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan musuh-musuhnya berlangsung dalam jangka waktu bertahun-tahun. Kemenangan sering berpihak pada pendukung dakwah. Beberapa desa jatuh satu demi satu. Pada tahun 1178 M./1773 M., Riyadh berhasil ditaklukkan oleh Pangeran Abdul Aziz bin Muhammad bin Sa’ ud. Sementara itu, penguasa lamanya Daham bin Dawud melarikan diri. Dia dikenal sebagai seorang pemimpin yang zhalim, kejam dan selalu melakukan gangguan kepada para dai. Dia telah mengingkari kesepakat­an yang dia jalin dengan para penyeru dakwah. Setelah ditaklukannya Riyadh, maka wilayah yang tunduk dan berada di bawah pengaruh dakwah semakin luas. Banyak orang yang masuk ke dalam dakwah ini dengan suka rela. Kini telah sirna hambatan-hambatan yang sering menghadang mereka, masalah-masalah yang dulu beku kini telah terbuka, kemudahan datang setelah lama dilanda kesulitan. Harta melimpah, keadaan menjadi tenang dan stabil. Manusia merasa aman hidup di sebuah negeri Islam yang baru lahir, dimana selama masa waktu yang panjang manusia tidak bisa menikmati keamanan.

Setelah meninggalnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dakwah terus bergerak maju yang mendapat dukungan dari Sultan dan dengan dukungan kekuasan ini dakwah pindah ke Hijaz yang sebelumnya berada di bawah kekuasan Syarif Ghalib bin Musa’id yang mulai melakukan serangan yang sengit terhadap keturunan Sa’ud, baik melalui jalur agama ataupun militer. Konflik antara keduanya terus berlangsung hingga tahun 1803 M, tatkala keturunan Sa’ud memasuki Makkah tanpa ada halangan apapun dari pihak Syarif Ghalib yang sebelumnya menekankan perang ke Jeddah. Dua tahun setelah itu, keturunan Sa’ud berhasil memasukkan Mekkah dan Madinah ke dalam kekuasaannya.[8]

Pengaruh gerakan Salafiyah ini terus merambah ke sebagian besar wilayah Jazirah Arab. Inggris merasa terancam dengan adanya pengaruh yang semakin besar ini pada kepentingan-kepentingannya. Pemerintahan Saudi awal telah berhasil melebarkan kekuasaannya ke Teluk Arab dan Laut Merah. Semua kawasan yang berada di Teluk Arab masuk dan berada di bawah kontrolnya. Pengaruh ini juga sampai ke wilayah Selatan Irak dan juga berpengaruh di jalan darat yang membentang antara Eropa dan kawasan Timur. Lebih dari itu semua, sesungguhnya asas-asas keagamaan yang menjadi fokus pemerintahan ini telah memutuskan ketidakmungkinan Inggris untuk menjadikannya sebagai sebuah negeri yang taat atau menjalin kerja samma dengannya. Sebab tujuan utama dari didirikannya negeri ini adalah, untuk melawan kejahatan orang-orang asing yang ada di kawasan itu.[9] Orang-orang Qawasim (kawasan-­kawasan) sekitar yang didukung oleh kekuatan pemerintahan Bani Sa’ ud, mampu melakukan serangan telak pada armada Inggris pada tahun 1806 M. sehingga perairan Teluk berada di bawah kekuasaannya.[10]

Dari segi politik, pemerintahan Bani Saud mencapai puncaknya pada masa Saud bin Abdul Aziz, mengingat pengaruhnya telah sampai ke Karbala di Irak dan Huran di negeri Syam. Bahkan, seluruh kawasan Teluk, kecuali Yaman, berada di dalam kekuasaannya.[11]

Konspirasi terhadap Gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Beberapa sosok syetan berwujud manusia dari orang-orang Eropa berpikir tentang akibat yang akan menimpa mereka, jika pemerintahan Saudi periode awal ini memperluas pengaruhnya. Mereka melihat bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintahan Sa’ud akan mengancam kepentingan mereka di kawasan Timur secara umum. Oleh sebab itulah, tidak ada jalan lain kecuali menghancurkan pemerintahan ini. Merekapun menempuh berbagai cara untuk menghancurkan pengaruh dakwah Salafiyah ini. Di antaranya adalah;
Pertama: Penebaran publik opini di tengah negeri Islam melawan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Maka bangkitlah orang­-orang yang berkeyakinan dengan bid’ah dan khurafat, bangkit melawan dakwah yang diserukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Perlawanan ini bukan hanya datang dari satu sisi atau dari satu pihak tertentu, melainkan dari semua sisi. Serangan ini datang dari para Syaikh yang memegang pengaruh yang diberikan orang awam dan orang-orang bodoh pada mereka, mereka menginginkan terus melanjutkan bid’ah­-bid’ah dan khurafat itu dengan sangkaan bahwa itu semua adalah bagian dari agama. Serangan juga datang dari para pemuja kuburan, dari orang yang banyak mengambil faedah dari kotak-kotak orang yang bernadzar, datang dari orang yang menyandarkan hidupnya atas makanan dan harta yang diberikan kepada mereka pada peringatan orang-orang yang meninggal dunia dan dari ziarah-ziarah. Datang juga dari orang-orang yang meyakini, bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyebarkan agama baru yang berttentangan dengan apa yang selama ini menjadi adat dan tradisi mereka. Orang-orang seperti ini bertebaran di mana-mana di seluruh pelosok pemerintahan Utsmani, bahkan di hampir semua belahan dunia Islam.. Ini semua terjadi setelah Inggris dan Perancis -musuh Islam itu- menyebarkan fatwa yang mereka ambil dari para ulama suu’ (ulama jahat) yang memfatwakan bahwa yang didakwahkan oleh pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah rusak.[12]

Kedua: Mereka menebarkan fitnah antara gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan pemimpin pemerintahan Utsmani. Orang-orang Inggris dan Peranciss menebarkan racun ke dalam pikiran Sultan Mahmud II, bahwa gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bertujuan untuk memerdekakan Jazirah Arabia dan memisahkan diri dari Khilafahah Utsmaniyah kemudian setelah itu menyatukan dunia Arab serta mencabut panji khilafah daan kepemimpinannya dari pemerintahan Utsmani serta membangun Khilafah Arabiyah. Sultan merespon fitnah yang disebarkan musuh. Padahal tidak sepantasnya dia melakukan itu. Apa yang pantas dilakukan adalah, hendaknya dia meragukan nasehat bohong ini dan mengirimkan para pemuka pemerintahan untuk melakukan investigasi dan meneliti masalah ini. Sultan tidak menyadari bahaya dari pembenaran terhadap kabar keji yang diarahkan pada gerakan Islam yang murni. Sangat disayangkan dengan menuruti usulan-­usulan musuh yang mengharuskan agar gerakan itu diberangus sebelum dia membesar. Pemerintahan Utsmani telah mengeluarkan biaya yang besar dan mengerahkan demikian banyak orang untuk memberangus gerakan ini.[13]

Pemerintahan Utsmani merencanakan langkah-langkahnya untuk memerangi pemerintahan Saudi periode awal. Mereka mulai menugaskan penyelesaian masalah ini pada beberapa gubernur yang bertetangga dengan pemerintahan Saudi. Langkah ini diambil dengan dua tujuan; (1) membendung perluasan wilayah Saudi di wilayah timur arab dan (2) untuk melemahkan gubernur-gubernur itu dan untuk mengeruk sumber penghasilan mereka hingga tetap menjadi gubernur yang lemah sehingga akan terus tunduk pada pemerintahan Utsmani. Maka untuk pertama kalinya, perintah untuk melawan pemerintahan Saudi diberikan kepada gubernur Baghdad sebab dia adalah gubernur yang paling dekat ke wilayah Najd. Namun sang Gubernur Baghdad sedang disibukkan dengan adanya guncangan yang terjadi di dalam negerinya. Tentaranya sangat lemah dan sangat tidak mungkin untuk melakukan serangan pada pemerintahan Saudi. Serangan mereka berkali-kali mengalami kegagalan, saat harus membendung serangan di perbatasan Irak. Maka pemerintah Utsmani segera mengarahkan pandangannya pada gubernur Syam dengan harapan dia bisa berhasil dan tidak mengalami kegagalan seperti apa yang dialami oleh gubernur Irak. Ternyata kegagalan yang diderita gubernur Syam jauh lebih menyedihkan dari apa yang dialami oleh rekannnya gubernur Irak. Tatkala pemerintahan Utsmani telah putus asa terhadap kekuatan para gubernurnya yang berada di Baghdad dan Syam[14], dia mengalihkan pandangannya ke Mesir. Pemerintahan Utsmani meminta pada gubernurnya Muhammaad Ali pada tahun 1807 M., untuk melakukan serangan ke negeri Arab dengan tujuan “membersihkan dan membebaskan Haramain Syarifaian” dari tangan orang-orang Saudi serta mengembalikan kekuasaan pemerintahan Utsmani yang hampir hilang di Jazirah Arabia. Namun Muhammad Ali tidak memenuhi permintaan pemerintahan Utsmani ini kecuali pada tahun 1811 M., setelah dia berhasil melepaskan diri dari para Beik Mamluk pada pembantaian Qal’ah.[15]

Sesungguhnya para pengikut dakwah Salafiyah tidak pernah menuntut khilafah dan sama sekali tidak pernah mengatakan penentangan bahwwa dirinya tidak tunduk padanya. Namun sesungguh­nya, perselisihan itu hanya ada dalam dua hat yang asasi. Pertama. permintaan para pengikut gerakan Salafi tentang adanya keharusan untuk komitmen para jemaah haji dalam berpegang teguh dengan manhaj Islam dan mencabut semua hat yang keluar dari manhaj Islam. Kedua, adanya perasaan pemerintahan Utsmani yang tidak berdaya di depan kekuasaan gerakan Wahhabi atas kota-kota Suci yang berada di Hijaz. Sebab mereka tahu, bahwa ketidakmampuan mereka ini berarti penurunan wibawa dan posisi mereka secara politik.[16]

Al-Jabarati menerangkan bahwa sikap gerakan Wahhabi terhadap jama’ah haji yang datang dari Syam adalah, “Janganlah mereka datang kecuali dengan syarat yang telah disyaratkan atas mereka. Janganlah mereka datang dengan membawa usungan, gendang, suling dan senjata dan semua hat yang dianggap bertentangan dengan syariah. Maka tatkala mendengar itu semua, mereka kembali dan tidak jadi melaksanakan haji dan pada saat yang sama tidak meninggalkan kemungkaran-kemungkar­an yang mereka lakukan.[17] Dia juga menyebutkan sikap yang sama yang dilakukan oleh jamaah haji yang datang dari Mesir.[18]

Sedangkan perintah Sultan Utsmani hanya terbatas pada Muhammad Ali adalah tuntutan untuk memerangi pemerintahan Saudi dan dengan dorongan dari surat-surat yang dikirim oleh Syarif di Jeddah serta dengan adanya konspirasi dan dorongan yang demikian kuat dari Inggris untuk membebaskan Haramain serta memberikan nasehat untuk rakyat dan para pelaku bisnis.[19] Permintaan itu berulang dan masih berkisar pada tuntutan agar Haramain dibebaskan. Setelah kekuatan militer mampu menguasai negeri Hijaz, dan setelah mengalami beberapa kali kekalahan saat berhadapan dengan pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Sultan Mahmud II mengirimkan sebuah edaran ke Mesir yang dibacakan di mesjid yang menyebutkan bahwa Haramain telah bisa dikuasai kembali.[20] Ini semua memberikan petunjuk bahwa Sultan Utsmani tidak memiliki tujuan lain kecuali hanya untuk mengembalikan Hijaz ke dalam pangkuan pemerintahan Utsmani.

Sangat mungkin peperangan terhenti hingga di sini, sebab kekuatan Muhammad Ali telah menguasai kota-kota di Hijaz. Dan Muhammad Ali setelah itu diangkat untuk menjadi penguasa baru di Hijaz yang membuatnya harus pergi meninggalkan Mesir menuju Hijaz, dan tragisnya lagi dia mengusir Syarif Ghalib yang telah membantu pasukannya dan telah membantunyya untuk bisa memasuki Hijaz.[21] Sementara itu, para pemimpin dakwah Salafiyah Saudi telah menawarkan proses damai pada Muhammad Ali. Namun Muhammad Ali memberikan syarat yang sangat sulit untuk direalisasikan. Dalam penolakannya itu juga terkandung ancaman. Al-Jabarati meriwayatkan apa yang dikatakan oleh Muhammad Ali dengan mengatakan; “Adapun perjanjian damai itu kami tidak segan menerimanya, namun dengan beberapa syarat. Yaitu hendaknya belanja perang yang kami gunakan sejak awal perang hingga surat perjanjian itu ditandatangani, diganti. Semua yang diambil dari mutiara-mutiara dan harta simpanan yang ada di dalam kamar yang mulia juga harus dibawa. Demikian juga harga barang yang telah mereka belanjakan harus dibawa. Barulah setelah itu datang menemui saya dan melakukan perjanjian dengan saya. Dan selesailah perjanjian damai setelah itu. Namun jika ini tidak dipenuhi dan tidak mau datang dengan membawa apa yang kami minta…maka kami akan datang menemuinya.”[22]

Hakekat Ekspedisi Militer Muhammad Ali ke Hijaz dan Najd

Sesungguhnya peperangan antara Muhammad Ali dan pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bukanlah peperangan antara dua kekuatan Islam yang sejajar, dan bukan pula perang Arab sebagaimana yang disebarkan oleh sebagian orang. Sebaliknya perang ini adalah antara kekuatan Islam yang tidak memiliki ambisi politik apa-apa, namun hanya menampakkan ghirahnya dan keinginannya yang sangat tinggi untuk kembali ke prinsip-prinsip asasi dalam agama Islam yang tak lain adalah kekuatan pemerintahan Saudi periode awal. Sebagaimana kekuatan ini juga menunjukkan semangat yang tinggi untuk membendung bahaya kolonialisme kafir yang ada di negeri-negeri Islam. Sedangkan kekuatan yang memeranginya dan yang dikirim oleh gubernur Mesir yang sebenarnya bukan berasal dari penduduk Mesir, dimana sebagian besar dari mereka adalah dari Arnauth, sebagian dari orang Turki, orang-orang Kristen dan sebagian perwira Perancis.[23] Kebanyakan dari pemimpinnya tidaklah menyangdang Islam kecuali hanya sekedar nama.

Sejarawan Al-­Jabarati yang menjadi saksi mata dari peristiwa kekalahan pasukan Mesir ini di hadapan dakwah Salafiyah pada awal-awalnya mensifati kesalehan dan kewara’an pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dia berkata; “DDimana kemenangan akan kita peroleh, sedangkan kebanyakan dari pasukan kita tidak beragama! Di antara mereka ada yang tidak peduli pada agama, dan tidak bermadzhab sebagaimana madzhab kita. Kita dibarengi dengan kotak-kotak minuman haram dan memabukkan. Di tengah kita tidak terdengar suara adzan tidak pula ditegakkan kewajiban agama. Tidak pernah terlintas di dalam jiwa dan pikiran mereka syiar-syiar agama, sedangkan kaum itu (maksudnya adalah pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) tatkaala masuk waktu shalat para juru adzan mereka mengumandangkan adzan dan mereka berbaris di belakang seorang imam dengan khusyu’ dan khudhu’. Sedangkan jika waktu shalat tiba dan perang sedaang berkecamuk, maka seorang di antara mereka mengumandangkan adzan dan melakukan Shalat Khauf. ­Sebagian di antara mereka maju dan sebagian yang lain mengakhirkan shalatnya. Sedangkan pasukan kita kagum dengan apa yang mereka lakukan, sebab mereka belum pernah mendengar apalagi melihat seperti apa yang mereka lakukan. Mereka (pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab) menyeru di tengah-tengah pasukannya, datanglah kalian semua untuk memerangi orang kafir, yang mencukur agama mereka, yang menghalalkan perzinahan dan homoseksual, peminum khamar. Tatkala disingkapkan baju tentara yang terbunuh, ternyata mereka banyak yang tidak dikhitan. Tatkala mereka (orang-orang Muhammad Ali) sampai di Badar dan menguasainya dan menguasai desa-desa dan pegunungan, sedangkan di sana ada beberapa orang yang baik memiliki ilmu dan saleh, maka mereka pun merampas wanita-wanita mereka, anak-anak dan gadisnya serta bbuku-buku mereka.[24]

Sedangkan Muhammad Ali, bukanlah sosok yang komitmen dengan syariah Allah dalam perangnya, bahkan tindakan-tindakannya sama sekali bertentangan dengan syariah dan melampaui batas-batas yang Allah tentukan serta tidak peduli dengan hukum Islam. Maka tidak heran jika pasukannya membunuh, menghancurkan dan mengambil harta benda serta merusak hak-hak kaum muslimin yang menegakkan tauhid.

Inilah Ali bin Abi Thalib yang berkata pada para pengikutnya pada saat terjadi peristiwa Jamal (perang Unta); “Janganlah kalian mengejar orang-orang yang telah melarikan diri, janganlah kalian melakukan sesuatu pada orang yang sudah terluka, dan barangsiapa yang melepaskan senjatanya maka dia telah aman.”[25]

Beliau juga berkata; “Hati-hatilah! Janganlah kalian bertindak kasar pada wanita, walaupun mereka mencela kehormatan kalian dan menghina para pemimpin kalian, sesungguhnya seorang laki-laki yang memperlakukan seorang wanita dengan kasar dan sinis, maka dia akan mendapatkan sangsinya.”[26]

Dari Abi Umamah Al-Bahili dia berkata : “Saya menyaksikan peristiwa Shiffin dan mereka tidak melakukan tindakan kasar terhadap orang-orang yang terluka dan tidak pernah membunuh orang yang melarikan diri, tidak pula mencincang orang yang meninggal.”[27]

Sesungguhnya Sultan Utsmani telah merasa cukup dengan menjadikan Hijaz tunduk di bawah pemerintahannya. Sedangkan serangan terhadap Dir’iyyah, bukanlah tuntutan yang mendesak dan wajib dilakukan. Sedangkan Muhammad Ali sangat keras dalam memberikan persyaratan damai, satu hal yang menunjukkan ambisinya untuk terus melanjutkan perang. Sebab tujuannya adalah untuk memenuhi ambisi pribadi dan untuuk melakukan perluasan dalam lingkup yang diperkenankan oleh target-target politik Inggris di kawasan itu, setelah Saudi dianggap menjadi batu ganjalan yang menyulitkan bagi eksistensi Inggris di kawasan Arabia secara keseluruhan, baik di Laut Merah ataupun di Teluk Arab atau karena sampainya pemerintahan Saudi melalui jalur darat ke Irak. Maka Inggris merasakan adanya ancaman yang serius terhadap kepentingannya di Timur. Sangat tepat jika kita katakan, bahwa ekspedisi ini ekspedisi Salibis yang dibungkus dengan mantel Islami.[28]

Tatkala Thusun bin Muhammad Ali kalah perang saat berhadapan dengan pangeran Abdullah bin Saud dan separuh pasukannya hancur, maka Muhammad Ali keluar langsung menuju Hijaz pada tahun 1813 M. Kemudian dia menangkap penguasa Mekkah Ghalib bin Musa’id dengan tuduhan melakukan konspirasi dengan penguasa Saudi. Setelah itu, dia mengambil semua barang yang dimiliki Ghalib, apapun bentuknya. Dengan demikian, penguasa Mekkah kini menjadi salah seorang pejabat Muhammad Ali di Hijaz. Tak berapa lama, Muhammad Ali memenangkan peperangan terhadap kekuatan pemerintahan Saudi pada bulan Januari 1815 M. dalam sebuah peperanganyyang disebut dengan Basal.[29] Peristiwa ini oleh sebagian orang dianggapp sebagai peristiwa terbesar dalam perang yang dipimpin oleh gerakan Wahhabi, bahkan merupakan peristiwa paling monumental dalam sejarah peperangan Mesir.[30]

Muhammad Ali tidak berdiam lama di Jazirah Arabia demi menorehkan kemenangan-kemenangan yang lain. Sebaliknya dia kembali ke Mesir dan membiarkan anaknya Thusun di Hijaz.[31] Dengan cepat Thusun mampu mengalahkan pasukan Saudi untuk pertama kalinya. Setelahh itu dia segera bergerak menuju arah utara Najd hingga sampai ke kota Ras, setelah itu dia menguasai Syabiyah dan kini pintu untuk menuju Dir’iyyah terbuka lebar di depan matanya. Maka Pangeran Abdullah segera membuka pintu damai dengannya, untuk mencegah semakin banyaknya tumpahan darah kaum muslimin serta untuk melindungi kota-kota dan desa. Terjadilah perundingan damai itu antara dua pihak dengan syarat-syarat sebagai berikut;

1. Pasukan Mesir menduduki Dir’iyyah.
2. Hendaknya Pangeran Abdullah mengikuti perintah Thusun Pasya, dan hendaknya berangkat ke tempat yang dikehendaki Thusun.
3. Hendaknya Pangeran Abdullah memberikan jaminan perjalanan haji dan tunduk pada hukum sipil yang datang dari Muhammad Ali sejak kesepakatan ini hingga saat ditandatanganinya kesepakatan.
4. Janganlah kesepakatan ini diberlakukan sebelum ditetapkan oleh Muhammad Ali.

Ternyata syarat-syarat ini tidak diterima oleh Pangeran Abdullah. Dia pun mengambil keputusan untuk mengirim utusan langsung kepada Muhammad Ali secara langsung untuk membicarakan syarat-syarat tersebut. Namun delegasi yang dia utus gagal dalam usahanya, karena adanya sikap keras kepala para Pasya. Maka pengikut Bani Saud kembali bersiap untuk berperang dan bertempur. Maka Muhammad Ali kembali mengirim ekspedisi militer pada tahun 1816 M. Yang dipimpin langsung oleh anaknya Ibrahim Pasya.[32]

Pasukan Ibrahim Pasya bergerak dari Hijaz menuju Najd dan berhasil menguasai kota-kota Unaizah, Buraidah dan Syaqra’, serta bisa menaklukkan kawasan Alqashim. Ibrahim meneruskan gempuran dengan menggunakan taktik lembut terhadap para kabilah. Yakni sebuah taktik yang berusaha menjadikan orang-orang Najd senang padanya. Dimana dia selalu mengadakan pertemuan dan memberikan hibah pada banyak orang, terutama di awal kedatangannya dengan memakai metode yang membuat kabilah-kabilah tertarik. Maka dia melarang pasukannya merampas dann merampok harta rakyat. Dengan pasukannya yang sangat terlatih yang terdiri dari orang-orang Perancis, dia mampu melanjutkan serangan hingga ke Dir’iyah yang kemudian dikepung karena memiliki pertahanan yang kokoh. Pengepungan ini berlangsung lama yang dimulai sejak bulan April hingga Septernber 1818 M. dan berakhir dengan menyerahnya Pangeran Abdullah bin Saud serta masuknya Ibrahim ke Dir’iyah. Dari Dir’iyah Pangeran Abdullan dikirim ke Mesir dengan pengawalan yang sangat ketat. Setelah dari Kairo, dia dikirim ke Istanbul.[33]

Pangeran Abdullah diarak di jalan-jalan Istanbul selama tiga hari penuh, kemudian setelah itu diperintahkan agar dia dihukum pancung. Semoga Allah memberikan rahmatnya pada orang yang dizhalimi ini[34] dan nanti di Hari Kiamat akan tampak bagaimana hakikat pembunuhannya itu. Sesungguhnya dia telah mengajak untuk berdamai, perdamaian yang diinginkan oleh penduduk Jazirah Arabia, melalui sebuah surat yang dikirimkan oleh Syaikh Ahmad Al-Hanbali kepada Thusun. Mereka telah menjelaskan bahwa mereka mengakui kesultanan Utsmani dan tidak pernah menyatakan pemberontakan terhadap pemerintahan Utsmani. Lalu kenapa ada usaha yang terus menerus untuk melakukan penyerbuan ke Jazirah Arabia? Demikian ruh kaum muslimin dibinasakan oleh tangan sebagian kaum muslimin yang lain, akibat tipu daya musuh. Padahal orang-orang Jazirah Arabia telah membantu kaum muslimin di Mesir tatkala mereka dijajah oleh orangg-orang Perancis. Lalu kenapa harus ada permusuhan yang disengaja? Sesungguhnya Muhammad Ali dengan bantuan para pemimpin yang menisbatkan dirinya pada Islam mampu meyakinkan sebagian besar kaum awam, bahwa mereka melakukan itu sebagai bukti ketaatan mereka kepada khalifah Rasulullah yang harus mereka tunduk padanya dan taati. Dan bahwa yang mereka lakukan ­kata Muhammad Ali-adalah dalam rangka mencegah pemisahan Jazirah Arabia dari kekhilafahan Utsmani.[35]

Sesungguhnya masalah loyalitas dan disloyalitas terhadap agama Islam, sama sekali tidak ada pada pribadi Muhammad Ali dengan dalil bahwa dia memberikan sikap loyalitasnya kepada musuh-musuh Islam. Dia memberikan kesempatan pada mereka untuk memimpinnya, memimpin dan menggiring umat bersama-sama dengannya kepada kehancurannya. Ini merupakan akibat dari adanya kelakuan pedagang tembakau yang tidak ketahuan nasabnya yang menginginkan dirinya duduk menjadi penguasa di negeri kaum muslimin.[36]

Inggris demikian senang tatkala mengetahui jatuhnya Dir’iyyah, ibu kota Saudi yang pertama, di tangan kekuatan Ibrahim Pasya.[37] Pemerin­tahan Saudi Salafiyah inilah yang telah membantu Qawasim dalarn jihad mereka melawan orang-orang Inggris di Teluk Arab, sehingga mengancam kepentingan Inggris d India sebagaimana yang telah kita sebutkan sebelum ini.[38] Di sini kita patut bertanya, khususnya dalam peristiwa-peristiwa ini yang dialami oleh dunia Islam dalam sejarahnya di masa modern. Kita akan katakana: Andaikata tentara Muhammad Ali dan pasukan pemerintah Utsmani bekerjasama dengan pemerintahan Saudi periode awal dan bukan malah memeranginya untuk menghadapi keserakahan orang-orang Eropa secara umum dan Inggris secara khusus, jika ini yang terjadi pasti wajah sejarah akan berubah. Khususnya bahwa pemerintahan Saudi itu adalah pemerintahan Islam yang dibangun di alas prinsip dasar Salafiyah yang benar. Dunia Islam saat itu demikian membutuhkan pemerintahan seperti ini. Apapun yang terjadi, sesungguh­nya Inggris menyadari apa yang bisa mereka ambil manfaat dari kondisi yang terjadi saat ini. Maka mereka pun dengan segera mengucapkan selamat kepada Ibrahim Pasya, dengan prinsip untuk menjaga kepenting­an mereka. Inggris mengutus kapten George Forester Sadler[39]- untuk memberikan ucapan selamat kepada Ibrahim Pasya atas keberhasilannya dalam menguasai Dir’iyah serta adanya usaha untuk membentuk kerja sama antara kekuatan darat Ibrahim Pasya dan kekuatan laut Inggris dalam rangka menghadapi Qawasim, yang merupakan pengikut pemerintahan Saudi periode awal.<[40]

Sesungguhnya hubungan antara Muhammad Ali dan orang-orang Inggris itu adalah hubungan yang sudah terjalin demikian lama. Sejak awal masa pemerintahannya, dia langsung melakukan perundingan dengan mereka selama empat bulan. Dalam perundingan itu Muhammad Ali menekankan, tentang keseriusannya dan keinginannya yang demikian tulus untuk membangun hubungan dengan Inggris, bahkan lebih jauh dari itu dia rela menempatkan dirinya berada di bawah perlindungan Inggris. Inilah yang disebutkan oleh keterangan yang disampaikan oleh Freezer, delegasi yang menjadi wakil dalam perundingan itu. Satu hal yang membuat -setelah puas dengan itu- mereka meninggalkan sekutu-sekutu lamanya orang-orang Mamluk. Isi dari kesepakatan yang disiapkan oleh pimpinan ekspedisi Freezer yang melakukan perundingan dengan utusan Muhammad Ali yang dikirim pada Jendral Moor tanggal 16 Oktober tahun 1807 M. mengandung bagian penting dari isi perjanjian itu. Dalam ketetapan itu disebutkan; “Ijinkan saya untuk membeberkan kepada tuan agar ini menjadi fokus perhatian tuan tentang isi pembicaraan yang terjadi antara Pasya Mesir dengan Mayor Jenderal Sharirouk dan kapten Feloz saat keduanya melakukan tugas mereka. Satu hal yang membuat saya yakin bahwa pembicaraan ini, dan komunikasi khusus yang lain yang saya lakukan bersamanya, menggambarkan bahwa dia itu sangat serius dengan apa yang menjadi usulannya. Muhammad Ali Pasya, gubernur Mesir telah mengutarakan keinginannya untuk memposisikan dirinya di bawah perlindungan Inggris. Kami menjanjikan padanya akan menyam­paikan usulannya itu kepada pimpinan-pimpinan kekuatan Inggris dengan harapan mereka menyampaikannya pada pemerintah Inggris.

Sementara itu, Muhammad Ali Pasya menjanjikan untuk melarang orang­-orang Perancis, Turki atau kekuatan lain yang berada di bawah sebuah pemerintahan tertentu untuk masuk ke Iskandariyah dari jalan laut dan sebagai sekutu Inggris Raya di Iskandariyah. Namun tak ada pilihan lain baginya untuk menunggu dan untuk tidak meminta bantuan Inggris dengan kekuatan lautnya, tatkala ada serangan dari arah laut sebab dia tidak memiliki kapai-kapal perang. Pada saat yang sama Muhammad All Pasya sepakat untuk membekali kapal-kapal Inggris yang berada jauh dari Iskandariyah dengan semua apa yang dibutuhkan, termasuk air sungai Nil tatkala ada isyarat kesepakatan untuk itu.[41]

Konsul Perancis Drupati memberikan catatan atas apa yang sampai padanya dari kabar tentang kesepakatan antara Muhammad Ali dan Inggris yang sebenarnya merupakan salah satu bentuk dari kesepakatan bahwa itu adalah; “Perjanjian seperti ini tatkala sampai pada titik kesepakatan akan menggolkan semua keinginan Inggris dengan cara mengirimkan ekspedisi militer mereka ke Mesir, jika akibatnya tidak disadari dengan dikirimkannya ekspedisi militer tersebut.”[42]

Inggris tidak ingin mengumumkan semua isi perjanjian setelah ditandatanganinya dan mereka meninggalkan Iskandariyah serta diserahkan kepada Pasya Mesir, ssebab Inggris melihat pentingnya melihat dengan teliti akibat apa yang akan mereka terima jika harus menyatakan permusuhan secara terang-terangan terhadap pemerintahan Utsmani sebagai akibat bantuan yang diberikan Inggris pada seorang penguasa yang menginginkan kemerdekaan dari pemerintahannya. Padahal saat itu, diplomasi Inggris memiliki kepentingan yang demikiian besar dari pemerintahan Utsmani. Di samping itu Inggris juga mengambil banyak faedah dari anteknya yang baru untuk meluaskan pengaruhriya di kawasan itu jika mungkin.[43]

[1] Dinukil dari “Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah”, Pustaka Al-Kautsar, cet. I, 2003, hal. 469-483.
[2] Lihat : Imam at-Tauhid Muhammad bin Abdil Wahhab, Ahmad al-Qaththan, hal. 35
[3] Ibid : hal. 36
[4] Ibid : hal. 45-46.
[5] Lihat : Istimrariyat ad-Da’wah, Muhammad Sayyid al-Wakil (III/293).
[6] Lihat : Imam at-Tauhid Muhammad bin Abdil Wahhab, Ahmad al-Qaththan, hal. 53
[7] Ibid : hal. 78
[8] Lihat : Al-A’lam al-‘Arobi fit Tarikh al-Hadits, hal. 17.
[9] Lihat : Qira’at Jadiidah fi Tarikhil Utsmaniyyin, hal. 156.
[10] Ibid : hal. 158.
[11] Lihat : Ad-Daulat al-Utsmaniyyah, DR. Jamal, hal. 94
[12] Idem : hal. 94.
[13] Idem : hal. 95.
[14] Lihat : Al-‘Alam al-‘Arobi fit Tarikh al-Hadits, DR. Ismail Yagha, hal. 171.
[15] Ibid : hal. 172.
[16] Lihat : Qiro’ah Jadidah fit tarikh al-‘Utsmani, hal. 183.
[17] Lihat : Min Akhbar an-najd wal Hijaz, Muhammad Adib Sholih, hal. 111.
[18] Idem : hal. 111-112.
[19] Lihat : Qiro’ah Jadidah fit tarikh al-‘Utsmani, hal. 186.
[20] Lihat : Min Akhbar al-Hijaz wan Najd, Muhammad Adib Gholib, hal. 110.
[21] Ibid : hal. 100.
[22] Lihat : ‘Ajaib al-Atsar Akhbar Yaumi Akhir Dzilqo’dah Sanat 1328, Adib Gholib, 149.
[23] Lihat : Ad-Daulat al-‘Utsmaniyyah, Muhammad Anis, hal. 233.
[24] Lihat : Qiro’ah Jadidah fit Tarikhil Utsmani, hal.188.
[25] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Kitabul Jamal (XV/263).
[26] Lihat : Nashbur Rooyah, Az-Zaila’i (III/463).
[27] Diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanad yang shahih. Sedangkan Imam adz-Dzahabi menyatakan sebagai hadits mauquf di dalam Al-Mustadrak (II/155).
[28] Lihat : Qiro’ah Jadidah fit Tarikhil Utsmani, hal. 189.
[29] Lihat : Ad-Daulah as-Su’udiyah al-‘Ula, DR. Abdul Halim Abdur Rahman,hal. 199-235.
[30] Lihat : Qiro’ah Jadidah fit Tarikhil Utsmani, hal. 172.
[31] Ibid : hal. 172.
[32] Lihat : Ad-Daulah as-Su’udiyah al-‘Ula, hal. 339-345.
[33] Lihat : Al-‘Alam al-‘Arobi fit Tarikhil Hadits, hal. 174.
[34] Ibid : hal. 174.
[35] Lihat : Ad-Daulah al-Utsmaniyyah, DR. Jamal Abdul Hadi, hal. 96.
[36] Ibid : hal. 97.
[37] Lihat : Dirosat fi tarikh al-Khaliij al-‘Arobi al-hadits wal Mu’ashir (I/198).
[38] Lihat : Tarikh al-Ahsa’ as-Siyasi, DR. Muhammad ‘Arobi, hal. 42-43.
[39] Lihat : Dalil al-Khaliij at-Taarikhi, J.J. Lurimer (II/1009-1010).
[40] Lihat : Huruub Muhammad ‘Ali ‘ala asy-Syaam, DR. Ayidh ar-Ruuqi, hal.112.
[41] Lihat : Mishr fi Mathla’ al-Qornit Taasi’ ‘Asyar, DR. Muhammad Fu’ad Syukri (II/856-857).
[42] Ibid : hal. (II/826).
[43] Lihat : Daur al-Kanisah fi Hadmid Daulatil Utsmaniyyah, Tsuroyya Syahin, hal.56-57.



Reformasi Islam: Telaah atas Pemikiran Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh
A. Pendahuluan
M. Amien Rais memaparkan bahwa gerakan pembaruan atau reformasi Islam mulai muncul sejak zaman Dinasti Umayyah, kala pemerintahan Islam mengambil bentuk kerajaan dan secara sewenang-wenang pemerintah melakukan penindasan terhadap masyarakat. Aktor yang cukup berperan pada saat itu muncul dari gerakan sufi. Gerakan ini merupakan reaksi terhadap penafsiran Islam yang terlalu menekankan pada aspek hukum. Selanjutnya, muncullah berturut-turut gerakan pembaruan atau reformasi Islam yang dicetuskan oleh Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Syah Waliullah, dan gerakan Sanusiah. Berbagai macam gerakan pembaruan yang muncul sebelum abad ke-20 ini diarahkan untuk menghentikan proses degenerasi umat dan untuk mempersempit kesenjangan antara Islam dalam teori (ideal Islam) dan Islam dalam praktik (historical Islam). Gerakan pembaruan yang menekankan pada membangkitkan semangat ijtihad ini muncul dari kesadaran umat Islam sendiri, bukan karena desakan dan pengaruh Barat.[1]
Gerakan pembaruan Islam pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 mengambil corak yang berbeda dengan gerakan pembaruan sebelumnya.[2] Pada periode ini, gerakan pembaruan merupakan upaya reaktif umat Islam dalam menghadapi kolonialisme negara-negara Barat.[3] Secara historis, Harun Nasution memaparkan bahwa latar belakang gerakan pembaruan pada periode ini adalah jatuhnya Mesir ke tangan Barat. Kejadian ini menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan kemajuan peradaban Barat. Dari sini, para pemuka Islam mulai berpikir, bagaimana meningkatkan kesadaran dan kualitas umat Islam.[4]
Di antara tokoh reformasi Islam yang cukup terkenal pada periode ini adalah Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan sepak terjang dan sumbangan pemikiran kedua tokoh ini bagi upaya pembaruan Islam.
B. Kehidupan Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh
1. Jamaluddin al-Afghani (1839-1897)
Nama lengkapnya adalah Jamaluddin al-Afghani as-Sayyid Muhammad bin Shafdar al-Husain. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Jamaluddin al-Afghani.[5] Al-Afghani lahir di Afghanistan pada tahun 1839 dan meninggal di Istanbul pada tahun 1897.[6] Al-Afghani masih memiliki ikatan darah dengan cucu Rasulullah saw., Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya adalah Sayyid Shafdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali at-Turmudzi (seorang perawi hadis yang masyhur) dan Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.[7]
Tempat kelahiran al-Afghani sulit dipastikan. Ia mengaku dilahirkan di As’adabad, Konar, Distrik Kabul, Afghanistan, dari keluarga penganut Mazhab Hanafi. Versi lain mengatakan, ia dilahirkan di As’adabad dekat Hamadan, Persia (Iran). Pengakuan al-Afghani dilahirkan di As’adabad, Konar, Distrik Kabul, Afghanistan dilakukan dengan maksud menghindari kesewenang-wenangan penguasa Persia pada saat itu.[8] Menurut Nikki R. Keddie, banyak sumber yang mengatakan bahwa al-Afghani tidak mungkin berasal dari Afghanistan, tetapi ia lahir dan mendapat pendidikan Syi’ah di Iran. Di antara sumber-sumber tersebut adalah surat untuk kemenakannya yang tinggal di Iran serta berbagai buku dan risalah bertahun yang ditemukan di antara tulisan-tulisan al-Afghani.[9]
Ketika baru berusia 22 tahun, al-Afghani menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Pada tahun 1864, ia menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad A’zam Khan. Pada masa karier politiknya ini, Inggris sudah mulai ikut campur dalam urusan politik Afghanistan. Dalam pergolakan tersebut, al-Afghani memilih pihak yang berupaya menentang golongan pribumi yang disokong oleh Inggris. Pada tahun 1869, setelah pihaknya kalah dalam perseteruan politik, al-Afghani meninggalkan Afghanistan dan pergi menuju India.[10]
Di India, al-Afghani tidak merasa lebih baik, karena saat itu India sudah berada di bawah kekuasaan Inggris. Oleh karena itu, pada tahun 1871, ia pindah menuju Mesir. Di Mesir, al-Afghani menetap di Kairo. Awal mula tinggal di Mesir, ia menjauhi persoalan-persoalan politik dan hanya memusatkan perhatian pada dunia ilmiah dan sastra Arab. Rumah tempat tinggalnya menjadi tempat pertemuan murid-muridnya dan para pengikutnya. Di sanalah ia memberikan kuliah dan mengadakan diskusi. Para pengikut al-Afghani di antaranya adalah orang-orang terkemuka di bidang pengadilan, dosen-dosen, para mahasiswa al-Azhar serta universitas lain, dan para pegawai pemerintahan. Di antara para muridnya tersebut ada yang kemudian menjadi pemimpin, seperti Muhammad Abduh (tokoh pembaru dan reformis Islam) dan Sa’ad Zaglul (pemimpin kemerdekaan Mesir).[11]
Pada tahun 1876, campur tangan Inggris dalam urusan politik Mesir makin meningkat. Al-Afghani tidak tinggal diam. Akhirnya, ia menerjunkan diri ke dalam dunia politik. Supaya bisa bergaul dengan para tokoh politik Mesir, ia bergabung dengan organisasi Freemason Mesir, suatu organisasi yang disokong oleh kelompok anti zionis. Di sini, ia bertemu dengan Putra Mahkota Taufik. Pada tahun 1879, atas usaha keras al-Afghani, terbentuklah parta al-Hizb al-Wathani (Partai Nasional). Tujuan didirikannya partai ini adalah memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan pemasukan unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi penting dalam bidang militer. Dengan sokongan partai ini, al-Afghani berhasil menggulingkan Raja Mesir yang berkuasa saat itu, Khedewi Ismail, yang kemudian digantikan kedudukannya oleh Putra Mahkota Taufik. Tetapi sayang, Taufik malah tidak dapat memenuhi tuntutan al-Hizb al-Wathani. Ia malah bersekongkol dengan Inggris. Pada tahun 1879, Taufik mengusir al-Afghani keluar dari Mesir.[12]
Setelah diusir dari Mesir, al-Afghani kembali ke India, tepatnya ke negara bagian Hyderabad yang mayoritas berpenduduk muslim. Pada masa ini, ia banyak menyelesaikan tulisan-tulisan penting. Di antaranya ia menulis sekumpulan artikel dan risalah yang kemudian dikumpulkan. Dalam edisi bahasa Inggris, tulisan ini terkenal dengan judul The Refutation of the Materialist. Kumpulan tulisan ini ditujukan untuk menyanggah karya Sayyid Ahmad Khan yang pro-Inggris.[13]
Akibat pemberontakan Urabi Pasya (1881-1882),[14] al-Afghani akhirnya meninggalkan India dan pindah ke Paris. Di sana ia mendirikan perkumpulan al-‘Urwah al-Wutsqa yang beranggotakan orang-orang Islam dari India, Mesir, Syria, Afrika Utara, dan lain-lain. Tujuan organisasi ini adalah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam, dan membawa umat Islam kepada kemajuan. Di samping itu, organisasi ini juga menerbitkan majalah al-‘Urwah al-Wutsqa yang gaungnya sampai ke berbagai pelosok negeri muslim, termasuk Indonesia. Dalam menerbitkan majalah al-‘Urwah al-Wutsqa ini, al-Afghani dibantu oleh salah seorang muridnya, Muhammad Abduh, yang juga diusir dari Mesir karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Urabi Pasya. Namun sayang, usia majalah ini tidak dapat berlangsung lama. Setelah terbit selama 8 bulan, sebanyak 18 nomor, mulai 13 Maret 1884 sampai 17 Oktober 1884, penerbitan majalah ini diberhentikan secara paksa oleh negara-negara Barat yang saat itu banyak menguasai negeri-negeri muslim.[15]
Pada tahun 1889, al-Afghani diundang ke Persia untuk mencari penyelesaian persengketaan antara Rusia dan Persia yang timbul akibat politik pro-Inggris yang dianut Persia waktu itu. Akan tetapi, al-Afghani tidak setuju kepada kebijakan Persia untuk memberikan konsesi kepada Inggris. Akhirnya, al-Afghani berselisih paham dengan Syah Nasir ad-Din. Kemudian, al-Afghani diusir oleh Syah Nasir ad-Din. Pada tahun 1896, Syah dibunuh oleh seorang pengikut al-Afghani.[16]
Pada tahun 1892, al-Afghani pindah ke Istanbul atas undangan Sultan Abdul Hamid. Melihat pengaruh al-Afghani yang demikian luas di berbagai negeri muslim, Sultan Abdul Hamid memerlukan al-Afghani untuk merealisasikan rencana politiknya. Sultan berpikir bahwa bantuan negeri-negeri muslim sangat diperlukan untuk menentang kekuasaan Eropa yang waktu itu kian mendesak eksistensi Kerajaan Usmani di Timur Tengah. Akan tetapi, kerja sama antara al-Afghani yang berpikiran maju dan demokratis dengan Sultan Abdul Hamid yang masih mempertahankan kekuasaan otokrasi tidak dapat berlangsung lama. Karena takut akan pengaruh al-Afghani yang semakin besar, akhirnya Sultan mulai membatasi gerak-gerik al-Afghani. Al-Afghani tidak dapat keluar dari Istanbul sampai akhirnya ia meninggal karena kanker pada tahun 1897.[17]
Melihat sepak terjang Jamaluddin al-Afghani di atas, sebenarnya Jamaluddin al-Afghani lebih pantas disebut sebagai pemimpin politik daripada pemimpin dan pemikir pembaruan/reformasi Islam.[18] Akan tetapi, menurut Harun Nasution, aktivitas politik Jamaluddin al-Afghani didasarkan pada ide-ide brilian tentang pembaruan dalam Islam. Dengan demikian, ia adalah pemimpin pembaruan/reformasi Islam sekaligus pemimpin politik.[19] Di antara karya tulis Jamaluddin al-Afghani adalah Baab maa Ya’uulu ilaihi Amr al-Muslimiin, Makiidah asy-Syarqiyyah, Risaalah fii ar-Radd ‘alaa al-Masiihiyyiin, Diyaa’ al-Khaafiqain, Haqiiqah al-Insaan wa Haqiiqah al-Wathan, dan ar-Radd ‘alaa ad-Dahriyyiin.[20]
2. Muhammad Abduh (1849-1905)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di Desa Mahallat Nasr, Kabupaten al-Buhairah, Mesir, pada tahun 1849. Walaupun bukan berasal dari keluarga kaya dan keturunan bangsawan, tetapi ayahnya sangat dihormati oleh masyarakat.[21] Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah yang berasal dari Turki, sementara ibunya merupakan keturunan bangsa Arab yang silsilahnya sampai kepada suku bangsa Umar bin Khattab.[22]
Abduh tumbuh di bawah asuhan keluarga yang tidak ada hubungannya dengan dunia sekolah, tetapi memiliki jiwa keagamaan yang teguh. Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani. Ayahnya adalah seorang petani. Semua saudaranya adalah petani. Akan tetapi, Abduh diistimewakan oleh ayahnya. Ia tidak disuruh bekerja membantu ayahnya bertani. Ia malah disuruh oleh ayahnya untuk belajar dan menimba ilmu.[23]
Pada usia 13 tahun, Abduh dikirim ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha, sekitar 80 km dari Kairo untuk mempelajari Al-Qur’an dan tajwidnya. Karena tidak betah, dua tahun kemudian Abduh pulang dan bertani mengikuti jejak keluarga dan kerabatnya. Beberapa lama kemudian, setelah menikah dalam usia muda, Abduh dipaksa oleh ayahnya untuk kembali belajar agama. Abduh menolak perintah tersebut dan kabur ke Syibr Alkhit, tempat tinggal paman-pamannya. Di desa ini Abduh bertemu dengan Syeikh Darwisy Khidr yang memiliki pengetahuan mendalam tentang Al-Qur’an dan mengamalkan ajaran tasawuf ala asy-Syadziliah. Pertemuan ini rupanya sangat membekas di hati Abduh. Pertemuan ini berhasil mengubah Abduh yang enggan belajar menjadi Abduh yang haus akan ilmu. Akhirnya, Abduh kembali ke Thantha untuk memperdalam ilmu agama sebagaimana dianjurkan ayahnya dulu.[24]
Setelah dari Thantha, pada tahun 1866, Abduh melanjutkan petualangan ilmiahnya ke Kairo. Ia menimba ilmu di al-Azhar. Namun, sistem pengajaran di al-Azhar ketika itu yang menekankan pada pendapat para ulama terdahulu tanpa disertai upaya perbandingan dan pengkajian mendalam tidak memuaskan hatinya. Di luar al-Azhar, Abduh berkenalan dan menimba ilmu dari berbagai ulama yang memiliki pandangan maju. Dalam upaya petualangannya inilah Abduh bertemu dan berkenalan dengan Jamaluddin al-Afghani. Abduh sangat mengagumi pemikiran dan sepak terjang tokoh pembaruan ini. Dua tahun bergaul dengan al-Afghani merupakan waktu yang cukup singkat untuk mengubah Abduh yang cenderung kepada tasawuf dan menutup diri menjadi Abduh yang gigih dalam berjuang dan berpandangan maju. Abduh juga akhirnya menjadi seorang penulis. Ia tidak saja menulis buku-buku ilmiah yang berisi bantahan terhadap pandangan-pandangan negatif terhadap Islam, tetapi juga menulis artikel-artikel yang menganjurkan pembaruan Islam di harian al-Ahram.[25]
Setelah lulus dari al-Azhar, yakni pada tahun 1877, Abduh menjadi asisten dosen di almamaternya. Di samping mengajar di al-Azhar, Abduh juga mengajar etika dan sejarah peradaban kerajaan-kerajaan Eropa di kediamannya. Karena kedekatannya dengan Jamaluddin al-Afghani yang revolusioner dan sangat aktif mengembuskan semangat menentang kezaliman dan penjajahan, ia diberhentikan sebagai tenaga pengajar di al-Azhar. Kemudian, ia diasingkan ke tempat kelahirannya. Setelah terjadi pergantian dalam tubuh kabinet pemerintahan Mesir, Abduh diserahi tugas untuk memimpin surat kabar resmi pemerintah, yaitu al-Waqaa’i Mishriyyah. Melalui surat kabar tersebut, Abduh sering melontarkan kritikan tajam kepada pemerintah. Akibatnya, Abduh diusir dari Mesir. Akhirnya, Abduh tinggal beberapa saat di Syria. Kemudian, Abduh menuju Paris untuk menyusul Jamaluddin al-Afghani.[26]
Di Paris, bersama Jamaluddin al-Afghani, pada tahun 1884 Abduh menerbitkan majalah al-‘Urwah al-Wutsqa yang gaungnya dalam menentang penjajah melebar ke seluruh penjuru negeri, termasuk Indonesia. Setelah menjalani masa pengasingan, pada tahun 1888, Abduh kembali ke Mesir dan diserahi tugas sebagai hakim di Pengadilan Daerah Banha. Pada tahun 1894, Abduh diangkat menjadi anggota Majelis al-A’la di al-Azhar. Sebagai anggota majelis ini, Abduh banyak membawa perubahan penting ke dalam tubuh al-Azhar. Kemudian, Abduh menjadi hakim di Pengadilan Abidin Kairo, sampai akhirnya menjadi Mufti Mesir dan anggota Majelis Syura Kerajaan Mesir. Pada 11 Juli 1905, Muhammad Abduh wafat dalam usia yang relatif muda.[27]
Tidak seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh banyak terjun di bidang ilmiah akademik, walaupun Abduh juga banyak berperan dalam lapangan politik. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya karya tulis yang dihasilkan dari tangan kreatif Abduh. Di antara karya Muhammad Abduh adalah al-Islaam Diin al-‘Ilm wa al-Madaniyyah, al-Fikr as-Siyaasii, Duruus min Al-Qur’aan, Risaalah Tauhiid, Tafsiir Juz ‘Ammaa, dan Tafsiir al-Manaar.
C. Reformasi Islam Menurut Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh
Pembaruan atau reformasi Islam yang digagas oleh Jamaluddin al-Afghani didasarkan pada keyakinan bahwa Islam adalah ajaran yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman, dan semua keadaan. Demi terlaksananya ajaran Islam di berbagai tempat dan zaman tersebut, diperlukan interpretasi baru terhadap ajaran Islam sebagaimana yang tersurat dalam Al-Qur’an dan hadis. Proses reinterpretasi ini membutuhkan ijtihad. Dengan demikian, menurut al-Afghani, pintu ijtihad selalu terbuka.[28] Dalam melakukan penafsiran ulang terhadap Al-Qur’an dan hadis ini, al-Afghani menekankan pentingnya akal. Menurutnya, dengan melakukan penafsiran ulang terhadap Al-Qur’an dan hadis secara rasional, Islam akan menjadi dasar bagi sebuah masyarakat yang ilmiah modern, sebagaimana pernah menjadi dasar masyarakat muslim pada zaman keemasan Islam.[29]
Selanjutnya, al-Afghani juga berpendapat bahwa jika dapat dipahami secara rasional, Islam sesungguhnya adalah sebuah keyakinan yang dinamis, karena Islam mendorong sikap aktif, yakni sikap bertanggung jawab terhadap urusan dunia. Sikap inilah yang menurut al-Afghani akan membantu proses kebangkitan umat Islam menuju kejayaan politik dan kultural.[30]
Menanggapi kemunduran yang melanda umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, al-Afghani berpendapat bahwa faktor penyebabnya bukan karena ajaran Islam tidak sesuai dengan tuntutan zaman, tetapi karena umat Islam terpengaruh oleh ajaran yang datang dari luar Islam. Di samping itu, umat Islam juga mundur karena salah dalam mengartikan hadis yang menyatakan bahwa di akhir zaman nanti umat Islam akan mengalami kemunduran. Akibat berpegang pada pengertian salah ini, umat Islam menjadi statis dan pasrah terhadap nasib.[31]
Sebab lain kemunduran umat Islam adalah perpecahan yang terjadi di tubuh umat Islam, pemerintahan negeri-negeri muslim yang absolut, para pemimpin yang tidak amanah, rapuhnya kekuatan militer, sistem administrasi yang buruk, intervensi asing lewat kolonialisme, dan lemahnya rasa persaudaraan di kalangan umat Islam.[32] Inilah beberapa faktor yang menyebabkan umat Islam terpuruk dalam lembah kemunduran dan keterbelakangan.
Dalam menanggapi situasi memprihatinkan ini, al-Afghani menawarkan tiga langkah strategis. Pertama, umat Islam harus melenyapkan pola pikir dan paradigma salah kaprah yang dianut selama ini. Caranya adalah dengan kembali kepada ajaran dasar Islam yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan hadis. Kedua, corak pemerintahan otokrasi yang dianut oleh umat Islam selama ini harus diubah dengan sistem pemerintahan yang demokratis. Menurut al-Afghani, Islam menghendaki sistem pemerintahan republik yang di dalamnya terdapat kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara untuk tunduk kepada undang-undang. Ketiga, persatuan umat Islam perlu digalakan kembali. Sebab, dengan persatuan inilah umat Islam akan bangkit kembali meraih kemajuan. Demi mewujudkan persatuan seluruh umat Islam, al-Afghani mencetuskan gagasan Pan-Islam. Pan-Islam merupakan respons al-Afghani terhadap kekuasaan Inggris di Mesir dan dominasi Eropa atas dunia Islam pada umumnya. Tetapi sayang, usaha al-Afghani ini tidak membuahkan hasil gemilang.[33]
Inilah beberapa pemikiran reformasi Islam yang dicetuskan oleh al-Afghani. Walaupun hasilnya jauh dari yang diharapkan, tetapi pemikiran al-Afghani banyak memengaruhi para pemimpin umat Islam dan menjadi amunisi ampuh bagi gerakan pembaruan Islam di berbagai negeri muslim, termasuk di Indonesia.
Berikut ini adalah peta pikiran Jamaluddin al-Afghani tentang reformasi Islam.
No. Aspek Pemikiran Bentuk Pemikiran
1 Kerangka teori Islam sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan.
2 Metodologi Reinterpretasi ajaran Islam dengan kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah melalui konsep ijtihad yang sesuai dengan akal.
3 Dipengaruhi oleh Kondisi terpuruk umat Islam akibat kolonialisme Barat.
4 Konsep reformasi Islam - Melenyapkan pola pikir yang salah terhadap ajaran Islam, yakni kembali kepada ajaran dasar Islam (Al-Qur’an dan hadis).
- Mengganti sistem pemerintahan otokrasi dengan sistem pemerintahan demokratis.
- Menggagas Pan-Islam, yakni persatuan seluruh umat Islam.
5 Contribution of knowledge - Menafsirkan ulang Al-Qur’an dan hadis dengan cara yang modernis dan liberal.
- Membuka kembali pintu ijtihad.
Beralih kepada Muhammad Abduh, fokus utama pemikiran tokoh pembaru Mesir yang dianggap sebagai arsitek modernisme Islam ini ada dua, yaitu: (1) membebaskan umat Islam dari taklid dengan berupaya memahami agama langsung dari Al-Qur’an dan hadis sebagaimana yang dipahami para ulama salaf; dan (2) memperbaiki gaya bahasa Arab yang sangat bertele-tele.[34] Dari sinilah starting point proyek pembaruan atau reformasi Islam Muhammad Abduh bermula. Dalam menggagas pembaruan Islam, Abduh bersandar pada keyakinan bahwa wahyu dan akal pada dasarnya selaras dan tidak bertentangan. Dalam Risaalah Tauhiid, Abduh menegaskan bahwa setiap spekulasi logis menuntun ke arah keimanan kepada Tuhan sebagaimana yang digambarkan dalam Al-Qur’an. Abduh juga berpendapat bahwa segala ajaran yang disampaikan dalam wahyu harus dipahami secara rasional. Oleh karena itu, bagi Abduh, Islam adalah agama yang rasional.[35]
Pemikiran Abduh ini merupakan respons atas situasi dan kondisi umat Islam yang sedang berada dalam keterpurukan. Menurut Abduh, kondisi ini disebabkan oleh paham jumud yang selama ini dianut oleh umat Islam. Padahal, dalam kata jumud tersebut terkandung makna keadaan membeku, statis, dan tidak ada perubahan. Akibat memegang pola pikir jumud ini, umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan. Pola pikir jumud ini menimbulkan tradisi-tradisi negatif di tubuh umat Islam, seperti pemujaan yang berlebihan kepada para syekh dan wali, kepatuhan buta kepada para ulama, taklid buta, serta tawakal dan kepasrahan total pada takdir. Akibatnya, membekulah akal dan berhentilah gejolak pemikiran dalam Islam yang akhirnya membawa umat Islam pada jurang kebodohan dan kemunduran.[36]
Dalam menanggapi keadaan umat Islam tersebut, Muhammad Abduh berpendapat bahwa umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam awal sebagaimana yang dipahami oleh para ulama salaf. Akan tetapi, ajaran Islam tersebut harus dikontekstualisasikan dan diselaraskan dengan tuntutan zaman. Dengan demikian, perlu diadakan reinterpretasi baru terhadap ajaran Islam yang bersumber langsung dari Al-Qur’an dan hadis. Untuk keperluan ini, Abduh menekankan pentingnya ijtihad. Akan tetapi, menurut Abduh, ijtihad di sini hanya boleh dilakukan terhadap ajaran Islam yang berkaitan dengan hukum muamalah dan hukum sosial-kemasyarakatan.[37]
Selain penekanan kepada ijtihad dan reinterpretasi ajaran Islam, Abduh juga memberikan penekanan kepada pemberantasan budaya taklid dari tubuh umat Islam. Menurut Abduh, taklid kepada para ulama tidak perlu dipertahankan, bahkan mesti diperangi. Sebab, taklid inilah yang telah membuat umat Islam berada dalam kemunduran. Taklid telah membuat umat Islam berhenti berpikir sehingga akal mereka menjadi berkarat. Taklid pula yang telah menghambat perkembangan bahasa Arab, susunan masyarakat Islam, syariat, sistem pendidikan, dan sebagainya.[38]
Demi mewujudkan idealismenya tersebut, Muhammad Abduh menggagas pembaruan atau reformasi Islam yang bersandar pada dua hal. Pertama, pembaruan teologi dan pemikiran Islam. Kedua, reformasi sistem pendidikan Islam.[39] Pembaruannya di bidang pendidikan Islam banyak dicurahkan pada upaya perbaikan Universitas al-Azhar. Muhammad Abduh berupaya membawa ilmu-ilmu modern ke dalam al-Azhar. Selain itu, Abduh juga melakukan reformasi kelembagaan di al-Azhar. Di antaranya, Abduh membentuk dewan pimpinan al-Azhar yang terdiri atas para ulama, penambahan honorarium bagi para ulama al-Azhar, perbaikan fasilitas bagi mahasiswa, perpanjangan masa studi, perbaikan sistem pengajaran, dan perbaikan fasilitas perpustakaan. Dengan perbaikan dan pembaruan dalam tubuh al-Azhar, Abduh berharap universitas ini menjadi pusat pembaruan yang diinginkannya bagi dunia Islam secara keseluruhan.[40]
Selain memperbaiki sistem pendidikan di al-Azhar, Muhammad Abduh juga berusaha memperbaiki sistem pendidikan Mesir secara umum. Abduh memandang telah terjadi sistem dualisme dalam pendidikan. Menurut Abduh, sistem madrasah lama hanya mengeluarkan para ulama yang buta akan ilmu pengetahuan modern, sedangkan sekolah-sekolah pemerintah hanya menelorkan tenaga ahli yang sedikit pengetahuannya tentang agama. Oleh karena itu, Abduh berupaya keras memasukkan ilmu-ilmu modern ke dalam madrasah dan memasukkan ilmu-ilmu agama ke dalam sekolah-sekolah pemerintah. Dengan upayanya ini, Abduh berharap, jurang yang memisahkan golongan ulama dan golongan ahli ilmu modern akan semakin sempit.[41]
Gerakan reformasi pendidikan yang dicanangkan Abduh tersebut bermaksud mendidik generasi muda Islam supaya banyak berorientasi ke masa sekarang dan masa depan. Sebab, dengan pola pikir ini, yakni pola pikir yang memberikan kedudukan yang tinggi pada akal dan ilmu pengetahuan, membebaskan diri dari taklid, serta kembali kepada Al-Qur’an dan hadis, mereka akan mampu membawa umat Islam pada gerbang kemajuan sebagaimana yang telah diraih oleh peradaban Barat.[42]
Rupanya paradigma ini membawa pengaruh yang cukup besar pada pola pemikiran Abduh. Salah satunya adalah dalam bidang tafsir. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, Abduh menekankan pada akal dan kondisi sosial-kemasyarakatan. Menurut Abduh, pemaparan pendapat para ulama yang saling berlawanan malah akan menjauhkan umat Islam dari tujuan diturunkannya Al-Qur’an.[43] Selain di bidang tafsir, paradigma pemikiran Abduh yang sangat rasional juga banyak berpengaruh dalam bidang teologi Islam.[44]
Secara ringkas, gagasan Abduh tentang pembaruan atau reformasi Islam dapat digambarkan sebagai berikut.
No. Aspek Pemikiran Bentuk Pemikiran
1 Kerangka teori Akal dan wahyu (Islam) selaras, tidak ber-tentangan.
2 Metodologi Reinterpretasi ajaran Islam (Al-Qur’an dan sunnah) secara rasional.
3 Dipengaruhi oleh Gagasan dan pemikiran pembaruan Islam al-Afghani.
4 Konsep reformasi Islam - Pembaruan teologi Islam; membebaskan umat Islam dari taklid.
- Restrukturisasi dan pembaruan pen-didikan Islam.
- Melakukan reformasi doktrin Islam berdasarkan pemikiran modern.
5 Contribution of knowledge - Rasionalisasi tafsir.
- Rasionalisasi ajaran dan teologi Islam.
D. Al-Afghani dan Abduh: Antara Gerakan Revolusioner dan Gerakan Reformis
Berdasarkan kajian atas pemikiran dua tokoh pembaru Islam ini, penulis menyimpulkan bahwa gagasan reformasi Islam al-Afghani dan Abduh berangkat dari kepentingan yang sama untuk membawa umat Islam dari jurang keterpurukan kepada kemajuan serta melepaskan umat Islam dari belenggu kolonialisme. Ide awal ini kemudian direalisasikan dengan cara melakukan reinterpretasi ajaran Islam dengan kembali kepada dasar ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis.
Walaupun tujuan pembaruan al-Afghani dan Abduh sama, tetapi konsep dan metode yang mereka gunakan berbeda. Konsep reformasi Islam yang ditawarkan al-Afghani lebih menekankan pada upaya reformasi di bidang politik. Dalam hal ini, al-Afghani menawarkan dua konsep pembaruan di bidang politik, yaitu mengganti sistem pemerintahan otokrasi dengan sistem pemerintahan demokratis dan menggagas Pan-Islam, yakni persatuan seluruh umat Islam.
Kemudian, untuk merealisasikan gagasannya ini, al-Afghani pun lebih banyak bergerak di lapangan politik. Bahkan, sebagian besar kehidupan dan petualangan al-Afghani dihabiskan di jalur politik. Strategi politik yang dianut al-Afghani pun cenderung keras. Menurut catatan Nikki R. Keddie, al-Afghani bahkan setuju dengan aksi-aksi kilat dan keras seperti pembunuhan, perang, intrik, dan pemberontakan.[45]
Rupanya cara dan strategi pembaruan al-Afghani tidak efektif dan tidak banyak memberikan hasil, walaupun memberikan pengaruh yang besar bagi upaya pembaruan Islam selanjutnya. Tentang hal ini, Nikki R. Keddie berkomentar bahwa al-Afghani akan menjadi figur yang efektif jika ia lebih banyak menghabiskan konsentrasinya untuk organisasi dan pendidikan politik, ketimbang menghabiskan energinya untuk aksi politik yang hanya menemui kegagalan.[46]
Langkah ini berbeda jauh dengan strategi yang ditempuh oleh muridnya, yakni Muhammad Abduh. Walaupun pernah berkecimpung dalam aktivisme politik bersama gurunya, tetapi akhirnya Abduh menjauhkan diri dari dunia revolusionisme dan beralih pada pendekatan yang lebih evolusioner dan damai.[47] Hal ini bisa dilihat dari gagasan pembaruan atau reformasi Islam yang dicanangkan Abduh, yakni pembaruan teologi Islam, membebaskan umat Islam dari taklid, restrukturisasi dan pembaruan pendidikan Islam, serta melakukan reformasi doktrin Islam berdasarkan pemikiran modern.
Walaupun memiliki banyak kesamaan dengan al-Afghani dalam hal pemikiran, tetapi jalan yang ditempuh Abduh berbeda dengan jalan yang ditempuh oleh gurunya tersebut. Menurut Harun Nasution, Abduh bukan seorang revolusioner seperti al-Afghani, yang ingin mengadakan perubahan dalam waktu singkat. Abduh adalah seorang pendidik yang ingin mengadakan reformasi lewat jalur pendidikan. Walaupun memakan waktu yang panjang, tetapi cara ini memberikan fondasi yang kokoh. Inilah perbedaan di antara kedua tokoh pembaru ini; yang satu menghendaki pembaruan umat melalui pembaruan negara, sedangkan yang satu lagi menginginkan pembaruan negara melalui pembaruan umat.[48]
E. Penutup
Sudah satu abad lebih gagasan pembaruan dan reformasi Islam dicetuskan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Akan tetapi, kondisi umat Islam masih belum berubah. Kemunduran, kebodohan, bahkan cengkeraman kolonialisme dengan wajah baru masih menyelimuti tubuh umat Islam. Hal ini bukan berarti gerakan reformasi Islam yang digagas kedua tokoh pembaru ini tidak berhasil. Dalam beberapa hal memang sudah membuahkan hasil, tetapi belum tuntas.
Maka, sudah semestinya generasi selanjutnya meneruskan langkah yang sudah digagas oleh al-Afghani dan Abduh ini. Melanjutkan gagasan al-Afghani dan Abduh bukan berarti mengambilnya secara persis. Zaman sudah berbeda, situasi dan kondisi yang dihadapi pun sudah berubah. Adalah langkah bijak jika gagasan besar tersebut diambil semangatnya untuk kemudian diselaraskan dengan konteks masa kini. Tentu hal ini dengan tetap mengacu pada tujuan awal reformasi Islam, yakni mengangkat derajat umat dan membawanya kepada gerbang kemajuan. []
DAFTAR PUSTAKA
Esposito, John L. (ed.). Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, terj. Eva Y.N., dkk. Bandung: Mizan, 2001.
Haddad, Yvonne. “Muhammad Abduh: Perintis Pembaruan Islam”, dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1996.
Haroen, Nasrun (ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.
“Jamaluddin al-Afghani: Penentang Imperialisme Barat”, dalam Republika, edisi Kamis, 6 Agustus 2009.
Keddie, Nikki R. “Sayyid Jamaluddin al-Afghani”, dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1996.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron A. Mas’adi, Bagian Ketiga. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.
Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Rasionalisme Mu’tazilah. Jakarta: UI-Press, 1987.
_______. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 2001.
Nurdin, Muh. Hermawan Ibnu. “Pemikiran Politik Islam Jamaluddin al-Afghani”, dalam www.klipingpilihanku.blogspot.com, 17 November 2009.,
Rais, M. Amien. “Kata Pengantar”, dalam John L. Donohue dan John L. Esposito (peny.), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah, terj. Machnun Husein. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
Sanaky, Hujair A. “Dinamika Gerakan Kebangkitan Islam”, dalam www.sanaki.com, 17 November 2009.
Shihab, M. Quraish. “Syaikh Muhammad Abduh dan Karakter Tafsirnya”, dalam Muhammad Abduh, Tafsir Juz ‘Amma, terj. Muhammad Bagir. Bandung: Mizan, 2001


Pembaharuan Di Mesir



Pendahuluan

Sebagaimana telah dikemukakan dalam makalah sebelumnya bahwa pembaharuan dalam Islam itu timbul dalam masa periode sejarah Islam yang disebut modern dan mempunyai tujuan untuk membawa ummat Islam pada suatu kemajuan.
Maka jika kita membahas tentang Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam dalam Masyarakat Mesir, terlebih dahulu kita harus mengetahui siapa-siapa saja tokoh-tokoh yang ikut berperan dalam pembaharuan ummat Islam di Mesir baik dari segi politik, kemasyarakatan, agama ataupun pendidikan serta bagaimana sistem pembaharuannya.
Tokoh-tokoh di Mesir merupakan salah satu jalan bagi ummat Islam untuk mengawali perubahan dan menjadikan ummat Islam untuk lebih memahami Agama Islam, dengan demikian pemakalah membahas tentang Tokoh-Tokoh Pembaharuan di Mesir, diantaranya yaitu: Muhammad Ibnu Abdul Wahab, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Qasyim Amin.



TOKOH-TOKOH PEMBAHARUAN DI MESIR

1. PEMBAHARUAN MUHAMMAD IBNU ABDUL WAHAB

Muhammad bin Abdul Wahab ibn Sulaiman ibn Ali bin Muhammad ibn Rasyid ibn Bari ibn Musyarif ibn Umar ibn Muanad Rais ibn Zhahir ibn Ali Ulwi ibn Wahib, lahir pada tahun 1703 dan meninggal pada tahun 1787 M. di Uyainah, daerah Nejeb Saudi Arabia . Ia seorang pembaharu di Arabia , pengikut paham Ibnu Taimiyah dan bermazhab Hambali.[1] Pelajaran agama sangat digemarinya, sejak kecil ia telah belajar ilmu agama pada ayahnya seorang Qadhi di Uyainah. Dengan kecerdasannya, dalam usia 10 tahun ia hafal Al-Qur’an.
Muhammad ibnu Abdul Wahab adalah seorang yang sangat sibuk mengembara ke berbagai daerah untuk menuntut ilmu pengetahuan, kemudian ia sampai ke Bagdad dan di sinilah kemudian ia menikah dengan wanita kaya. Setelah lima tahun istrinya meninggal dan ia mendapatkan warisan sebesar 2000 dinar. Setelah itu ia kembali mengembara ke Kurdistan selama dua tahun, di Hamadan dua tahun dan pernah pula ke Isfahan , Qum ( Iran ). Perjalanannya ke berbagai daerah ternyata sangat bermanfaat baginya, bahkan ia melihat beberapa penyimpangan-penyimpangan akidah, yang diantaranya ialah:[2]
a. Ia melihat kuburan atau makam para ulama syekh atau guru tarikat yng bertebaran di tiap kota ataupun desa ramai dikunjungi oleh masyarakat islam, dengan maksud memohon penyelesaian atas persoalan hidup sehari-hari.
b. Aspek lain yang menjadi perhatinnya adalah masalah Taqlid. Taqlid merupakan sumber kebekuan ummat Islam itu sendiri, disamping itu untuk memahami ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadist, orang harus melakukan ijtihad, karena itu pintu ijtihad tidak pernah ditutup dan tidak perlu ditutup.

Dalam hal tauhid ini Muhammad ibnu Abdul Wahab memusatkan perhatiannya terhadap pokok-pokok pikirannya, yang berpendapat bahwa:[3]
1. Yang boleh dan harus disembah itu hanyalah Tuhan, dan orang yang menyembah selain dari Tuhan telah menjadi musyrikn dan boleh dibunuh.
2. Kebanyakan orang Islam bukan menganut faham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan lagi pada Tuhan, tetapi dari syekh atau wali dan dari kekuatan gaib.
3. Menyebut nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai pengantara dalam do’a juga merupakan syirik.
4. Meminta syafaat selain dari kepada Tuhan dan bernazar kepada selain Tuhan juga syirik.
5. Memperoleh pengetahuan selain dari Al-Qur’an, Hadits dan Qias (analogi) merupakan kekufuran.
6. Tidak percaya pada qada dan qadar Tuhan juga merupakan kekufuran.
7. Demikian pula menafsirkan Al-Qu’ran dengan ta’wil adalah kufur.

Semua yang diatas dianggap bid’ah dan bid’ah adalah kesesatan. Kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek lain yang timbul sesudah zaman itu bukanlah ajaran Islam yang asli dan harus ditinggalkan. Dengan demikian taqlid dan patuh kepada pendapat ulama tidak dibenarkan. Muhammad ibnu Abdul Wahab bukanlah hanya seorang teroris tetapi juga pemimpin yang dengan aktif berusaha mewujudkan pemikirannya. Ia mendapat dorongan dari Muhammad ibn Su’ud dan putranya Abd al-Aziz di Nejd . Tahun 1787 Muhammad Abduh meninggal dunia, tetapi ajarannya tetap hidup dengan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiah.[4]

Pemikiran-pemikiran Muhammad ibnu Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad kesembilan belas adalah sebagai berikut:[5]
1. Hanya Al-Qur’an dan Haditslah yang merupakan sumber asli ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama tidak merupakan sumber.
2. Taklid kepada ulama tidak dibenarkan.
3. Pintu ijtihad terbuka dan tidak tertutup.

2. PEMBAHARUAN MUHAMMAD ALI PASYA

Muhammad Ali, adalah seorang keturunan Turki yang lahir di Kawalla, Yunani, pada tahun 1765, dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. orang tuanya bekerja sebagai seorang penjual rokok dan dari kecil Muhammad Ali telah harus bekerja. Ia tak memperoleh kesempatan untuk masuk sekolah dengan demikian dia tidak pandai menulis maupun membaca, meskipun ia tak pandai membaca atau menulis, namun ia adalah seorang anak yang cerdas dan pemberani, hal itu terlihat dalam karirnya baik dalam bidang militer ataupun sipil yang selalu sukses.[6]
Setelah dewasa, Muhammad Ali Pasya bekerja sebagai pemungut pajak dan karena ia rajin bekerja jadilah ia kesenangan Gubernur dan akhirnya menjadi menantu Gubernur. Setelah kawin ia diterima menjadi anggota militer, karena keberanian dan kecakapan menjalankan tugas, ia diangkat menjadi Perwira. Pada waktu penyerangan Napoleon ke Mesir, Sultan Turki mengirim bantuan tentara ke Mesir, diantaranya adalah Muhammad Ali Pasya, bahkan dia ikut bertempur melawan Napoleon pada tahun 1801.[7] Rakyat Mesir melihat kesuksesan Muhammad Ali dalam pembebasan mesir dari tentara Napoleon, maka rakyat mesir mengangkat Muhammad Ali sebagai wali mesir dan mengharapkan Sultan di Turki merestuinya. Pengakuan Sultan Turki atas usul rakyatnya tersebut baru mendapat persetujuannya dua tahun kemudian, setelah Turki dapat mematahkan Intervensi Inggris di Mesir.
Setelah Muhammad Ali mendapat kepercayaan rakyat dan pemerintah pusat Turki, ia menumpas musuh-musuhnya, terutama golongan mamluk yang masih berkuasa di daerah-daerah akhirnya mamluk dapat ditumpas habis. Dengan demikian Muhammad Ali menjadi penguasa tunggal di Mesir, akan tetapi lama kelamaan ia asyik dengan kekuasaannya, akhirnya ia bertindak sebagai diktator. Pada waktu Muhammad Ali meminta kepada sultan agar Syiria diserahkan kepadanya, Sultan tidak mengabulkannya. Muhammad Ali Pasya marah dan menyerang dan menguasai Syiria bahkan serangan sampai ke Turki. Muhammad ali dan keturunannya menjadi raja di Mesir lebih dari satu setengah abad lamanya memegang kekuasaan di Mesir. Terakhir adalah Raja Farouk yang telah digulingkan oleh para jenderalnya pada tahun 1953. Dengan demikian berakhirlah keturunan Muhammad Ali di Mesir.,[8]
Kalau diteliti lebih mendalam, maka terkesan bahwa Muhammad Ali walaupun tidak pandai membaca dan menulis, akan tetapi ia seorang yang cerdas, tanpa kecerdasan ia tidak akan mendapat kekuasaan dan tujuan akhirnya adalah untuk menjadi penguasa umat Islam, ia adalah seorang yang ambisius menjadi pimpinan umat Islam.
Hal-hal ini memberi gambaran tentang apa yang dikehendaki Muhammad Ali sebenarnya, pengetahuan tentang soal-soal pemerintahan, militer dan perekonomian, yaitu hal-hal yang akan memperkuat kedudukannya. Ia tak ingin orang-orang yang dikirimnya ke Eropa, menyelami lebih dari apa yang perlu baginya, dan oleh karena itu mahasiswa-mahasiswa itu berada dibawah pengawasan yang ketat.[9] Mereka tak diberi kemerdekaan bergerak di Eropa. Tetapi, dengan mengetahui bahasa-bahasa Eropa, terutama Prancis dan dengan membaca buku-buku Barat seperti karangan-karangan Voltaire, Rousseau, Montesquieu dna lain-lain, timbullah ide-ide baru mengenai Demokrasi, Parlemen, pemilihan wakil rakyat, paham pemerintahan republic, konstitusi, kemerdekaan berfikir dan sebagainya.
Pada mulanya perkenalan dengan ide-ide dan ilm-ilmu baru ini hanya terbatas bagi orang-orang yang telah ke Eropa dan yang telah tahu bahasa Barat. Kemudian faham-faham ini mulai menjalar kepada orang-orang yang tak mengerti bahasa Barat, pada permulaannya dengan perantaraan kontak mereka dengan mahasiswa-mahasiswa yang kembali dari Eropa dan kemudian dengan adanya terjemahan buku-buku Barat itu kdalam bahasa arab. Yang penting diantara bagian-bagian tersebut bagi perkembangan ide-ide Barat ialah bagian Sastra. Di tahun 1841, diterjemahkan buku mengenai sejarah Raja-raja Perancis yang antara lain mengandung keterangan tentang Revolusi Perancis. Satu buku yang serupa diterjemahkan lagi tahun 1847.[10]

Pembaharuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Ali :
1. Politik luar negeri
Muhammad Ali menyadari bahwa bangsa mesir sangat jauh ketinggalan dengan dunia Barat, karenanya hubungan dengan dunia Barat perlu diperbaiki seperti Perancis, Itali, Inggris dan Austria . Menurut catatan antara tahun 1813-1849 ia mengirim 311 pelajar Mesir ke Itali, Perancis, Inggris dan Austria . Selain itu dipentingkan pula ilmu Administrasi Negara, akan tetapi system politik Eropa tidak menarik perhatian Muhammad Ali.
2. Politik dalam negeri
a. Membangun kekuatan militer.
b. Bidang pemerintahan.
c. Ekonomi.
d. Pendidikan.

Sepintas pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali hanya bersifat keduniaan saja, namun dengan terangkatnya kehidupan dunia ummat Islam sekaligus terangkat pula derajat keagamaannya. Pembaharuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Ali merupakan landasan pemikiran dan pembaharuan selanjutnya. Pembaharuan Muhammad Ali dilanjutkan oleh tahtawi, Jalaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan murid-murid Muhammad Abduh lainnya.

3. PEMBAHARUAN AL-TAHTAWI

Al-Tahtawi adalah Rifa’ah Badawi Rafi’I, Al-tahtawi lahir pada tahun 1801 M. di Tanta (Mesir Selatan), dan meninggal di Kairo pada tahun 1873. Dia adalah seorang pembawa pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di pertengahan pertama dari abad ke-19 di Mesir. Dalam gerakan pembaharuan Muhammad Ali Pasya, al- Tahtawi turut memainkan peranan. Ketika Muhammad Ali mengambil alih seluruh kekayaan di Mesir harta orang tua al-Tahtawi termasuk dalam kekayaan yang dikuasai itu. Ia terpaksa belajar di masa kecilnya dengan bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16 tahun, ia pergi ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Setelah lima tahun menuntut ilmu ia selesai dari studinya di Al-Azhar pada tahun 1822.[11]
Ia adalah murid kesayangan dari gurunya Syaikh Hasan al-‘Atthar yang banyak mempunyai hubungan dengan ahli-ahli ilmu pengetahuan Perancis yang datang dengan Napoleon ke Mesir. Syaikh Al-Attar melihat bahwa Tahtawi adalah seorang pelajar yang sungguh-sungguh dan tajam pikirannya, dan oleh karena itu ia selalu memberi dorongan kepadanya untuk senantiasa menambah ilmu pengetahuan. Setelah selesai dari study di Al-Azhar, Al-Tahtawi mengajar disana selama dua tahun, kemudian diangkat menjadi imam tentara di tahun 1824. Dua tahun kemudian dia diangkat menjadi imam mahasiswa-mahasiswa yang dikirim Muhammad ali ke Paris . Disamping tugasnya sebagai imam ia turut pula belajar bahasa Perancis sewaktu ia masih dalam perjalanan ke Paris . [12]
Buku-buku yang dibaca Al-Tahtawi mencakup berbagai ilmu pengetahuan, dan ujiannya yang terakhir di Paris pun adalah dalam lapangan terjemahan. Sekembalinya di Kairo ia diangkat sebagai guru bahasa Prancis dan penerjemah di sekolah Kedokteran. Di tahun 1836 didirikan “Sekolah Penerjemahan” yang kemudian diubah namanya menjadi “Sekolah Bahasa-bahasa Asing”. Bahasa yang diajarkan adalah Arab, Perancis, Turki, Itali dan juga ilmu-ilmu teknik, sejarah serta ilmu bumi. Salah satu jalan kesejahteraan menurut Al-Tahtawi adalah berpegang teguh pada agama dan akhlak (budi pekerti) untuk itu pendidikan merupakan sarana yang penting.
Dalam hal agama dan peranan ulama, al-Tahtawi menghendaki agar para ulama selalu mengikuti perkembangan dunia modern dan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan modern.
Diantara hasil-hasil karyanya yang terpenting adalah:[13]
a. Takhlisul Abriiz Ila Takhrisu Bariiz.
b. Manahijul Bab Al-Mishriyah fi Manahijil Adab al-Ashriyah.
c. Al-Mursyid al-amin lil banaat wal banien.
d. Al-Qaulus sadid fiijtihadi wat taliid.
e. Anwar taufiq al-jalil fi akhbari mishra wa tautsiq bani Isra’il.


4. PEMBAHARUAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI

Jamaludin al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan yang tempat tinggal dan aktifitasnya berpindah-pindah dari satu negara ke negara Islam lainya pengaruh terbesar yang ditinggalkannya adalah di Mesir, oleh karena itu uraian mengenai pemikiran dan aktivitasnya dimasukkan kedalam bagian tentang pembaharuan di dunia Arab. Jamaludin al-Afghani lahir di Afghanistan pada tahun 1839 M. dan meninggal dunia pada tahun 1897 M. Dalam silsilah keturunannya al-afghani adalah keturunan Nabi melalui Sayyidina Ali ra. Ketika baru berusia duapuluh dua tahun ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana Menteri.[14]
Kemudian al-Afghani merasa lebih aman apabila meninggalkan tanah tempat lahirnya dan pergi ke India di tahun 1869. tetapi di India dia juga merasa tidak bebas untuk bergerak karena negara ini telah jatuh ke bawah kekuasaan Inggris, oleh karena itu ia pindah ke Mesir di tahun 1871. Ia menetap di Kairo, pada mulanya menjauhi persoalan-persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatian pada bidang ilmiah dan sastra Arab.[15]
Tetapi ia tidak lama dapat meninggalkan lapangan politik. Di tahun 1876 turut campur tangan Inggris dalam soal politik di Mesir makin meningkat. Ketika itu ide-ide al-Tahtawi sudah mulai meluas di kalangan masyarakat Mesir, diantaranya ide trias politica dan patriotisme, maka pada tahun 1879 atas usaha Al- Afghani terbentuklah partai Al-Hizb al-Watani (partai nasional). [16]
Tujuan partai ini untuk memperjuangkan pendidikan universal dan kemerdekaan pers. Atas sokongan partai ini al-Afghani berusaha menggulingkan Raja Mesir yang berkuasa waktu itu, yakni Khedewi Ismail. Masa delapan tahun menetap di Mesir itu mempunyai pengaruh yang tidak kecil bagi umat Islam disana menurut M.S. Madkur, al-Afghanilah yang membangkitkan gerakan berpikir di Mesir sehingga negara ini dapat mencapai kemajuan. “Mesir modern,”demikian Madkur, “ adalah hasil dari usaha-usaha Jamaludin al-Afghani”.[17]
Selama di Mesir al-Afghani mengajukan konsep-konsep pembaharuannya, antara lain:[18]
a) Musuh utama adalah penjajahan (Barat), hal ini tidak lain dari lanjutan perang Salib.
b) Ummat Islam harus menantang penjajahan dimana dan kapan saja.
c) Untuk mencapai tujuan itu ummat Islam harus bersatu (Pan Islamisme).
Pan Islamisme bukan berarti leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu, tetapi mereka harus mempunyai satu pandangan bersatu dalam kerja sama. Persatuan dan kerja sama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam.
Untuk mencapai usaha-usaha pembaharuan tersebut di atas:[19]
a) Rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan ketakhayulan.
b) Orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai tingkat atau derajat budi luhur.
c) Rukun Iman harus betul-betul menjadi pandangan hidup, dan kehidupan manusia bukan sekedar ikutan belaka.
d) Setiap generasi ummat harus ada lapisan istimewa untuk memberikan pengajaran dan pendidikan pada manusia-manusia bodoh dan juga memerangi hawa nafsu jahat dan menegakkan disiplin.

Selama delapan tahun menetap di Mesir ia pergi ke Paris , disini ia mendirikan perkumpulan “Al-Urwatul Wusqa” yang anggotanya terdiri dari orang-orang Islam dan India , Mesir, Suria, Afrika Utara dan lain-lain. Diantara tujuan yang ingin dicapai ialah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa Islam kepada kemajuan. Kemudian di Paris inilah ia bertemu dengan muridnya yang setia yaitu Muhammad Abduh dan kemudian ia kembali ke Istambul, sampai akhir hayatnya.[20]


5. PEMBAHARUAN SYEKH MUHAMMAD ABDUH

Muhammad Abduh lahir di desa Mahillah di Mesir Hilir, ibu bapaknya adalah orang biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Ia lahir pada tahun 1849, tetapi ada yang mengatakan bahwa ia lahir sebelum tahun itu, tetapi sekitar tahun 1845 dan beliau wafat pada tahun 1905. Ayahnya bernama Abduh ibn Hasan Khairillah, silsilah keturunan dengan bangsa Turki, dan ibunya mempunyai keturunan dengan Umar bin Khatab, khalifah kedua (khulafaurrasyidin).[21]
Orang tuanya sangat memperhatikan terhadap pendidikannya, pada tahun1862 ia dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di mesjid Ahmadi yang terletak di desa Tanta . Hanya dalam waktu enam bulan ia berhenti karena tidak mengerti apa yang diajarkan gurunya. Setelah belajar di Tanta pada tahun 1866 ia meneruskan ke perguruan tinggi di Al-Azhar di Kairo, disinilah ia bertemu dengan Jamaludin al-Afghani dan kemudian ia belajar filsafat di bawah bimbingan Afghani, di masa inilah ia mulai membuat karangan untuk harian al-Ahram yang pada saat itu baru didirikan. Pada tahun 1877 studinya selesai di al-Azhar dengan hasil yang sangat baik dan mendapat gelar Alim. Kemudian ia diangkat menjadi dosen al-Azhar disamping itu ia mengajar di Universitas Darul Ulum.[22]
Dalam peristiwa pemberontakan Urabi Pasya (1882)
Muhammad Abduh ikut terlibat didalamnya, sehingga ketika pemberontakan berakhir, ia diusir dari Mesir. Dalam pembuangannya ia memilih di Syiria ( Beirut ) di sini ia mendapat kesempatan mengajar pada perguruan tinggi Sultaniah, kurang lebih satu tahun lamanya. Kemudian ia pergi ke Paris atas panggilan Sayyid Jamaludin al-Afghani, yang pada waktu itu tahun1884 sudah berada disana. Muhammad Abduh kebetulan diperkenankan pulang ke Mesir, sedang Jamaluddin mengembara di Eropa kemudian terus ke Moskow.
Di Mesir Muhammad Abduh diserahi jabatan Mufti Mesir, disamping itu ia diangkat menjadi anggota Majelis Perwakilan (Legilative Council), Muhammad Abduh pernah juga di serahi jabatan hakim Mahkamah, dan di dalam tugas ini ia dikenal sebagai seorang Hakim yang adil.
Pokok-pokok pikiran Muhammad Abduh dapat disimpulkan dalam empat aspek, yaitu:[23]
Pertama, aspek kebebasan, antara lain; dalam usaha memperjuangkan cita-cita pembaharuannya, MuhammadAbduh memperkecil ruang lingkupnya, yaitu Nasionalisme Arab saja dan menitikberatkan pada pendidikan.
Kedua, aspek kemasyarakatan, antara lain usaha-usaha pendidikan perlu diarahkan untuk mencintai dirinya, masyarakat dan negaranya. Dasar-dasar pendidikan seperti itu akan membawa kepada seseorang untuk mengetahui siapa dia dan siapa yang menyertainya.
Ketiga, aspek keagamaan, dalam masalah in Muhammad Abduh tidak menghendaki adanya taqlid, guna memenuhi tuntutan ini pintu ijtihad selalu terbuka.
Keempat, aspek pendidikan antara lain, al-Azhar mendapatkan perhatian perbaikan, demikian juga bahasa Arab dan pendidikan pada umumnya cukup mendapat perhatiannya.
Menurut Muhammad Abduh bahasa Arab perlu dihidupkan dan untuk itu metodenya perlu diperbaiki dan ini ada kaitannya dengan metode pendidikan. System menghafal diluar kepala perlu diganti dengan system penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari.[24]

6. PEMBAHARUAN RASYID RIDHA

Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di Al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Ia berasal dari keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu ia memakai gelar Al-sayyid depan namanya. Semasa kecil ia dimasukkan ke madrasah tradisional di Al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca Al-Qur’an di tahun 1882, ia melanjutkan pelajaran di Al-Madrasah al-Wataniah Al-Islamiah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli .[25]
Di Madrasah ini, selain bahasa arab diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis, dan disamping pengetahuan-pengetahuan agama juga pengetahuan-pengetahuan modern. Sekolah ini didirikan oleh Al-Syaikh Husain Al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern, tetapi umur sekolah tersebut tidak panjang. Kemudian Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli .[26]
Disamping itu Rasyid Ridha memperoleh tambahan ilmu dan semangat keagamaan melalui membaca kitab-kitab yang ditulis al-Ghozali, antara lain Ihya Ulumuddin sangat mempengaruhi jiwa dan kehidupannya, terutama sikap patuh pada hukum dan baktinya terhadap agama. Rasyid Ridha mulai mencoba dan menerapkan ide-idenya ketika masih berada di Suria, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak kerajaan Usmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas, karena itu ia memutuskan pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Pada tahun 1898 M. Rasyid Ridha hijrah ke Mesir untuk menyebarluaskan pembaharuan di Mesir. Dan dua tahun kemudian ia menerbitkan majalah yang diberi nama “al- Manar” untuk menyebarluaskan ide-idenya dalam pembaharuan.[27]
Pada dasarnya pokok pikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan gurunya, terutama dalam titik tolak pembaharuannya yang berpangkal dari segi keagamaan, tuntutan adanya kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidahnya maupun dari segi amaliyahnya. Menurut pendapat dari Rasyid Ridha ummat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, dan perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Disamping itu sebab-sebab yang membawa kemunduran ummat Islam, karena faham fatalisme, ajaran-ajaran tariqad atau tasawuf yang menyeleweng semua itu membawa kemunduran ummat Islam menjadi keterbelakangan dan menjadikan ummat tidak dinamis.
Dalam hubungannya dengan akal pikiran, Rasyid ridha berpendapat bahwa derajat akal itu lebih tinggi, akan tetapi hanya dapat dipergunakan dalam masalah kemasyarakatan saja, tidak dapat dipergunakan dalam masalah ibadah. Diantara aktivis beliau dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga yang dinamakan dengan “al-dakwah wal irsyad” pada tahun 1912 di kairo.
Para lulusan dari seoah ini akan dikirim ke negeri mana saja yang membutuhkan bantuan mereka. Kemudian melalui majalah al-Manar ia menjelaskan bahwa inggris dan perancis yang berusaha membagi-bagi daerah arab ke dalam kekuasaannya masing-masing. Bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh Rasyid Ridha adalah bentuk kekhalifahan yang tidak absolute, kholifah hanya bersifat koordinator, tidaklah mungkin menyatukan ummat islam ke dalam satu system pemerintahan yang tunggal, karena khalifah hanya menciptakan hukum perundang-undangan dan menjaga pelaksanaannya.[28]
Rasyid Ridha menyadari pertentangan yang makin ada diantara nasionalisme dan kesetiaan kepada persatuan Islam. Menurutnya paham nasionalisme bertentangan dengan paham ummat Islam, karena persatuan dalam Islam tidak mengenal perbedaan bangsa dan bahasa. Meskipun Rasid Ridha berguru pada Muhammad Abduh, tetapi dalam hal pembaharuan mereka memiliki perbedaan. Muhammad Abduh lebih luas pergaulannya,disamping itu penguasaan bahasa asing lebih menguasai dibanding Rasyid Ridha.
Perbedaan antara guru dan murid tersebut sangat terlihat, misalnya dalam hal paham-paham teologi dan jujga dalam Tafsir al-Manar, ketika murid memberi komentar terhadap uraian guru. Sedangkan dalam masalah teologi, Muhammad Abduh menafsirkan ayat-ayat Mutajassimah secara filosofis rasional, sedangkan Rasyid Ridha menafsirkan apa adanya ia tidak mentakwil.[29]
Rasyid Ridha sebagai ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan selalu berjuang selama hayatnya, ia meninggal pada tanggal 23 jumadil ula 1354/ 22 agustus 1935, ia meninggal dunia dengan aman sambil memegang Al-Qur’an ditangannya.

7. PEMBAHARUAN QASYIM AMIN
Qasyim Amin lahir dipinggiran kota Kairo pada tahun 1863, ayahnya keturunan Qurdi, tetapi menetap di Mesir, ia belajar hukum di Mesir kemudian melanjutkan ke Perancis sebagai mahasiswa tugas belajar dari pemerintah untuk memperdalam ilmu hukum, setelah selesai dan pulang ke Mesir ia bekerja pada pengadilan Mesir. Dalam hal pembaharuan di masyarakat ia lebih mengutamakan dalam hal memperbaiki nasib wanita.
Ide inilah yang kemudian dikupas Qasyim Amin dalam bukunya tahrir al-mar’ah (“emansipasi wanita”). Wanita yang terbelakang dan jumlahnya sekitar seperdua dari jumlah penduduk Mesir, merupakan hambatan dalam pelaksanaan pembaharuan, karena itu kebebasan dan pendidikan wanita perlu mendapat perhatian. Ide Qasyim Amin yang banyak menimbulkan reaksi di zamannya ialah pendapat bahwa penutupan wajah wanita bukanlah ajaran Islam.[30]
Tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist adalah ajaran yang mengatakan bahwa wajah wanita murupakan aurat dan oleh karena itu harus ditutup. Penutupan wajah adalah kebiasaan yang kemudian dianggap sebagai ajaran Islam.
Dan karena kritik dan protes terhadap ide inilah Qasyim Amin melihat bahwa ia perlu memberi jawaban yang keluar dalam bentuk buku bernama al-mar’ah al-jadilah (“wanita modern”). Ide-ide ini, tentu ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju, tapi sekarang ini usaha itu sudah dapat dirasakan hasilnya.[31]



Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam pembaharuan di Mesir sangat banyak sekali tokoh-tokoh yang berperan penting dalam sistem pembaharuannya, yang diantaranya yaitu Muhammad Ibnu Abdul Wahab, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Qasyim Amin.
Meskipun mereka berperan dalam pembaharuan Mesir, tetapi cara mereka dalam bidang pembaharuan Mesir mengalami suatu perbedaan, diantaranya: pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad ibnu Abdul Wahab menyangkut masalah pada bidang akidah yang telah mengalami banyak penyelewengan, seperti yang terjadi pada tarekat yang permohonan dan doanya ditujukan kepada syekh dan guru tarekat bukan kepada Allah SWT. Yang pada intinya adalah syirik dan syirik adalah dosa besar. Kemudian pembaharuan Muhammad Ali Pasya yang dilaksanakan untuk kemajuan ummat Islam dalam hal kekuatan militer, ekonomi, pendidikan dan bidang pemerintahan baik dalam negeri maupun luar negeri.
Dalam pembaharuan Al-Tahtawi pembaharuannya berpegang pada agama dan akhlaq dalam kesejahterakan ummat Islam, pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani menganggap musuh umat Islam adalah penjajah maka dari itu ummat Islam harus bersatu dalam menentang penjajah, pembaharuan Muhammad abduh yang bersumber pada aspek kebebasan, kemasyarakatan, keagamaan, dan pendidikan.
Menurut Rasyid Ridha paham nasionalisme harus dihapus dan di singkirkan karena bertentangan dengan paham persatuan ummat Islam, dan yang terakhir pembaharuan Qasyim Amin dalam memperbaiki nasib pendidikan wanita (emansipasi wanita) lebih diutamakan.



DAFTAR PUSTAKA

Abidin Ahmad, H. Zainal, 1979, Sejarah Islam dan Ummatnya, Bulan Bintang, Jakarta .

Asmuni, Yusran, 1998, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam dunia Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta .

Ris’an, Rusli, 2005, Pemikiran Teologi Modern dalam Islam, IAIN Raden Fatah Press, Palembang

Mufrodi , Ali, 1997, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Logos Wacana Ilmu, Jakarta .

Nasution, Harun, 2003, Pembaharuan Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta .




PEMBAHARUAN DI TURKI ; SULTAN MAHMUD II,
TANZIMAT,
USMANI MUDA DAN TURKI MUDA

PENDAHULUAN
Pada abad pertengahan Dunia Barat telah maju, ditandai dengan beberapa kemajuan dan penemuan teknologi modern.
Islam sudah masuk ke daerah Turki mulai abad Hijriyah dan Islam berkembang dengan pesat , bangsa Turki mencapai puncak kemegahan dari tahun 1520-1566 kemudian mendapat gelar orang sakit (The Sick Men) karena bangsa Turki akhirnya juga lumpuh pada abad ke-19.
Pembaharuan di Turki ini, meliputi empat fase pembaharuan yang dimulai oleh Sultan Mahmud II, yang mengubah madrasah tradisional tanpa pengetahuan umum menjadi madrasah yang berpengetahuan umum. Tanzimat yaitu usaha untuk mengatur dan memperbaiki struktur organisasi pemerintahan sementara Usmani Muda dan Turki Muda ingin mengubah sistem pemerintahan konstitusional bukan dengan kekuasaan absolut.

PEMBAHASAN
Pada abad pertengahan Dunia Barat telah maju, ditandai dengan beberapa kemajuan dan penemuan teknologi modern seperti kaca lensa (1250), alat percetakan (1450), dan lain-lain. Perkembangan IPTEK ini disamping menimbulkan hal-hal yang positif adapula yang negatif, sedangkan umat Islam dibelahan bagian timur sedang bersimpuh dibawah penindasan dan juga terlena dibawah sisa kemegahan kurturnya di masa silam yang telah sirna, namun dibelahan barat (Asia Barat) kurang lebih tahun 1300 telah berdiri pula Kerajaan Turki, namun mereka kurang berbudaya. Mereka hanya mengandalkan kemajuan militer, keberanian dan fisik mereka yang kuat, namun mereka ini merupakan ancaman bagi Eropa.
Puncak kemajuan Turki tersebut berada pada zaman Sultan Mahmud II, antara lain pada tahun 1453 dapat menaklukkan Byzantium Romawi. dari Istanbul, mereka menguasai daerah sekitar laut tengah dan berabad-abad lamanya Turki sebagai suatu negara yang perlu diperhatikan dan diperhitungkan oleh ahli-ahli politik dari Eropa.[1]
A. PEMBAHARUAN DI TURKI
Bangsa Turki adalah bangsa yang pemberani dan disiplinnya sangat tinggi, bangsa campuran dari bangsa Mongol dan bangsa lainnya di Asia Tengah ini. Sebelum mereka masuk Islam, mereka memeluk agama Majusi, Budha atau agama besar lainnya.
Mulai abad pertama Hijriyah, Islam telah masuk ke daerah Turki dan dalam perjalanannya dari masa ke masa Islam berkembang dengan pesatnya di daerah itu. Pada tahun 1037 Turki dapat menguasai kekhalifahan Abassiyah, akan tetapi akhirnya lumpuh oleh bangsa Mongol, kecuali bangsa Turki yang dipimpin oleh Ertughril yang selanjutnya menjelma menjadi Turki Usmani yang puncak kemegahannya dari tahun 1520-1566 dibawah pemerintahan Sulaiman I, namun akhirnya juga lumpuh pada abad ke-19 dan mendapat sebutan orang sakit (The Sick Men).
Meskipun Turki mendapat gelar (sebutan) The Sick Men, tetapi sebenarnya berkat ketekunan para penbaharu dan para tokoh-tokoh negara itu dapatlah bangkit kembali dengan mengadakan beberapa fase modernisasi :
a. Usaha Rasyid Pasya (1839), yaitu sentralisasi pemerintahan dan modernisasi angkatan bersenjata.
b. Usaha dari Fuad, Namik, Ali Pasya dan Midat Pasya (1861-1876) terutama bidang pendidikan, Bank Nasional, hukum dan Perundang-undangan.
c. Usaha Turki Muda (1896-1918) yang berusaha dan bertujuan :
1. Reorganisasi negara secara modern
2. Nasionalisme Turki
3. Kesatuan bangsa, negara dan bahasa.
d. Usaha Kemal Pasya :
1. Ke dalam ialah menetapkan Undang-Undang Dasar (1942) pelajaran membaca dan menulis latin, keharusan nama keluarga, perkawinan, emansipasi wanita dan rencana industri besar-besaran.
2. Ke luar, ialah perjanjian nonagressi dengan Irak, Iran, Afghanistan, dan lain-lain dalam perdamaian.[2]
Jadi, Islam sudah masuk ke daerah Turki mulai abad Hijriyah dan Islam berkembang dengan pesat , bangsa Turki mencapai puncak kemegahan dari tahun 1520-1566 kemudian mendapat gelar orang sakit (The Sick Men) karena bangsa Turki akhirnya juga lumpuh pada abad ke-19.

B. SULTAN MAHMUD II


Mahmud lahir pada tahun 1785 dan mempunyai didikan tradisional, antara lain pengetahuan agama, pengetahuan pemerintahan, sejarah dan sastra Arab, Turki dan Persia. Ia diangkat menjadi Sultan di tahun 1807 dan meninngal di tahun 1839.
Di bagian pertama dari masa kesultanannya ia disibukkan oleh peperangan dengan Rusia dan usaha menundukkan daerah-daerah yang mempunyai kekuasaan otonomi besar, peperangan dengan Rusia selesai di tahun 1812. Setelah kekuasaannya sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Usmani bertambah kuat, Sultan Mahmud II melihat bahwa telah tiba masanya untuk memulai usaha-usaha pembaharuan yang telah lama ada dalam pemikirannya.[3]
Sultan Mahmud II, dikenal sebagai Sultan yang tidak mau terikat pada tradisi dan tidak segan-segan melanggar adat kebiasaan lama. Sultan-sultan sebelumnya menganggap diri mereka tinggi dan tidak pantas bergaul dengan rakyat. Oleh karena itu, mereka selalu mengasingkan diri dan meyerakan soal mengurus rakyat kepada bawahan-bawahan. Timbullah anggapan mereka bukan manusia biasa dan pembesar-pembesar Negara pun tidak berani duduk ketika menghadap Sultan.
Tradisi aristokrasi ini dilanggar oleh Mahmud II. Ia mengambil sikap demokratis dan selalu muncul di muka umum untuk berbicara atau menggunting pita pada upacara-upacara resmi. Menteri dan pembesar-pembesar negara lainnya ia biasakan duduk bersama jika datang menghadap. Pakaiam kerajaan yang ditentukan untuk Sultan dan pakaian kebesaran yang biasa dipakai Menteri dan pembesar-pembesar lain ia tukar dengan pakaian yang lebih sederhana. Tanda-tanda kebesaran hilang, rakyat biasa dianjurkan pula supaya meninggalkan pakaian tradisional dan menukarnya dengan pakaian Barat. Perubahan pakaian ini menghilangkan perbedaan status dan sosial yang nyata kelihatan pada pakaian tradisional.
Kekuasaan-kekuasaan luar biasa yang menurut tradisi dimiliki oleh penguasa-penguasa Usmani ia batasi. Kekuasaan Pasya atau Gubernur untuk menjatuhkan hukum mati dengan isyarat tangan ia hapuskan. Hukuman bunuh untuk masa selanjutnya hanya bisa di keluarkan oleh hakim. Penyitaan negara terhadap harta orang yang dibuang atau dihukum mati juga ia tiadakan.
Sultan Mahmud II juga mengadakan perubahan dalam organisasi pemerintahan Kerajaan Usmani. Menurut tradisi Kerajaan Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan duniawi dan kekuasaan rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah. Dengan demikian, raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan, kekuasaan memerintah Negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam.[4]
Perubahan penting yang diadakan oleh Sultan Mahmud II dan yang kemudian mempunyai pengaruh besar pada perkembangan pembaharuan di Kerajaan Usmani ialah perubahan dalam bidang pendidikan. Seperti halnya di Dunia Islam lain di zaman itu, Madrasah merupakan satu-satunya lembaga pendidikan umum yang ada di Kerajaan Usmani. Di Madrasah hanya diajarkan agama sedangkan p-engetahuan umum tidak diajarkan. Sultan Mahmud II sadar bahwa pendidikan Madrasah tradisional tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman abad ke-19.
Di masa pemerintahannya orang kurang giat memasukkan anak-anak mereka ke Madrasah dan mengutamakan mengirim mereka belajar keterampilan secara praktis di perusahaan industri. Oleh karena itu, ia mengadakan perubahan dalam kurikulum Madrasah dengan menambah pengetahuan-pengetahuan umum di dalamnya, seperti halnya di Dunia Islam lain pada waktu itu memang sulit. Madrasah tradisional tetap berjalan tetapi disampingnya Sultan mendirikan dua sekolah pengetahuan umum. Mekteb-i Ma’arif (Sekolah Pengetahuan Umun) dan Mekteb-i Ulum-u Edebiye (Sekolah Sastra). Siswa untuk kedua sekolah itu dipilih dari lulusan Madrasah yang bermutu tinggi.
Selain itu, Sultan Mahmud II juga mendirikan Sekolah Militer, Sekolah Teknik, Sekolah Kedokteran dan Sekolah Pembedahan. Lulusan Madrasah banyak meneruskan pelajaran di sekolah-sekolah yang baru didirikannya. Selain dari mendirikan Sekolah Sultan Mahmud II juga mengirim siswa-siswa ke Eropa yang setelah kembali ke tanah air juga mempunyai pengaruh dalam penyebaran ide-ide baru di Kerajaan Usmani.
Pembaharuan-pembaharuan yang diadakan Sultan Mahmud II diataslah yang menjadi dasar bagi pemikiran dan usaha pembaharuan selanjutnya di Kerajaan Usmani abad ke-19 dan Turki abad ke-20.[5]





C. TANZIMAT
Istilah tanzimat berasal dari bahasa Arab dari kata Tanzim yang berarti pengaturan, penyusunan dan memperbaiki. Dalam pembaharuan yang diadakan pada masa tanzimat merupakan sebagai lanjutan dari usaha-usaha yang dijalankan oleh Sultan Mahmud II yang banyak mengadakan pembaharuan peraturan dan perundang-undangan. Secara terminologi tanzimat adalah suatu usaha pembaharuan yang mengatur dan menyusu serta memperbaiki struktur organisasi pemerintahan, sosial, ekonomi dan kebudayaan, antara tahun 1839-1871 M.
Tokoh-tokoh penting tanzimat antara lain : Mustafa Rasyid Pasya, Mustafa Sami, Mehmed Sadek Rif’at Pasya dan Ali Pasya seperti yang dijelaskan berikut ini :
1. Mustafa Rasyid Pasya (1880-1858)
Pemuka utama dari pembaharuan di zaman Tanzimat ialah Mustafa Rasyid Pasya, ia lahir di Istanbul pada tahun 1800, berpendidikan Madrasah kemudian menjadi pegawai pemerintah.
Mustafa Rasyid Pasya pada tahun 1034 diangkat menjadi Duta Besar untuk daerah Perancis, selain itu ia juga pernah diangkat menjadi Duita Besar Kerajaan Usmani di beberapa negara lain. Setelah itu ia dipanggil pulang untuk menjadi Menteri Luar Negeri dan p0ada akhirnya ia diangkat menjadi perdana Menteri.
Usaha pembaharuannya yang terpenting ialah sentralisasi pemerintahan dan modernisasi angkatan bersenjata pada tahun 1839.

2. Mustafa Sami Pasya (wafat 1855)
Mustafa Sami Pasya mempunyai banyak pengalaman di luar negeri antara lain di Roma, Wina, Berlin, Brussel, London, Paris dan negara lainnya sebagai pegawai dan duta.
Menurut pendapat Mustafa Sami Pasya, kemajuan bangsa Eropa terletak pada keunggulan mereka dalam lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab lain dilihatnya karena toleransi beragama dan kemampuan orang Eropa melepaskan diri dari ikatan-ikatan agama, disamping itu pula pendidikan universal bagi pria dan wanita sehingga umumnya orang Eropa pandai membaca dan menulis.
3. Mehmed Sadik Rif’at Pasya
Seorang pemuka tanzimat lain yang pemikirannya lebih banyak diketahui orang adalah Mehmed Sadik Rif’at Pasyayang lahir pada tahun 1807 dan wafat tahun 1856 M. Pendidikannya selesai di madrasah, ia melanjutkan pelajaran ke sekolah sastra, yang khusus diadakan untuk calon-calon pegawai istana.
Tahun 1834 ia diangkat menjadi Pembantu Menteri Luar negeri, tiga tahun kemudian ia diangkat menjadi Menteri Luar Negeri dan selanjutnya Menteri Keuangan.
Pokok-pokok pemikiran dan pembaharuannya ialah Sultan dan pembesar-pembesar negara harus tunduk pada undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. Negara harus tunduk pada hukum(negara hukum), kodifikasi hukum, administrasi, pengaturan hak dan kewajiban rakyat, reorganisasi, angkatan bersenjata, pendidikan dan keterampilan serta dibangunnya Bank Islam Usmani pada tahun 1840.
Ide-ide yang dicetuskan Sadik Rif’at pada zaman itu merupakan hal baru karena orang tidak mengenal peraturan, hukum, hak dan kebebasan. pada waktu itu petani lebih banyak menjadi budak bagi tuan tanah dan rakyat budak bagi Sultan. Pemikiran Sadik Rif’at sejalan dengan pemikiran Mustafa Rasyid Pasya yang pada waktu itu mempunyai kedudukan sebagai Menteri Luar Negeri.


4. Ali Pasya (1815-1871)
Beliau lahir pada tahun 1815 di Istanbul dan wafat tahun 1871, anak dari seorang pelayan tokoh. Dalam usia 14 tahun ia sudah diangkat menjadi pegawai. Tahun 1840 diangkat menjadiDuta Besar London dan sebelum menjadi Duta Besar ia sering kali menjadi staf Perwakilan Kerajaan Usmani di berbagai negara Eropa dan di tahun 1852 ia menggantikan kedudukan Rasyid Pasya sebagai Perdana Menteri.
Usaha pembaharuannya antara lain : tentang pengakuan semua aliran spiritual pada masa itu, jaminan melaksanakan ibadahnya masing-masing, larangan memfitnah karena agama, suku dan bahasa, jaminan kesempatan belajar, sistem peradilan dan lain-lainnya.
Pembaharuan yang dilaksanakan oleh tokoh-tokoh pembaharuandi zaman tanzimat tidaklah seluruhnya mendapat dukungan bahkan mendapat kritikan baik dari dalam atau di luar Kerajaan Usmani karena gerakan-gerakan tanzimat untuk mewujudkan pembaharuan didasari oleh pemikiran liberalisme Barat dan meninggalkan pola dasar syariat agama, hal ini salah satu sebab yang utama sehingga gerakan tannzimat mengalami kegagalan dalam usaha pembaharuannya.[6]

D. USMANI MUDA
Sebagaimana dikatakan bahwa pembaharuan yang diusahakan dalam tanzimat belumlah mendapat hasil sebagaimana yang diharapkan, bahkan mendapat kritikan-kritikan dari luar kaum cendekiawan. Kegagalan oleh tanzimat dalam mengganti konstitusi yang absolut merupakan cambuk untuk usaha-usaha selanjutnya. Untuk mengubah kekuasaan yang absolut maka timbullah usaha atau gerakan dari kaum cendikiawan melanjutkan usaha-usaha tanzimat. Gerakan ini dikenal dengan Young Ottoman-Yeni Usmanilar (Gerakan Usmani Muda) yang didirikan pada tahun 1865.[7]
Usmani muda pada asalnya merupakan perkumpulan manusia yang didirikan di tahun 1865 dengan tujuan untuk mengubah pemerintahan absolut kerajaan Usmani menjadi pemerintahan konstitusional. Setelah rahasia terbuka pemuka-pemukanya lari ke Eropa di tahun 1867 dan disanalah gerakan mereka memperoleh nama Usmani Muda. Para tokoh Usmani Muda banyak yang melakukan gerakan rahasia dalam menentang kekuasaan absolut Sultan. Namun sikap politik mereka itu akhirnya diketahui oleh Sultan. Akhirnya mereka banyak yang pergi ke Eropa dan disana mereka menyusun kekuatan. Maka setelah situasi Turki aman kembali, mereka pun banyak yang pulang ke tanah air dan meneruskan cita-cita mereka, terutama tentang ide-ide pembaharuan.[8]
Beberapa tokoh dari gerakan itu membawa angin baru tentang demokrasi dan konstitusional pemerintahan yang menjunjung tinggi kekuasaan rakyat bukan kekuasaan absolut. Diantara tokoh itu ialah : Zia Pasya, Nanik Kemal, dan Midhat Pasya.
a. Zia Pasya
Zia pasya lahir pada tahun 1825 di Istanbul dan meninggal dunia pada tahun 1880. Ia anak seorang pegawai kantor beacukai di Istanbul. Pendidikannya setelah selesai sekolah di Sulaemaniye yang didirikan Sultan Mahmud II dalam usia muda dia diangkat menjadi pegawai pemerintah, kemudian atas usaha Mustafa Rasyid Pasya pada tahun 1854 ia diterima menjadi salah seorang sekretaris Sultan. Disinilah ia dapat mengetahui tentang sistem dan cara Sultan memerintah dengan otoriter. Untuk keperluan tugas barunya, ia mempelajari bahasa Perancis dan dalam waktu yang singkat ia menguasai dan dapat menerjemahkan buku-buku Perancis ke dalam bahasa Turki. Karena terjadi kesalahpahaman dengan Ali Pasya maka ia pergi ke Eropa pada tahun 1867 dan tinggal disana selama lima tahun.[9] Ketika berada di Eropa itulah banyak pengalaman yang di dapatkannya. Beberapa pemikirannya akhirnya menjurus kepada usaha pembaharuan.
Usaha-usaha pembaharuannya antara lain, kerajaan Usmani menurut pendapatnya harus dengan sistem pemerintahan konstitusional, tidak dengan kekuasaan absolut. Menurutnya negara Eropa maju disebabkan tidak terdapat lagi pemerintahan yang absolut, semuanya dengan sistem pemerintahan konstitusional. Dalam sistem pemerintahan konstitusional harus ada Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian Zia mengemukakan hadis ”Perbedaan pendapat dikalangan umatku merupakan rahmat dari Tuhan”, sebagai alasan untuk perlu adanya Dewan Perwakilan Rakyat, dimana perbedaan pendapat itu ditampung dan kritik terhadap pemerintah dikemukakan untuk kepentingan umat seluruhnya. Sebagai orang yang taat menjalankan agama Islam, Zia sebenarnya tidak sepenuhnya setuju terhadap pembaharuan yang hanya mencomot ide-ide Barat tanpa sikap kritis. Itulah sebabnya dia lebih melihat kesesuaian antara kepentingan rakyat dengan ide pembaharuan yang datangnya dari Barat. Dalam hal demikian, ia juga tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwav agama Islam dapat dianggap sebagai penghalang kemajuan.
b. Midhat Pasya
Nama lengkapnya Hafidh Ahmad Syafik Midhat Pasya, lahir pada tahu 1822 di Istanbul. Pendidikan agamanya diperoleh dari ayahnya sendiri. Dalam usia sepuluh tahun ia telah hafal Al-Quran, oleh karena itu ia digelari Al-Hafidh. Pendidikannya yang tertinggi adalah pada Universitas Al-Fatih. Dia termasuk tokoh Usmani Muda yang mempunyai peranan cukup penting dalam ide pembaharuan. Ia anak seorang hakim agama yang dalam usia belasan tahun sudah menjadi pegawai di Biro Perdana Menteri. Tahun 1858 ia diberikan kesempatan untuk berkunjung ke Eropa selama enam bulan. Setelah itu beberapa saat kemudia, ia diangkat menjadi gubernur di berbagai daerah. Dengan kemampuan dan kecakapan yang luar biasa akhirnya Sultan mengangkatnya menjadi Perdana Menteri tahun 1872.
Ketika Sultan Abdul Hamid berkuasa menggantikan Sultan Murad V, ia diangkat kembali menjadi Perdana Menteri. Saat itu ada perjanjian langsungbahwa Sultan akan memberikan sokongan atas gerakan-gerakannya. Sultan juga nampaknya memberi angin segar atas pembaharuan kelompok Usmani Muda.
Beberapa langkah pembaharuan itu, seperti memperkecil kekuasaan kaum eksekutif dan memberikan kekuasaan lebih besar kepada kelompok legislatif. Golongan ini juga berusaha menggolkan sistem konstitusi yang sudah ditegakkan dengan memakai istilah terma-terma yang islami, seperti musyawarah untuk perwakilan rakyat, bai’ah untuk kedaulatan rakyat dan syariah untuk konstitusi. Dengan usaha ini sistem pemerintahan Barat lambat laun dapat diterima kelompok ulama dan Syaikh Al-Islami yang sebenarnya banyak menentang ide pembaharuan pada masa sebelumnya.[10]
Tanggal 23 Desember 1876 konstitusi yang bersifat semi-otokrasi di tanda tangani oleh Sultan Abdul Hamid. Isi dari konstitusi ini sebagian besar masih belum mencerminkan langkah nyata dari pembaharuan sistem pemerintahan, karena kekuasaan Sultan masih demikian besar. Salah satu contoh adalah pasal 113 dari Undang-Undang yang dibuat, berbunyi bahwa dalam keadaan darurat Sultan boleh memberikan pengumuman tertentu, dan boleh menangkap atau mengasih orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan negara.
Jadi, dari bunyi pasal tersebut Sultan masih diberi wewenang besar untuk menjalankan keputusan yang bersifat mutlak. Justru pasal ini nanti digunakannya untuk menangkap orang-orang yang tidak disenangi Sultan, termasuk diantaranya tokoh Usmani Muda Midhat Pasya ini.
c. Namik Kemal
Beliau termasuk pemikir terkemuka dari Usmani Muda, lahir pada tahun 1840 di Tekirdag. Dia berasal dari keluarga nigrat. Orangtuanya menyediakan pendidikan di rumah disamping pelajaran bahasa Arab, Persia, juga diberikan bahasa Perancis. Oleh karena itu, dalam usia yang sangat muda ia sudah menguasai berbagai bahasa. Dalam usia belasan tahun dia diangkat menjadi pegawai kantor penerjemah dan kemudian dipindahkan menjadi pegawai di istana Sultan.
Namik Kemal banyak dipengaruhi oleh pemikiran Ibrahim Sinasih (1826-1871) yang berpendidikan Barat dan banyak mempunyai pandangan modernisme. Nanik mempunyai jiwa Islami yang tinggi, sehingga walaupun ia berpengarug pemikiran Barat namun masih menjunjung tinggi moral Islam dalam ide-ide pembaharuannya,[11] menurutnya Turki saat ini mundur karena lemahnya politik dan ekonomi. Untuk bisa memajukan ekonomi dan politik Turki harus ada perubahan dalam sistem pemerintahan. Untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang ideal, penguasa harus menjunjung tinggi kepentingan rakyat. Karena kepentingan rakyat menjadi asas negara, maka negara mesti demokratis, yaitu pemerintahan yang didasarkan atas dukungan dan kepentingan. Yang dikehendaki oleh Nanik Kemal adalah pemerintahan demokrasi dan pemerintahan serupa ini menurut pendapatnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Negara Islam yang dibentuk dan dipimpin oleh empat khalifah besar, sebenarnya mempunyai corak demokrasi. Sistem bai’ah yang terdapat dalam pemerintahan Khilafah pada hakikatnya merupakan kedaulatan rakyat. Melalui bai’ah rakyat menyatakan persetujuan mereka tas pengangkatan khalifah yang baru. Dengan demikian. bai’ah merupakan kontrak sosial dan kontrak yang terjadi antara rakyat dan khalifah itu dapat dibatalkan jika khalifah mengabaikan kewajiban-kewajibannya sebagai Kepala Negara.
Di dalam Islam ada ajaran yang disebut al-maslahah al-’ammah dan ini sebenarnya adalah maslahat umum. Khalifah tidak boleh mengambil sikap atau tindakan yang bertentangan dengan maslahat umum. Maslahat umum oleh karena itu merupakan suatu bentuk dari pendapat umum. Khalifah harus selalu memperhatikan dan menghormati pendapat umum. Lebih lanjut lagi, musyawarah dasar penting dalam soal pemerintahan dalam Islam. Sistem musyawarah ini memperkuat corak demokrasi pemerintah Islam. Pembuat hukum dalam Islam ialah kaum ulama yang melaksanakan hukum adalah pemerintah.
Dengan membawa argumen-argumen seperti diatas, Namik Kemal berpendapat bahwa sistem pemerintahan konstitusional tidaklah merupakan bid’ah dalam Islam. Diantara ide-ide lain yang dibawa Namik terdapat cinta tanah air Turki, tetapi seluruh daerah kerajaan Usmani. Konsep tanah airnya tidak sempit. Sebagai orang yang dijiwai ajaran Islam, ia melihat perlunya diadakan persatuan seluruh umat Islam di bawah pimpinan Kerajaan Usmani, sebagai negara Islam yang terbesar dan terkuat di waktu itu.

E. TURKI MUDA
Setelah dibubarkannya parlemen dan dihancurkannya gerakan Usmani Muda, maka Sultan Abdul Hamid memerintah dengan kekuasaan yang lebih absolut. Kebebasan berbicara dan menulis tidak ada. Dalam suasana yang demikian timbullah gerakan oposisi terhadap pemerintah yang obsolut Sultan Abdul Hamid sebagaimana halnya di zaman yang lalu dengan Sultan Abdul Aziz. Gerakan oposisi dikalangan perguruan tinggi, mengambil bentuk perkumpulan rahasia, dikalangan cendekiawan dan pemimpin-pemimpinnya lari ke luar negeri dan disana melanjutkan oposisi mereka dan gerakan di kalangan militer menjelma dalam bentuk komite-komite rahasia. Oposisi berbagai kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan nama Turki Muda.
Tokoh-tokoh Turki Muda, antara lain adalah Ahmad Riza (1859-1930), Mehmed Murad (1853-1912) dan Pangeran Sahabuddin (1887-1948).
a. Ahmad Riza
Ahmad Riza adalah anak seorang bekas anggota parlemen bernama Injilis Ali. Dalam pendidikannya ia sekolah di pertanian untuk kelak dapat bekerja dan berusaha mengubah nasib petani yang malang dan studinya ini diteruskan di Perancis sekembalinya ia dari perancis ia bekerja di kementerian pertanian, tapi ternyata hubungan pemerintah dengan petani yang miskin sedikit sekali, karena kementerian itu lebih disibukkan dengan birokrasi. Kemudia ia pindah ke kementerian pendidikan namun disini juga disibukkan dengan birokrasi tapi kurang disibukkan dengan pendidikan.
Pembaharuan yang dilakukan oleh Ahmad Riza antara lain adalah ingin mengubah pemerintahan yang absolut kepada pemerintahan konstitusional. Karena menurutnya akan menyeleamatkan Kerajaan Usmani dari keruntuhan adalah melalui pendidikan dan ilmu pengetahuan positif dan bukan dengan teologi atau metafisika. Adanya dan terlaksananya program pendidikan yang baik akan berhajat pada pemerintahan yang konstitusional.
b. Mehmed Murad (1853-1912)
Mehmed Murad berasal dari Kaukasus dan lari ke Istanbul pada tahun 1873 yakni setelah gagalnya pemberontakan Syekh Syamil di daerah itu. Ia belajar di Rusia dan disanalahia berjumpa dengan ide-ide barat, namun pemikiran Islam berpengaruh pada dirinya.
Ia berpendapat bahwa bukanlah Islam yang menjadi penyebab mundurnya Kerajaan Usmani, dan bukanlah pula rakyatnya, namun sebab kemunduran ituterletak pada Sultan yang memerintah secara absolut. Oleh karena itu, menurutnya kekuasaan Sultan harus dibatasi. Dalam hal ini dia berpendapat bahwa musyawarah dalam Islam sama dengan konstitusional di dunia Barat. Ia mengusulkan didirikan satu Badan Pengawas yangtugasnya mengawasi jalannya undang-undang agar tidak dilanggar oleh pemerintah. Disamping itu diadakan pula Dewan syariat agung yang anggotanya tersusun dari wakil-wakil negara islam di Afrika dan Asia dan ketuanya Syekh Al-Islam Kerajaan Usmani.
c. Pangeran Sahabuddin (1887-1948)
Pangeran Sahabuddin adalah keponakan Sultan Hamid dari pihak ibunya, sedang dari pihak bapaknya adalah cucu dari Sultan Mahmud II, oleh karena itu ia keturunan raja. Namun ibu dan bapaknya lari ke Eropa menjauhkan diri dari kekuasaan Abdul Hamid, maka dengan demikian kehidupan Sahabuddin lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran Barat.
Menurutnya yang pokok adalah perubahan sosial, bukan penggantian Sultan. Masyarakat Turki sebagaimana masyarakat Timur lainnya mempunyai corak kolektif, dan masyarakat kolektif tidak mudah berubah dalam menuju kemajuan. Dalam masyarakat kolektif orang tidak percaya diri sendiri, oleh karena itu ia tergantung pada kelompok atau suku sedangkan masyarakat yang dapat maju menurutnya adalah masyarakat yang tidak banyak bergantung kepada orang lain tetapi sanggup berdiri sendiri dan berusaha sendiri untuk mengubah keadaannya.[12]



________________________________________
[1] Yusran Asmuni. PengantarStudi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.1998) hal. 11-12
[2] Ibid. hal 14-15
[3] Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. (Jakarta : PT. Bulan Bintang. 2003) hal. 83
[4] Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. (Jakarta : PT. Bulan Bintang. 1996) hal;93
[5] Ibid. hal. 95
[6] Yusran Asmuni. Loc. Cit. hal. 19-21
[7] Ibid. hal.21
[8] Muhammad Al-Bahy. Pemikiran Islam Modern. (Jakarta : Pustaka Panjimas. 1986) hal. 97
[9] Yusran Asmuni. Op. Cit. hal 22
[10] Muhammad Al-Bahy. Loc. Cit. hal 99
[11] Ibid. hal 100
[12] Hamka. Sejarah Umat Islam. (Singapura : Pustaka Nasional. 2005) hal. 603
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan bahwa pemabaharua-pembaharuan yang dilakukan oleh Sultan Mahmud II merupakan landasan atau dasar bagi pemikiran dan usaha pembaharuan selanjutnya, antara lain : pembaharuan tanzimat, pembaharuan di kerajaan usmani abad ke-19 dan Turki abad ke-20. Dimana tanzimat yang dimaksudkan adalah suatu usaha pembaharuan yang mengatur dan menyusun serta memperbaiki struktur organisasi pemerintahan tetapi tanzimat ini belum berhasil seperti yang diharapkan oleh tokoh-tokoh penting tanzimat, yaitu Mustafa Rasyid Pasya, Mustafa Sami, Mehmed Sadek, Rif’at Pasya dan Ali Pasya.
Kemudian dilanjutkan dengan pembaharuan Usmani Muda, dimana usaha-usaha pembaharuannya adalah untuk mengubah pemerintahan dengan sistem konstitusional tidak dengan kekuasaan absolut setelah dibubarkannya parlemen dan dihancurkannya usmani muda dilanjutkan dengan pembaharuan turki muda.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bahy, Muhammad.1986. Pemikiran Islam Modern. Jakarta : Pustaka Panjimas.
Asmuni, Yusran. 1998. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Hamka. 2005. Sejarah Umat Islam. Singapura : Pustaka Nasional Pte Ltd.
Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : PT. Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 2003. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : PT. Bulan Bintang


ALIRAN PEMBAHARUAN (BARAT, ISLAM DAN NASIOANLIS)


PENDAHULUAN

Dalam pembaharuan di kerajaan Usmani, dapat dilihat adanya tiga golongan pembaharuan. Pertama, golongan Barat yang ingin mengambil peradaban Barat sebagai dasar pembaharuan. Bagi golongan kedua, golongan Islam, dasar itu seharusnya adalah Islam. Golongan ketiga, golongan nasionalis Turki, yang timbul paling kemudian, melihat bahwa bukan peradaban Barat dan bukan Islam yang harus dijadikan dasar, tetapi nasionalisme Turki.
Untuk dapat memahami pembaharuan yang dianjurkan oleh ketiga golongan tersebut perlu diketahui terlebih dahulu identitas masing-masing. Betulkah golongan Barat mengingini westernisasi, dalam arti meniru segala apa yang ada di Barat? Dan golongan Islam, siapakah mereka? Apakah mereka golongan yang disebut tradisionalis, yang ingin mempertahankan tradisi yang semenjak lama telah ada pada umat Islam? Ataukah mereka termasuk golongan yang disebut modernis, yang ingin kembali kepada ajaran-ajaran dasar dalam Islam seperti terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits dan mengadakan interpretasi yang sesuai dengan zaman modern? Dan golongan nasionalis Turki, apa pendirian mereka terhadap agama? Betulkah mereka mempunyai faham sekularisme?
PEMBAHASAN
TIGA ALIRAN PEMBAHARUAN BARAT, ISLAM DAN NASIONALIS

Perkembangan modernisasi di Turki semakin melaju ke depan dengan membawa visi beraneka ragam sesuai kepentingan yang melatarbelakanginya. Pada gerakan sebelumnya dikenal adanya kebangkitan Usmani Muda dan Turki Muda yang banyak memberi corak atas pemikiran rakyat Turki, terutama kepada penguasa dan kaum terpelajar di sana. Pada makalah ini, dibahas warna khas dari gerakan yang ada di Turki. Sebagaimana dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa gerakan pada fase ini terbagi kepada tiga kelompok, yaitu; pertama gerakan yang berorientasi dan masih berpegang secara ketat pada prinsip Islam yang disebut Islamisme. Kedua, gerakan yang banyak mengadopsi ( mengambil ) pemikiran, sikap hidup berdasarkan pola-pola kehidupan Barat, atau terilhami oleh Barat ( terbaratkan ). Kelompok ini dinamakan Westernisme. Ketiga, gerakan yang menitikberatkan ke dalam terutama menyembulkan aspek keaslian Turkisme atau lebih tepat secara kenegaraan mereka selalu mementingkan sikap, pola pikir dan tindakan nasional. Mereka tidak mau mengambil sesuatu yang berbau Barat dan juga tidak mengambil sesuatu yang terilhami oleh perasaan keagamaan ( Islam ). Sehingga para patriotisme yang tinggi membawa mereka lebih mengutamakan nasionalitas di atas segala-galanya. Kelompok yang berpaham demikian dinamakan Nasionalisme. ( Sani, 1998:110 )
Walaupun perlu digarisbawahi bahwa dorongan tertinggi atas semua kelompok ide pembaharuan itu pada prinsipnya mengacu nilai Islam, namun ada golongan yang lebih mementingkan Baratnya daripada Islam, atau sebaliknya mementingkan Islam secara prinsip tanpa memandang enteng ( dengan merasa masih cukup penting ) peradaban Barat. Dan ada pula golongan yang mementingkan perasaan nasional Turki walaupun mereka pada dasarnya juga orang Islam.


A. Aliran Barat ( Westernisasi )

Westernisme dalam Islam ( kebarat-baratan ) golongan atau gerakan yang mengajak umat Islam untuk menerima pengetahuan Barat dan semua yang datang dari Barat. ( Sunanto, 2005:304 )
Pada golongan ini selain orang-orang Barat yang mempunyai idealisme Barat, juga tokoh intelegensia Turki sendiri yang terbaratkan dalam pemikiran dan perilakunya. Apalagi dalam hal ini Turki merupakan bagian dari Eropa Timur ( beberapa wilayah Turki pada masa itu berada di Eropa timur ), yang hanya agama saja berbeda dengan orang Barat, namun mereka berada pada posisi geografis yang memungkinkan untuk menyerapkan ide Barat secara sempurna. Dari sisi ini gagasan Barat nampak amat sesuai dengan kondisi Turki yang ingin menapak maju modern. Golongan ini karena banyak mengkonsumsi pemikiran Barat dalam semua aspeknya, maka mereka disebut golongan Westernisme.
Gerakan Westernisme, juga menggolkan ide-ide sekularisme dalam basis kekuatannya. Mereka berusaha mengadopsi pemikiran Barat secara intensif, sehingga aspek sosial kemasyarakatan selalu diteropong dengan pandangan-pandangan sekular.
Golongan terdiri dari beberapa tokoh yang dalam gerakan pembaharuan di Turki sebelumnya juga banyak mengedepankan pemikiran Barat secara intensif, namun tokoh yang dianggap paling mutakhir adalah Tawfik Fikret ( 1867-1951 ) seorang pemikir sekaligus sastrawan yang banyak mengkritik dan menentang kaum tradisional. Dan satunya lagi adalah Abdulllah Jewdat ( 1869-1932 ). Seorang intelektual bergelar Doktor yang dianggap pendiri Perkumpulan Persatuan dan Kemajuan. Mereka ini merupakan orang yang cukup gigih dalam mendorong perjalanan pembaharuan Turki dengan gagasan-gagasan Barat. (Sani, 1998:116-117 ).
Tawfik Fikret banyak melontarkan pemikiran kritikan terhadap ulama tradisional yang dianggapnya telah membawa umat Islam ke dalam situasi fatalis. Umat Islam pada masa itu sangat tergantung kepada paham keagamaan tradisional. Sedangkan paham tradisional itu dalam banyak hal telah membawa kemunduran, seperti berserah total kepada nasib, memberikan gambaran tentang kekuasaan dan keadilan Tuhan selalu sewenang-wenang dan seperti seorang raja yang zalim. Pendapat ulama tradisional itu, dikecam Fikret sehingga ia banyak dimusuhi para ulama.
Dalam banyak hal pemikiran golongan Barat secara umum mempunyai kesamaan. Dapat dilihat dalam pemikiran Abdullah Jewdat. Ia menganggap bahwa kelemahan umat Islam pada saat itu bukan terletak pada ajaran Islam tapi pada sistem sosial dan kekhalifahan. Yang perlu diubah adalah Kerajaan Usmani bukan sultan. Begitu juga tentang Islam, yang perlu diubah adalah umatnya. Selama ini keadaan umat Islam terjangkiti sikap bodoh, malas, patuh kepada ulama secara membuta, walaupun ulamanya itu bodoh. Hal-hal yang diajarkan oleh ulama bodoh itu dianggap ajaran Islam. Mereka terperangkap dalam perilaku demikian karena menganggap benar. Akhirnya pemikiran tokoh ini pun dianggap musuh ulama dan Islam saat itu. ( Sani, 1998:117 )
Golongan Barat tidak setuju dengan konsep kenegaraan. Negara bagi mereka harus bersifat sekuler, dalam arti harus dipisahkan dari agama, seperti halnya di Barat. Tetapi karena masih terikat pada ajaran Islam, mereka tidak mempunyai konsep yang jelas mengenai cara pemisahan itu. Konsep din-u-devlet masih besar pengaruhnya dalam masyarakat dan disamping itu wujudnya telah diperkuat pula oleh Konstitusi 1876. oleh karena itu mereka menganjurkan supaya sekularisasi diadakan bukan terhadap negara, tetapi terhadap masyarakat. ( Nasution, 1996: 134 )
Dalam bidang pendidikan golongan Barat ingin membawa kebebasan mimbar, kebebasan berdiskusi, olahraga, pekerjaan tangan, dan sebagainya. Guru harus mengetahui ilmu jiwa dan ilmu sosial. Tujuan pendidikan ialah membina pemuda yang dapat berdiri sendiri, cerdas, jujur dan patriotis. Pendidikan agama harus dibersihkan dari supervisi dan ke dalam kurikulumnya dimasukkan logika dan ilmu pengetahuan modern. ( Nasution, 1996: 138 )
Dalam bidang ekonomi, kemunduran menurut golongan Barat disebabkan oleh keengganan orang Turki untuk menerima peradaban Barat dan tetapnya mereka berpegang pada tradisi dan institusi yang telah usang. Keadaan ekonomi dapat diperbaiki hanya dengan menerima sistem ekonomi Barat dengan corak kapitalisme, liberalisme, individualisme dan ide bekerja untuk penumpukan harta yang terdapat di dalamnya. Juga harus diterima pemikiran liberal Barat dan kemajuan teknologinya. Sikap mental ketimuran yang dipengaruhi oleh faham fatalisme dan rasa benci pada perubahan harus dihilangkan.
Beberapa pemikiran mereka yang lain adalah tentang nasionalitas. Menurut mereka, Barat saat ini maju karena menerapkan rasionalitas dalam hidupnya. Rasionalitas itu juga dianggap tiang dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Begitu juga terhadap agama, bangsa Barat hanya mau menganut agama rasional. Karena bangsa Barat dapat dianggap guru, maka segala yang berbau Barat mesti diambil. Murid mesti taat pada guru. ( Sani, 1998:117-118 )
Semua aspek-aspek penting yang dapat mendorong kemajuan dianggap oleh golongan Barat sebagai ideologi baru yang mampu membangkitkan modernisasi Turki dan rakyatnya. Ditilik dari segi ini, jelas bahwa mereka akan berusaha sekuat tenaga menafsirkan Islam sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan kata lain, Islam diusahakan selalu cocok dengan pemikiran modern. Kalau tidak cocok, bukan pemikiran modernnya yang keliru melainkan nilai Islamnya belum dapat diserasikan. Rasa bersimpati terhadap Barat dan semua aspeknya, bahkan bisa jadi mendorong mereka akan mengambil sesuatu yang negatif, asalkan nilai itu memang datang dari Barat. ( Sani, 1998:119 )
Terlepas dari itu semua, nuansa pembaharuan di Turki memang mempunyai citra tersendiri yang boleh jadi malah dianggap unik. Mengingat pertarungan ide untuk mengedepankan masing-masing kepentingan dengan tujuan yang sama yaitu menghantarkan Turki kepada kemajuan adalah dianggap hal yang wajar bagi semua negara berkembang dan bahkan pernah jaya pada masa sebelumnya. Dari sini, yang dilihat secara keseluruhan nampaknya tidak bisa dipungkiri bahwa pembaharuan atau modernisasi Turki dianggap sepenuhnya bernilai positif.

B. Aliran Pembaharuan Islam

Kriteria Islam yang dijadikan patokan kelompok ini dalam menggagas pembaharuan tanpa membedakan latar belakang keturunan, suku bangsa. Tokoh penting yang berperan dalam mempertahankan prinsip Islam sebagai dasar pembaharuan di Turki adalah Mehmed Akif ( 1870-1936 ). Ia sangat respek terhadap nilai-nilai Islam sehingga segala sesuatu perlu dicermati dalam kacamata Islam.
Menurut pendapat Mehmed Akif, agama Islam tidak pernah menghambat kemajuan. Sebagai perbandingan menurutnya bangsa Jepang dapat maju karena mengambil kemajuan Barat. Yang mereka ambil adalah ilmu pengetahuan dan teknologinya. Bukan agama dan perilaku moralnya. Sedangkan Islam malah sebaliknya yaitu mengambil peradaban ( perilakunya ), dan ini penting menurut mereka. ( Sani, 1998:112 ). Kaum intelegensi Turki suka sekali meniru Barat, jadi, letak kemunduran umat Islam bukan pada agamanya, melainkan pada sikap yang keliru dalam mengambil sesuatu yang datangnya dari Barat.
Menurut golongan Islam, kelemahan umat Islam selama ini tidak terletak pada syari’at. Tapi terletak pada syari’at yang tidak dijalankan oleh umat Islam terutama oleh Khalifah Usmani. Agar umat Islam tidak mundur, maka syari’at ini perlu dijalankan. Lebih lanjut, selama ini pemerintahan di Turki tidaklah dapat dikatakan pemerintahan Islam, karena nilai Islam tidak dijalankan dalam sistem kekhalifahan, jadi menurut golongan ini Kerajaan Usmani bukanlah kerajaan Islam.
Golongan Islam di sini amat kuat berpegang kepada prinsip tradisional tanpa mengadakan dan mencerna gagasan Barat. Dengan kata lain mereka kembali kepada dasar-dasar ajaran Islam baik Al-Qur’an maupun Hadits tanpa mengadakan interpretasi terhadap ajaran itu dan tidak pula mau menyesuaikannya dengan tuntutan zaman. Ciri khas demikian lebih banyak mewarnai gagasan-gagasan mereka, yang dianggap mewakili Islam tradisional.
Pemikiran yang cukup aktual pada masa itu adalah tentang pakaian wanita. Golongan Islam sangat anti dengan kebebasan pakaian wanita. Terkait dengan pakaian wanita, golongan ini tidak sependapat dengan konsep Barat yang menerapkan hak dan kewajiban wanita sama dengan laki-laki, sebagaimana dalam konsep emansipasi yang didengung-dengungkan. Tinggi rendahnya martabat wanita bukan terletak pada pakaian dan kebebasannya, melainkan pada ketaatannya menjalankan syari’at. Menurut Musa Kazim, seorang tokoh golongan ini, wanita tidak dapat diberikan status dan hak yang tinggi karena ia mempunyai emosional. Kalau wanita diberikan hak yang sama dengan laki-laki, sudah dapat dipastikan tiap wanita akan pergi ke Mahkamah menuntut perceraian, hal demikian akan membuka seluruh rahasia rumah tangga yang tadinya tersimpan rapi. ( Sani, 1998:114 )
Walaupun golongan Islam ini dianggap tradisional menurut penilaian Harun Nasution, namun mereka tidak pernah menolak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang datangnya dari Barat. Mereka sependapat tentang masuknya pengetahuan umum dalam kurikulum sekolah madrasah. Walaupun demikian, mereka menolak konsep sekularisasi yang diterapkan melalui modernisasi pendidikan. Pendidikan yang diterapkan hendaknya mengacu kepada nilai-nilai Islam, tanpa itu kerontokan moral tidak mudah dapat dihindari. Hanya agamalah yang dapat menyelamatkan mereka dari dekadensi moral tersebut. ( Sani,1998:115 )
Golongan Islam tidak menentang kemajuan ekonomi dan pemuka mereka, Ahmed Nazmi menganjurkan supaya umat Islam mempelajari dasar-dasar dan hukum ekonomi modern. Yang mereka tentang ialah faham kapitalisme dan individualisme yang terdapat di dalam sistem ekonomi Barat. Tetapi juga mereka menolak sosialisme dan komunisme, karena keduanya bersama dengan kapitalisme tergolong dalam hal-hal buruk yang ditimbulkan peradaban Barat. Bunga uang mereka samakan dengan riba, dan oleh karena itu masyarakat yang menghalalkan bunga uang, dalam pandangan mereka pasti akan runtuh dan hancur. Makin banyak praktek bunga uang dijalankan makin banyak kapital yang dimonopoli kaum kapitalis, dan makin meningkat kemiskinan dalam masyarakat demikian. Asuransi juga dianggap riba dalam bentuk lain oleh sebagian dari golongan Islam. Sebagian lain berpendapat bahwa asuransi membawa kepada kekufuran karena di dalam asuransi terdapat faham tidak percaya pada qadha dan qadhar Tuhan. Pembaharuan yang diingini golongan Islam amat terbatas. Mereka lebih banyak mempertahankan status quo daripada mengadakan perubahan dalam institusi-institusi tradisional Kerajaan Usmani. ( Nasution, 1996:140 )
Dari uraian-uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pembaharuan yang dikehendaki golongan Islam ialah membuat Kerajaan Usmani sempurna sifat ke-Islamannya. Hukum yang dipakai di dalamnya harus hukum Islam dan pimpinan negara harus terletak di tangan kaum ulama.

C. Aliran Pembaharuan Nasionalisme

Aliran Nasionalisme ini adalah mereka yang sudah berusaha sekuat tenaga mencoba berbagai alternatif dalam memecahkan berbagai problema kehidupan rakyat Turki, dan bahkan mereka dianggap telah mengambil sintesis antara aliran westernisme dengan islamisme. Usaha ini mereka lakukan untuk kepentingan yang lebih mendesak mengingat terpecahnya berbagai golongan di Turki karena banyaknya kepentingan di antara rakyat.. Beberapa tokoh penting yang perlu dicatat antara lain: Yusuf Akcura ( 1876-1933 ), Zia Gokalp ( 1875-1924 ), dan Mustafa Kemal Attaturk ( 1881-1938 ).
Yusuf Akcura merupakan tokoh pembaharu yang mengedepankan pemikiran penghimpunan masyarakat Turki. Ia berusaha menyatukan visi masyarakat Turki baik yang ada di wilayah itu maupun mereka yang berada di Rusia ( Kazan ), Krimea dan Azarbaijin sebagai satu bangsa. Pada saat itu ada tiga kekuatan yang selalu berbeda di dalam kerajaan Usmani. Mereka dari golongan Islam, Rakyat Turki dan Rakyat bukan Islam. Bagi mereka ini yang terpenting menghidupkan perasaan nasional terhadap tanah airnya sendiri. Persatuan serupa hanya bisa kuat kalau mereka diikat oleh perasaan satu agama dan satu bangsa. Karena kesatuan demikian amat sulit sebab ada tantangan lain dari rakyat Rusia, maka yang perlu ditumbuhkan adalah sikap nasionalisme.
Ide demikian dikembangkan lagi oleh Zia Gokalp seorang yang dianggap pendiri Nasionalisme Turki. ia lahir di Diyabakr dan setelah menamatkan sekolah tinggi modern yang mengajarkan berbagai pengetahun umum termasuk bahasa Perancis, lalu memasuki Sekolah Dokter Hewan di Istambul. Pengetahuan agama Islam seperti bahasa Arab, filsafat, teologi dan tasawuf ia dapatkan dari pamannya.
Nasional yang dipahamkan orang selama ini, menurutnya keliru. Perasaan nasional tumbuh selama ini hanya didasarkan atas bangsa, bukan berdasarkan kebudayaan. Kebudayaan sangat luas, dan bersifat unik, nasional dan subyektif. karena berdasarkan kebudayaan, maka Turki Usmani yang ada selama ini adalah bersifat nasional yang secara geografi terbatas pada wilayah kekuasaan Republik Turki saja.
Selama ini menurut Zia, kebudayaan Turki seperti masih kabur dan menghilang dikalahkan oleh kebudayaan Islam. Untuk dapat menumbuhkan kebudayaan Turki itu, rakyat Turki perlu mengikis tradisi-tradisi, konstitusi-konstitusi berdasarkan Islam yang selama ini dianggap banyak melahirkan kemunduran. Kebudayaan nasional pun akhirnya dapat dihidupkan.
Dalam kehidupan bernegara, Turki tidak perlu memakai syari’at Islam sebagai dasar negara. Negara hanya dapat berjalan berdasarkan perundangan negara bukan agama. Agama perlu dipisahkan secara tegas dari kepentingan negara, begitu juga sebaliknya. Secara administrasi, negara Turki perlu menata sistem pemerintahannya. Misalnya kekuasaan Syaikh Islam harus dihapuskan dan dikembalikan kepada parlemen, pemindahan Mahkamah Syari’at dari jurisdiksi Syaikh al-Islam kepada Kementerian Kehakiman, begitu juga pemindahan madrasah dari kekuasaan Syaikh itu kepada Kementerian Pendidikan. Walaupun Mahkamah Syari’at bisa diperlukan, namun fungsinya dialihkan kepada aktivitas muamalat semata. Jadi soal-soal diniah memang berada pada ulama dan soal-soal kenegaraan berada pada umara. Dengan demikian negara mutlak berdasarkan nilai-nilai sekuler.
Golongan Nasionalis, juga menolak pendapat para ulama tradisional tentang bunga bank. Menurut Mansurizade, salah seorang tokoh golongan ini, bunga bank itu tidak riba dan haram. Yang diharamkan dalam Al-Qur’an bukanlah penyewaan uang, tetapi penjualan uang. Riba baik di dalam Al-qur’an maupun dalam Hadits digambarkan sebagai soal jual beli. Imam-imam besar dalam mazhab fiqh buka di Bab riba, tapi di Bab Ijarah ( sewa menyewa ). Jadi yang diharamkan disini menjual uang bukan penyewaan atau peminjaman. Penyewaan dan peminjaman itu halal, yang diharamkan adalah riba.
Golongan nasionalis Turki juga mengingini pembaharuan dalam status kaum wanita. Wanita menurut Zia Gokalp diikut sertakan dalam pergaulan sosial dan kehidupan ekonomi. Juga mereka harus diberi hak yang sama dalam soal pendidikan, perceraian dan warisan. Poligami juga harus dihapuskan. ( Gibb, 1993: 73 )
Dalam bidang pendidikan, mereka berusaha menciptakan sistem pendidikan yang khusus sesuai dengan kebudayaan Nasional Turki sendiri yang berasaskan nilai-nilai sekuler modern, tidak berdasarkan Islam. ( Thalhas, 2002: 18 )
Berbeda dengan tokoh-tokoh nasionalisme di atas, Mustafa Kemal Attaturk merupakan tokoh nasionalis yang berusaha menggabungkan semua kepentingan, baik Islam, Barat maupun perasaan keturkian. Walaupun ide keislaman yang paling terkebelakang dalam perimbangan kepentingan dibandingkan dengan ide-ide nasionalisme dan ide Barat, namun Islam tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pemikiran Mustafa Kemal Attaturk.
Ide-ide pembaharuan Attaturk merupakan penggabungan dari nilai Islam, westernisasi, dan nasionalisme. Walaupun yang paling menonjol adalah usaha westernisasi dengan ditopang oleh nasionalisme yang kokoh. Dalam persoalan bernegara, ia memang berusaha membangun suatu konstitusi baru.
Apa yang dilakukan oleh Attaturk dalam proyek westernisasi dan sekularisasinya, sebenarnya secara formal hanya meneruskan ide-ide para nasionalis dan westernisasi sebelumnya. Namun langkah-langkah yang diambilnya lebih praktis, karena ia memakai kekuasaan. Sebagai pemimpin tertinggi Turki pada masa itu, program pembaharuannya walaupun mendapat tantangan dari golongan ulama tradisional namun ia tetap berpegang teguh kepada rancangan yang sudah ditetapkan.
Walaupun Republik Turki berusaha menjadi negara sekuler, namun sesungguhnya ia masih belum sepenuhnya menjadi sekuler. Menurut Harun Nasution, Attaturk sungguh pun berusaha mambangun Turki modern sebagaimana negara Barat, namun ia tidak sampai menghilangkan agama. Dengan kata lain agama masih diperhatikan oleh agama.
Attaturk memang sangat melarang sesuatu yang berbau agama, terutama yang berhubungan dengan negara, seperti sebutan Turki sebagai negara Islam, para ulama yang mempunyai wewenang dan kekuasaan mengurusi negara dengan dasar keulamaannya. Selain itu, ia juga melarang partai-partai yang mengatasnamakan agama, seperti Partai Islam, Partai Kristen, dan sebagainya. Segala yang berhubungan dengan kepentingan negara mesti dibebaskan dari pengaruh dan kekuasaan agama.
Terkait dengan kedudukan Attaturk sebagai seorang perancang negara yang sekularistik, ternyata jiwanya boleh dianggap sebagai seorang yang kuat dalam memahami Islam. Menurutnya, Islam adalah agama yang rasional yang sangat diperlukan oleh umat Islam. Tapi agama yang rasional ini telah dirusak oleh umatnya. Oleh sebab itu ia melihat perlu diadakan pembaharuan keagamaan. Al-Qur’an menurutnya perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Turki supaya mudah dipahami.
Ide-ide yang dikemukakan Attaturk dianggap sebagai pemikiran yang radikal pada saat itu. Namun nyatanya, dalam proses dan perkembangan eksistensi tiga golongan gerakan pembaharuan yang ada di Turki, maka dua kekuatan ( Islam dan Barat ) dianggap gagal memenuhi hasrat rakyat Turki. Kendati masyarakat Turki lebih banyak beragama Islam, namun dasar-dasar gerakan yang menamakan ”Islam” sebagai basis kekuatan nampaknya begitu kaku dan amat tradisional. Bahkan terkesan hanya sekedar label Islamnya, namun intinya berisi ”kekuatan lama” yang ditunggangi oleh kekuatan khalifah Usmani. Sedangkan kelompok Barat, dinilai tidak mengakar pada khazanah peradaban Turki, hanya lebih terfokus pada Baratnya sebagai nilai.
Ini dengan Attaturk, yang dalam banyak hal memang mengambil dasar-dasar pemikiran Barat sebagai inspirasi pembaharuannya. Namun ia bisa menumbuhkan semangat nasionalisme ( peradaban Turki ) dalam berbagai dimensi, sehingga dengan secara sadar rakyat Turki lebih memilih model yang ditawarkan Attaturk.
Hal lain yang menguntungkan, menurut Harun Nasution, bahwa saat itu model argumen nasionalisme sebagai motivasi kebangkitan hidup bernegara di sebagian besar negara Islam dianggap trendi dan mampu menarik simpati. Sehingga manakala nasionalisme dijadikan isu gerakan berbangsa-bernegara, tentu saja membuat banyak negara Islam akan mencoba gaya baru isu kenegaraan tersebut. Selebihnya, tentu saja karena rangsangan kebangkitan nasionalisme itu didorong oleh penjajahan Barat yang saat itu dianggap maju, dari kesadaran tentang kemajuan Barat itu. Tumbuh cita-cita ingin mengambil sesuatu yang positif dari negara maju ( Barat ) tersebut. Situasi demikian sedang melanda sebagian besar negara Islam bahkan negara yang bukan Islam di Timur. Jadi, ide nasionalisme dan pembaharuan inilah yang menjadi daya tarik gagasan Attaturk sehingga mampu mengalahkan saingan-saingannya terutama di kalangan ulama dan penguasa Usmani.


KESIMPULAN


Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa baik golongan Barat maupun golongan Nasionalis Turki tidaklah mengabaikan Islam dan pemikiran pembaharuan mereka. Keduanya mengingini pembaharuan dalam Islam dan bukan di luar Islam. Dalah hal ini mereka sefaham dengan golongan Islam. Perbedaan mereka dengan golongan Islam ialah bahwa golongan Islam dalam pembaharuan bersifat tradisional, sedangkan golongan lainnya bersifat modernis, ingin mempertahankan tradisi dalam Islam.
Golongan Barat dan nasionalis Turki, walaupun telah banyak dipengaruhi oleh ide sekuler Barat, tetapi karena masih terikat pada agama, tidak berhasil merubah Kerajaan Usmani menjadi negara sekuler. Walau pembaharuan yang mereka kehendaki bersifat radikal, tetapi dalam keradikalan itu mereka tidak berniat menentang agama. Dengan kata lain pembaharuan mereka, kendatipun kelihatan radikal, masih diusahakan supaya tidak ke luar dari Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Gibb. 1993. Aliran-aliran Modern dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Thalhas. 2002. Asal Usul Dua Kutub Gerakan Islam. Jakarta: Galura Pase.
Sani, Abdul. 1998. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Sunanto, Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.


IDE PEMBAHARUAN DAN PEMIKIRAN
MUSTAFA KEMAL ATTATURK
OLEH;
MUSTARI

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kajian sejarah adalah suatu bidang ilmu yang sangat menarik untuk ditelusuri, dimana minimal ada dua mamfaat yang dapat diperoleh dari kesimpulan penelusuran fakta sejarah tersebut, yakni; Pertama bila kesimpulan fakta penelitian sejarah menunjukkan kemajuan suatu system yang dikembangkan oleh pelaku sejarah, kemudian berimbas lahirnya berbagai macam inovasi pengembangan dan kemajuan baik pada system pemerintahan, pertahanan, sosial, ekonomi, politik, bahkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hal ini bukan saja akan menjadi kebanggaan bagi suatu bangsa, akan tetapi akan menjadi jejak pelajaran yang baik untuk diguguh bagi bangsa dan masyarakat yang hidup saat ini mupun yang akan datang.
Kedua bila fakta sejarah yang terungkap menunjukkan sisi kemunduran dan kegagalan suatu system yang telah diterapkan oleh pelaku sejarah pada suatu bangsa atau masyarakat. Tentu akan menjadi pelajaran yang sangat berharga yang akan menumbuhkan sikap kehati-hatian terhadap persoalan serupa agar tidak menjebak untuk jatuh pada kubangan situasi serupa.
Menurut informasi sejarah bahwa Islam pada abad ke VII sampai dengan abad ke XIII berproses hingga mencapai masa keemasan dan kemajuan disegala bidang, akan tetapi dari abad ke XIII sampai dengan abad XVIII juga berproses hingga pada akhirnya mencapai masa kemunduran total, hampir di seluruh dunia Islam terjajah oleh dunia barat yang pada saat itu mulai mencapai tingkat kemajuan di bidang teknologi dan industri.
Kondisi ini bukan saja menimbulkan kepiluan pada masyarakat muslim, tetapi justeru dapat menjadi alat yang akan berfungsi sebagai penyadaran para pemikir dan pembaharu dalam dunia Islam, sebagaimana telah diungkap dan dibahas melalui presentasi makala sebelumnya diantaranya; ide-ide pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali Pasha, Syekh Muhammad Abduh, Ali Abd al Raziq, mereka adalah tokoh-tokoh pembaharu dimana ide-ide mereka dapat menjadi panutan untuk dikembangkan dalam rangka menapak dan membentuk jejak sejarah kedepan.
Pada makala ini akan dibahas ide-ide pembaharuan yang dilakukan oleh seorang tokoh pembaharu di Turki yakni; “Mustafa Kemal”, beliau dikenal sebagai seorang tokoh pembaharu yang berperan menyelamatkan bangsa dan Negara Turki dari malapetaka kehancuran total akibat penjajahan Eropa, meskipun pada akhirnya tokoh yang satu ini dianggap sebagai tokoh controversial yang telah merubah budaya kekhalifahan yang menjadi karakter kerajaan Turki Usmani selama beratus-ratus tahun menjadi Negara yang beraliran sekuler, bahkan dikenal sebagai “Pencipta Turki Modern” dan oleh bangsa Turki diberi gelar sebagai “Attaturk” (Bapak Turki).

B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, penulis berusaha membatasi pembahasan dalam makala ini melalui tiga rumusan masalah berikut ini :
1. Benarkah Mustafa kemal adalah tokoh yang memiliki ide pembaharuan?
2. Sejauhmana pengaruh ide sekularisme Mustafa Kemal terhadap perkembangan Islam di Turki?
3. Adakah ide pembaharuan yang dilakukan oleh Mustafa Kemal di Turki yang dapat diterapkan untuk kemajuan di Indonesia?

II. PEMBAHASAN

A. Biografi Mustafa kemal Attaturk
Mustafa Kemal Ataturk lahir di Salonika pada tahun 1881. Orang tuanya bernama Ali Riza seorang pegawai biasa di salah satu kantor pemerintah di kota itu, sedangkan ibunya bernama Zubayde, seorang wanita yang amat dalam perasaan keagamaannya. Ali Riza meninggal dunia saat Mustafa Kemal berusia tujuh tahun. Ia kemudian diasuh oleh ibunya.
Riwayat pendidikan Mustafa Kemal dimulai sejak tahun 1893 ketika ia memasuki sekolah Rushdiye (sekolah menengah militer Turki). Pada tahun 1895 ia masuk ke akademik militer di kota Monastir dan pada 13 Maret 1899 ia masuk ke sekolah ilmu militer di Istambul sebagai kader pasukan infanteri. Tahun 1902 ia ditunjuk menjadi salah satu staf pengajar dan pada bulan Januari 1905 ia lulus dengan pangkat kapten.
Kehidupan Mustafa Kemal sejak 1905 sampai dengan 1918 diwarnai dengan perjuangan untuk mewujudkan identitas kebangsaan Turki. Sebagai pejabat militer di dalam imperium Turki Usmani saat itu, ia mendirikan sebuah organisasi yang bernama Masyarakat Tanah Air (Fatherland Society). Ia juga bergabung bersama Kongres Turki Muda yang membentuk Komite Kebangsaan dan Kemajuan (Committee for Union and Progress).
Setelah berakhirnya Perang Dunia I, tepatnya pada tahun 1919 Mustafa Kemal berusaha mewujudkan prinsip-prinsip generasi Turki Muda. Di bawah kepemimpinannya, elit nasional Turki berhasil memobilisir perjuangan rakyat Turki dan melawan pendudukan asing. Mustafa Kemal berjuang sekuat-kuatnya bersama rakyat Turki berhasil memukul mundur kekuatan penjajahan dari tanah bangsa Turki, yang secara tidak langsung menjadi awal tonggak kemenangan bagi Mustafa Kemal.

Selanjutnya, melalui gerakan politis dan diplomatis di parlemen Majelis Nasional Agung (Grand National Assembly), di mana dalam parlemen ini Mustafa Kemal menjadi ketuanya, ia berhasil mendirikan rezim republik atas sebagian wilayah Anatolia, memberlakukan suatu konstitusi baru bagi rakyat Turki pada tahun 1920, dan mengalahkan republik Armenia, mengalahkan kekuatan Perancis, dan mengusir kekuatan tentara Yunani. Klimaks perjuangan Mustafa Kemal yang mengantarkannya ke kursi presiden republik Turki adalah ketika bangsa Eropa mengakui kemerdekaan bangsa Turki yang ditandai oleh perjanjian Lausanne pada tahun 1923.
Di antara kerja besarnya yang terkenal adalah kemenangannya di Yunani dan mengusir sekutu dari Anatolia pada tahun 1340 H/1921 M. dia memiliki hubungan yang kuat dengan Barat. Dahulunya dia adalah seorang perwira dalam pasukan Utsmaniyah. Lalu dia bergabung dalam Oraganisasi Turki Muda. Namanya mulai bersinar pada tahun 1334 H/1915 M ketika berhasil mengusir serangan sekutu di Dardanil. Pada tahun 1338 H/1919 M dia mendirikan partai nasionalis Turki yang mengganti kedudukan Organisasi persatuan dan pembangunan .
Mencermati perjalan hidup dan karier seorang Mustafa Kemal yang gigih tak kenal putus asa menggambarkan bahwa sosoknya sebagai seorang politikus ulung, yang pandai membaca situasi serta mengambil langkah yang tepat mengambil simpati rakyat yang kemudian dengan dukungan rakyat berhasil memukul mundur bahkan mengusir serangan sekutu di Turki

B. Pemikiran dan Pembaharuan Mustafa Kemal Attaturk
Pembaruan Turki sesungguhnya telah sejak lama dilakukan oleh generasi Turki, jauh sebelum pembaruan yang dilakukan oleh Mustafa Kemal Ataturk. Pembaruan di bidang militer dan administrasi, sampai kepada pembaruan di bidang ekonomi, sosial dan keagamaan, telah dilakukan oleh generasi Turki pada era Tanzimat yang berlangsung dari tahun 1839 sampai dengan 1876, kemudian pada era Usmani Muda yang berlangsung dari dekade 1860-an sampai dengan dekade 1870-an merupakan reaksi atas program Tanzimat yang mereka anggap tidak peka terhadap tuntutan sosial dan keagamaan, dan pada akhir dekade 1880-an, terbentuklah era baru generasi muda Turki. Generasi baru Turki ini menamakan diri mereka sebagai Kelompok Turki Muda (Ottoman Society for Union and Progress). Kelompok ini secara nyata mempertahankan kontinuitas imperium Usmani, tetapi secara tegas mereka melakukan agitasi terhadap restorasi rezim Parlementer dan kontitusional.
Pemikiran pembaruan Turki yang dimiliki oleh Mustafa Kemal Ataturk boleh dianggap merupakan sintesa dari pemikiran ketiga generasi Turki sebelumnya. Bahkan, prinsip pemikiran pembaruan Turki yang diketengahkan di dalam frame kebangsaan masyarakat Turki saat ini adalah reduksi pemikiran dari seorang pemikir Turki yang dianggap sebagai Bapak Nasionalisme Turki, yakni Ziya Gokalp.
Dalam catatan kaki Ajid Thohir, di dalam bukunya Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, disebutkan bahwa pemikiran pembaruan Turki telah dilakukan oleh tokoh-tokoh, seperti : Mustafa Rasyid Pasha (1800) dan Mehmet Shidiq Ri’at (1807) dari generasi Tanzimat; Ziya Pasha (1825-1876), Namik Kemal (1840-1880) dan Midhat Pasha (1822-1883) dari generasi Usmani Muda; dan, Ahmad Riza (1859-1931) dan Mehmed Murad (1853-1912) dari generasi Turki Muda. Sedangkan, pemikiran yang paling dekat dengan gerakan pembaruan Turki yang dilaksanakan oleh Mustafa Kemal adalah pemikiran Ziya Gokalp, yang secara sistematis mencanangkan program-program pembaruannya dalam berbagai aspek yang ia sebut sebagai The Programe of Turkism, yakni : Linguistic Turkism, Aesthetic Turkism, Ethical Turkism, Legal Turkism, Economic Turkism, Political Turkism, dan Philosopical Turkism.
Prinsip Pemikiran Pembaruan Mustafa Kemal di awali ketika ia ditugaskan sebagai attase militer pada tahun 1913 di Sofia. Dari sinilah ia berkenalan dengan peradaban Barat, terutama sistem parlementernya. Adapun prinsip pemikiran pembaharuan Turki yang kemudian menjadi corak ideologinya terdiri dari tiga unsur, yakni; nasionalisme, sekularisme dan westernisme.
Pertama, unsur nasionalisme dalam pemikiran Mustafa Kemal diilhami oleh Ziya Gokalp (1875-1924) yang meresmikan kultur rakyat Turki dan menyerukan reformasi Islam untuk menjadikan Islam sebagai ekspresi dari etos Turki. Dalam koridor pemahaman Mustafa Kemal, Islam yang berkembang di Turki adalah Islam yang telah dipribumikan ke dalam budaya Turki. Oleh karenanya, ia berkeyakinan bahwa Islam pun dapat diselaraskan dengan dunia modern. Turut campurnya Islam dalam segala lapangan kehidupan akan membawa kemunduran pada bangsa dan agama. Atas dasar itu, agama harus dipisahkan dari negara. Islam tidak perlu menghalangi adopsi Turki sepenuhnya terhadap peradaban Barat, karena peradaban Barat bukanlah Kristen, sebagaimana Timur bukanlah Islam.
Kedua, unsur sekularisme. Unsur ini sebenarnya adalah implikasi dari pemahaman westernisme Mustafa Kemal. Pada prinsip ini, salah seorang pengikut setia Mustafa Kemal, Ahmed Agouglu menyatakan bahwa indikasi ketinggian suatu peradaban terletak pada keseluruhannya, bukan secara parsial. Peradaban Barat dapat mengalahkan peradaban-peradaban lain, bukan hanya karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya, tetapi karena keseluruhan unsur-unsurnya. Peperangan antara Timur dan Barat adalah peperangan antara dua peradaban, yakni peradaban Islam dan peradaban Barat. Di dalam peradaban Islam, agama mencakup segala-galanya mulai dari pakaian dan perkakas rumah sampai ke sekolah dan institusi. Turut campurnya Islam dalam segala lapangan kehidupan membawa kepada mundurnya Islam, dan di Barat sebaliknya sekularisasilah yang menimbulkan peradaban yang tinggi itu. Jika ingin terus mempunyai wujud rakyat Turki harus mengadakan sekularisasi terhadap pandangan keagamaan, hubungan sosial dan hukum. Menurut versi Mustafa kemal, sekularisme bukan saja memisahkan masalah bernegara (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dari pengaruh agama melainkan juga membatasi peranan agama dalam kehidupan orang Turki sebagai satu bangsa. Sekularisme ini adalah lebih merupakan antagonisme terhadap hampir segala apa yang berlaku di masa Usmani.
Ketiga, unsur wasternisme. Dalam unsur ini, Mustafa Kemal berpendapat bahwa Turki harus berorientasi ke Barat. Ia melihat bahwa dengan meniru barat negara Turki akan maju. Unsur westernisme dalam prinsip pemikiran Mustafa Kemal mendapatkan momennya ketika dalam salah satu pidatonya ia mengatakan bahwa kelanjutan hidup suatu masyarakat di dunia peradaban modern menghendaki perobahan dalam diri sendiri. Di zaman yang dalamnya ilmu pengetahuan mampu membawa perobahan secara terus-menerus, maka bangsa yang berpegang teguh pada pemikiran dan tradisi yang tua lagi usang tidak akan dapat mempertahankan wujudnya. Masyarakat Turki harus dirubah menjadi masyarakat yang mempunyai peradaban Barat, dan segala kegiatan reaksioner harus dihancurkan.
Dari ketiga prinsip di atas, kemudian melahirkan ideologi kemalisme, yang terdiri atas: republikanisme, nasionalisme, kerakyatan, sekularisme, etatisme, dan revolusionisme. Ideologi yang diasosiasikan dengan figur Mustafa Kemal ini kemudian berkembang di Turki dan dikembangkan oleh pengikutnya. Dan jika dilihat dari perkembangan tersebut di atas, Republik Turki adalah negara sekuler. Tetapi meskipun begitu, apa yang diciptakan Mustafa Kemal belumlah negara yang betul-betul sekuler.
Mustafa Kemal sebenarnya seorang nasionalis pengagum barat, yang Islam maju, sebab itu perlu diadakan pembaharuan dalan soal agama untuk disesuaikan dengan bumi Turki. Islam adalah agama rasional dan perlu bagi manusia, tetapi agama yang rasional ini telah dirusak oleh ulama-ulama oleh karena itu, usaha sekularisasinya berpusat pada menghilangkan kekuasaan golongan ulama dalam soal negara dan politik. Negara harus dipisahkan dari agama.
Dengan pandangan Mustafa Kemal seperti yang disebutkan di atas, maka lahirlah pendapatnya antara lain; Qur’an perlu diterjemahkan kedalam bahasa Turki, azan juga perlu dengan bahasa Turki, khutbah dengan bahasa Turki. Madrasah yang sudah ketinggalan zaman ditutup, diganti fakultas Ilahiyat untuk mendidik imam sholat, khotib-khotib, dan pembaharuan-pembaharuan yang diperlukan. Akan tetapi prinsif dan pandangan Mustafa Kemal seperti yang telah dikemukakan diatas, tidak serta merta menghilangkan kultur keagamaan sebagai buktinya Mustafa Kemal mendirikan penggantinya yaitu Departemen Urursan Agama. Negara menjamin kebebasan beragama, sehingga sekularisasi yang dijalankan tidak menghilangkan agama. Yang berusaha dihapus adalah kekuasaan ulama dalam soal politik dan negara. Karena Mustafa Kemal berpendapat agama adalah masalah pribadi.
Mencermati pemikiran yang dikembangkan seorang Mustafa Kemal yang kemudian diaplikasikan sebagai bentuk ide pembaharuan pada kultur Turki adalah sebuah keniscayaan berdasarkan tuntutan situasi dan zaman saat itu. Betapa tidak bahwa Islam yang berkembang sejak abad ke VII di jazirah Arab yang kemudian merambah keluar Arab, didalam perjalananya mengalami gesekan dan pergeseran prinsif dan kepentingan.
Prinsif musyawarah yang menjadi dogma ajaran yang harus dikembangkan dalam rana kehidupan sosial kemasyarakatan termasuk dalam urusan ”bernegara” seperti yang diisyaratkan al-Qur’an :
          •    
…. dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. QS. Ali Imran (3) : 159

Ayat ini mengedepankan prinsif musyawarah yang dapat diasumsikan sebagai salah satu pilar demokrasi dalam urusan bernegara, dimana prinsif ini telah mengalami perobahan sejak beralihnya tampuk kepemipinan dari periode ”Khalifah Rasyidah” kepada Muawiyah ibn Abi Sufyan yang mengawali pendirian pemerintahan ”Dinasti” dimana tahta telah menjadi hak waris bagi keturunan khalifah atau sultan yang berlangsung sampai ratusan tahun.
Sebagai akumulasi gejolak pemikiran dari para tokoh pembaharu yang mengembangkan ide perubahan khususnya di Turki, yang kemudian diwujudkan oleh seorang Mustafa Kemal mendirikan Negara Republik Turki Modern. Penulis berpandangan bahwa usaha ini adalah sebuah tindakan dari ide cemerlang untuk mengembalikan dogma prinsif al-Qur’an yang mengedepankan prinsif musyawarah.
Nasionalisme, sekularisme, dan westernisme yang menjadi ciri khas ide pembaharuan Mustafa Kemal adalah sebuah konsekwesi logis dalam rangka membangun tatanan dan corak kultur kehidupan masyarakatnya yang akan didesain sebagai masyarakat modern dalam urusan bernegara, dan tetap menjamin berlangsungnya budaya kehidupan beragama bagi masyarakatnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan didirikannya ”Fakultas Ilahiyat” dan dibentuknya ”Departemen Urusan Agama” dalam pemerintahannya.

C. Kontroversi Pemikiran Mustafa Kemal Attaturk
Dalam khazanah pemikiran politik Islam, nama Mustafa Kemal Attaturk merupakan nama yang melekat erat dengan kata sekularisme. Dalam teori politik yang telah diterapkan oleh Mustafa Kemal di negara Turki yang melakukan sekurarisasi dalam Negara dan dekonstruksi khilafah Islamiyah dengan menghapuskan sistem tersebut melalui Majelis Nasional Agung. Mustafa Kemal yang menyadari perlunya perubahan dan pembaruan dalam negara itu sangat menginginkan terciptanya sebuah negara sekuler. Kalangan Islam garis keras selalu mencemooh dan menghina tindakan Mustafa Kemal yang menurut mereka telah meruntuhkan khilafah Islamiyah.
“Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah”, beberapa konspirasi mustafa kemal menentang negara dan usaha dalam merebut kekuasaan. Dan sikap arogansi seorang Mustafa Kemal terhadap Islam sebagai seorang yang telah menghancurkan khilafah islamiyah.
Meski demikian, keberhasilan mendirikan sebuah negara Turki yang merdeka tidak serta merta menjadikan negara bekas pemerintahan dinasti Islam ini berubah seratus persen menjadi sekuler. Lika-liku gerakan pembaruan (sekularisasi) Turki yang dilakoni oleh Mustafa Kemal terekam dalam tindakan rezim pemerintahannya yang diktator. Sehingga, proses perubahan Turki menjadi sebuah negara yang bercorak modern adalah suatu metamorphosis yang sangat berbeda dari corak tradisi dan nilai-nilai budaya masyarakat Turki yang hampir seluruhnya Islam.
Gerakan pembaruan Turki Mustafa Kemal Ataturk dimulai dengan penghapusan Kesultanan Usmani pada tahun 1923 dan penghapusan khilafah pada tahun 1924. Lembaga wakaf dihapuskan dan dikuasakan kepada kantor urusan agama. Pada tahun 1925 beberapa thariqat sufi dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan dihancurkan. Pada tahun 1927 pemakaian tarbus dilarang. Pada tahun 1928 diberlakukan tulisan latin menggantikan tulisan Arab, dan dimulai upaya memurnikan bahasa Turki dari muatan bahasa Arab dan Persi. Pada tahun 1935 seluruh warga Turki diharuskan menggunakan nama kecil sebagaimana berlaku pada pola nama Barat.
Sedangkan menurut Erick J. Zurcher, gerakan pembaruan Turki Mustafa Kemal tergambar dalam ideologi kemalisme yang mencakup prinsip-prinsip: republikanisme, nasionalisme, populisme, etatisme, sekularisme, dan revolusionisme. Dalam lapangan agama, Mustafa Kemal membuat sejumlah kebijakan, seperti pada tahun 1928, menggunakan bahasa Turki dalam sholatnya. Sedangkan beberapa kebijakan yang dibuat dalam undang-undang pada era rezim Mustafa Kemal adalah :
1. Undang-undang tentang unifikasi dan sekularisasi pendidikan, tanggal 3 Maret 1924.
2. Undang-undang tentang pemberhentian petugas jemaah dan makam, penghapusan lembaga pemakaman, tanggal 30 November 1925;
3. Peraturan sipil tentang perkawinan, tanggal 17 Februari 1926;
4. Undang-undang penggunaan huruf latin untuk abjad Turki dan penghapusan tulisan Arab, tanggal 1 November 1928; dan
5. Undang-undang tentang larangan menggunakan pakaian asli, tanggal 1934.
Gerakan sekularisasi Turki oleh rezim Mustafa Kemal berakhir seiring dengan wafatnya Mustafa Kemal pada tahun 1938. Sungguhpun demikian, sepeninggal Mustafa Kemal Ataturk, posisi presiden Turki digantikan oleh Ismet Inonu, seorang kolega yang sangat setia kepadanya. Dengan demikian, proses sekukarisasi terus berjalan di Turki. Hanya saja, pergantian tampuk pimpinan dalam rezim pemerintahan ini memberikan peluang bagi konsepsi sistem politik baru bagi negara Turki. Konsepsi politik baru ini terjadi setelah Perang Dunia II, khususnya pada tahun 1946, yang atas campur tangan pemerintah Amerika Serikat ketika itu yang berusaha mengurangi pengaruh sistem paternalistik dan lebih cenderung menginginkan sistem multi partai. Kondisi ini membuka jalan bagi terbentuknya partai Demokrat (Democrat Party) di Republik Turki.
Bias sekular teori modernisasi memiliki gema khusus dalam analisis terhadap dunia muslim. Pada awal tahun 1960-an, teori modernisasi memandang dunia muslim sedang menghadapi pilihan yang tak nyaman: antara “totalitarian neo-Islamis” yang bertujuan “membangkitkan masa lalu”, atau “Islam reformis” yang bertujuan membuka “pintu gerbang air dan terseret oleh banjir besar”. Pandangan yang sangat negatif tentang kemungkinan evaluasi dalam masyarakat muslim mengkhianati kemauan yang sungguh-sungguh dari reformis sekular militan seperti Mustafa Kemal Attaturk.

D. Mustafa Kemal seorang pembaharu atau penghancur peradaban
Menganalisis sepak terjang perjalanan karier seorang Mustafa kemal dapat tersimpul pendapat bahwa Attaturk adalah seorang pembaharu, dengan ketegasan dan kekerasannya menerapkan prinsif perobahan dalam seluruh dimensi kehidupan rakyat Turki, dari peradaban yang kental dengan corak keislaman menuju peradaban “Modern yang sekuler”tanpa adanya batasan yang jelas antara halal dan haram menurut versi Islam.
Pada sisi yang lain, dengan tindakan Mustafa Kemal yang demikian radikal dalam gerakan perubahan yang dilakukannya menyebabkan generasi bangsa Turki kehilangan jejak sejarah peradaban para pendahulunya (nenek moyang bangsa Turki).
Namunpun demikian penulis tidak ingin terjebak dalam kajian yang tendensius mengarah pada persoalan pro dan kontra tetapi lebih mengedepankan tinjauan yang obyektif, dan akademis. Penulis mencoba bersikap netral dalam pembahasan yang begitu dalam dan penting bagi kemajuan yang telah dirintis oleh Mustafa Kemal Attaturk. Sekian banyak pujian dan tidak sedikit pula hinaan atas diri sang founding father Negara Turki tersebut.
Ide-ide politik yang begitu amat penting yang harus dikaji dan digali agar ide-ide brilliantnya tidak mati dimakan usia. Karena pemikirannya banyak mengilhami dunia sampai sekarang. Bahkan seorang soekarno begitu amat mengidolakan sang bapak Turki itu. Konsep yang begitu menarik dalam khazanah ilmu politik, seperangkat ide-ide dan prinsip-prinsip dasar kemalisme yang menjadi misi kemalis di Turki yaitu: Republikanisme, Sekularisme, Nasionalisme, Populalisme, Negaraisme (statism), dan Revolusionisme.
Meskipun pada posisi yang berbeda ditemukan informasi bahwa Mustafa Kemal adalah seorang Yahudi dari sebuah kota di Turki bernama Tesalonika (Yahudi Dumamah). Mustafa merupakan seorang agen atau kaki tangan Yahudi Internasional yang disusupkan ke dalam militer Turki sehingga dia menjadi seorang jenderal untuk menghancurkan kekhalifahan Islam Turki Utsmaniyah yang menolak menyerahkan Al-Quds kepada Zionis-Yahudi. Lewat konspirasi Yahui Internasional inilah, Kekhalifahan Turki Utsmaniyah akhirnya hancur pada tanggal 3 Maret 1924, hanya 27 tahun setelah Kongres Zionis Internasional pertama.
Mustafa Kemal naik menjadi penguasa dan menghancurkan seluruh kehidupan beragama di Turki dan menggantinya dengan paham sekuler. Mustafa Kamal Ataturk merupakan seorang Mason dari Lodge Nidana. Selama berkuasa, Mustafa Kamal memperlihatkan watak seorang Yahudi asli yang sangat membenci agama.
Pernah suatu hari saat berkuasa, setelah melarang adzan menggunakan bahasa Arab dan hanya diperbolehkan berbahasa Turki, Mustafa Kamal melewati suatu masjid yang masih mempergunakan adzan dengan bahasa Arab, seketika itu juga dirinya merobohkan masjid itu. Cerita yang lain mengatakan, ketika Mustafa mewajibkan setiap orang Turki memakai topi Barat yang kala itu di Turki lazim dianggap sebagai simbol kekafiran, maka barangsiapa yang tidak mau menuruti perintahnya memakai topi, orang itu akan dihukum gantung . Hasilnya, banyak lelaki Turki yang digantung di tiang-tiang gantungan yang sengaja dibuat di lapangan-lapangan kantor pemerintahannya.
Deislamisasi dan juga terhadap agama lainnya di Turki selama kekuasaan Mustafa Kamal ini benar-benar keterlaluan. Barangsiapa yang ingin mengetahui lebih jauh tentang kejahatan-kejahatan orang yang oleh Barat disebut sebagai ‘Bapak Turki Modern’ ini, ada dua buku karya Dr. Abdullah ‘Azzam yang direkomendasikan yakni ‘Al Manaratul Mafqudah’ (Majalah al Jihad, Pakistan, 1987) dan ‘Hidmul Khilafah wa bina-uha’ (Markaz Asy-Syahid Azzam Al-I’laamii, Pakistan).
Di dalam buku pertama yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Abdullah ‘Azam memaparkan kejadian sakitnya Mustafa Kamal menjelang sakaratul mautnya yang sungguh-sungguh mengerikan. Abdullah ‘Azzam menulis, “…Mustafa Kamal terserang penyakit dalam (sirrosis hepatitis) disebabkan alkohol yang terkandung dalam khamr. Cairan berkumpul di perutnya secara kronis. Ingatannya melemah, darah mulai mengalir dari hidungnya tanpa henti. Dia juga terserang penyakit kelamin (GO), akibat amat sering berbuat maksiat. Untuk mengeluarkan cairan yang berkumpul pada bagian dalam perutnya (Ascites), dokter mencoblos perutnya dengan jarum. Perutnya membusung dan kedua kakinya bengkak. Mukanya mengecil. Darahnya berkurang sehingga Mustafa pucat seputih tulang.”
Selama sakit Mustafa berteriak-teriak sedemikian keras sehingga teriakannya menerobos sampai ke teras istana yang ditempatinya. Tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit. Beratnya hanya 48 kilogram. Giginya banyak yang tanggal hingga mulutnya hampir bertemu dengan kedua alis matanya. Badannya menderita demam yang sangat sehingga ia tidak bisa tidur. Tubuhnya juga mengeluarkan bau bagaikan bau bangkai. Walau demikian, Mustafa masih saja berwasiat, jika dia meninggal maka jenazahnya tidak perlu dishalati.
“Pada hari Kamis, 10 November 1938 jam sembilan lebih lima menit pagi, pergilah Mustafa Kamal dari alam dunia dalam keadaan dilaknat di langit dan di bumi…,” tulis Abdullah ‘Azzam. Naudzubilahi min dzalik!
Sebuah dokumen rahasia tentang peranan dan konspirasi kaum Yahudi di dalam menumbangkan kekhalifahan Turki Utsmaniyyah. Dokumen ini berasal dari sebuah surat yang ditulis Dutabesar Inggris di Konstantinopel, Sir Gebrar Lother, kepada Menteri Luar Negeri Inggris Sir C Harving pada tanggal 29 Mei 1910.

Dalam dokumen tersebut dipaparkan secara rinci bagaimana kaum Freemason melakukan penyusupan ke berbagai sektor vital pemerintahan Turki untuk mengakhiri kekuasaan Sultan Abdul Hamid II dan mengangkat Mustafa Kamal Ataturk, untuk menghapuskan kekhalifahan Islam di Turki. Bahkan kaum Mason Turki ini berhasil masuk dalam lingkaran pertama Sultan Abdul Hamid II sehingga banyak kebijakan-kebijakannya yang disabot atau disalahgunakan.
Perlu disadari bahwa temuan-temuan ini dikemukakan oleh kelompok yang tidak senang dengan gagasan-gagasan seorang Mustafa Kemal, tentu saja memiliki tendensi dan tujuan tertentu. Adalah sesuatu yang wajar apabila berkembang menjadi persoalan pro dan kontra, namunpun demikian fakta yang berbicara bahwa rakyat Republik Turki sungguh sangat mengagumi dan membanggakannya, terbukti makamnya yang dibangun begitu megah dan dijaga dengan protokoler ketatanegaraan yang begitu ketat, foto sang founding father ini menjadi hiasan utama mendampingi foto presiden dan wakilnya bukan saja di kantor-kantor pemerintah tetapi justeru di setiap rumah penduduk Republik Turki. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa Mustafa Kemal Attaturk adalah sosok yang sangat dihargai dan diidolakan. Ide-ide pembaharuan yang dilakukannya pantas menjadi sebuah model insfirasi yang dijadikan sebagai rujukan dalam membangun bangsa dan Negara.

E. Bagaimana Nasib Islam di Turki yang Sekuler
Mustafa kemal yang secara radikal menerapkan hukum-hukum sekuler secara dictator dan absolute, sebagai tuntutan undang-undang ketatanegaraan yang telah ditetapkannya berjalan dengan baik tampa suatu hambatan yang berarti. Islam yang telah mengakar sebagai kultur masyarakat oleh masing individu rakyat Turki juga tidak akan lekang, artinya negaranya sekuler dan rakyatnya teramat relegius inilah sebuah keunikan yang ada di Turki hingga saat ini. Islam telah menjadi hak privasi setiap warga masyarakat muslim Turki.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasakan kajian yang telah diuraikan dalam pembahasan masalah, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Mustafa kemal dapat dikatakan sebagai seorang tokoh pembaharu yang memiliki ide pembaharuan dengan melakukan perubahan system pemerintahan kekhalifahan/kesultanan dengan nuansa yang Islami menjadi Negara dengan system Republik yang menganut prinsif republikanisme, nasionalisme, populisme, etatisme, sekularisme, dan revolusionisme?
2. Paham sekularisme yang diterapkan Mustafa Kemal di Turki tidak serta merta meluluh lantahkan akar budaya/kultur keislaman yang telah mewarnai perilaku masyarakat Turki secara privat. Artinya Islam tetap menjadi keyakinan yang benar bagi mayoritas bangsa Turki
3. Ide pembaharuan yang dilakukan oleh Mustafa Kemal di Turki pada dasarnya banyak memiliki nilai positif dalam penerapan hukum ketatanegaraan suatu Negara, bahkan ide-idenya sangat memberi warna pengembangan ilmu dan kajian khusunya pada prinsif menanamkan nasionalisme, dan pluralisme. Indonesia sebagai bangsa yang memiliki banyak suku di dalamnya sangat berkepentingan mengeksplor prinsif nasionalisme dan pluralism sebagai media pemersatu keutuhan bangsa.

B. Saran-saran
Makala ini jauh dari kesempurnaan, olehnya itu keritik dan saran perbaikan yang membangun demi kesempurnaan isi makala ini dengan tangan terbuka dan hati yang lapang penulis sambut.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qadim Zullun. Kaifa Hudimat al-Khalifah (Konsfirasi barat meruntuhkan Khalifah Islamiyah). Penerjemah Abu Faiz, Jawa Timur; Al-Izzah, 2001

Abdullah ‘Azzam, ‘Al Manaratul Mafqudah’ (Majalah al Jihad, Pakistan, 1987)

Ahmad al-‘Usairy, Sejarah Islam (Jakarta : Akbar, 2004)

Ajied Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2004)

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2008)

Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Politik Muslim Wacana Kekuasaan dan Hegemoni dalam Masyarakat Muslim, Penterjemah Endi Haryono, Yogyakarta; PT. Tiara Wacana Yogya, 1998

Erick J. Zurcher, Modern History of Turk (Sejarah Modern Turki), Penerjemah Karsidi Diningrat R., Jakarta; Gramedia Pustka Utama, 2003

Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), Jakarta; Penerbit NV. Bulan Bintang, cet.2, 1982

http://dekcrayon.blogspot.com

http://dekcrayon.blogspot.com/2009/05/mustafa-kemal-attaturk-2.html

http://eramuslim.blogspot.com/, Siapa sebenarnya Mustafa Kemal Attaturk. Posting Senin, 28/09/2009

Majalah Al Mujtama’ Kuwait pada tanggal 25 Desember 1978 edisi 425-426

Mukti, Ali. Islam dan Sekuralisme di Turki (Jakarta: Pnerbit Djambatan, 1994)

Musrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2007)


Gerakan Revitalisme Pasca Mustafa Kemal




BAB I
PENDAHULUAN

Turki adalah negara dimana kekhalifahan terbesar Islam pernah ada disana, yakni Turki Ustmani. Oleh karena itu, keterikatan bangsa Turki terhadap Islam sangat kuat. Islam sudah menyatu dalam kehidupan nasional rakyat Turki. Namun, kejayaan Turki Ustmani ada masanya, dan setelah runtuhnya kejayaan Turki Ustmani, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, muncullah gerakan-gerakan pembaharuan di Turki. Pembaharuan-pembaharuan tersebut bertujuan membawa umat Islam Turki kepada kemajuan. Kontak dengan dunia barat melalui perkembangan IPTEK menginspirasi seorang Mustafa Kemal untuk melakukan pembaharuan secara besar-besaran di Turki dengan memproklamirkan Republik Turki pada tanggal 29 Oktober 1923. Dengan demikian seorang Mustafa Kemal telah merubah sistem kekhalifahan yang telah ada ratusan tahun
Dalam suasana serupa inilah muncul Mustafa Kemal, seorang pemimpin Turki baru, yang menyelamatkan kerajaan Utsmani dari kehancuran total dan bangsa Turki dari penjajahan Eropa. Ialah pencipta Turki modern dan atas jasanya, ia mendapat gelar Ataturk (Bapak Turki). Lantas siapakah Mustafa Kemal tersebut dan bagaimanakah prinsip pemikiran pembaharuan yang dilakukannya?

BAB II

PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI SINGKAT MUSTAFA KEMAL ATATURK

Mustafa Kemal Ataturk lahir di Salonika pada tahun 1881. Orang tuanya bernama Ali Riza seorang pegawai biasa di salah satu kantor pemerintah di kota itu, sedangkan ibunya bernama Zubayde, seorang wanita yang amat dalam perasaan keagamaannya. Ali Riza meninggal dunia saat Mustafa Kemal berusia tujuh tahun. Ia kemudian diasuh oleh ibunya.
Riwayat pendidikan Mustafa Kemal dimulai sejak tahun 1893 ketika ia memasuki sekolah Rushdiye (sekolah menengah militer Turki). Pada tahun 1895 ia masuk ke akademik militer di kota Monastir dan pada 13 Maret 1899 ia masuk ke sekolah ilmu militer di Istambul sebagai kadet pasukan infanteri. Tahun 1902 ia ditunjuk menjadi salah satu staf pengajar dan pada bulan Januari 1905 ia lulus dengan pangkat kapten.
Kehidupan Mustafa Kemal sejak 1905 sampai dengan 1918 diwarnai dengan perjuangan untuk mewujudkan identitas kebangsaan Turki. Sebagai pejabat militer di dalam imperium Turki Usmani saat itu, ia mendirikan sebuah organisasi yang bernama Masyarakat Tanah Air (Fatherland Society). Ia juga bergabung bersama Kongres Turki Muda yang membentuk Komite Kebangsaan dan Kemajuan (Committee for Union and Progress).
Setelah berakhirnya Perang Dunia I, tepatnya pada tahun 1919 Mustafa Kemal berusaha mewujudkan prinsip-prinsip generasi Turki Muda. Di bawah kepemimpinannya, elit nasional Turki berhasil memobilisir perjuangan rakyat Turki dan melawan pendudukan asing. Rakyat Turki berhasil memukul mundur kekuatan penjajahan dari tanah bangsa Turki, yang secara tidak langsung menjadi kemenangan awal bagi Mustafa Kemal.[1]
Mustafa Kemal berjuang sekuat-kuatnya untuk mewujudkan prinsip-prinsip Turki Muda sehingga ia mampu memobilisir perjuangan dan mengadakan perlawanan terhadap penduduk asing. Maka dengan terjadinya peristiwa ini secara tidak langsung manjadi tonggak awal kemenangan Mustafa Kemal.

Selanjutnya, imelalui gerakan politis dan diplomatis di parlemen Majelis Nasional Agung (Grand National Assembly), di mana dalam parlemen in Mustafa Kemal menjadi ketuanya, ia berhasil mendirikan rezim republik atas sebagian wilayah Anatolia, memberlakukan suatu konstitusi baru bagi rakyat Turki pada tahun 1920, dan mengalahkan republik Armenia, mengalahkan kekuatan Perancis, dan mengusir kekuatan tentara Yunani. Klimaks perjuangan Mustafa Kemal yang mengantarkannya ke kursi presiden republik Turki adalah ketika bangsa Eropa mengakui kemerdekaan bangsa Turki yang ditandai oleh perjanjian Lausanne pada tahun 1923.[2]

Di antara kerja besarnya yang terkenal adalah kemenangannya di Yunani dan mengusir sekutu dari Anatolia pada tahun 1340 H/1921 M. dia memiliki hubungan yang kuat dengan Barat. Dahulunya dia adalah seorang perwira dalam pasukan Utsmaniyah. Lalu dia bergabung dalam Oraganisasi Turki Muda. Namanya mulai bersinar pada tahun 1334 H/1915 M ketika berhasil mengusir serangan sekutu di Dardanil. Pada tahun 1338 H/1919 M dia mendirikan partai nasionalis Turki yang mengganti kedudukan Organisasi persatuan dan pembangunan .[3]

Jadi, dahulunya itu Mustafa Kemal ini pernah bergabung dalam Oganisasi Turki Muda. Melalui gerakan politis dan diplomatis di parlemen Majelis Nasional Agung (Grand National Assembly), di mana dalam parlemen in Mustafa Kemal menjadi ketuanya dan kemudian dia berhasil mengusir serangan sekutu, oleh ushanya inila namanya mulai bersinar. Dan di antara perjanjian Lausanne pada tahun 1923 M itu adalah Turki harus menarik kekuasaannya dari seluruh Asia kecil.


B. PRINSIP PEMIKIRAN PEMBARUAN MUSTAFA KEMAL ATATURK
Pembaruan Turki sesungguhnya telah sejak lama dilakukan oleh generasi Turki, jauh sebelum pembaruan yang dilakukan oleh Mustafa Kemal Ataturk. Pembaruan di bidang militer dan administrasi, sampai kepada pembaruan di bidang ekonomi, sosial dan keagamaan, telah dilakukan oleh generasi Turki pada era Tanzimat yang berlangsung dari tahun 1839 sampai dengan 1876, kemudian pada era Usmani Muda yang berlangsung dari dekade 1860-an sampai dengan dekade 1870-an merupakan reaksi atas program Tanzimat yang mereka anggap tidak peka terhadap tuntutan sosial dan keagamaan, dan pada akhir dekade 1880-an, terbentuklah era baru generasi muda Turki. Generasi baru Turki ini menamakan diri mereka sebagai Kelompok Turki Muda (Ottoman Society for Union and Progress). Kelompok ini secara nyata mempertahankan kontinuitas imperium Usmani, tetapi secara tegas mereka melakukan agitasi terhadap restorasi rezim Parlementer dan kontitusional.[4]

Pembaharuan Turki ini sebenarnya sudah lama dilakukan jauh sebelum Musrafa Kemal, generasi Tanzimatlah yang terlebih dahulu yang melakukan pembaharuan. Utsmani Muda. Itu saja hanya merupakan reaksi atas program Tanzimat yang mereka anggap tidak peka terhadap tuntutan sosial dan keagamaan.
Pemikiran pembaruan Turki yang dimiliki oleh Mustafa Kemal Ataturk boleh dianggap merupakan sintesa dari pemikiran ketiga generasi Turki sebelumnya. Bahkan, prinsip pemikiran pembaruan Turki yang ia tengahkan di dalam frame kebangsaan masyarakat Turki saat ini adalah reduksi pemikiran dari seorang pemikir Turki yang dianggap sebagai Bapak Nasionalisme Turki, yakni Ziya Gokalp.[5]
Dalam catatan kaki Ajid Thohir, di dalam bukunya Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam[6] : Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, disebutkan bahwa pemikiran pembaruan Turki telah dilakukan oleh tokoh-tokoh, seperti : Mustafa Rasyid Pasha (1800) dan Mehmet Shidiq Ri’at (1807) dari generasi Tanzimat; Ziya Pasha (1825-1876), Namik Kemal (1840-1880) dan Midhat Pasha (1822-1883) dari generasi Usmani Muda; dan, Ahmad Riza (1859-1931) dan Mehmed Murad (1853-1912) dari generasi Turki Muda. Sedangkan, pemikiran yang paling dekat dengan gerakan pembaruan Turki yang dilaksanakan oleh Mustafa Kemal adalah pemikiran Ziya Gokalp, yang secara sistematis mencanangkan program-program pembaruannya dalam berbagai aspek yang ia sebut sebagai The Programe of Turkism, yakni : Linguistic Turkism, Aesthetic Turkism, Ethical Turkism, Legal Turkism, Economic Turkism, Political Turkism, dan Philosopical Turkism.

Prinsip Pemikiran Pembaruan Mustafa Kemal di awali ketika ia ditugaskan sebagai attase militer pada tahun 1913 di Sofia. Dari sinilah ia berkenalan dengan peradaban Barat, terutama sistem parlementernya. Adapun prinsip pemikiran pembaharuan Turki yang kemudian menjadi corak ideologinya terdiri dari tiga unsur, yakni : nasionalisme, sekularisme dan westernisme.
Mempersoalkan tiga unsur dalam prinsip pemikiran pembaruan Turki Mustafa Kemal di atas beikut akan dipaparkan:
Pertama, unsur nasionalisme dalam pemikiran Mustafa Kemal diilhami oleh Ziya Gokalp (1875-1924) yang meresmikan kultur rakyat Turki dan menyerukan reformasi Islam untuk menjadikan Islam sebagai ekspresi dari etos Turki. Dalam koridor pemahaman Mustafa Kemal, Islam yang berkembang di Turki adalah Islam yang telah dipribumikan ke dalam budaya Turki. Oleh karenanya, ia berkeyakinan bahwa Islam pun dapat diselaraskan dengan dunia modern. Turut campurnya Islam dalam segala lapangan kehidupan akan membawa kemunduran pada bangsa dan agama. Atas dasar itu, agama harus dipisahkan dari negara. Islam tidak perlu menghalangi adopsi Turki sepenuhnya terhadap peradaban Barat, karena peradaban Barat bukanlah Kristen, sebagaimana Timur bukanlah Islam.
Kedua, unsur sekularisme. Unsur ini sebenarnya adalah implikasi dari pemahaman westernisme Mustafa Kemal. Pada prinsip ini, salah seorang pengikut setia Mustafa Kemal, Ahmed Agouglu menyatakan bahwa indikasi ketinggian suatu peradaban terletak pada keseluruhannya, bukan secara parsial. Peradaban Barat dapat mengalahkan peradaban-peradaban lain, bukan hanya karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya, tetapi karena keseluruhan unsur-unsurnya. Peperangan antara Timur dan Barat adalah peperangan antara dua peradaban, yakni peradaban Islam dan peradaban Barat. Di dalam peradaban Islam, agama mencakup segala-galanya mulai dari pakaian dan perkakas rumah sampai ke sekolah dan institusi. Turut campurnya Islam dalam segala lapangan kehidupan membawa kepada mundurnya Islam, dan di Barat sebaliknya sekularisasilah yang menimbulkan peradaban yang tinggi itu. Jika ingin terus mempunyai wujud rakyat Turki harus mengadakan sekularisasi terhadap pandangan keagamaan, hubungan sosial dan hukum. Menurut versi Mustafa kemal, sekularisme bukan saja memisahkan masalah bernegara (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dari pengaruh agama melainkan juga membatasi peranan agama dalam kehidupan orang Turki sebagai satu bangsa. Sekularisme ini adalah lebih me¬rupakan antagonisme terhadap hampir segala apa yang berlaku di masa Usmani.
Ketiga, unsur wasternisme. Dalam unsur ini, Mustafa Kemal berpendapat bahwa Turki harus berorientasi ke Barat. Ia melihat bahwa dengan meniru Barat negara Turki akan maju. Unsur westernisme dalam prinsip pemikiran Mustafa Kemal mendapat momennya ketika dalam salah satu pidatonya ia mengatakan bahwa kelanjutan hidup suatu masyarakat di dunia peradaban modern menghendaki perobahan dalam diri sendiri. Di zaman yang dalamnya ilmu pengetahuan mampu membawa perobahan secara terus-menerus, maka bangsa yang berpegang teguh pada pemikiran dan tradisi yang tua lagi usang tidak akan dapat mempertahankan wujudnya. Masyarakat Turki harus dirubah menjadi masyarakat yang mempunyai peradaban Barat, dan se¬gala kegiatan reaksioner harus dihancurkan.

Dari ketiga prinsip di atas, kemudian melahirkan ideologi kemalisme, yang terdiri atas: republikanisme, nasionalisme, kerakyatan, sekularisme, etatisme, dan revolusionisme. Ideologi yang diasosiasikan dengan figur Mustafa Kemal ini kemudian berkembang di Turki dan dikembangkan oleh pengikutnya. Dan jika dilihat dari perkembangan tersebut di atas, Republik Turki adalah negara sekuler. Tetapi meskipun begitu, apa yang diciptakan Mustafa Kemal belumlah negara yang betul-betul sekuler.
Mustafa Kemal sebenarnya seorang nasionalis pengagum Barat, yang Islam maju, sebab itu perlu diadakan pembaharuan dalan soal agama untuk disesuaikan dengan bumi Turki. Islam adalah agama rasional dan perlu bagi manusia, tetapi agama yang rasional ini telah dirusak oleh ulama-ulama oleh karena itu, usaha sekularisasinya berpusat pada menghilangkan kekuasaan golongan ulama dalam soal negara dan polotik. negara harus dipisahkan dari agama.[7]
Dengan pandangan Mustafa Kemal seperti yang disebutkan di atas, bahwasannya dia perpendapat Qur’an perlu diterjemahkan dalam bahasa Turki, azan juga dengan bahasa Turki, khutbah juga dengan bahasa Turki. Madrasah yang sudah ketinggalan zaman ditutup, diganti fakultas Ilahiyat untuk mendidik imam sholat, khotib-khotib, dan pembaharuan yang diperlukan. Akan tetapi Mustafa Kemal mendirikan penggantinya yaitu Departemen Urursan Agama. Negara menjamin kebebasan beragama, sehingga sekularisasi yang dijalankan tidak menghilangkan agama. Yang berusaha dihapus adalah kekuasaan ulama dalam soal politik dan negara. Karena Mustafa Kemal berpendapat agama adalah masalah pribadi.

C. GERAKAN PEMBARUAN TURKI PASCA MUSTAFA KEMAL ATATURK

Daripada lebel seorang inspirator berdirinya republik Turki, Mustafa Kemal Ataturk sebenarnya lebih dikenal sebagai tokoh penggerak berdirinya sebuah rezim republik sekuler Turki. Dari perjuangannya lah, negara Turki yang pernah menjadi jantung pemerintahan imperium terakhir ummat Islam ini mampu berdiri kokoh sebagai sebuah negara merdeka yang berdiri dan diakui kedaulatannya secara internasional setelah Perang Dunia
Meski demikian, keberhasilan mendirikan sebuah negara Turki yang merdeka tidak serta merta menjadikan negara bekas pemerintahan dinasti Islam ini berubah seratus persen menjadi sekuler. Lika-liku gerakan pembaruan (sekularisasi) Turki yang dilakoni oleh Mustafa Kemal terekam dalam tindakan rezim pemerintahannya yang diktator. Sehingga, proses perubahan Turki menjadi sebuah negara yang bercorak modern adalah suatu metamorphosis yang sangat berbeda dari corak tradisi dan nilai-nilai budaya masyarakat Turki yang hampir seluruhnya Islam.[8]
Perlu diketahui bahwasannya Mustafa Kemal merupakan pejuang untuk mendirikan sebuah negara Turki yang merdeka, namun tidak menjadikan seratus persen negara sekuler, dan proses prubahannya menjadi negara yang bercorak modern dan sangat berbeda dengan corak tradisi dan nilai-nilai masyarakat Turki yang hampir semua Islam.
Gerakan pembaruan Turki Mustafa Kemal Ataturk dimulai dengan penghapusan Kesultanan Usmani pada tahun 1923 dan penghapusan khilafah pada tahun 1924. Lembaga wakaf dihapuskan dan dikuasakan kepada kantor urusan agama. Pada tahun 1925 beberapa thariqat sufi dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan dihancurkan. Pada tahun 1927 pemakaian tarbus dilarang. Pada tahun 1928 diberlakukan tulisan latin menggantikan tulisan Arab, dan dimulai upaya memurnikan bahasa Turki dari muatan bahasa Arab dan Persi. Pada tahun 1935 seluruh warga Turki diharuskan menggunakan nama kecil sebagaimana berlaku pada pola nama Barat.

Sedangkan menurut Ajid Thohir, gerakan pembaruan Turki Mustafa Kemal tergambar dalam ideologi kemalisme yang mencakup prinsip-prinsip[9]: republikanisme, nasionalisme, populisme, etatisme, sekularisme, dan revolusionisme. Dalam lapangan agama, Mustafa Kemal membuat sejumlah kebijakan, seperti pada tahun 1928, ia memperkenalkan bangku gereja serta jam kamar ke dalam mesjid. Orang shalat dengan menggunakan sepatunya, menggunakan bahasa Turki dalam sholatnya. Dan untuk membuat sholat di masjid itu indah, mudah untuk mendapat inspirasi dan memiliki nilai spiritual, maka mesjid perlu melatih para musikus. Kebutuhan ini penting bagi kaum modern dengan meletakkan alat musik barat ke dalam mesjid.



Beberapa bentuk pembaharuan penting dalam bidang pendidikan di Turki pada dasawarsa pertama abad ke-20 dapat diuraikan secara ringkas sebagai berikut[10]:
1. pada tahun 1913 diundangkan peraturan mengenai pendidikan dasar yang berupa pengenalan terhadap pendidikan modern. Peraturan ini merupakan langkah besar dalam rangka meninggalkan pendidikan dasar tradisional dan murni keagamaan
2. antara tahun 1013-1919 dilakukan pengorganisasian terhadap pendidikan anak perempuan
3. pada tanggal 3 Maret 1924 dikeluarkan undang-undang penyatuan pendidikan, maka seluruh sekolah agama/madrasah, baik yang dikelola oleh kementrian wakaf atau yayasan wakaf swasta ditutup. Klaim pemerintah Kemal At-Taturk sebagai “penyatuan” bukanlah melakukan intraksi atau sistesis antara dualisme sistem pendidikan tradisional dan modern, tetapi menghilangkan salah satu pihak, dalam hal ini adalah pendidikan tradisional, tokoh dibalik kebijakan ini adalah Mustafa Kemal at-Taturk dan Ismet Inonu.

Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa pembaharuan pendidikan Islam di Turki adalah pengahapusan sistem sekolah yang murni tradisional (keagamaan) kepada suatu sistem yang dirancngnya mutalk sekuler yang ditandai dengan ditiadakannya pendidikan agama di sekolah-sekolah.
Dikarenakan Islam sudah begitu mendarah daging bagi masyarakat Turki dan tidak dapat dipisahkan dari identitas Nasional Turki, maka pada tahun 1949 pendidikan agama dimasukkan kembali ke dalam kurikulum sekolah selama dua jam seminggu dan setahun kemudian pendidikan agama itu dibuat bersifat wajib.

Kebijakan-kebijakan Mustafa Kemal diantaran:
1. Penghapusan Jabatan Kesultanan, tanggal 1 November 1922
2. Penghapusan Jabatan Khalifah 3 Maret 1924
3. Lembaga Wakaf dihapus dan dikuasakan kepada KUA
4. Memperkenalkan bangku gereja dan jam kamar ke dalam masjid, tahun 1928
5. Mengharuskan orang sholat menggunakan sepatu dan bahasa Turki
6. Meletakkan alat musik barat di dalam masjid serta digunakan sebagai iringan sholat
7. Seluruh warga Turki diharuskan menggunakan nama kecil sebagaimana berlaku pada pola nama barat, tahun 1935

Sungguhpun demikian, kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Mustafa Kemal yang bisa dikatakan sangat radikal tersebut telah mengundang sejumlah reaksi. Reaksi yang paling keras ditunjukkan oleh kalangan Islam konservatif. Gerakan sekulerisasi Turki oleh Mustafa Kemal berakhir seiring dengan meninggalnya beliau. Proses sekulerisasi sempat dilanjutkan oleh Ismet Inonu, seorang Presiden pengganti Mustafa Kemal. Sungguhpun demikian, rakyat Turki tetaplah rakyat Turki, yang tidak bisa menggoyahkan akar Islam yang sudah terpatri dalam hati mereka. Memang secara politis, Negara Turki mempunyai pandangan bahwa mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari peradaban barat, tapi secara kultural, mereka tetap mempertahankan jati diri mereka yang tak bisa terlepas dari Islam. Walaupun Turki dinyatakan sebagai negara sekuler, Islam tetap berakar kuat di hati masyarakat Turki. Ini terbukti para petani yang hidup di pedesaan yang merupakan tiga perempat dari seluruh penduduk Turki tetap merupakan orang-orang muslim yang shaleh. Pengaruh Islam juga masih terlihat pada kaum buruh dan pedagang-pedagang kecil. Hal ini membuktikan bahwa sekulerisasi tidak tumbuh subur di masyarakat Turki yang punya akar ke-Islam-an yang kuat.

D. IDEOLOGI KEMALISME DAN KONDISI REPUBLIK TURKI PASCA MUSTAFA KEMAL ATATURK
Secara politis, negara Turki mempunyai pandangan bahwa mereka adalah bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban Barat.sedangkan secara loyalitas cultural, rakyat Turki terus mempertahankan identitas mereka dengan Islam.[11] Jadi, walaupun Turki dinyatakan sebagai negara secular, namun Islam tetap berakar pada masyarakat Turki.

Sepeninggalan Mustafa Kemal at-Taturk, Ismet Inano diangkat menjadi presiden. Sejak itu kajian Islam mulai semarak kembali. Setelah Perang Dunia II usai, pemerintahan satu partai berakhir (ditandai dengan lahirnya partai Demokrat).
Kegiatan keagamaan tampak di mana-mana. Akhirnya hal ini menjadi pendapat umum masyarakat yang menghendaki agar pelajaran agama dimasukkan kembali dalam kurikulum di sekolah.[12]
Meskipun Mustafa Kemal sudah meninggal, akan tetapi Ismet Inano mampu menyemarakkan kembali kajian Islam sehingga kegiatan keagamaan tersebar di mana-mana dan pada akhirnya juga pelajaran yang berbaur agama kembali dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah.

Dan sebenarnya Mustafa Kemal, meskipun sebagai nasionalis dan pengagum peradaban Barat. Namun, tidak menentang agama Islam. Baginya Islam adalah agama yang rasional yang perlu bagi umat manusia. Tetapi agama yang rasional ini telah dirusak oleh tangan manusia. Oleh sebab itu ia melihat perlunya diadakan pembaharuan dalam soal agama untuk disesuaikan dengan bumi Turki. Al-Qur’an perlu diterjemahkan dalam bahasa Turki, agar dapat dipahami oleh rakyat Turki. Demikian juga khotbah Jum’at harus diberikan dalam bahasa Turki. Tetapi usaha itu kelihatannya belum berhasil, dan pemikiran untuk mengadakan pembaharuan dalam Islam melalui pemerintahan ditinggalkan.

Perubahan yang dijalankan oleh Mustafa Kemal tidak sampai menghilangkan agama. Rivitalismenya berpusat pada kekuasaan golongan ulama dalam soal negara dan dalam politik. Oleh karena itu pembentukkan partai Islam, partai Kristen, dan sebagainya. Yang terutama ditentang adalah ide negara Islam dan pembentukkan negara Islam. Negara mesti dipisahkan dari agama. Institusi-institusi negara, sosial. Politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan harus dibebaskakan dari kekuasaan syariat. negara dalam pada itu menjamin kebebasan beragama bagi masyarakat.[13]

Dari semenjak timbulnya tiga aliran pembaharuan di Turki. Golongan Barat, golongan Islam, golongan Nasionalis Turki, telah dapat diramalkan bahwa yang akhirnya akan mendapat kemenangan adalah golongan nasionalis. Ide golongan Islam yang ingin mempertahankan institusi dan tradisi lama, di ketika dunia Timur tampak dipengaruh ide pembaharuan, tidak akan mendapat sokongan yang kuat. Demikian juga ide weternisasi yang ingin meniru Barat dan mempertahankan sistem pemerintahan kerajaan Ustmani di ketika rasa anti-Barat dan anti-Sultan sedang meningkat di Turki, tidak akan dapat bertahan. Tetapi golongan nasionalis, yang ingin mengadakan pembaharuan atas dasar nasionalisme dan peradaban Barat, di ketika dunia Timur sedang dipengaruhi oleh ide nasionalisme dan pembaharuan, pasti akan memperoleh kemenangan. Keadaan dan situasi zaman itu memang menolong bagi Mustafa Kemal untuk mewujudkan cita-citanya.[14]
Jadi, sudah dapat diperkirakan dari ketiga golongan tersebut di atas, yang akan mendapatkan kemenangan adalah golongan nasionalis dan keadaan inilah yang memang menolong bagi Mustafa Kemal untuk mewujudkan cita-citanya.
Ia meninggal dunia di tahun 1938. Usaha pembaharuan yang dimulainya dijalankan terus oleh pengikut-pengikutnya. Tetapi bagaimanapun rasa keagamaan yang mendalam di kalangan rakyat Turki tidak menjadi lemah dengan sekularisasi yang dilakukan oleh Mustafa Kemal dan pemerintahan Nasionalis Turki. Islam telah mempunyai akar yang mendalam pada masyarakat Turki, dan sulit dapat dipisahkan dari identitas nasional Turki. Orang Turki akan merasa dihinakan kalau mereka dikatakan bukan orang Islam.

Tidak mengherankan kalau tidak lama kemudian gerakan “kembali kepada agama” timbul di Turki. Di tahun 1940 imam-imam tentera mulai bertugas di Angkatan Bersenjata Turki. Di tahun 1949 pendidikan agama mulai dimasukkan kembali ke dalam kurikulum sekolah selama dua jam seminggu. Setahun kemudian pendidikan agama itu dibuat bersifat wajib. Fakultas Ilahiyat yang di tahun 1933 diubah menjadi Institut Studi Islam, dihidupkan kembali di tahun 1949. Mulai dari tahun 1950 orang-orang Turki telah diperbolehkan naik haji ke Mekkah. Majalah-majalah Islam mulai muncul seperti Sebil-Ur Resad dan Selamat. Ensiklopedi Islam juga diterjemahlkan ke dalam bahasa Turki. Tarekat, yang selama ini tetap mempunyai pengikut besar secara rahasia di kalangan petani dan buruh, mulai berani menonjolkan diri. Dalam bidang politik Islam juga telah mulai memainkan rol.[15]

Memang sebenarnya perubahan dari Mustafa Kemal tidak menghilangkan agama Islam dari rakyat Turki, dan Mustafa Kemal memeng tidak bermaksud demikian. Yang ia maksudkan itu adalah menghilangkan kekuasaan agama dari bidang politik dan pemerintahan. Dan ternyata gerakan pembaharuan pascanya juga dapat mengembalikan sesuatu yang selama ini bersifat tersembunyi karena adanya pengaruh dari Barat. Akan tetapi sekarang masyarakat Turki sudah melakukan keagamaan itu dengan sifat yang terbuka.


KESIMPULAN

Dalam pemikiran tentan pembahruan pasca Mustafa Kemal ini dipengaruhi bukan oleh ide golongan Nasionalis saja, tetapi juga oleh ide golongan Barat. Karena dia berpendapat Turki bisa maju hanya dengan meniru Barat. Dan setelah perjuangan kemerdekaan selesai, demikian Mustafa Kemal, perjuangan baru dimulai, yaitu perjuangan untuk memperoleh dan mewujudkan peradaban Barat di Turki.
Menurut Mustafa Kemal dan pengikutnya, ketinggian suatu peradaban terletak dalam keseluruannya bukan sebagiannya saja. Pembaharuan pertama ditujukan terhadap bentuk negara. Bahwasannya menurut Mustafa Kemal harus diadakan pembaharuan, yaitu pemerintahan harus dipisahkan dari agama. Karena agama adalah masalah yang pribadi dan tidak boleh dicampuradukkan dengan masalah politik.
Meskipun Mustafa Kemal adalah seorang yang sangat mengagumi akan peradaban dan mempunyai hubungan erar dengan Barat, tapi dia tidak menghilangkan agama dari masyarakat Turki itu sendiri. Walau Turki dinyatakan sebagai negara secular, Islam tetap mengakar kuat pada masyarakat Turki.
Dan sepeninggal Mustafa Kemal. Usaha pembaharuan yang dimulainya terus dijalankan oleh pengikut-pengikutnya. Tetapi bagaimanapun rasa keagamaan yang mendalam pada masyarakat Turki tidak melemah dengan pembaharuan yang diakukan oleh Mustafa Kemal dan Pemerintahan Nasionalis Turki. Karena Islam sendiri sudah mempunyai akar yang mendalam dan sulit untuk dipisahkan dari identitas nasional Turki.
Ketika Ismet Inano diangkat menjadi presiden. Sejak itu, kajian Islam mulai semarak kembali dan kegiatan keagamaan tampak di mana-mana. Akhirnya hal ini menjadi pendapat umum masyarakat yang menghendaki agar pelajaran agama dimasukkan kembali dalam kurikulum sekolah. Dan yang selama ini bersifat tersembunyi sekarang sudah leluasa menjalaninya (bidang keagamaannya).
Pembaharuan setelah Mustafa Kemal ini kajian tentang agama tidaklah musnah, karena memang Mustafa Kemal tidak bermaksud demikian. Yang dimaksudnya adalah untuk menghilangkan kekuasaan agama dari bidang politik dan pemerintahan.


DAFTAR PUSTAKA

Mukti, Ali. 1994. Islam dan Sekularisme di Turki. Jakarta: Penerbit Djambatan

http://dekcrayon.blogspot.com/2009/05/mustafa-kemal-attaturk-2.html. hari Minggu; Pukul: 12:20

Al-‘Usairy, Ahmad. 2004. Sejarah Islam. Jakarta: Akbar

Niswah, Choirun. 2006. Sejarah Pendidikan Islam. Palembang: IAIN Raden Fatah Press

Thohir, Ajied. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Nasution, Harun. 2003. Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang

Mustafa Kemal At-Taturk & Sekulersime

BAB I


Pendahuluan
Pada makalah-makalah yang lalu telah banyak disinggung tentang pengertian modernisasai dalam Islam. Kata modernisasi lahir dari dunia Barat, adanya sejak terkait dengan masalah agama. Modernisasai adalah proses perubahan ke arah yang lebih baik dan lebih maju. Sedangkan manusia modern adalah manusia yang sebagian besar mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah kearah peradaban baru. Menurut masyarakat modern mengartikannya usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama agar disesuaikan dengan pendapat dan keadaan yang baru yang ditimbulkan oleh kemajuan IPTEK.
Ini sejalan dengan gerakan modernisasi agama baru Mustafa Kemal Ataturk pada pembahasan kami kali ini. Mustafa Kemal Ataturk adalah presiden Republik Turki yang pertama. Ia berkuasa dari tahun 1921 s/d 1938. Sebelum Mustafa Kemal Ataturk menjadi presiden di Negara Turki, Negara Turki dulu adalah sebuah Negara yang dikepalai oleh seseorang khalifah (Sulthan), yang didampingi oleh Syaikhul Islam.
Hal ini berjalan sedari tahun 1299 M sampai tahun 1921 M yakni selama 622 tahun, yaitu sedari Sulthan Utsman I mendirikan “kerajaan Utsmani” pada tahun 1299 sampai khalifah terakhir ini yang kami bahas yaitu Mustafa Kemal Ataturk bernama khalifah Abdul Majid. Dengan kata lain bahwa Negara Turki pada waktu itu adalah sebuah Negara, dimana antara Negara dan agama berjalin satu.
Akan tetapi setelah Mustafa Kemal Ataturk memerintah di Turki ada banyak hal yang dimodernisasi baik politik agama, social dan berbudaya bahkan beliau mengadakan sekulerisasi terhadap agama dan pemerintahan sehingga yang pada dahulunya Negara Turki dianggap “Imam Dunia Islam” dalam soal keagamaan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, tetapi sekarang Turki sudah dilupakan oleh dunia Islam.

B. Pembahasan
1. Mustafa Kemal Ataturk dan Sekulerisme di Turki
a. Biografi Mustafa Kemal Ataturk Menurut Harun Nasution
Seorang pemimpin Turki baru, yang menyelamatkan kerajaan Usmani dari kehancuran total yang disebabkan penjajahan Eropa. Ialah pencipta Turki modern dan atas jasa-jasanya, ia mendapat gelar Attaturk (bapak Turki). Beliau Mustafa Kemal Ataturk lahir di Salonika pada tahun 1881. Orang tuanya bernama Ali Riza seorang pegawai biasa di ¬salah satu kantor pemerintah di kota itu, sedangkan ibunya bernama Zubayde, seorang wanita yang amat dalam perasaan keagamaannya.
Pada mulanya Mustafa, atas desakan ibunya dimasukkan di Madrasah, tetapi karena tidak merasa senang belajar di sana, ia selalu melawan guru. Ia kemudian dimasukkan orang tuanya ke sekolah dasar modern di Salonika. Dalam usia empat belas tahun ia tamat belajar disekolah ini dan meneruskan pelajaran pada sekolah latihan militer di kota Monastir dan pada 13 Maret 1899 ia masuk ke sekolah ilmu militer di Istambul sebagai kadet pasukan infanteri. Tahun 1902 ia ditunjuk menjadi salah satu staf pengajar dan pada bulan Januari 1905 ia lulus dengan pangkat kapten.
Semasih belajar, Mustafa Kemal sudah mulai kenal dengan politik melalui seorang temannya bernama Ali Fethi. Atas dorongan sahabatnya ini beliau memperkuat dan memperdalam pengetahuan tentang bahasa Perancis, sehingga ia dapat membaca kerangka filosof-filosof Perancis seperti Roussean, Voltaire, Agusti Conte, Montesquien, dll. Di samping itu sejarah dan sastra juga menarik perhatiannya.
Masa studi Mustafa Kemal di Istambul adalah masa meluasnya tantangan terhadap kekuasaan absolut Sultan Abdul Hamid dan masa pembentukan perkumpulan-perkumpulan rahasia bukan di kalangan politisi saja, tetapi juga di kalangan pemuda di sekolah-sekolah militer. Mustafa dan teman-temannya pernah membentuk suatu komite rahasia dan menerbitkan surat kabar tulisan tangan yang mendukung kritik terhadap pemerintahan Sulthan. Sesudah selesai studi, beliau tidak meninggalkan kegiatan politik sehingga beliau akhirnya bersama dengan beberapa teman ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara untuk beberapa bulan. Kemudian mereka dibebaskan, tetapi diasingkan ke luar Istambul. Beliau sendiri dan bersama seorang sahabatnya Ali Puad diasingkan ke Suria.
Di Damsyik ia juga tidak melepaskan diri dari kegiatan politik, dan selalu mengadakan perjumpaan dengan pemuka-pemuka yang dibuang di kota ini. Di tahun 1906 mereka membentuk perkumpulan Vatan (tanah air). Mustafa Kemal dalam kedudukannya sebagai perwira yang dapat berkunjung ke kota-kota lain, memberi bantuan dalam membentuk cabang-cabang di Yaffa, Yerusalem, dan Beirut. Kemudian dia melihat bahwa di daerah ini revolusi Turki tidak akan bias muncul, karena penduduknya berbangsa Arab dan juga karena terletak agak jauh dari Istambul tempat yang strategis ialah Salonika. Cuti sakit yang diperolehnya, ia pakai untuk berkunjung ke kota tempat ia lahir itu. Di sana ia berhasil membentuk cabang dari perkumpulan yang didirikan di Damsyik. Namanya di robah menjadi vatar Ve Hurriyet (tanah air kemerdekaan)
Di tahun 1907 ia dipindahkan ke Salonika untuk bekerja di satf umum. Dalam pada itu perkumpulan persatuan dan kemajuan telah dibentuk dan berpusat di kota ini. Perkumpulan baru itu lebih besar pengaruhnya dari perkumpulan Vatar ve Hurriyet. Mustafa Kemal melihat tidak ada jalan lain baginya kecuali turut menggabungkan diri dalam gerakan persatuan dan kemajuan. Dalam Revolusi 1908 ia tidak mempunyai peranan, karena tidak dapat menandingi pemimpin-pemimpin senior seperti Enver, Talat, Jemal dan lain-lain.
Di Konferensi perkumpulan persatuan dan kemajuan yang diadakan di Salomika, Mustafa Kemal mengeluarkan pendapatnya tentang partai dan tentara, yang keduanya telah bergabung menjadi satu dalam perkumpulan tersebut. Keadaan seperti ini, menurut Mustafa Kemal ) tidak menguntungkan bagi perjuangan. Agar Negara dan konstitusi dapat dipertahankan, demikian ia menjelaskan, diperlukan tentara yang kuat disatu pihak dan partai yang kuat dipihak lain. Perwira yang harus tunduk kepada kedua kepala akan menjadi prajurit yang tidak baik dan sekaligus juga politikus yang tidak baik. Ia akan mengabaikan kewajibannya untuk militernya dan mudahlah musuh mengadakan gerakan perlawanan, seperti yang diadakan oleh Sulthan Abdul Hamid. Dalam pada itu hubungannya dengan rakyat terputus dan terjadilah kekacauan politik dan selanjutnya timbullah perasaan tidak senang dikalangan rakyat. Perwira disuruh memilih, tinggal dalam partai dan keluar dari tentara, atau tinggal dalam tentara dan keluar dari partai. Selanjutnya harus dikeluarkan Undang-Undang yang melarang perwira yang menjadi anggota Partai. Pendapatnya ini kurang mendapat sambutan dari konferensi.
Ia dengan temannya Ali Fethi tidak setuju dengan politik Enver, Talat dan Jemal dan tidak segan mengeluarkan kritik terhadap ketiga pemimpin itu. Akhirnya di tahun 1913 Fethi dibuang ke Sofia sebagai Duta dan Mustafa Kemal ikut sebagai Attase Militer. Disinilah Mustafa Kemal berkenalan langsung dengan peradaban Barat yang amat menarik perhatiannya, terutama pemerintahan parlement. Setelah perang dunia I pecah ia dipanggil kembali untuk menjadi panglima Divisi 19.
Sehabis perang dunia I ia diangkat menjadi panglima dari semua pasukan yang ada di Turki Selatan. Izmir telah jatuh dan Sanyrna telah diduduki tentara sekutu, dan kewajiban Mustafa Kemal kembali membebaskan daerah itu dari kekuasaan asing dengan mendapat sokongan dari rakyat yang telah mulai membentuk gerakan-gerakan membela tanah air, ia akhirnya dapat memukul musuh mundur dan menyelamatkan daerah Turki dari penjajahan asing.
Dengan teman-temannya dari pimpinan nasionalis lain Ali Paud dan Refat, ia dalam itu mulai menantang pemerintah yang datang dari Sultan Istambul, karena perintah itu banyak bertentangan dengan kepentingan nasional Turki. Sulthan di Istambul telah berada di bawah kekuasaan sekutu dan harus menyesuaikan diri dengan kehendak mereka.
Mustafa Kemal melihat perlunya diadakan pemerintahan tandingan di Anatolia. Segera ia dengan rekan-rekannya tersebut di atas mengeluarkan maklumat yang berisi pernyataan-pernyataan berikut:
1. Kemerdekaan tanah air sedang dalam keadaan bahaya
2. Pemerintah di ibu kota terletak di bawah kekuasaan sekutu dan oleh karena itu tidak dapat menjalankan tugas.
3. Rakyat Turki harus berusaha sendiri untuk membebaskan tanah air dari kekuasaan asing.
4. Gerakan – gerakan pembela tanah air yang telah ada harus dikoordinir oleh suatu panitia nasional pusat.
5. Untuk itu perlu diadakan kongres.

Atas usaha Mustafa Kemal dan teman-temannya dapat dibentuk Majelis Nasional Agung di tahun 1920. dalam siding di Ankara, yang kemudian menjadi ibu kota Republik Turki, ia dipilih sebagai ketua. Dalam sidang itu diambil antara lain keputusan-keputusan berikut:
1. Kekuasaan tertinggi terletak ditangan rakyat Turki
2. Majelis Nasional Agung merupakan Perwakilan Rakyat tertinggi
3. Majelis Nasional Agung bertugas sebagai badan legislative dan badan eksekutif
4. Majelis Negara yang anggotanya dipilih dari majelis Nasional Agung akan menjalankan tugas pemerintah
5. Ketua Majelis Nasional Agung merangkap sebatas Ketua Majlis Negara

Demikianlah, Mustafa Kemal dan teman-temannya dari golongan nasionalis bergerak dan dengan perlahan-lahan dapat menguasai situasi sehingga akhirnya sekutu terpaksa mengakui sebagai penguasa defacto dan dejure di Turki. Pada tanggal 23 Juli 1923 ditandatangani perjanjian lausanite dan pemerintahan Mustafa Kemal mendapat pengakuan internasional.
Jadi, Mustafa Kemal adalah seorang yang nasionalis karena lingkungan tempat belajar /studi beliau mulai mengenal peradaban-peradaban barat yang menarik perhatiannya kemudian karena dukungannya sahabatnya Ali fethi beliau mulai mengenal politik, karena beliau seorang yang nasionalis di Turki beliau berkeinginan untuk mengadakan perubahan-perubahan atau dalam bentuk Westernisasi sekularisasi di Turki dengan paham atau ide nasionalisme yang dianutnya. Beliau meninggal dunia di tahun 1938. tapi pembahasan kali ini belum selesai ada banyak hal yang dilakukan oleh Mustafa Kemal selama ia menjadi kepala pemerintahan di Turki. Pada pembahasan selanjutnya akan diselesaikan gerakan-gerakan pembaharuan yang dilakukannya di Negara Turki.

b. Gerakan Sekulerisme di Turki
Dalam “sejarah dan kebudayaan Islam imperium Turki Usmani”, sekuler diartikan sebagai berikut, bahwa tidak ada campur tangan agama atau mazhab agama seseorang dalam bentuk apapun atau agama (Mazhab agama) seseorang itu tidak boleh menjadi perintang untuk memperoleh hak kemanusiaannya.
Sedangkan sekularisasi menurut Muhammad Arkoun adalah sikap spirit dan merupakan kompetisi untuk menguasai kebenaran atau mencapai kebenaran. Menurut beliau adalah sikap terhadap pengetahuan yaitu sikap yang berupaya menjadi terbuka dan bebas sampai sejauh mungkin, atau sampai batas yang memungkinkannya tidak hanya syarat-syarat politis dan social, tetapi juga kemajuan metodelogi, pengetahuan dan teknik yang mendominasi dalam suatu masa dan tempat.
Akan tetapi menurut Ahmad Syalaby pengertian sekuler yang lebih populer berbeda dengan pengertian sekuler diatas, karena pengertian sekuler yang lebih populer itu hampir sama dengan pengertian atheis. Pengertian sekuler yang populerlah yang digalakkan di Turki pada masa Mustafa Kemal. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa peristiwa perubahan pada beberapa bidang dan kemasyarakatan yang ditempuh oleh Mustafa Kemal Ataturk (Bapak Turki) dalam sejarah Turki sesuai dengan program kelompok persekutuan dan kemajuan (Al-Ijtihad wa at Faraqqi) yang telah mewarnai lembaran baru sejarah Turki. Perubahan-perubahan tersebut antara lain :
a. Pada bulan Maret 1924 Majelis Kebangsaan mengadakan sidang. Hasil sidang tersebut menetapkan bahwa jabatan khalifah dan jabatan Menteri Syari’at dan waqaf dihapuskan. Langkah berikutnya, demi untuk menyempurnakan ide tentang Turki modern, Mustafa Kemal menghapuskan seluruh institusi keagamaan yang ada dalam pemerintahan. Dia mengumumkan penghapusan mahkamah syariyyah dan menggantikannya dengan mahkamah sipil ala Barat. Lembaga-lembaga pendidikan dan sekolah-sekolah agam dihapuskan, selanjutnya seluruh lembaga pendidikan digabungkan di bawah satu naungan Deparetemen Pendidikan.
b. Kebijaksanaan berikutnya Al-Ghazali menghapuskan artikel dalam UUD yang berbunyi bahwa “agama Islam adalah agama Negara”. Selanjutnya dia menghapuskan syariat Islam dan sebagai gantinya Syariat Aiqat (Hukum Adat) diberlakukan akan tetapi syariat Atiqat juga kemudian diganti lagi dengan hukum positif model Swiss dan hukum pidana ala Itali. Hari libur resmi mingguan dirubah dari hari Jum’at menjadi hari minggu, di samping mengganti kalender Hijaiyyah dengan kalender Miladi. Hukum waris pun tidak luput dari perubahan-perubahannya. Bagian laki-laki dan perempuan disamakan dan yang menjadi ahli waris adalah hanya keluarga mayat saja (anak istri) lain tidak. Pemerintahan Ataturk tidak henti-hentinya melakukan usaha-usaha perubahan demi terhapusnya unsure keagamaan dari pemerintahan atau paling tidak demi melepaskan pemerintahan dari sebagian besar unsure-unsur Islam. Jumlah Masjid dibatasi dan tidak dibenarkan luas halaman masjid lebih dari lima ratus meter. Kemudian para khatibnya pun yang diangkat oleh pemerintahan dikurangi hingga diseluruh wilayah Turki hanya tinggal tiga ratus saja dan mereka dalam menyampaikan masalah-masalah pertanian, perdagangan dan sebagainya. Yang sangat melukai perasaan umat Islam adalah tindakan menutup dua masjid raya yang ada di Istambul, yang pertama Mustafa Kemal hendak merubah masjid Abyah Sophia yang hendak dijadikan museum dan kedua menutup masjid raya Al faith yang hendak dijadikan gudang.
c. Kemudian Mustafa Kemal melarang poligami, sesuai dengan hokum model scoiss walaupun dalam prakteknya ada sedikit perubahan yaitu bagi mereka yang dianggap kaya dan mampu masih tetap diperbolehkan.
d. Dalam upaya menjauhkan diri dari Islam dan dalam rangka westernisasi pemerintah Turki tidak memperkenankan msyarakat umum memakai jilbab dan cadar kecuali para agamawan dan sebagai gantinya masyarakat memakai baju dan topi ala Barat. Kemudian pemerintah mengeluarkan Undang-Undang yang mewajibkan warga negara Turki memakai marga dibelakang namanya yang tidak dikenal dikalangan masyarakat Turki sebelumnya. Kemudian pemerintah melarang mengadakan kegiatan spiritual yang bisa dilakukan pengikut tarekat dan menutup tempat-tempat tersebut. Pemerintah dengan kejam menindak siapa saja yang coba-coba mengkritik kebijaksanaannya, dalam masalah-masalah agama. Para wanita Turki seperti prianya diperbolehkan bekerja. Huruf arab dihapus dan diganti dengan huruf latin. Demi terhapusnya huruf arab dari bumi Turki, secara langsung Ataturk pribadi menjadi pengajar huruf latin. Disetiap kota dan desa didirikan sekolah-sekolah untuk mengajarkan huruf latin ( yang telah diresmikan, menjadi huruf nasional). Kepada masyarakat tanpa mengenal usia. Kemudian di fakultas-fakultas pendidikan tradisional mata kuliah bahasa tersebut merupakan unsur terpenting untuk memahami kesusastraan Turki. Percetakan-percetakan dilarang menerbitkan buku-buku yang berbahasa Turki yang menggunakan huruf Arab.

Maka hasil buruk-baiknya gerakan itu sudah boleh dilihat dan bahkan sudah boleh diberi angka patennya :
1. Negeri dan rakyat Turki pada waktu ini (1971 M) boleh dikatakan suatu negara yang penduduknya masih beragama Islam, tetapi sudah terisolir begitu rupa dari dunia-dunia Islam yang lain. Kalau dulu di zaman khalifah dan syaikhul Islam, pengaruh Turki berkumandang ke seluruh pojok dunia maka sekarang hubungan itu sudah putus sama sekali.
Kalau dulu Turki dianggap “Imam dunia Islam” dalam soal-soal keagamaan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, tetapi sekarang turki sudah dilupakan oleh dunia Islam. Turki sekarang sudah dianggap oleh dunia Islam negeri yang penduduknya masih beragama Islam, tetapi tidak berpengaruh apa-apa lagi. Dalam dunia politik, Turki bukan lagi suatu imam politik dari negeri-negeri Islam Asia Afrika, tetapi Turki sudah menjadi makmum, pengekor dari roda politik dunia Barat, tidak bisa lagi dimasukkan ke dalam kategori negara-negara besar”.
2. Agama menjadi rusak atau menjadi hilang, akibat dari penukaran Qur’an suci dari bahasa Arab ke bahasa Turki, begitu juga penukaran upacara-upacara agama, seperti adzan, sembahyang, berdo’a dari bahasa Arab ke bahasa Turki maka semuanya jadi centang-prenang dan menjadi kacau. Apalagi bahasa Turki tidak mempunyai cukup istilah-istilah yang dapat menyerupai 100% apa yang terkandung di dalam bahasa Arab. Maka pengertian keagamaan pun jadi berubah. Dari corak yang dibawa Al-Qur’an suci ke corak nasionalis-Turki yang sempit.
3. Akibat daripada diperbolehkannya wanita Islam kawin dengan pemuda Nashara dan Yahudi, maka darahnya bangsa Turki sesudah Mustafa Kemal menjadi darah Fifty-Fifty, 50% darah islam dan 50% darah Nashara atau yahudi, kalau tidak akan dikatakan menjadi 75% darah Nashara dan darah Yahudi.

c. Gerakan Pembaruan Turki Mustafa Kemal Ataturk
Daripada lebel seorang inspirator berdirinya republik Turki, Mustafa Kemal Ataturk sebenarnya lebih dikenal sebagai tokoh penggerak berdirinya sebuah rezim republik sekuler Turki. Dari perjuangannya lah, negara Turki yang pernah menjadi jantung pemerintahan imperium terakhir ummat Islam ini mampu berdiri kokoh sebagai sebuah negara merdeka yang berdiri dan diakui kedaulatannya secara internasional setelah Perang Dunia I.
Meski demikian, keberhasilan mendirikan sebuah negara Turki yang merdeka tidak serta merta menjadikan negara bekas pemerintahan dinasti Islam ini berubah seratus persen menjadi sekuler. Lika-liku gerakan pembaruan (sekularisasi) Turki yang dilakoni oleh Mustafa Kemal terekam dalam tindakan rezim pemerintahannya yang diktator. Sehingga, proses perubahan Turki menjadi sebuah negara yang bercorak modern adalah suatu metamorphosis yang sangat berbeda dari corak tradisi dan nilai-nilai budaya masyarakat Turki yang hampir seluruhnya Islam.
Gerakan pembaruan Turki Mustafa Kemal Ataturk dimulai dengan penghapusan Kesultanan Usmani pada tahun 1923 dan penghapusan khilafah pada tahun 1924. Lembaga wakaf dihapuskan dan dikuasakan kepada kantor urusan agama. Pada tahun 1925 beberapa thariqat sufi dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan dihancurkan. Pada tahun 1927 pemakaian tarbus dilarang. Pada tahun 1928 diberlakukan tulisan latin menggantikan tulisan Arab, dan dimulai upaya memurnikan bahasa Turki dari muatan bahasa Arab dan Persi. Pada tahun 1935 seluruh warga Turki diharuskan menggunakan nama kecil sebagaimana berlaku pada pola nama Barat.
Sedangkan menurut Ajid Thohir, gerakan pembaruan Turki Mustafa Kemal tergambar dalam ideologi kemalisme yang mencakup prinsip-prinsip : republikanisme, nasionalisme, populisme, etatisme, sekularisme, dan revolusionisme. Dalam lapangan agama, Mustafa Kemal membuat sejumlah kebijakan, seperti pada tahun 1928, ia memperkenalkan bangku gereja serta jam kamar ke dalam mesjid. Orang shalat dengan menggunakan sepatunya, menggunakan bahasa Turki dalam sholatnya. Dan untuk membuat sholat di masjid itu indah, mudah untuk mendapat inspirasi dan memiliki nilai spiritual, maka mesjid perlu melatih para musikus. Kebutuhan ini penting bagi kaum modern dengan meletakkan alat musik barat ke dalam mesjid. Sedangkan beberapa kebijakan yang dibuat dalam undang-undang pada era rezim Mustafa Kemal adalah :
1. Undang-undang tentang unifikasi dan sekularisasi pendidikan, tanggal 3 Maret 1924;
2. Undang-undang tentang kopiyah, tanggal 1925;
3. Undang-undang tentang pemberhentian petugas jemaah dan makam, penghapusan lembaga pemakaman, tanggal 30 November 1925;
4. Peraturan sipil tentang perkawinan, tanggal 17 Februari 1926;
5. Undang-undang penggunaan huruf latin untuk abjad Turki dan penghapusan tulisan Arab, tanggal 1 November 1928; dan
6. Undang-undang tentang larangan menggunakan pakaian asli, tanggal 1934.

Gerakan sekularisasi Turki oleh rezim Mustafa Kemal berakhir seiring dengan wafatnya Mustafa Kemal pada tahun 1938. Sungguhpun demikian, sepeninggal Mustafa Kemal Ataturk, posisi presiden Turki digantikan oleh Ismet Inonu, seorang kolega yang sangat setia kepadanya. Dengan demikian, proses sekukarisasi terus berjalan di Turki. Hanya saja, pergantian tampuk pimpinan dalam rezim pemerintahan ini memberikan peluang bagi konsepsi sistem politik baru bagi negara Turki. Konsepsi politik baru ini terjadi setelah Perang Dunia II, khususnya pada tahun 1946, yang atas campur tangan pemerintah Amerika Serikat ketika itu yang berusaha mengurangi pengaruh sistem paternalistik dan lebih cenderung menginginkan sistem multi partai. Kondisi ini membuka jalan bagi terbentuknya partai Demokrat (Democrat Party) di Republik Turki.
Dalam sistem politik multi partai inilah, akhirnya pengaruh Partai Republik yang pernah dipimpin oleh Mustafa Kemal, cenderung berkurang. Kecenderungan apresiasi masyarakat Turki terhadap Partai Demokrat lebih didasarkan oleh sikap politik partai ini yang mengusung opini tentang orientasi keagamaan baru yang berbeda daripada orientasi keagamaan di masa rezim Mustafa Kemal bersama Partai Republik-nya.





Kesimpulan
Dari isi makalah di atas dapat disimpulkan bahwa Mustafa Kemal At-Tatur adalah pahlawan yang menyelamatkan Kerajaan Turki dari penjajahanan yang disebabkan oleh Eropa. Dan merupakan pembawa kerajaan Turki yang modern, berbagai upaya ia telah lakukan untuk mengubah kerajaan Turki Usmani menjadi kerajaan yang sekuler. Diamna ajaran-ajaran/paham-paham yang bersifat ortodiks kuno. Semuanya itu dirubah, paham ajaran Turki berubah secara dramatis, sehingga kerajaan Turki menjadi kerajaan yang sekuler, yang mana antara hubungan urusan negara dan agama dipisahkan. Urusan agama tidak boleh bercampur dengan urusan agama, begitupun sebaliknya. Agama tidak dipercampurkan dengan urusan negara.
Meskipun banyak yang menentang atas urusannya, namun Mustafa Kemal mampu mematahkan tantangan-tantangan tersebut. Atas dasar inilah sebenarnya Mustafa Kamal menjadi pemimpin yang termasyhur, kepemimpinan yang ia jalankan mengubah berbagai paham yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Seperti : azan diganti dengan bahasa Turki, Poligami dihapuskan. Kesemuanya ini menjadikan kerajaan Turki sebagai kerajaan yang sekuler. Mustafa Kemal beranggapan bahwa kerajaan Turki itu takkan pernah maju selama masih menganut paham tradisional. Atas jasa-jasa yang pernah ia lakukan di Kerajaan Turki maka ia mendapatkan gelar Attaturk, maka jadilah panggilan Mustafa Kemal Ataturk.
Sebagai penutup dari makalah ini, penulis cukup memberikan satu kesimpulan bahwa opini masyarakat Turki hingga saat ini masih terpecah dalam penilaian terhadap Mustafa Kemal Ataturk. Di satu sisi, ia sebenarnya dihormati sebagai penyelamat bangsa dari kekuasaan penjajahan, dan sekaligus dihormati karena jasanya dalam mengupayakan berdirinya negara modern Turki; dan di sisi lainnya, ia juga dikecam sebagai pengkhianat yang bertanggung jawab atas hilangnya kekhalifahan Islam. Kontradiksi ini menurut penulis tidak dapat dielakkan dalam porsi sejarah negara Turki. Dan hal ini adalah bagian yang integral dalam sejarah panjang berdirinya negara Turki.


Gerakan Mujahidin





Syah Abdul Aziz



Ide-ide pembaharuan yang dicetuskan Syah Waliyullah di abad ke-18 diteruskan oleh anaknya Syah Abdul Aziz (1746-1823) ke generasi selanjutnya. Syah Abdul Aziz merupakan ulama terkemuka di zamannya. Ketika umumnya orang berpendapat bahwa belajar bahasa Eropa haram, ia memberi fatwa bahwa belajar bahasa Inggris bukan hanya saja boleh, tetapi perlu untuk kemajuan umat Islam India.



Di waktu itu, Inggris telah mulai menanam kekuasaannya di India dan kemajuan peradaban Barat telah mulai dirasakan rakyat India, baik yang beragama Islam maupun yang beragama Hindu. Namun, diantara kedua umat tersebut, orang Hindulah yang lebih banyak dipengaruhi oleh peradaban baru itu, sehingga orang Hindu lebih maju dari orang Islam dan lebih dapat bekerja di kantor-kantor Inggris. Keadaan umat Islam pada saat itu menjadi lebih mundur dari pada umat Hindu dan inilah yang ingin diatasi oleh Syah Abdul Aziz dan pemimpin-pemimpin pembaharuan sesudahnya, terutama Sir Sayyid Ahmad Khan.



Sayyid Ahmad Syahid



Dia adalah seorang dari murid Syah Abdul Aziz, yang kemudian berpengaruh dalam gerakan melaksanakan ajaran-ajaran Syah Waliyullah. Ia lahir di tahun 1786 di Rae Bareli, suatu tempat yang terletak di dekat Lucknow. Di masa mudanya ia masuk dalam pasukan berkuda Nawab Amir Khan. Di sinilah ia memperoleh pengetahuan dan pengalaman militernya. Setelah Nawab Amir Khan mengadakan perdamaian dengan kekuatan Inggris di India, ia meniggalkan lapangan militer dan pergi ke Delhi untuk belajar pada Syah Abdul Aziz.



Setelah cukup memperoleh pengetahuan keagamaan, ia mulai mengadakan dakwah di muka umum, sehingga namanya mulai dikenal. Ia berdakwah bukan hanya di Delhi, tetapi juga di daerah-daerah yang terletak jauh dari ibu kota. Di Patna ia mempunyai pengikut yang banyak. Di Rampur orang-orang dari Afganistan turut mendengar dakwahnya. Bahkan, di Kalkuta ia disambut dengan meriah oleh umat Islam yang ada di situ.



Dengan dibantu oleh murid-muridnya, ia mengarang buku yang bernama Sirat-i Mustaqim. Sebagian besar dari buku itu mengandung pemikiran-pemikiran pembaharuan yang dikemukakan oleh Syah Waliyullah.



Menurut Sayyid Ahmad, umat Islam India mundur, karena agama yang mereka anut tidak lagi Islam yang murni, tetapi Islam yang telah bercampur baur dengan paham dan praktek yang berasal dari Persia dan India. Umat Islam India harus dibawa kembali ke ajaran Islam yang murni (Alquran dan Hadis), sehingga bid’ah yang melekat pada tubuh Islam dapat dihilangkan.



Hal pertama yang harus dibersihkan adalah tauhid yang dianut umat Islam India. Keyakinan mereka harus dibersihkan dari paham dan praktek kaum tarekat sufi, seperti kepatuhan tidak terbatas kepada guru dan ziarah ke kuburan wali untuk meminta syafaat. Juga dari paham animism dan adat istiadat Hindu yang masih terdapat dalam kalangan umat Islam India.



Secara lebih terperinci, ajarannya mengenai tauhid mengandung hal-hal berikut:

1. Yang boleh di sembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa perantara dan tanpa upacara yang berlebih-lebihan.

2. Kepada makhluk tidak boleh diberikan sifat-sifat Tuhan. Malaikat, roh, wali, dan lain-lain tidak mempunyai kekuasaan apa-apa untuk menolong manusia dalam mengatasi kesulitan-kesulitannya. Mereka sama lemahnya dengan manusia dan sama terbatas pengetahuannya mengenai Tuhan.

3. Sunah (tradisi) yang diterima hanyalah sunah Nabi dan sunah yang timbul di zaman empat Khalifah. Kebiasaan membaca tahlil dan menghiasi kuburan adalah bid’ah yang menyesatkan dan harus dijauhi.



Sayyid Ahmad juga menentang taklid pada pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat keempat imam besar. Oleh karena itu, berpegang pada suatu mazhab tidak menjadi soal yang penting, meskipun ia sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taklid ditentang, pintu ijtihad baginya terbuka dan tidak tertutup. Ijtihad diperlukan untuk memperoleh interpretasi baru terhadap Alquran dan Hadis.



Ide yang berpengaruh kemudian bukanlah ide-ide di atas, melainkan pemikirannya dalam bidang politik. Daerah India telah banyak dikuasai oleh orang bukan Islam, dan oleh karena itu bukan lagi merupakan Dar al-Islam melainkan Dar al-Harb. Terhadap Dar al-Harb orang Islam harus mengambil salah satu dari dua sikap berikut, yaitu berperang melawan atau hijrah meninggalkan Dar al-Harb dan pindah ke Dar al-Islam. Namun, yang dipilih oleh Sayyid Ahmad ialah berperang.



Kerajaan Mughal di waktu itu memang telah menghadapi hari-hari akhirnya. Kerajaan ini didirikan oleh orang-orang berasal dari Asia Tengah, yang berlainan bangsa dan berlainan agama dengan orang hindu. Mayoritas rakyat kerajaan Mughal tetap memeluk agama Hindu. Dinasti asing ini tidak mudah dapat diterima oleh penduduk asli, maka ketika kerajaan ini mulai menurun kekuasaannya, golongan Hindu mulai bergerak, terutama kaum Mahrata. Daerah-daerah yang jauh dari ibu kota melepaskan diri dan dalam keadaan serupa ini kaum Mahrata dapat membentuk kerajaan merdeka di India Barat. Kekuasaan mereka dirasakan sampai ke Delhi. Selain dari Hindu, golongan Sikh juga turut bergerak melawan kerajaan Mughal. Di samping itu, berdiri pula kerajaan-kerajaan kecil lain seperti Gwalior, Indore, Najpur, dan Baroda. Inggris juga dapat menundukkan daerah yang besar ke bawah kekuasaannya. Sehingga, daerah kerajaan Mughal makin lama makin kecil.



Daerah yang dahulu dikuasai Islam, sekarang jatuh ke tangan bukan Islam. Hal ini membuat Sayyid Ahmad berpendirian bahwa daerah-daerah yang telah jatuh ketangan bukan Islam harus kembali ke tangan Islam. Dengan demikian, timbullah perang jihad terhadap dua musuh, yaitu Hindu dan Inggris. Inggris dengan kemajuan ekonomi dan ipteknya, ternyata kuat dan sukar untuk dikalahkan. Kemungkinan memperoleh kemenangan lebih banyak apabila serangan dihadapkan kepada Sikh.



Sayyid Ahmad dengan gerakan mujahidinnya memulai peperangan terhadap golongan Sikh di India Utara. Mereka menyerang pusat kekuatan yang terletak di Akora, kemudian melanjutkan peperangan ke medan datar dan dapat menguasai Pesyawar. Dengan bantuan Afganistan, mereka berharap dapat mengembalikan daerah-daerah yang telah lepas dari tangan Islam.



Kerajaan Mughal dianggap sudah terlalu lemah dan tidak dapat lagi menguasai keadaan, sehingga perlu dibentuk suatu Imamah, negara yang dikepalai seorang imam. Kemudian Sayyid Ahmad dipilih menjadi imam. Imam mengangkat khalifah atau wakilnya di kota-kota penting. Tugas mereka ialah mengumpulkan zakat untuk pemerintahan imam dan mencari mujahidin untuk meneruskan jihad. Imamah itu dibentuk di tahun 1827 tetapi tidak dapat bertahan lama, karena kepala suku-suku bangsa melihat imamah sebagai saingan terhadap kekuasaan mereka. Selain itu, perubahan dan perbaikan social yang mulai dilakukan oleh Sayyid Ahmad mendapat perlawanan dari masyarakat.



Pada waktu itu juga, perlawanan dari Sikh bertambah kuat. Mereka dapat menarik golongan-golongan bukan Islam lainnya, seperti golongan Barakzai, untuk sama-sama melawan mujahidin. Kekuatan Sayyid Ahmad berkurang dan dalam pertempuran dengan satu pasukan Sikh di Balekot, ia mati terbunuh di tahun 1831. Pada peristiwa ini pula ia mendapatkan gelar Syahid.



Pengikutnya terpecah menjadi dua. Segolongan berpendapat bahwa kekuatan sudah tidak cukup untuk meneruskan jihad, dan oleh karena itu mereka memindahkan perhatian pada pendidikan. Mereka turut berjasa dalam pembentukan Madrasah Deobans yang besar pengaruhnya di India.



Segolongan lagi meneruskan jihad di bawah pimpinan dua bersaudara Maulvi Wilayat Ali (wafat 1852) dan Maulvi Inayat Ali (wafat 1858). Setelah keduanya wafat, gerakan mujahidin dilanjutkan oleh Maulvi Abdullah (wafat 1902) anak dari Maulvi Wilayat Ali. Pertempuran-pertempuran terus terjadi dengan golongan Sikh di Punjab. Kemudian Punjab jatuh ketangan Inggris, dan disinilah terjadi pertempuran secara langsung antara mujahidin dengan Inggris. Suku-suku bangsa yang ada di perbatasan selalu mereka dorong untuk melawan Inggris.



Pada saat itu, kalangan umat Hindu sudah tidak senang terhadap Inggris karena hal-hal sebagai berikut ini:

1. Masyarakat Hindu merupakan masyarakat yang kuat mempertahankan agama dan tradisi. Inggris berusaha untuk menanamkan kebudayaan Barat kedalam masyarat Hindu, hal ini akan merusak tradisi dan mengubah struktur sosial yang ada pada waktu itu.

2. Inggris juga membuka sekolah-sekolah yang di dalamnya diajarkan bahasa Inggris dan ide-ide baru yang bersal dari Barat.

3. Pemerintah Inggris di India mempertahankan aristrokasi dan tidak membuka pintu bagi orang-orang Hindu, walaupun sudah berpendidikan dan terpelajar, orang India masih dianggap rendah.

4. Di kalangan pemilik tanah selalu timbul perasaan cemas apabila tanahnya akan diganggu gugat dan dikuasai oleh Inggris.



Rasa tidak senang itu juga terdapat di kalangan prajurit-prajurit Hindu yang masuk menjadi tentara Inggris. Dengan golongan ini gerkan mujahidin mengadakan kontak dan sepakat akan sama-sama menentang Inggris dan Bahadur Syah (raja Mughal di Delhi) diakui sebagai raja untuk seluruh India.



Pada tanggal 10 Mei 1857, pasukan Hindu di Meerut, memulai perlawanan. Setelah membunuh perwira-perwira Inggris, mereka keluar ke jalanan dengan senjata lengkap dan berbaris menuju ke Delhi. Delhi dikuasai dan Bahadur Syah diangkat sebagai raja India. Kaum mujahidin juga turut serta dalam pemberontakan itu, namun gagal karena pemuka-pemukanya ditangkap dan dibuang. Meskipun golongan Hindu yang memulai pemberontakan, Inggris menganggap bahwa golongan Islamlah yang menjadi penggerak utamanya. Bukti yang dipakai oleh Inggris, yaitu turut sertanya Bahadur Syah, pemimpin-pemimpin Islam di kerajaan Islam Qudh dan gerakan mujahidin, dalam pemberontakan tersebut.



Pada saat itu juga, Delhi dipukul oleh Inggris sehingga gedung-gedung kerajaan Mughal banyak yang hancur. Penduduknya diusir keluar, dan yang tersisa hanyalah kehancuran dari kerajaan Mughal yang ada di Delhi. Sama dengan Delhi, gerakan mujahidinpun juga dihancurkan Inggris. Namun ajaran dari Sayyid Ahmad Syahid tidak turut lenyap, ia mempunyai empat pengikut yang meneruskan ajaran-ajaran pembaharuannya di Bengal Timur yang kini dikenal dengan Bangladesh. Maulvi Imaduddin adalah salah satu pengikut dari Sayyid Ahmad. Selain itu, ada juga Maulvi Karamat Ali, yang dalam dakwah pembaharuannya ia menggunakan kapal-kapal kecil, satu untuk keperluannya beserta keluarganya, satu lagi untuk guru serta murid yang ikut dalam perjalanan dakwahnya, dan satu lagi untuk ceramah dan ibadah shalat bersama. Dengan menggunakan kapal-kapal itu, ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain, di sepanjang sungai-sungai yang dapat dilalui oleh kapal di Bengal.



Darul Ulum Deoband



Diatas telah disebut bahwa sesudah Sayyid Ahmad Syahid wafat ditahun 1831, segolongan dari pengikutnya meninggalkan medan jihad dan memasuki bidang pendidikan. Perhatian pemuka-pemuka gerakan mujjahidin pada lapangan pendidikan meningkat lagi setelah gagalnya pemberontakan 1857. Di antara pemuka-pemuka itu terdapat Maulana Muhammad Qasim Nanantawi dan Maulana Muhammad Ishaq, seorang cucu dari Syah Abdul Aziz. Dibawah pimpinan mereka suatu madrasah kecil di Doeband ditingkatkan menjadi perguruan tinggi agama dengan nama Darul Ulum Doeband.



Darul ulum inilah yang kemudian mengeluarkan ulama-ulama besar India dan melalui ulama-ulama besar itu Doeband mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat Islam India, terutama awamnya. Kedudukan Deoband di India sama dengan kedudukan Al-Azhar di Mesir.



Ide-ide Syah Waliyullah yang kemudian ditonjolkan oleh Sayyid Ahmad dan gerakan mujahidin, itulah yang menjadi pegangan bagi Doeband. Yang diutamakan ialah pemurnian tauhid yang dianut umat Islam di India dari paham-paham salah yang dibawa tarekat dan dari keyakinan animisme lama. Selanjutnya juga pemurnian praktek keagamaan mereka dari segala macam bidah. Yang ingin diwujudkan Doeband kembali ialah Islam murni sebagaimana yang terdapat pada zaman nabi, sahabat, tabiin dan zaman sesudahnya. Doeband dengan demikian kuat berpegang pada tradisi zaman klasik. Mazhab yang dianut doeband adalah mazhab Hanafi.



Dalam bidang politik, Doeband mengambil sikap anti Inggris. Ini demikian karena Doeband didirikan oleh pemuka-pemuka gerakan mujahidin yang melawan kekuasaan Inggris dan didirikan untuk menentang pendidikan sekuler barat yang dibawa Inggris dan juga sebagai reaksi terhadap usaha misi kristen yang datang ke India bersama dengan Inggris. Oleh karena itu bekerjasama dengan hindu untuk melawan Inggris dapat diterima oleh ulama-ulama Doeband. Partai Kongres Nasional India mendapat sokongan dari Doeband. Liga muslimin, karena dianggap pro-Inggris tidak mendapat sokongan bahkan ditentang oleh Doeband. Doeband juga tidak setuju dengan ide pembagian India menjadi dua Negara, Negara Islam pakistan dan Negara hindu. Menurut Doeband, politik pembagian India dan pembentukan Negara Pakistan berasal dari Inggris.



Ajaran pembaharuan yang dibawa oleh Syah Waliyullah dan yang kemudian diteruskan oleh anaknya Syah Abdul Aziz, dan selanjutnya lagi diusahakan oleh Sayyid Ahmad Ayahid serta pengikutnya untuk melaksanakannya, terdapat banyak kesamaan dengan ajaran wahabiah dari Arab. Dan yang banyak dilaksanakan adalah tentang pemurnian praktek umat Islam dari berbagai macam bidah. Oleh karena itu Gerakan Mujahidin disebut juga oleh sebagian penulis barat, Gerakan Wahabiah India.



Tetapi antara Gerakan Wahabiah dan Gerakan Mujahidin terdapat perbedaan besar dalam sikap terhadap ajaran sufi. Sebagai diketahui Wahabiah dengan keras menentang tarekat, sedangkan Mujahidin banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran sufi India. Syah Waliullah sendiri tidak menentang tasawuf dan dapat menyetujui tasawuf yang bersifat moderat. Penulis-penulis Islam India dan Pakistan menolak sebutan Wahabiah India itu.



Sayyid Ahmad Khan



Setelah hancurnya Gerakan Mujahidin dan Kerajaan Mughal sebagai akibat dari “Pemberontakan 1867”, munculnya Sayyid Ahmad Khan untuk memimpin umat Islam India, yang telah kena pukul itu untuk dapat berdiri dan maju kembali sebagai di masa lalu.



Ia lahir di Delhi pada tahun 1817 dan menurut keterangan berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad melalui Fatimah dan Ali. Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar istana dizaman Alamghir II(1754-1759). Ia mendapat didikan tradisional dalam pengetehuan agama dan disamping bahasa Arab ia juga belajar bahsa Persia. Ia orang yang rajin membaca dan banyak memperluas pengetahuan dengan membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sewaktu berusia 18 tahun ia masuk bekerja pada Serikat India Timur. Kemudian ia bekerja pula sebagai hakim. Tetapi ditahun 1846 ia pulang kembali ke Delhi untuk meneruskan studi.



Di masa “Pemberontakan 1857” ia banyak berusaha untuk mencegah terjadinya kekerasan dan dengan demikian banyak menolong orang Inggris dari pembunuhan. Pihak Inggris menganggap ia telah banyak berjasa bagi mereka dan ingin membalas jasanya, tetapi hadiah yang dianugrahkan Inggris kepadanya ia tolak. Gelar sir yang kemudian diberikan kapadannya dapat ia terima. Hubungnnya dengan pihak Inggris menjadi baik dan ini ia pergunakan untuk kepentingan umat Islam India.



Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa peningkatak kedudukan umat Islam India, dapat diwujudkan hanya dengan bekerja sama dengan Inggris. Inggris telah merupakan penguasa yang terkuat India, dan menentang kekuasaan itu tidak akan membawa kebaikan bagi umat Islam India. Hal ini akan membuat mereka tetap mundur dan akhirnya akan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindu India.



Di samping itu dasar ketinggian dan kekuatan Barat, termasuk didalamnya Inggris, ialah ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Untuk dapat maju, umat Islam juga harus menguasai ilmu pengtahuan dan teknologi modern itu. Jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk memperoleh ilmu pengtahuan dan teknologi yang diperlukan itu bukanlah bekerja sama dengan Hindu dalam menentang Inggris tetapi memperbaiki dan memperkuat hubungan baik dengan Inggris.



Ia berusaha meyakinkan pihak Inggris bahwa dalam “Pembrontakan 1857”, umat Islam tidak memainkan peranan utama. Untuk itu ia keluarkan pamflet yang mengandung penjelasan tentang hal yang membawa pada pecahnya “Pemberontakan 1857”. Diantara sebab-sebab yang ia sebut adalah sebagai berikut:

1. Intervensi Inggris dalam soal keagamaan, seperti pendidikan agama kristen yang diberikan kepada yatim piatu di panti-panti yang diasuh oleh orang Inggris, pembentukan sekolah-sekolah misi Kristen, dan penghapusan pendidikan agama di perguruan-perguruan tinggi.

2. Tidak turut sertanya orang-orang India. Baik Islam maupun Hundu, dalam lembaga-laembaga erwakilan rakyat, hal yang membawa kepada:

a. Rakyat India tidak mengetahui tujuan dan niat Inggris,mereka anggap Inggris dating untuk mengubah agama mereka menjadi Kristen.

b. Pemerintah Inggris tidak mengetahui keluhan-keluhan rakyat India.

3. Pemerintah Inggris tidak berusaha mengikat tali persahabatan dengan rakyat India, sedang kestabilan dalam pemerintahan bergantung pada hubungan baik dengan rakyat. Sikap tidak meghargai dantidak menghormati rakyat India, membawa kepada akibat yang tidak baik.



Dalam hal itu ia mengakkui bahwa diantara golongan Islam yang turut dalam”Pemberontakan 1875” ada yang melakukan perbuatan-perbuatan tidak baik dan tercela, dan perbuatan-perbutanitu ia cap sebagai perbuatan criminal.tetapi kalau hanya segolongan umat Islam yang bersalah tidaklah pada tempatnya untuk menganggap semua umat Islam India bersalah. Tidak pada tempatnya pihak Inggris menaruh rasa curiga terhadap umat Islam India.



Atas usaha-usahanya dan atas sikap setia yang ia tunjukkan terhadap Inggris Sayyid Ahmad Khan akhirnya berhasil dalam mengubah pandangan Inggris terhadap umat Islam India. Dan sementara itu kepada umat Islam ia anjurkan supaya jangan mengambil sikap melawan, tetapi sikap berteman dan bersahabat dengan iggis. Cita-citanya untuk menjalin hubungan baaik antara iggris da umat Islam, agar dengan demikian umat Islam dapat ditolong dari kemundurannya, telah dapat diwujudkan dimasa hidupnya.



Sayyid Ahmad Khan melihat bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Peradaban Islam klasik telah hilang dan telah timbul peradaban baru di Barat. Dasar peradaban baru ini ialah ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan sebagai telah disebut diatas, inilah yang menjadi sebab utama bagi kemajuan dan kekuatan orang barat.



Ilmu pengetahuan dan teknologi modern adalah hasil pemikiran manusia. Oleh Karena itu akal mendapat penghargaan tinggi bagi Sayyid Ahmad Khan. Tetapi sebagi orang Islam yang percaya kepada wahyu, ia berpendapat bahwa kekuatan akal bukan tidak terbatas.



Karena ia percaya pada kekuatan dan kebebasan akal, sungguhpun mempunyai batas, ia percaya pada kebebasan dan kemerdekaan manusia dalam menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Dalam kata lain, ia mempunyai paham QadariahI (free will and free act) dan tidak paham Jabariah atau fatalisme. Manusia, demikian pendapatnya, dianugrahi Tuhan daya-daya, diantaranya daya berpikir, yang disebut akal, dan daya fisik untuk mewujudkan kehendaknya. Manusia mempunyai kebebasan untuk mempergunakan daya-daya yang diberikan Tuhan kepadanya itu



Sejalan dengan paham Qadariah yang dianutnya, ia percaya bahwa bagi tiap makhluk, Tuhan telah menentukan tabiat atau naturnya. Dan natur yang ditentukan Tuhan ini yaitu yang didalam Alquran disebut Sunatulah, Tidak berubah. Islam adalah agama yang mempunyai paham hukum alam (hukumgai alam buatan Tuhan). Antara hukum alam. Sebagai ciptaan Tuhan, dan Alquran, sebagai sabda Tuhan, tidak terdapat pertentangan. Keduanya mesti sejalan.



Alam, demikian Sayyid Ahmad Khan selanjutnya, berjalan dan beredar sesuai dengan hukum alam yang telah ditentukan Tuhan itu. Segalnya dalm alam terjadi menurut hukum sebab akibat. Tetapi wujud semuanya tergantung pada sebab pertama (Tuhan). Kalau ada sesuatu yang terputus hubungannya dngan sebab pertama, wujud sesuatu itu akan lenyap.



Karena kuat kepercayaannya pada hukum alam dan kerasnya ia mempertahankan konsep hukum alam, ia dianggap kafir oleh golongan Islam yang belum dapat menerima ide diatas. Bagi mereka percaya kepada hukum alam mesti membawa kepada paham naturalism dan materialism, yang akhirnya membawa pula kepada keyakinan tidak adanya Tuhan. Kepadanya di eri nama julukan Nechari, kata Urdu yang berasal dari kata Inggris, nature dalam laws of nature. Sewaktu jamaluddin al-afghani berkunjung ke India ditahun 1869, tuduhan golongan Islam di atas disampaikan kepadanya, dan sebagi jawaban ia kelurkan bukunya yang berjudul Al-Radd ‘Ala al-Dahriyyin(“Jawaban bagi kaum Materialis”).



Sejalan dengan ide-ide di atas, ia menolak paham taklid bahkan tidak segan-segan menyerang paham ini. Sumber ajaran Islam menurut pendapatnya hanyalah Alquran dan Hadits. Pendapat ulama di masa lampau tidak mengikat bagi umat Islam dan di antara pendapat mereka ada yang tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Pendapat serupa itu dapat ditinggalkan.



Masyarakat manusia senantiasa mengalami perubahan dan oleh karena itu perlu diadakan ijtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengna suasana masyarakat yang berubah itu. Dalam mengadakan ijtihad, ijmak dan qias baginya tidak merupakan sumber ajaran Islam yang bersifat absolute. Hadis juga tidak sumuanya dapat diterimanya, karena ada hadis buat-buatan. Hadis dapat ia terima sebagai sumber hanya setelah diadakan penelitian ayng seksama tentang keasliannya.



Inilah pokok-pokok pemikiran Sayyid Ahmad Khan mengenai pembaharuan dalam Islam. Ide-ide yang dikemukakannya banyak persamaannya dengan pemikiran Muhammad Abduh di mesir.kedua pemuka pembaharuan ini sama-sama member penghargaan tinggi pada akal manusia, sama-sama member menganut paham qadariah, sama-sama percaya kepada hukum alam ciptaan Tuhan, sama-sama menentang taklid dan sama-sama membuka pintu ijtihad yang dianggap tertutup oleh umat Islam pada umumnya di waktu itu.



Sebagai telah disebut di atas, jalan bagi umat Islam India untuk melepaskan diri dari kemunduran dan selanjutnya mencapai kemajuan, ialah memperoleh ilmu pengetahuandan teknologi modern Barat. Dan agar yang tersebut akhir ini dapat dicapai, sikap mental umat yang kura ng percaya kepada kekuatan akal, kurang percaya pada kebebasan manusia dan kurang percaya pada adanya hukum alam, harus diubah terlebih dahulu.



Perubahan sikap mental itu ia usahakan melalui tulisan-tulisan dalam bentuk buku dan artikel-artikel dalm majalah Tahzib al-Akhlaq. Usaha melalui pendidikan juga ia tidak lupakan, bahkan pada akhirnya ke dalam lapangan inilah ia curahkan perhatian dan pusatkan usahanya. Jalan yang efektif untuk mengubah sikap mental memanglah pendidikan.



Ditahun 1861 ia dirikan sekolah Inggris di Muradabad. Ditahun 1876 ia minta berhenti sebagai pegawai Pemerintah Inggris dan sampai akhir hayatnya ditahun 1898. Ia mementingkan pendidikan umamt Islam India. Di tahun 1878, ia mendirikan sekolah Muhammedan Anglo College (MAOC) di Aligarh yang merupakan karyanya yang bersejarah dan berpengaruh dalam cita-citanya untuk memajukan umat Islam India.



Menurut penulis I.H Qureshi sekolah itu mempunyai peranan penting dalam kebangkitan umat Islam India, dan sekiranya tidak karena sekoalah itu, umat Islam India di Pakistan sekarang akan lebih jauh lagi ketinggalan dari umat-umat lain.



MAOC dibentuk sesuai dengan midel sekolah di Inggris dan bahasa yang dipakai di dalamnya ialah bahasa Inggris. Direkturnya berbangsa Inggris sedankan guru dan stafnya banayk terdiri atas orang Inggris. Ilamu pengetahuan modern merupakan sebagaian basar dari mata pelajaran yang diberikan. Pendidikan agama tidak diabaikan. Dalam hubungan ini baik disebut bahwa di sekolah-sekolah Inggris yang diasuh Pemerintah, agama tidak diajarkan. Di MAOC pendidikan agama Islam dan ketaatan sisea menjalankan ajaran agama diperhatikan dan dipentingkan. Sekolah itu terbuka bukan hanya bagi orang Islam, tetapi juga bagi orang Hindu, Parisi dan Kristen.



Sebelumnya di tahun 1869/70 Sayyid Ahmad Khan telah berkunjung ke Inggris, antara lain untuk mempelajari sistem pendidikan Barat. Sekembalinya dari kunjungan itu, ia membentuk Panitia Peningkatan Pendidikan Umat Islam. Salah satu tujuan dari panitia tersebut adalah menyelidiki sebabnya umat Islam India sedikit sekali memasuki sekolah-sekolah Pemerintah. Di samping itu dibentuk lagi Panitia Dana Pembentukan Perguruan Tinggi Islam. Di tahun 1886 ia bentuk Muhammedan Educational Conference dalam usaha mewujudkan pendidikan nasional dan seragam untuk umat Islam India. Program dari lembaga ini ialah menyebarkan luaskan Pendidikan Barat di kalangan umat Islam, menyelidiki pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah Inggris yang didirikan oleh golongan Islam dan menunjang pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah swasta.



Perhatian Sayyid Ahmad Khan terhadap pendidikan umat Islam memang besar, tetapi pengaruhnya tidak terbatas dalam bidang pendidikan saja. Melalui buku karangannya dan tulisan-tulisannya di Tahzib al-akhlaq ide-ide pembaharuan yang dicetuskannya menarik perhatian golongan terpelajar Islam India. Penafsiran-penafsiran baru yang diberikannya terhadap ajaran-ajaran Islam lebih dapat diterima golongan terpelajar ini daripada tafsiran-tafsiran lama.



Yang menjadi dasar bagi sistem perkawinan dalam Islam, menurut pendapatnya, adalah sistem monogami, dan bukan sistem poligami sebagaimana dijelaskan oleh ulama-ulama di zaman itu. Poligami adalah pengecualian bagi sistem monogami itu. Poligami tidak dianjurkan tetapi dibolehkan dalam kasus-kasus tertentu. Hukum pemotongan tangan bagi pencuri bukan suatu hukum yang wajib dijalani, tetapi hanya merupakan hukum maksimal yang dijatuhkan dalam keadaan tertentu. Disamping hukum potong tangan terdapat hukum penjara bagi pencuri. Perbudakkan yang disebut dalam Alquran hanyalah terbatas pada hari-hari pertama dari perjuangan Islam. Namun, pada saat kota Mekkah sudah jatuh dan menyerah, perbudakkan itu diperbolehkan lagi dalam Islam. Tujuan sebenarnya dari doa ialah merasakan kehadiran Tuhan, dengan kata lain doa diperlukan untuk urusan spiritual dan ketentraman jiwa. Sebuah paham menyatakan bahwa tujuan doa ialah meminta sesuatu dari Tuhan dan Tuhan akan mengabulkan permintaan itu ataupun ditolaknya. Namun demikian, banyak doa yang tidak dikabulkan oleh Tuhan.



Pendapat-pendapat di atas adalah sesuai dengan paham qadariah dan ide liberal yang dianutnya. Golongan terpelajar yang telah dipengaruhi oleh kekuatan akal, kebebasan manusia, dan konsep hukum alam yang mereka jumpai dalam ilmu pengetahuan modern, lebih sesuai dengan paham qadariah dari pada paham Fatalisme dan lebih menerima ide-ide liberal dan modern dari pada ide-ide tradisional.



Sayyid Ahmad Khan berpengaruh dan dihargai dikalangan intelegensia Islam India, sedangkan dikalangan ulama ide-ide tersebut ditentang. Selain diberi julukan Nechari, seperti yang telah disebutkan di atas dia dicap kafir. Atas usaha kaum ulama, datang fatwa dari Mekkah yang menentang pembentukan MAOC, tetapi fatwa tersebut tidak dihiraukannya.



Sayyid Ahmad Khan sangat kagum pada peradaban Barat, terutama setelah ia berkunjung ke Inggris. Dalam surat-suratnya dari London ia memuji pendidikan orang Inggris, adat istiadat, budi pekerti dan kelurusan hati mereka. Orng India, baik terpelajar maupun tidak, demikian ia jelaskan, dalam semua hal ini mempunyai kedudukan yang jauh lebih rendah dibawah kedudukan orang Inggris. Ia melihat perlunya kebudayaan Inggris dan peradaban barat itu, dibawa ke dalam masyarakat Islam India.



Rasa kagumya terhadap kebudayaan Inggris dan keyakinannya bahwa kemajuan umat Islam India dapat diwujudkan hanya dengan kerjasama dengan Inggris, membuat ia mempunyai sikap yang amat loyal dan patuh terhadap Inggris. Jika oleh orang Inggris ia dianggap teman, oleh kaum Nasionalis India ia dianggap lawan.



Di pertengahan kedua dari abad ke-19, rasa nasionalisme India telah mulai timbul dan terbentuklah Partai Kongres Nasional India di tahun 1885. Sayyid Ahmad Khan menjauhkan diri dari gerakan ini, dengan alasan bahwa bahasa yang dipakai oleh Kongres terhadap Pemerintah Inggris kurang sopan. Menurut Rayendra Prasad dalam bukunya India Divided (Bombay: Hind Kitabs Ltd, 1974), ia pada mulanya adalah penyokong nasionalisme India. Ia pernah menerangkan bahwa Hindustan merupakan negara bagi orang Hindu dan dalam kategori Hindu termasuk orang India Islam dan orang India Kristen. Tetapi akhirnya ia dipengaruhi oleh Mr. Back, salah satu Direktur MAOC yang berpendapat bahwa pendidikan umat Islam India belum sampai ke taraf yang membuat mereka akan dapat mengambil keuntungan dari permainan dalam bidang politik. Sebaliknya turut campur dalam bidang politik akan merugikan umat Islam India.



Sayyid Ahmad Khan memang berpendapat bahwa pendidikanlah satu-satunya jalan bagi umat Islam India untuk mencapai kemajuan. Namun, kemajuan tidak akan dicapai melalui jalan politik, oleh karena itu ia menganjurkan supaya umat Islam India jangan turut campur dalam agitasi politik yang dilancarkan Partai Kongres. Usaha-usaha untuk mengubah sikapnya terhadap Partai Kongres tidak berhasil. Ia berkeyakinan bahwa anggota kasta-kasta dan pemeluk agama-agama yang berlainan di India tidak bisa disatukan dalam satu bangsa, karena tujuan dan cita-cita mereka saling berlainan. Wujud Partai Kongres Nasional India sebenarnya tidak mempunyai dasar, karena gerakan yang dijalankan akan merugikan bagi umat Islam di India.



Dalam ide politik yang dibuat oleh Sayyid Ahmad Khan diatas telah menjelaskan bahwa umat Islam merupakan satu umat yang tidak dapat membentuk suatu negara dengan umat Hindu. Umat Islam harus mempunyai negara tersendiri. Bersatu dengan umat Hindu dalam satu negara akan membuat minoritas Islam yang rendah kemajuannya, akan lenyap dalam mayoritas Hindu yang lebih tinggi kemajuannya. Di sini telah dapat dilihat bibit dari ide Pakistan yang muncul kemudian di abad ke-20.



Gerakan Aligarh



Ide-ide pembaharuan yang dicetuskan oleh Sir Sayyid Ahmad Khan, kemudian dianut dan disebarkan oleh murid serta pegikutnya. Sehingga timbullah Gerakan Aligarh, pusatnya ialah Muhammedan Anglo Oriental College (MAOC). Setelah ditingkatkan menjadi universitas, dengan nama Universitas Islam Aligarh di tahun 1920, perguruan tinggi ini kemudian meneruskan tradisi sebagai pusat gerakan pembaharuan Islam di India.



Gerakan Aligarh inilah yang menjadi penggerak utama bagi terwujudnya pembaharuan di kalangan umat Islam India. Gerakan ini pula yang meningkatkan umat Islam India dari masyarakat yang mundur menjadi masyarakat yang bangkit menuju kemajuan dan pengaruhnya sangat terasa di golongan intelegensia Islam India.



Setelah Sayyid Ahmad Khan menghadapi masa tua, pimpinan MAOC pindah ke tangan Sayyid Mahdi Ali, yang dikenal dengan nama Nawab al-Mulk (1837-1907). Pada mulanya ia adalah pegawai Serikat India Timur, kemudian menjadi pembesar di Hyderabad. Di tahun 1863 ia berkenalan dengan Sayyid Ahmad Khan sehingga antar keduanya terjalin tali persahabatan yang erat. Ia banyak menulis artikel di Tahzib al-Akhlaq dan di majalah yang diterbitkan oleh MAOC. Ia pindah ke Aligarh dan menetap di sana mulai dari tahun 1893. Di tahun 1897 ia menggantikan kedudukan Sayyid Ahmad Khan di MAOC.



Nawab Muhsin al-Mulk sangat besar jasanya dalam menyebarkan ide-ide Sayyid Ahmad Khan dan ini dilakukannya melalui Muhammedan Educational Conference. Ia juga yang dapat membuat golongan ulama India mengubah sikap keras mereka terhadap Gerakan Aligarh. Antara MAOC dan Deoband, terdapat perbedaan paham bukan hanya pada segi keagamaan saja, tetapi juga pada segi politik. Dalam soal keagamaan, Deoband sangat kuat dalam mempertahankan tradisi. Berbeda dengan Deoband, Sayyid Ahmad Khan dengan idenya menentang taklid pada ulama klasik dan mengadakan ijtihad baru. Dalam menghadapi golongan ulama ini Nawab Muhsin al-Mulk bersikap lebih lembut dari Sayyid Ahmad Khan. Hasil usahanya dalam mempopulerkan Gerakan Aligarh terlihat dari meningkatnya jumlah siswa di zamannya dibandingkan dengan jumlah sebelumnya. Berlainan dengan Sayyid Ahmad Khan, ia tidak segan-segan untuk memasuki bidang politik.



Pemimpin lain yang berpengaruh adalah Viqar al-Mulk (1841-1917). Semenjak muda ia telah menjadi pembantu dan pengikut Sayyid Ahmad Khan. Di tahun 1907 ia menggantikan Nawab Muhsin al-Mulk sebagai pimpinan MAOC. Di masanya juga, kekuasaan besar yang dipegang Direktur Inggris MAOC berkurang. Karena tidak setuju dengan kekuasaan Direktur yang begitu besar, seorang teman karib dan penyokong Sayyid Ahmad Khan, Maulvi Sami, memutuskan hubungan dengan MAOC.



Peristiwa tersebut menimbulkan pertentangan antara Viqar al-Mulk dengan Mr. Archbold yang menjadi Direktur MAOC di waktu itu. Pada masa itu juga Mr. Archbold mengundurkan diri dari jabatannya dan kekuasaan Inggris di MAOC semenjak itu mulai berkurang.



Viqar al-Mulk adalah seorang ulama yang keras pendirian dan pegangannya terhadap agama. Kehidupan keagamaan di MAOC ia perkuat, pelaksanaan ibadat, terutama salat dan puasa, ia perketat pengawasannya. Lulus dalam ujian agama adalah syarat untuk dapat naik tingkat. Hal-hal inilah yang membuat MAOC menjadi lebih populer di kalangan ulama India.



Dalam pandangan politik, pada mulanya ia sependapat dengan Sayyid Ahmad Khan. Ia mengaskan bahwa umat Islam India, yang hanya berjumlah seperlima dari umat Hindu, akan tertindas oleh mayoritas Hindu apabila Inggris telah meninggalkan India. Namun setelah rencana pembagian Bengal menjadi dua daerah pemilihan dibatalkan, yaitu daerah pemilihan Islam dan daerah pemilihan Hindu, ia mulai mengubah pandangan politiknya.



Tetapi pendiriannya terhadap Partai Kongres Nasional India tidak berubah. Ia berpendapat bahwa orang Islam harus memiliki partai sendiri dan harus mempertahankan Liga Muslimin India. Liga ini tidak boleh dibubarkan untuk bergabung dengan Partai Kongres. Di masa Viqar al-Mulk, ketergantungan Gerakan Aligarh pada Inggris mulai berkurang dan tidak lagi sekeras di zaman Sayyid Ahmad Khan.



Seorang pemuka lain yang besar pengaruhnya dalam menyebarluaskan ide-ide pembaharuan Sayyid Ahmad Khan adalah Altaf Husain Hali (1837-1914). Ia pernah menjadi penerjemah di kantor Pemerintah Inggris di Lahore dan kemudian pindah ke Delhi. Hali terkenal sebagai seorang penyair, tetapi ia juga menulis karangan-karangan untuk Tahzib al-aklaq. Atas permintaan Sayyid Ahmad Khan iapun menulis syair tentang peradaban Islam di zaman klasik. Sehingga pada tahun 1879 muncullah syair yang terkenal dengan nama Musaddash, yang mengandung ide-ide Aligarh. Pengaruhnya terhadap umat Islam India besar sekali, sehingga dikatakan bahwa di samping MAOC dan Muhammedan Educational Conference, Musaddash-lah yang mempunyai jasa besar dalam mempopulerkan Gerakan Aligarh.



Terhadap pendidikan wanita, ia lebih progresif daripada Sayyid Ahmad Khan yang memandang bahwa kaum wanita belum perlu mendapat pendidikan. Dalam soal politik, ia juga berpendapat bahwa umat Islam India merupakan suatu kesatuan tersendiri di samping umat Hindu. Namun ia juga tidak bersikap anti Hindu. Ia menganjurkan supaya penulis-penulis Islam India juga mempelajari bahasa Hindu.



Seorang penulis yang juga mempunyai jasa terhadap Gerakan Aligarh adalah Chiragh Ali. Setelah berkenalan dengan Sayyid Ahmad Khan, ia menulis untuk Tahzib al-Akhlaq. Ia juga mengarang beberapa buku dalam bahasa Inggris dan yang terpenting diantaranya adalah mengenai “pembaharuan yang diperlukan.” Di dalamnya ia menjelaskan bahwa Islam tidaklah statis, namun dinamis dan dapat sesuai dengan perubahan sosial atau politik tertentu.



Salah al-Din Khuda Bakhs adalah penulis dari Gerakan Aligarh yang mempunyai pengaruh terhadap pembaharuan di kalangan umat Islam India. Ia juga mengarang buku, diantaranya adalah Essays Indian and Islamic dan Politics in Islam. Alquran menurut pendapatnya, lebih banyak besifat buku petunjuk spiritual dengan membawa norma-norma yang harus dipegang daripada merupakan buku hukum yang mengikat untuk selama-lamanya. Islam tidak menentang kemajuan, ajaran-ajaran Islam sederhana sekali dan berpokok pada Tuhan YME dan kerasulan nabi Muhammad SAW dan selain dari itu hanyalah tambahan-tambahan. Oleh karena itu Islam memberi kelapangan bagi umatnya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara dan menjalankan kewajiban-kewajiban agama tanpa mengorbankan kesejahteraan materialnya. Umat Islam dapat mengambil apa saja yang baik dari peradaban asing, tanpa ada larangan dari agama. Ajaran Islam tidak ada yang bertentangan dengan peradaban modern. Sama halnya dengan Sayyid Ahmad Khan, ia menghendaki westernisasi masyarakat Islam.



Menurut Salah al-Din Khuda Bakhs, sebab-sebab yang membawa kemunduran bagi umat Islam adalah kemalasan dan keadaan dimana tidak mementingkan perdagangan. Oleh karena itu, umat Islam harus dibebaskan dari kedua penyakit ini dan didorong untuk suka berpikir, suka bekerja keras, suka hidup sederhana, da suka menghemat.

Seorang pengarang roman dari Gerakan Aligarh yang banyak berpengaruh pada umat Islam India ialah Maulvi Nazir Ahmad. Karangan-karangannya berkisar sekitar soal agama, budi pekerti, dan problema-problema sosial. Sebab kemunduran umat Islam menurut pendapatnya, terletak pada umat Islam sendiri dan bukan datang dari luar. Umat Islam hidup tidak lagi sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Untuk mencapai kemajuan, umat Islam harus hidup kembali sebagai umat Islam di zaman klasik.



Ia suka meninjau ke sejarah lampau dan dengan demikian agak sedikit terikat pada tradisi. Oleh karena itu, interpretasinya tentang ajaran-ajaran Islam tidak seliberal interpretasi yang diberikan oleh Sayyid Ahmad Khan. Ia juga mementingkan hidup keagamaan dan mendorong orang berpendidikan Barat, supaya mementingkan agama dan hidup sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Ia menasehati mereka supaya berhati-hati terhadap pendidikan Barat yang selalu membawa kepada keragu-raguan terhadap agama dan ketipisan iman. Alquran ia terjemahkan ke dalam bahasa Urdu yang baik lagi menarik, sehingga banyak dibaca dan berpengaruh pada masyarakat Islam India.



Muhammad Shibli Nu’mani (1857-1914) diangkat pada tahun 1883 sebagai guru bahasa Arab dan Persia di MAOC. Ia mempunyai pendidikan madrasah tradisional dan pernah pergi ke Mekkah dan Madinah untuk memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam. Setelah Sayyid Ahmad Khan wafat, ia meninggalkan MAOC. Selama di MAOC, ia berjumpa dan tertarik dengan ide-ide baru yang dikemukakan Gerakan Aligarh. Pendidikan madrasahnya membuat ia tidak mempunyai sikap yang sama liberalnya dengan Sayyid Ahmad Khan. Tetapi berbeda dengan ulama lainnya, ia tidak menentang pemakaian akal dalam soal-soal agama. Mempelajari falsafat, menurutnya bukanlah sesuatu yang haram. Pemikiran-pemikiran modern dalam bentuk moderat dapat diterimanya.



Setelah meninggalkan MAOC, ia pergi ke Lucknow untuk memimpin perguruan tinggi Nadwat al-Ulama. Pemikiran modern moderat yang dianutnya membawa perubahan pada perguruan tinggi ini. Salah satu muridnya yang kemudian menjadi pemimpin pembaharua Islam India di abad ke-20 adalah Abdul Kalam Azad.

PEMBAHARUAN DI INDONESIA; KAUM PADRI, KAUM AL-IRSYAD DAN JAMI`ATUL KHAIR

FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2009
Pendahuluan

Munculnya gerakan Modernisme Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 dipengaruhi oleh berbagai variabel penting yang melatar belakanginya. Menurut Steenbrink, setidaknya terdapat empat faktor penting yang mendorong ”perubahan dan pembaharuan Islam di Indonesia” pada saat itu.
Pertama, adanya tekanan kuat untuk kembali kepada ajaran Al-quran dan Hadist, yang keduanya dijadikan sebagai landasan berfikir untuk menilai pola keagamaan dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Tema sentral dari kecendrungan ini adalah menolak setiap pengaruh budaya lokal yang dianggap mengontaminasi kemurnian ajaran Islam. Sehingga upaya kembali pada ajaran Al-Qur`an dan Hadist dipilih sebagai jawaban solutif atas problem keberagaman yang meluas di masyarakat.
Kedua, kuatnya semangat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Gerakan perlawanan ini banyak direalisasikan oleh kelompok nasionalis yang terus berusaha menentang kebijakan penjajah belanda, tetapi mereka juga enggan menerima gerakan Pan-Islamisme. Ketiga, kuatnya motivasi dari komunitas muslim untuk mendirikan organisasi dibidang sosial –ekonomi yang diharapkan bermanfaat demi kepentingan mereka sendiri, maupun kepentingan publik. Keempat, gencarnya upaya memperbaiki pendidikan Islam.


A. Kaum Paderi
Paderi adalah sebuah nama didaerah padang. Yang mana didaerah inilah awal mulanya diterapkannya gerakan puritanisme di Indonesia. Gerakan puritanisme adalah sebuah gerakan pemurnian ajaran islam yang telah terpengaruh atau telah tercemari oleh ajaran-ajaran yang datang dari luar Islam. Gerakan ini pertama kali di plopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, di Nejd. Berkat bantuan penguasa keluarga su`ud faham ini berkembang pesat diwilayah jazirah Arabia, bahkan sempat menggoyahkan pemerintah kerajaan Turki Usmani.
Gerakan puritanisme ini dibawa masuk kewilayah Indonesia oleh tiga orang kaum muda paderi yang baru pulang kembali dari tanah suci selepas melaksanakan ibadah haji, mereka itu adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang pada tahun 1803 Masehi.
Mereka kemudian membentuk kelompok yang terkenal dengan kelompok Harimau Nan Salapan atau kaum muda Paderi mereka mengadakan penentangan terhadap praktek kehidupan beragama masyarakat Minang Kabau, yang telah terpengaruh oleh unsur-unsur tahayul, bid’ah, dan kurafat. Masyarakatnya sudah menyimpang jauh dari tradisi keagamaan yang telah ada. Perjudian, penyabungan ayam, dan sebagainya adalah contoh dari sebagian kecil perbuatan mereka yang waktu telah merupakan perbuatan atau suatu hal yang biasa.oleh karena itu, kedatangan tiga orang Haji ini, yang kemudian bersekutu dengan tuanku Nan Renceh dan tuanku Imam Bonjol, melakukan gerakan kemurnian ajaran Islam. Karena aktifitas mereka dianggap cukup membahayakan keberadaan kaum tua atau kaum adat paderi, maka kaum tua meminta bantuan Belanda pada tahun 1821-1937 M terjadilah perang paderi. Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu kaum Ulama mengalami kekalahan Ulama dalam perang paderi dalam menghadapi
Belanda, bukanlah membuat patah semangat para tokoh pejuang pembaharu itu,tetapi gerakannya semakin hebat. Gerakan pembaharuan itu tidak lagi bersifat politik agama, tetapi dialihkan kedalam gerakan pembaharuan pendidikan.
Perang paderi dianggap sebagai pembaharuan Islam di karena tujuan dari perang paderi adalah memiliki kekuasaan yang kuat dan dengan memiliki kekuatan atas kekuasaan kaum ulama dapat menguatakan ajaran Islam yang telah banyak ditinggalkan. Kondisi pada saat itu daerah Minangkabau jauh dari apa yang Isalam ajarkan dan syariatkan oleh agama Islam .
Para Ulama giat mengadakan ceramah-ceramah, pengajian, mendirikan madrasah dan Pondok Pesantern yang diberi nama Sumatera Thawalib. Pengaruh gerakan ini lalu meluas keseluruh tanah air yang diikuti dengan bermunculannya berbagai organisasi Islam pada zaman pergerakan nasional di Indonesia pada abad ke-20 Masehi.

B. Al-Irsyad
Jika ditelusuri awal mulanya, munculnya Al-Irsyad dilatarbelakangi oleh terjadinya pertentangan dalam Jami’at Al-Khair, terkait persoalan konsep kafa’ah dalam pernikahan. Yakni, apakah mereka yang memiliki gelar sayyid boleh menikah dengan rakyat biasa atau tidak? Bagi masyarakat arab modernis, perkawinan semacam itu sah, akan tetapi menurut kaum tradisionalis, pernikahan itu dianggap tidak sah, karena salah satu syarat sahnya perkawinan adalah adanya kafa’ah antara kedua mempelai. Kalau syarat kafa’ah ini tidak terpenuhi maka perkawinan dianggap batal atau tidak sah.
Semula, perdebatan kafa’ah ini muncul pertama kali ketika Ahmad Surkati berkunjung ke Solo, tepatnya dalam suatu pertemuan di kediaman Al-Hamid dari keluarga Al-Azami. Pada saat menjamu Surkati ini terjadi pembicaraan tentang nasib seorang syarifah, yang karena tekanan ekonomi terpaksa hidup bersama seorang China di Solo. Surkati menyarankan agar dicarikan dana secukupnya untuk memisahkan kedua orang yang tengah kumpul kebo itu. Pilihan lain yang diajukan Surkati adalah hendaknya dicarikan seorang muslim yang ikhlas menikahi secara sah si Syarifah tersebut, agar ia bisa terlepas dari gelimang dosa.
Salah seorang yang hadir, Umar bin Said Sungkar bertanya pada Surkati: ”apakah yang demikian itu diperbolehkan menurut hukum ajaran agama Islam, sementara ada hukum yang mengharamkan karena tidak memenuhi syarat kafa’ah, meskipun syarat-syarat lainnya sudah terpenuhi”.
Setelah Surkati mengeluarkan fatwa tentang sahnya pernikahan yang tidak sekutu tersebut, kemudian terjadi pertentangan yang terkenal dengan ”Fatwa Solo”. Fatwa tersebut telah ”Mengguncang” masyarakat Arab golongan Alawi. Fatwa ini dianggap sebagai penghinaan besar terhadap kelompok mereka. Mereka menuntut kepada Surkati agar bersedia mencabut fatwanya, namun Surkati tetap mempertahankan fatwanya dan berusaha menghormati pendapat publik baik yang setuju maupun yang menolak.
Akibat telah mengeluarkan fatwa, pada tahun 1914 Ahmad Surkati dikeluarkan dari Jami’atul Al-Khair. Setelah dikeluarkan dari jami’atul Al-Khair dengan dibantu oleh Sayyid Saleh bin Ubaid Abdatu dan Sayyid Said Masya’bi untuk mendirikan madrasah Al-Irsyah Al-Islamiyah yang diresmikan pada tanggal 15 Syawal 1332 H. Bertepatan dengan 6 September 1914 dengan dia sendiri sebagai pimpinannya.
Tidak lama setelah Surkati dikeluarkan dari Jami’atu Al-Khair, keluar pula para guru yang berasal dari Makkah, baik yang datang bersama Surkati maupun yang datang atas jasa Surkati. Sebagian mereka kembali ke Makkah dan sebagian tetap tinggal di Indonesia dan bergabung dengan Al-Irsyad sampai akhir hayat mereka di Indonesia. Di antara mereka adalah: Abul Fadhel Muhammad Khair Al-Anshori yang tidak lain adalah saudara kandung Surkati, Syaikh Muhammad Nur Muhammad Khair Al-Anshori, dan lain sebagainya.
Izin untuk pembukaan dan pengelolaan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah berada ditangan dan atas nama Surkati. Berdasarkan ordonasi guru 1905 yang mengatur pendidikan islam, beban tanggung jawab Surkati akan ringan apabila Madrasah tersebut dinaungi oleh satu organisasi yang teratur dan memiliki status badan hukum. Maka disiapkanlah berdirinya Jami’iyyah Al-ishlah wa Al-irsyad Al-Arabiyyah, yang beberapa tahun kemudian diganti dengan nama Jami’iyyah Al-Ishlah wal Irsyad Al-Islamiyyah.
Permohonan pengesahan diajukan kepada Gubernur Jendral AWF. I den Burg, sementara pengurusan Madrasah dilaksanakan oleh suatu badan yang diberi nama: Hai’ah Madaris Jami’iyyah Al-Irsyad yang diketuai oleh Sayyid Abdullah bin Abu Bakar Al-Habsyi. Meskipun pengesahan dari Gubernur Jendral belum keluar, Syaikh Umar Yusuf Manggus telah berhasil menyewa gedung bekas hotel ORT yang tidak berfungsi lagi di Molenulist West, Jakarta, guna memenuhi kebutuhan yang agak mendesak karena perhatian dan peminat yang luar biasa.
Penghimpunan Al-Irsyad (sebagai lembaga yang memiliki hukum) akhirnya memperoleh pengakuan dari Gubernur Jendral pada tanggal 11 Agustus 1915. Dengan keputusan no 47, yang disiarkan dalam Javache Courant nomor 67 tanggal 20 Agustus 1915. Sejak itu Al-Irsyad, meminjam ungkapan Badjerei; ”meluncur laksana meteor; enerjik dan penuh vitalitas; kian hari kian besar dan meningglkan jami’at Al-Khoir jauh dibelakangnya.
Dalam perjalanannya, Al-Irsyad terlihat sering menjalin kerjasama dengan organisasi Modernis Islam lainnya, seperti Muhammadiyyah dan Persis sebagaimana diungkapkan oleh Badjerei berikut ini:
”Dengan lahirnya persatuan Islam di Bandung, pada tahun 1923, kemudian dengan munculnya Fachruddin pada pimpinan Muhammadiyyah kegiatan dakwah menjadi kian semarak dakwah Muhammadiyyah dan Persis diucapkan pula diucapkan diisi oleh tenaga-tenaga dari Al-Irsyad, khusnya dari kelompok izh harAl-Haq ini, ketika Ali Harahah berangkat ke Hejaz dan bermukim kesana, sekitar satu tahun delapan bulam dan baru kembali ke Jakarta bulan juni 1929, kegiatan Izhar Al-haq ikut berhenti. Meskipun demikian Muhammadiyyah persatuan Islam dan Al-Irsyad merupakan ”tiga serangkai” yang tak terpisahkan sehingga saat ini”.
Kerjasama antara Al-Irsyad dengan organisasi Modernis Islam lainnya terus Berlanjut pada kongres Al-Islam ke-1 di Cirebon pada tahun 1922, kongres Al-Islam ke-2 tahun 1923 di Garud, kongres ke-3 di Surabaya tahun 1924, kongres Al-Islam ke-4 di Yogyakarta tahun 1925, kongres Al-Islam ke-5 di Bandung tahun 1926(Hussein Banjerei, 1996:114). Al-Irsyad juga menjalin kerjasama dengan gerakan-gerakan Islam lain dalam majelis islam A’la Indonesia MIAL.
Menurut Hussein Badjerei, salah seorang tokoh pemikir dari Al-Irsyad, organisasi Al-Irsyad didirikan bukan untuk melawana atau menandingi Jami’at Al-Khoir. Al-Irsyad lahir bukan karena desakan kebencian kepada segolongan masyarakat Arab yang saat itu di sebut Alawiyyin. Semasa Surkati masih hidup, Al-Irsyad tidak melulu mengurusi dan berdakwah kepada masyarakat Arab Hadrami; tidak melulu mengurusi perantau dari Hadramaut. Risalahnya cukup luas, surkati tidak mululu mengurusi persoalan pembaharuan dikalangan masyarakat Arab hadrawi.
Perhimpunan Al-Irsyad juga tidak dibangun dari asas kekesalah kemarahan, para pemimpinnya bukanlah diktator. Karena itulah Al-Irsyad bisa hidup terus sepanjang waktu, meski parapemimpinnya wafat dan silih berganti, sebagai kelompok organisasi Islam tertua yang telah meneliti sejarah di berbagai jama’ah, dari zaman penjajahan Belanda sampai sekarang ini.
Masa formatif Al-Irsyad diawali sejak kelahirannya. Akte pendirian dan anggaran dasar Al-Irsyad disahkan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan nomor 47, tertanggal 11agustus 1915, dan disiarkan dalam surat kabar Javasche Courant Nomor 67, tertanggal 20 Agustus 1915. Keputusan ini kemudian menjadi izin resmi kelahiran organisasi ini, yaitu 19 Agustus 1915, dalam keputusan ini pula tercatat pengurus pertamanya, yaitu: Salim bin Awad Balweel sebagai ketua, Muhammad Ubaid Abud sebagai sekretaris, Said bin Salim Masya’bi sebagai bendahara, dan saleh bin Obeid bin Abdat sebagai penasehat.
Setelah peristiwa dikeluarkannya beslit dari Gubernur Jendral pada hari selasa tanggal 19 syawal 1333/31 Agustus 1915,maka diadakan rapat umum anggota.dalam rapat itu diputuskan susunan pengurus untuk kepentingan intern,yaitu;salim bin awad bal weel sebagai ketua, saleh bin obeid bin abdat sebagai wakil ketua,Muhammad Ubait Abut sebagai sekretaris,Said bin Salim Masy’abi sebagai bendahara.
Untuk lebih mendinamisasikan gerak dan langkah organisasi serta berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat,dalam kepengurusannya Al-Irsyad membentuk majelis-majelis yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda,antara lain;1. majelis pendidikan dan pengajaran;2,majelis dakwah;3,majelis sosial dan ekonomi ;4,Majelis wakaf dan yayasan;5 majelis wanita dan putri:6.majelis pemuda dan pelajar :7,majelis organisasi dan kelembagaan ;8,Majelis hubungan luar negri.
Patut garis bawahi bahwa dalam penyebaran gagasan atau pemikirannya,Al- Irsyad lebih memfokuskan pada upaya perbaikan dan pelayanan pendidikan.Ini biasa dilihat dari pembukaan sekolah Al-Isyad yang didukung oleh pemuka-pemuka arab.Terutama Syaikh Umar Manggus,yang saat itu menjabat sebagai kapten arab.Tokoh ini yang memberi saran agar didirikan suatu perkumpulan untuk menunjang sekolah yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Surkati tersebut. Atas dukungan itu,berdirilah sekolah”Jam’iyyah Al Ishlah Wa Al Irsyad Al Islamiyyah”.Agar kehadirannya tidak terkesan hanya diperuntukkan bagi orang arab,maka beberapa waktu kemudian namanya di ubah menjadi ”Jam’iyyah Al- Irsyad Al-Islamiyyah”.Yang selanjutnya dikenal dengan nama Al- Irsyad,Al- irsyad beranggotakan semua orang islam yang berumur 18 tahun atau yang telah beristri dan tingggal diwilayah Indonesia.
Periode perkembangan Al- Irsyad ditandai dengan pembukaan cabang-cabang Al -Irsyad dengan prioritas pertama pulau Jawa.Pada tanggal 29 Agustus 1917 Al- Irsyad membuka cabang yang pertama di Tegal,dengan diketahui oleh Ahmad Ali Bais.Pada tanggal 20 November 1917 di resmikan pula keputusan untuk pembukaan cabang Al -Irsyad kedua,yaitu di Pekalongan dengan ketua pertama kalinya Said Bin Salaim Sahaq,cabang Al Irsyad ketiga dibuka di Bumiayu pada tanggal 14 Oktober 1918,dengan ketuanya yang pertama adalah Husein Bin Muhammad Al Yazidi pada tanggal 31 Oktober 1918 Al Irsyad membuka cabang ke empat di cerebon,dengan ketua pertamanya Ali Awad Baharmuz.Tanggal 21 Januari 1919,dibuka cabang ke lima disurabaya. pembukaan cabang di Surabaya ini di nilai sebagai peristiwa amat penting dalam sejarah Al- Irsyad,karena kedudukan Surabaya waktu ini sebagai pusat kegiatan pergerakan islam dan tempat berdomisilinya para pemuka masyarakat muslim pada waktu itu.Cabang ini
pertama kalinya di ketuain Oleh Muhammad bin Rayis bin Thaib
Pada periode berikutnya, setelah pulau jawa, Al irsyad semakin melebarkan saya at punya keluar jawa.Dari tahun 1927 sampai dengan tahun 1931 telah tercatat berdirinya cabang-cabang Al irsyad di lhokseumawhe Aceh , Menggala Lampung,Sungeiliat Bangka ,labuan haji dan talewang Nusa Tenggara Barat, Pemekasan, Probolinggo, Krian, Jombang, Bangil, Sepanjang, Semarang, Comal, Pemalang, Prowokerto, Indramayu, Cibadak, Sindang laya, dan Solo.sampai tahun 1970-an, cabang Al-Irsyad telah tersebar diseluruh propinsi Sulawesi Utara dan sekarang, hampir disetiap propinsi di Indonesian telah berdiri cabang Al-Irsyad.
Di masing-masing cabanh tersebut, didirikan pusat pendidikan bagi warga Al-Irsyad khususnya, dan masyarakat. Luas pada umumnya.oleh pendirinya,Ahmad Surkati pendidikan formal dipilih sebagai wahana yang tepat untuk menyemaikan dan mengembangkan gagasan-gagasan Al-Irsyad seban agaimana telah dicanangkan dalam Mabadi Al-Irsyad.
Konsistensi dan fokus gerakan terhadap bidang pendidikan formal tampaknya tetap mampu dipertahankan hingga saat ini kiprah al irsyad lebih banyak di fokuskan kepada pengembangan pendidiksn fornal,yang di harapkan mampu membentuk generasi irsyadi.
Jika diklasifikasikan,maka akan terlihat perbedaan perkembangan pendidikan al irsyad dari setiap periode,periode 1914sampai dengan1942 menunjukan adanya perkembangan yang cukup pesat,namun pada periode 1942-1961 terjadi kemunduran .baruhlah pada periode1961-1982,pendidikan Al-Irsyad mengalami kebangkitan kembalidengan di tandai pedirian sekolah-sekolah Al- Irsyad di berapah daerah ditanah air .perkembangan yang cepat terjadi pada periode 1982-1997.pada periode ini Al- Irsyad masih dan berhasil mendirikan lembaga pendidika berupa pesantren dan perguruan tinggi
Terdapat keunikan dari pengembangan pendidikan Al-Irsyad,yaitu dengan didirikannya pesantren pada tahun 80-an.Jika pada kelompok tradisional {Nahdlatul Ulama}muncul trend mengembangkan pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah umum dan madrasah maka tidak demikian dengan ormas Al Irsyad (dan juga muhammdiyah)yang justeru mendirikan pesantren ,karena didorong oleh kesadaran perlunya memberikan perhatian yang besar pada aspek pendidikan agama.Namun demikian,tipologi pesantren Al Irsyad tetap memiliki perbedaan dengan pesantren milik ormas itu.
Jika pesantren itu didirikan oleh perorangan,maka pesantren Al Irsyad didirikan oleh Jam’iyyah (Organisasi),dengan manajement pesantren yang tidak bersifat kekeluargaan.kitab-kitab yang diajarkan dipesantren Al Irsyad,Meskipun sama-sama berbahasa arab,namun tidak tergolong kitab kuning seperti yang diajarkan dipesantren-pesantren itu.kitab-kitab tersebut ditulis oleh para ulama komtemporer di timur tengah.lebih dari itu,kesan lux juga terlihat pada pesantren-pesantren milik Al Irsyad,jika dibandingkan dengan pesantren-pesantren tradisional,Akibatnya biaya pendidikan pun menjadi mahal.
Bisa dikatakan bahwa dalam pengembangan pendidikan islam di Indonesia,Al Irsyad telah berhasil mempelopori pendirian lembaga-lembaga islam modoren,yang pada massa berikutnya di ikutin oleh ormas-ormas islam lain.Namun demikian,meskipun lembaga pendidikan Al Irsyad didirikan oleh organisasi yang merupakan representasi dari masyarakat keturunan arab,pribumi yang simpati dan bersekolah dilembaga-lembaga pendidikan Al Irsyad,baik sekolah pesantren maupun perguruan tingginya
Meskipun Al Irsyad didirikan tidak hanya oleh Ahmad sukarti,namun berbicara kontributor pemikiran untuk Al Irsyad sosok sukarti tetap menjadi fokus utama.Dia juga menjadi figur utama dan sentral yang tinggi kini gagasan-gagasannya masi dipakai dan menyemangati Al Irsyad.Berbicara tentang gagasan Sukarti,maka tidak salah lagi bahwasanya Sukarti mengadopsi pemikiran dari Muhammd abdul Wahab sebagai sang inspiratornya.
Jika dirunut,genealogi pemikiran keislaman Al Irsyad bermula dari kehadiran Ahmad Sukarti di Indonesia.saat itu,sukarti merasa menghadapi masyarakat yang memiliki kesamaan ciri dengan yang dihadapi Muhammad Abdul Wahab pada masanya.baik Sukarti maupan Abdul Wahab sama-sama dihadapkan pada persoalan yang sangat mendasar dalam agama islam,yakni Taulid kehadiran Sukarti di Indonesia,khususnya dikota Solo,membuat dia merasa prihatin dengan kemurnian ajaran tauhid yang berkembang dimasyarakat.Meskipun agama islam telah berkembang cukup lama di Indonesia,namun pengaruh Hindu-Budha maupun budaya lokal masih sangat kuat,apa lagi di kota Solo yang merupakan pusat situs kerajaan besar di Indonesia,tentu persinggungan islam dengan budaya setempat masih sangat insentif.
Meyikapi kondisi yang demikian,Ahmad Sukarti pernah menyampaikan beberapa pandangan tentang ketauhidan.Apa bila di bandingkan dengan pandangan Muhammad bin Abdul Wahab,maka terdapat kemiripan,sebagai contoh,Sukarti mempersoalkan Bid’ah sebagai berikut:
Pertama,Taklid buta sebagaimana yang dilakukan para ulama yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk memahami Al-Quran dan Hadits.Namun mereka menjadikan pendapat seseorang sebagai dalill agama Sukarti menyatakan adapun taklid buta dan menjadikan pendapat orang sebagai dalill agama tidak diperbolehkan oleh allah dan rosull-nya,para sahabat maupun para ulama terdahulu,dan merupakan bid’ah yang sesat.
Kedua,meminta syafa”at . ia mengatakan kepada orang yang sudah mata dan bertawasuldenga Mereka ,surkati menyatakansebagaiperbuatan yang munkar dan bid”a ia menatakan :”meminta syafa”at kepada orang yang mati atau bertawasul kepada mereka adalah perbuatan munkar, sebab hal tersebut tidak pernah di kerjakan oleh rasulullah saw,al khulafa”al rasyidan ataupun oleh para mujtahid ,baik bertawasul dengan rasul sendiri atau dengan yang lain .selain itu ,hal tersebut merupakan sesuatu yang diada –adakan dalam ruang lingkup al din. Setiap yang baru dalam agama adalah bid ”ah ,setiap bid ah adalah sesat ,dan setiap yang sesat akan masuk neraka’’.
ketiga,dalam kasus pembayaran fidyah membayar sejumlah tebusan kepada orang lain untuk mengganti shalat dan puasa yang di tinggalkan oleh salah seorang anggota keluarganya,ketika menyampaikan fidyah seseorang berkata ;’’terimalah uang ini sebagai penebus shalat dan puasa si fulan ’’.kemudian si penerima menjawab ,’’saya terima pemberian ini ’’ .bagi surkarti,pembuatan ini dilarang karena tidak di dasarkan atas dasar dalil agama ,dan merupakan perbuatan bid’ah.
keempat,dalam kasus pembacaan talqin untuk mayat yang baru di kubur surkarti melihatnya sebagai pembuatan yang tidak bedasarkan tuntunan al qur’an dan hadits juga tidak ada petunjuk dari para sahabat
kelima,pembuatan berdiri pada saat melakukan pembacaan kisah maulid nabi muhammad saw,bagi surkarti bukan perbuatan agama,namun demikian,apa bila perbuatan tersebut di pandang sebagai perbuatan agama,atau termasuk dalam ruang lingkup agama,maka pembuatan tersebuttetap di anggap sebagai perbuatan bid’ah.
Keenam,pengucapan niat (Nawaitu atau Ushalli) bagi Sukarti adalah perbuatan bid’dah.Alasannya,melafalkan niat demikian dipadang sebagai tambahan dalam melaksanakan niat yang seharusnya merupakan maksud didalam hati.Menurut Sukarti pula,ia tidak pernah memperoleh petunjuk bahwa perbuatan tersebut pernah dirawihkan orang dari nabi Muhammad,atau dari para sahabat,walaupun diajarkan oleh salah satu imam yang keempat.Dari berbagai sumber rujukan dapat disimpulkan bahwa niat adalah maksud dalam hati lebih tidak beralasan lagi ialah pendapat tentang wajib atau sunnahnya pengucapan lafal niat tersebut.Itu berarti ”mewajibkan apa yang sebenarnya tidak wajib”.
Ketujuh, adat berkumpul untuk melakukan ritual tahlil dirumah orang yang baru ditimpah musibah kematian menurut Sukarti,merupakan perbuatan Bid’ah dan bertentangan dengan sunnah rasul.Sukarti menilai parbuatan tersebut sebagai perbuatan yang membebeni keluarga yang terkena musibah.Dan perbuatan terpuji yang berkenan dengan keluarga yang terkena musibah adalah penyediakan makanan,sebagaimana Sabda nabi Jafar bin Abi Thalib meninggal dunia.”Buatlah makanan bagi keluarga Jafar, ,sebab mereka telah ditimpa sesuatu yang membuat mereka lupa makan”.
Dan kedelapan,adat berdzikir bersama dan berdoaa bersama setelah shalat wajib lima waktu menurut surkarti, merupakan perbuatan bid’ah dan bertentangan dengan sunnah Rasul. Surkati menilai perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang mengada-ada dan menambah-nambah karena Rasulallah selesai sholat wajib lima waktu, langsung mengerjakan sholat sunnah ba’diah dirumah, tetapi kalau ada yang akan dia sampaikan maka dia berdiri lalu menyampaikannya ke umat Muslim.
Pendeknya, dari negara Sudan, Ahmad Surkati datang dengan membawa ”gagasan rasional”. Gagasan itulah yang kemudian memberi kontribusi besar bagi lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah, sebuah gerakan pembaharuan untuk memperbaiki pemahaman keberagaman muslim Indonesia.Deliar Noor menyatakan, seperti halnya seperti Modernis muslim Indonesia yang lain. Pemikiran-pemikiran yang berkembang di Al-Irsyad banyak dipengaruhi oleh pemikiran Puritanisme yang berkembang di Timur Tengah, yang diplopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (dengan gerakan Wahabinya), pemikiran tersebut secara intensif masuki Indonesia pada awal abad ke-20, melalui kontak personal antara masyarakat Arab di Indonesia dengan mereka yang berada di Timur Tengah, juga melaui penerbitan-penerbitan majalah, seperti majalah Al-Manar dan lain-lainnya.

C. Jami’atul Khair
Setiap dari mereka gerakan Modernisme Islam termasuk organisasi islam yang beranggoatakan keturunan Arab memiliki karakter gerakan yang berbeda-beda. Ada gerakan Islam yang menekankan pada aspek ekonomi dan politik, ada yang menekankan pada upaya pemurnian ajaran Islam, serta ada yang menekankan pada uapaya pemurnian ajaran Islam, serta ada yang menekankan pada aspek pembaharuan pendidikan Islam.
Contoh gerakan Moderenisme Islam yang berdiri pada awal abad ke-20 adalah Jami’atul khair, sebuah organisasi Islam, yang mana organisasi ini sebagai tempat para Ulama dan aktivis berjuang dan memperjuangkan pembaharuan dalam segala aspek. Jami’atu khair juga sebagai organisasi Islam pertama di Indonesia yang dikelola dengan system (managemen) keorganisasian modern, Jami’atu khairmemliki anggaran dasar, anggaran rumah tangga, buku anggota notulensi rapat, iuran anggota dan lembaga control anggota melalui rapat tahunan, dan lain sebagainya. Konon, lembaga ini telah diusahakan berdirinya sejak tahun 1901.pemrakarsanya adalah golongan terpelajar dari kalangan muslim Indonesia keturunan Arab, dari keluarga shihab dan Yahya. Klan Shihab dan Yahya dikalangan Alawiyyin termasuk dalam stratifikasi sosial kelas rendah.
Dalam proses pendiriannya, Jami’atul khair mengalami banyak hambatan . berulangkali permohonan izin pengesahan diajukan kepada Gubernur Jendral W.Rooseboom, namun selalu ditolak. Penyebabnya tidak jelas pada tahun 1903 misalnya,permohonan izin diajukan, namun ditolak. Kemudian untuk meyakinkan pemerintah colonial Belanda, surat permohonan dikirim berulang kali dengan mencantumkan nama pemohonan yang berbeda, yaitu Said bin Ahmad Basandid dan Muhammad bin Abdurrahman Al-Masyhur.
Setelah lama menunggu, akhirnya izin pendirian Jami’atul khair dikeluarkan pada tanggal 17 Juni 1905, setelah permohonan disetujui oleh Gubernur Jendral J.V.Van Heutsz. Izin pendirian Jami’atul khair keluar disertai catatan dari pemerintah, bahwa Jami’atul khair tidak boleh mendirikan cabang diluar Jakarta.
Pengurus Jami’atul khair angkatan pertama terdiri dari Said bin Ahmad Basandid sebagai ketua, Muhammad bin Abdullah bin Shihab sebagai wakil ketua, Muhammad Al-Fakhir bin Abdurrahman masyhur sebagai sekretaris, dan Idrus bin Ahmad bin Shihab sebagai bendahara, setahun kemudian pengurus Jami’atul khair dirubah dan tersusun pegurus baru dengan Idrus Bin Abdullah Al-Masyhur sebagai ketua , Salim bin Ahmad Balwel sebagai wakil ketua, Muhammad Al-Fakhir bin Abdurrahmnan Al-Masyhur sebagai sekretaris, dan Idrus bin Ahmad bin Shihab sebagai bendahara.
Jami’atul khair semula mencantumkan tujuannya untuk menolong orang-orang Arab yang tinggal di Jakarta pada saat kemetian dan pesta perkawinan. Organisasi ini kemudian mendirikan sekolah pertama di Pekojan Jakarta. Beberapa tahun setelah itu, dibuka pula sekolah-sekolah di Krukut, Tanah Abang dan Bogor, pada bulan Rabiul Awal 1329 H, atau bulan Maret 1911 M.
Datanglah pengajar dari Makkah yang ditujukan untuk memperkuat staf penagajar pada sekolah-sekolah Jami’atul khair mereka adalah Syaikh Ahmad Surkati Al-Anshari ditempatkan disekolah Jami’atul khair di Pekojan dan sekaligus sebagai pemilik sekolah-sekolah Jami’atul khair lainnya.Syaikh Ahmad Tayyib Al-Maghribi ditempatkan disekolah Krukut dan syaikh Muhammad Abdul Hamid Al-Sudani ditempatkan di sekolah Jami’atul khair di Bogor.
Kemudian atas jasa seorang staf pimpinan Jami’atul khair, Abdullah Al-Attas, didatangkan pula seorang pengajar asak Tunis dan lulusan kulliyyah Azzaitun, yaitu Muhammad Al-Hasyimi, kemudian ditempat disekolah Jami’atul khair di Tanah Abang.
Muhammad Al-Hasyimi adalah seorang berkebangsaan Tunis yang pernah ikut memberontak melawan pemerintah Prancis, ia dikenal sebagai guru olahraga dan memiliki berbagai pengetahuan keterampilan, seperti memasak, membuat sabun dan lain sebagainya. Dialah yang pertama kali yang mengenalkan gerakan kepanduan dikalangan umat Islam Indonesia. dengan demikian ia mestinya disebut sebagai “bapak kepanduan Islam Indonesia”.
Dalam perkembangan berikutnya, Abdullah Al-Atas mengalami perselisihan dengan pengurus Jami’atul khair. Karena perselisihan itu dia memutuskan untuk meninggalkan Jami’atul khair, dan mendirikan Al-Atas school pada tahun 1912.langkah Abdullah Al-Atas ini diikuti oleh Al-Hasyimi dengan cara meninggalkan Jami’atul khair dan bergabung dengan Al-Atas Schcool. Namun ketika Al-Irsyad berdiri, dia meninggalkan Al-Atas school dan bergabung dengan Al-Irsyad serta menjadi guru pada sekolah Al-Irsyad.
Dua tahun kamudian, atas jasa Ahmad Surkati, didatangkan empat orang pengajar lagi, yaitu syaikh Ahmad Al-Aqib Assudani. Ditempatkan di sekolah Al-Khairyyah di Surabaya, syaikh Abul Fadhel Muhammad Assati Al-Anshari, saudara kandung Ahmad Surkati ditempatkan disekolah Jami’atul khair di Tanah Abang, syaikh Muhammad Nur Muhammad Khair An-Anshari ditempat disekolah Jami’atul khair di Pekojan dan Jami’atul khair di Krukut. Dalam perkembangan selanjutnya Syaikh Hasan Hamid Al-Anshari dipindahkan ke Bogor karena syaikh Muhammad Abdul Hamid Assudani kembali ke Negerinya.


Kesimpulan

Sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada masyarakat yang Statis, semua pasti mengalami perubahan dan perkembangan.salah stu faktor penting yang mendorong perubahan dan perkembangan itu adalah adanya kontak pergaulan dengan masyarakat yang lebih maju sehingga terangsang untuk mengejar ketertigalannya atau bisa sejajar dengan mitra pergaulannya. Pada permulaan abad ke-20 banyak orang Islam di Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan dapat menyaingi kekuatan kolonialisme penjajahan Belanda dan mengejar ketertinggalan dari Barat, apabila mereka melanjutkan cara-cara yang bersifat trdisional dalam menegakkan ajaran Islam golongan ini merintis cara-cara baru dalam memahami dan mengembangkan ajaran-ajaran Islam ditengah-tengah masyarakat oleh sebab itu, mereka disebut kaum pembaharu.
Para pembaharu did Indonesia mengikuti jejak kaum pembaharu di Timur Tengah, terutama yang berpusat di Mesir.. Mereka berkenalam dengan gagasan tajdid melalui bacaan dan pertemuan langsung dengan tokohtokohnya sewaktu mereka menuntut ilmu di Timur Tengah. Terutama di Al-Haramain atau dua tanah suci yaitu Mekkah dan Madinah.
Menurut kami disimpulkan pembaharuan yang dilakukan Jami’atul Khoir, Padri, dan Al-Irsyad secara garis besar dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. menyegarkan pemahaman ajaran Islam dengan membuka kembali pintu Ijtihad.
b. Mengembangkan pemikiran rasional.
c. Memurnikan Aqidah umat Islam.









Daftar Pustaka
M.Mukhsin Jamil, Nalar Islam Nusantara, 2007, Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI.
Badrus Zaman, Sejarah Kebudayaan Islam, 2005, Surakarta: Amand Press
Abdullah,Tradisi Dan Kebngkita Islam di Asia Tenggara, 1989,Jakarta: Lp3 Press,
Bolland, Pergumulan Islam di Indonesia, 1985,Jakarta: Grafitti Press.
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia,1980 Jakarta:Lp3 Press
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam,1994, Semarang : PT Karya Toha Semarang.


PEMBAHARUAN MUHAMMADIYAH, PERSIS, NU, DAN MASYUMI


PENDAHULUAN


Masyarakat Indonesia dewsa ini merupakan masyarakat peralihan yang mengalami transformasi sosial, politik ekonomi dan budaya yang cepat serta memperoleh pengaruh dari dunia luar secara intens, industrialisasi, urbanisasi, sekulerisasi, polarisasi masyarakat Indonesia yang cendrung menjadi berbagai kelas merupakan proses yang terus berjalan dengan segala macam implikasinya. Dalm kontekes perubahan atau pembaharuan inilah organisasi islam yang berkembang dalam bidang agama dan politik yang banyak di bahas di kalangan masayarakat luas, dan juga di makalah ini terdapat empat organisasi islam yang berkembang di Indonesia yang berkenaan dengan masalah keagamaan dan politik dari prasejarah hinga hingga pembaharuan keislamannya.


PEMBAHASAN


A. Muhammadiyah

Ketika Muhammadiyah didirikan oleh KH, Ahmad Dahlan pada tahun 1912, umat islam sedang dalam kondisi yang sangat terpuruk, Bersama seluruh bangsa Indonesia, mereka terbelakang dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah kemakmuran dan ekonomi yang parah serta kemampuan politis yang tidak berdaya. Lebih memperhatinkan lagi identitas keislaman merupakan salah satu poin negatif kehidupan umat, Islam waktu itu identik dengan profil kaum santri yang selalu mengurusi kehidupan akhirat sementara tidak tahu dan tidak mau tahu dengan perkembangan zaman, Sementara lembaga organisasi keagamaan juga masih berkelut dengan urusan yang tidak banyak bersentuh dengan dinamika realitas sosial apalagi berusaha untuk memajukan.

Ajaran islam seakan menjadi belenggu yang semakin membenamkan umatnya kepada situasi yang tidak berharga dan tidak berdaya, disisi lain kelompok masyarakat yang terdidik menjadi alergi dengan islam dan kaum muslim karena dianggap sebagai sumber keterbelakangan masyarakat dan tidak bisa dijadikan jalan untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Sebagaimana tercermin dalam profil pendirinya Muhammadiyah hadir sebagai pendobrak di inspirasikan oleh gerakan pembaharuan islam di dunia internasional yang ditokohi jamaludin Al-afgani, Muhammad abduh, Rasyid Ridho dan lain-lain, Muhammadiyah bergerak menggali nilai-nilai islam yang benar dan universal sebagai petunjuk hidup dan kehidupan. Kemudian Muhammadiyah berkembang dalam arah gerakan modernis, sebagai avan grade masyarakat Indonesia yang sedang bangkit dari tidur panjang selama tiga setengah abad di bawah kolonialisme, sejalan dengan logika modernisme secera akumulatif Muhammadiyah berkembang menjadi jaringan organisasi besar dengan amal usaha yang makin meningkat dalam jumlah dan ragamnya.

Ada dua arah perkembangan Muhammadiyah dalam kerangka kemodernanya, yaitu yang pertama pertumbuhan dan kemajuan ide tentang pertumbuhan growth dan kemajuan progress merupakan dua kata kunci utama kebudayaan modern yang menggambarkan akumulasi jumlah quantity dan peningkatan keragaman diversity.Keduanya merupakan rumusan atau turunan dari ciri utama modernisme dan materialisme Muhammadiyah mencoba menyuntikkan nilai-nilai materialisme kedalam masyarakat yang telah keropos karena mengaggap kehidupan materi duniawi tidak memiliki nilai-nilai secara religius.

Arah perkembangan kedua adalah sistematisasi, yang merupakan rumusan turunaan dari prinsip modernisme, sistematisasi ini tidak mengarah organisasional dengan dibentuknya berbagai majelis dan organisasi otonom melainkan juga dalam kehidupan beragama, mulai di bentuk lembaga untuk mensisitematisir pemahaman, pemikiran dan pelaksanaan peribadatan yaitu majelis tarjih dan hasilnya disistematisir dalam sebuah manual himpunan putusan tarjih, kedua trobosan tersebut, pertumbuhan, perkembangan, kemajuan dan upaya membangun masyarakat umat islam dari masyarakat bodoh, miskin terbelakang dan terjajah hinga menjadi masyarakat yang mandiri, makmur dan berpendidikan. (Abdul Munir Mulkhan. 1990, hal; 1-2)

Dua arah perkembangan tersebut di jadikan oleh organisasi Muhammadiyah dalam kerangka modernisasi dan sistematisasi itu merupakan rumusan untuk memajukan agama islam yang murni menurut Al-Qur’an dan sunnah rosull

Karanka pandangan dunia modernis makin lama makin banyak maendapat kritik karena dianggap tidak lagi sesuai, orang-orang modrnis dianggap telah melangkah terlalu jauh dengan menjadikan rasionalisme dan materialisme bukan lagi perangkat analisis, melainkan sebagai ideologi, dengan menjadikan materialisme dan rasionalisme sebagai ideologi orang-orang modernis telah mutlak kedua nilai tersebut dan gagal melihat berbagai keterbatasan yang inheren di dalamnya.

Orang-orang muhamadiyah belum mampu memahami bahwa bentuk gerakan mereka merupakan sebuah hasil pemikirannya untuk mengatasi tuntutan keadaan, krangka organisasi modernis hanyalah sarana untuk mengaktualisasikan nilai-nilai keislaman dalam konteks masyarakat pada waktu itu, modernisme bisa dikatakan bukan substansi gerakan yang di bangun oleh K.H.A Dahlan hingga kinipun orang lebih mengenal gerakan anti TBC (tahayul, bid’ah, dan curafat) dan bukan gerakan sosial dan budaya.

Prinsip utama gerakan Muhammadiyah merupakan hasil pemahaman terhadap ajaran islam yang termaktub dalam al-qur’ann dan sunnah hasil pemahaman demikian dirumuskan sebagai pola kelakuan perjuangan muhammadiyah yang kemudian mendorong memberi arah dan bentuk setiap aktifitas Muhammadiyah, keseluruhan dari prinsip perjuangan Muhammadiyah dapat dikelompokan menjadi lima prinsip yaitu; Prinsip gerakan islam

1. Prinsip gerakn sosial
2. Prinsip gerakan dakwah
3. Prinsip gerakan ilmu
4. Prinsip gerakan tajdid

Dari 5 prinsip tersebut merupakan sistem gerakan muhammadiyah dalam pembaharuan islam, Dilain pihak KH, Ahmad Dahlan juga melihat perlunya dilakukan pembaharuan system pendidikan islam dari pesantren menjadi system pendidikan modern, karena itu tidak mengherankan jika berdirinya muhammadiyah diawali dengan “pendiri sekolah islam, yaini gabungan antara pendidikan umum dengan system madrasah, dirumah sendiri dikampung kauman yogyakarta, melalui lembaga pendidikan inilah pendiri Muhammadiyah ini mencoba merealisasikan gagasannya untuk menjadi organisasi sosial keagamaan berlebel Reformasi. (Abdul MM, 2000: 157), hubungan sistematik kelima prinsip gerakan Muhammadiyah menjadikan setiap akivitas harus menjalankan kelima prinsip tersebut, hal ini berarti bahwa suatu kegiatan sebagai penerapan satu prinsip lainnya bahkan sekaligus merupakan penrapan prinsip lainnya, namun demikian karena prioritas nya diterapkan sebagai nsatu prinsip gerakan tertentu, maka arh utama dari kegiatan tetap didasarkan pada prinsip garakan.

Kehadiran sebuah organisasi sosial keagamaan dengan predikat pembaharu pada dasa warsa kedua, abad kedua puluh ini dipandang sebagai satu kemajuan besar dikalangan umat islam.. Tradisi keagamaan yang dipengaruhi oleh budaya keraton dan sinkretis, menyebabkan K.H.A. Dhlan memilih pembaharuan sebagai upaya memurnikan ajaran islam, dengan cara mengembalikannya kepada dua sumber utama yaitu; Al-Qur’an dan As-sunnah. (M.Rusli Karim, 1986; 17-18)

Sejak Muhammadiyah didirikan “bernawitu” menjadi gerakan islam sesuai dengan bimbingan Allah dalam A-Qur’an serta teladan Rosulullah dalam fikiran modern yang selaras dengan kedua basis sebelumnya, dengan dasar-dasar tersebut Muhammadiyah mampu menumbuhkan cara hidup yang dinamik, rasional, dan individualistic serta gaya hidup kota yang duniawi dan mampu mengkombinasikan pola dan metodeorganisasi barat yang modern dengan prinsip dan nilai islam mempunyai kepercayaan pada diri sendiri, jadi jelas pilihan yang dijatuhkan, sebagai gerakan tjdid menempati dua sisi mata uang yang sama. Pemurnian islam dari segala bentuk bid’ah dan kurafat serta penerapan islam dalam masyarakat dengan pola dan metode modern.

Dengan Islam benar Muhammadiyah menjadi kokoh, teguh dan berpribadi dengan ilmu-ilmu modern Muhammadiyah lebih mudah menerapkan islam dalam kehidupan masyarakat.

Etos Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan islam terlalu sederhana untuk hanya dikaitkan dengan masalah kekuasaan politik apa lagi jabatan presiden, menteri atau DPR. Karena itu, penting bagi Muhammadiyah untuk tetap konsisten pada jati dirinya sebagai gerakan sosial dan budaya, jika pada satu masa nampak ketergiuran kader gerakan ini pada permainan kekuasan adalah pertanda dari sebagai pusat keunggulan peradaban, walaupun demikian, bagi muhammmadiyah, kejkuasaan atau partai politik bukansesuatu yang di pandang tidak panting atu di luar keberadaan dirinya sebagai gerakan sosial atau kebudayaan.

Di dalam dinamika demokrasi politik kebangsaan dan orientasi pad aide masyarakat madani di masa depan peran penting Muhammadiyah justeru terletak psda kemampuan gerakan menempatkan diri sebagai pencerah peradaban sebagai etos gerakannya. Inilah sebenarnya pesan pembaharuan kiayi Ahmad Dahlan, sehingga pada awal kemunculannya ia mampu menyerap berbagai pusat keunggulan pada masanya.

Gerakan tersebut mulai berubah lagisetelah mengalami formalisasi atas pembaharuannya dalam berbagai lembaga dan terutama sesudah pengembangan Tarjih sebagai lembaga fatwa hukum fikih, sejak itu tidak lama pendiri wafat, sebenarnya gerakan ini mulai mengalami proses tradisionalisasi, Muhammadiyah seolah-olah identik dengan tarjih yang kemudian diartikan hanya sebagai lembaga fatwa syariah (fikih).

Formalisasi dan tradisionalisasi itu menjadi lebih hebat sesudah ketertarikan Muhammadiyah terhadap kekuasaan dan permainan politik praktis menjadi semakin besar tidak lama sesudah kemerdekaan, tahun 1945 khususnya bersamaan dengan berdirinya Masyumi, salah satu penyebabnya ialah kekaguman para aktivis Muhammadiyah terhadap keberhasilan kiayain Ahmad Dahlan dalam membangkitkan semangat sosial dan kebudayaan pemeluk islam, demikian pula keberhasilan kyaiA hmad Dahlan mendorong tumbuhnya berbagai amal usaha atau berbagai lambaga sosial yang terus bertambah hampir tanpa seinngat terutama di bidang pendidikan dan kesehatan, pemujaan kebesaran diri itulah kemudian yang menyebabkan aktivisnya merupakan peran sejarah yang bisa dan harus dimainkannya.











B. PERSIS (PERSATUAN ISLAM)

PERSIS sebagai organisasi yang berlebel Modernis lahirnya persatuan islam di telah memberi warna baru bagi sejarah peradaban islam di Indonesia, persis yang lahir pada abad ke-20 merupakan respon terhadap kerakter keberagaman masyarakat islam di Indonesia yang cendrung sinkretik, akibat pengaruh prilaku keberagaman masyarakat, Indonesia sebelum kedatangan islam praktik-2 sinkretisme ini telah berkembang subur, akibat sikap akomodatif para penyebar islam di Indonesia terhadap adat-istidat yang sebelumnya telah mapan. Meskipun tidak dapat di pungkiri, bahwa keberhasilan penyeberan islam juga tidak lepas dari sikap akomodatif. Bagi PERSIS, praktik sinkretisme merupakan kesesatan yang tidak boleh dibiarkan berkembang dan harus segera dihapus karena bias merusak sendi-sendi fundamental agama islam.

Hal lain yang mejadi sasaran reformasi yang dilakukan persis adalah kejumudan berfikir yang dialami oleh sebagian besar umat islam Indonesia akibat tklid buta yamg mereka lakukan dalam menjalankan syari’at agama. Sebagai mana diketahui, bahwa praktik peribadatan masyarakat Indonesia pada umumnya didasarkan pada hasil rumusan para imam mazhab 800 tahun silam, Mereka beranggapan bahwa, hasil ijtihad para imam mazhab tesebut merupakan keputusan terbaik dan harus di ikuti apa adanya.(M.muksin, 2007; 224)

Dilacak dari akar sejarahnya, reformasi yang diusung persis merupakan pengaruh dari faham wahabi melalui para pendirinya, yaitu ketika organisasi persis pertama kali didirikan dikaota, di pelopori oleh H. Zam-zam dan H. Muhammad Yunus, mereka adalah ulama persis yang pernah pengenyam pendidikan di darul ulum, mekkah tempat berkembangnya paham wahabi. Hasil beklajar H. Zam-Zam ini kemudian di tularkan kepada segenap rekannya seperti H. Muhammad Yunus dan beberapa rekan lainnya yang sama-sama melakukan kenduri secara rutin di bandung, yang di isi dengan kajian-kajian keislaman dan teks-teks klasik dari ulama salafi. Muhammad yunus sendiri, meskkipun dia tdak pernah belajar di mekkah, dia memiki kemampuan bahasa arab, serta memiliki semangat yang tinggi untuk mengkaji kitab-kitb bahasa arab yang di belinya, dari hasil kajian-kajian inilah kemudian lahir pemikiran gerakan dan keislaman sebagai refleksi kritis terhadap situasi dan kndisi masyarakat islam indonesi, pemikir pembaharu yang banyak menentang praktik keagamaan yang tradisional dan banyak di pengaruhi oleh pemikiran salafi. (Muksin jamil, 2007: 225-227)

Dalam kepemimpinan persis periode pertama (1923-1942) berada di bawah pimpinan H. Zam-zam, Muhammad yunus, Ahmad hasan, dan Muhammad Natsir yang menjalanka roda organisasi pada masa penjajahan colonial belanda, dan menghadapi tntangan yang berat dalm menyebarkan ide-ide dan pemikiranna. Pada masa penduduk jepang (1942-1945), ketika semua organisasi islam dibekukan, para para pemimpin dan anggot persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niposisasi dalam pemusyrikan ala jepang,hingga menjelang proklamasi kemerdekaan pasca kemerdekaan, persis mulai reorganisasi yang telah di bekukan selama penduduk jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan persis di pegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. M. Isa Anshari, sebagai ketua umum persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhrudin Al-khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dan lain-lain.

Pada masa ini persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil, pemerintah republik Indonesia seperti mulai tergiring kearah demokrasi terpimpin yang di rancangkan oleh presiden Soekarno dan mengarah pada pembentuk negara dan masyarakat dengan ideologi Nasionalis, agama, komonis (NASAKOM), Setelah berakhirnya periode kepemimpina K.H. Muhammad Isa Ansshary, kepemimpinan persis di pegang oleh K.H..E. Abdurahman (162-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu isa bugis, isa bugis, islam jama’ah, darul hadist, inkarus sunnah, syi’ah, ahmadiyah dan faham sesat lainnya. Kepemimpinan K.H.E Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A LAtif Muctar, MA (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaan (pemuda persis).

Pada masa kini persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realitis dan kritis, Gerak perjuangan persis tidak terbatas pada persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas pada persoalan-persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan strategis yang di butuhkan oleh umat islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikir keislaman.(http://persatuan islam.wordpress.com, 2010, 14:30)

Jadi persis pada saat ini sangat dibutuhkan oleh umat islam terutama pada urusan muamalah dan pengkajian pemikiran keislaman dan juga gerak perjuangan persis itu tidak terbatas pada persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi juga meluas pada persoalan strategis.

Pada dasarnya, perhatian persis ditujukan terutama pada faham Al-Qur’an dan sunnah, hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tablgh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren ), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya, tujuan utmanya adalah terlaksananya syari’at islam secara kaffa dalam segala aspek kehidupan, untuk mencapai tujuan jam’iyyah, persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang mulai dengan mendirikan pesaantren persis pada tanggal 4 maret 1936, dari pesantren persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (taman kanak-kanak ) hingga perguruan tinggi, kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitb, dan majalah antaralain majalah pembela Islam (1929 ), majalah Al-fatwa,(1931), Al-lissan (1935), majalah At-taqwa (1937) majalah Al-hikam (1939), majalah Aliran islam (1948), majalah risalah (1962), serta berbagai majalah yang di terbitkan di cabang-cabang persis.

Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak di gelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif pimpinan pusat persis maupun permintaan dari cabang-cabang persis, undang-undang dari organisasi islam lainnya, serta masyarakat luas..



C. Nahdatul Ulama (NU)

Nahdatul ulama (NU) lahir pada tanggal 31 januari 1926 di Surabaya, organisasi ini di prakarsai oleh sejumlah ulama terkemuka, yang artinya kebangkitan para ulam, NU didirikan untuk menampung gagasan keagamaan para ulama tradisional, atau sebagai reaksi atas prestasi ideologi gerakan modernisme islam yang mengusung gagasan purifikasi puritanisme, pembentukan NU merupakan upaya peorganisasian dan peran para ulama, pesantren yang sudah ada sebelumnya, agar wilayah kerja keulamaan lebih ditingkatkan, dikembangkan dan di luaskan jangkauannya dengan kata lain didirikannya NU adalah untuk menjadi wadah bagi usaha mempersatukan dan menyatukan langkah-langkah para ulama dan kiai pesantren. (Muksin jmil, 2007; 227)

Dalam pandangan NU tidak semua tradisi buruk, usang, tidak mempunyai relevansi kekirian, bahkan tidak jarang, tradisi biasa memberikan inspirasi bagi munculnya modernisasi islam penegasan atas pemihakkan terhadap “warisan masa lalu “ islam di wujudkan dalam sikap bermazhab yang menjadi typical NU, dalam memahami maksud Al-Qur’an dan hadist tanpa mempelajari karya dan pemikiran-pemikiran ulama-ulama besar seperti, Hanafi, Syafi’I, Maliki, dan Hambali hanya akan sampai pada pemahaman ajaran islam yang keliru.

Demikian juga dalam pandangan kiai, hasyim yang begitu jelas dan tegas mengenai keharusan umat Islam untuk memelihara dan menjaga tredisi islam ditorehkan para ulama klasik. Dalam rangka memelihara system mazhab kiai Hasyim merumuskan gagasan ahlusunnah waljama’ah yang bertumpa pada pemikiran, AbuHasan al-asyari, Mansur Al-Maturdi imam Hana fi, Maliki, syafi’I, dan Hambali, serta ima Al-ghozali, junaid Albaghdadi dan imam mawrdi.



Pada dasawarsa 1980 dan 1990 terjadi perubahan mengejutkan didalam lingkungan Nahdatul Ulama ormas terbesar di Indonesia. Perubahan yang paling disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah proses kembali ke khitthah 1926: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi jam’iyyah diniyyah, bukan lagi wadah politik, dengan kata lain, sejak muktamar sutibondo (1984)p ara kiai bebas berafiliasi dengan partai politik manapun mksudnya dengan partai golkar dan menikmati kedekatan pemerintah, NU tidak asing lagi oleh pemerintah, sehingga segala aktifitasnya, pertamuan, seminar tidak lagi dilarang dan malah sering difasilitasi.(http://organiasi islam.wordpres.com, 207, 11:05).

Jadi, dapat di pahami perubahan tersebut merupakan momentum dalam politik orde baru, NUsebagai politik sunni, yang selalu mencari akomodasi dengan penguasa.

Terdapat pula perubahan lainnya dikalangan generasi muda NU terlihat dinamika baru dengan menjamurnya aktivitas sosial dan intelektual, yang nyaris tak tertandingi oleh kalangan masyarakat lain, selama ini NU di anggap ormas yang paling konservatif dan tertutup, dan sedikit sekali punya sumbangan kepada perkembangan pemikiran keagamaan maupun pemikiran sosial dan politik, prihal pemikiran keagamaan NU justru didirikan sebagai wadah para kiai untuk bersama-sam bertahan terhadap garakn pembaharuan pemikiran islm yang di wakili oleh Muhammadiyah, Al-irsyad dan persis, Nu hanya manerima interprestasi islam yang tercantum dalam kitab kuning “ortodoks” al-kutub al- mu’tabarah, terutama fiqh Syafi’I dan aqidah menurut mazhab asy’ari, dan menekan tklid kepada ulama besar pada masa lalu.

Dengan latar belakang aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan ekonomi di sekitar pesantren yang mulai menjamur pada akhir dasawarsa 1970 dan 1980, muncul wacana-wacana baru, yang berani mempertanyakan interprestasi khazana klasik yang sudah mapan dan mencari relevansi tradisi islam untuk msyarakat yang sedang mengalami perubahan secara cepat, merupakan suatu perkembangan revolusioner, baik daalam aktivitas LSM maupun dalam wacana yang berkembang.



Perhatian mulai bergeser dari para kiai sebagai tonggak organisasi NU kepada massa besar, akar rumput yang merupakan mayoritas jama’ahnya tetapi kepentingannya selama ini lebih sering terabaikan. Dominasi akivitas dan wcana NU dan keturunan mereka (kaum Gus-gus), telah mulai terdobrak, sebagian besar aktivis dan pemikir muda yang memberi nuansa kepada NU pada dasawarsa 1980 dan 1990 tidak berasal dari kasta kiai melainkan dari keluarga awam, yang mengalami mobilitas sosial, tetapi perlu kita dicatat bahwa mereka bias muncul karena mnendapat dukungan dan perlindungan dari sejumlah tokoh muda dari kalangan elit seperti, Fahmi sifuddin, Mustafa bisri, dan Abdurahman Whid.

Nahdatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi Massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi, tokoh NU, K.H. Hasyim asy’ari terpilih sebagai pimpinan tertinggi masyumi pada saat itu, tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam pengurusan Masyumi dank arena keterlibatan NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari.

Nahdatul ulama kemudian keluar dari masyumi melalui surat keputusan pengurusan besar Nahdatul Ulama (PBNU) pada tanggal 5 april 1952 akibat adanya pergesekan politik diantara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasikan para kiai NU pada persoalan agamanya saja.(http://organisasi Islam, worrdpress.com) Hubungan antara kedua partai tersebut NU keluar dari partai Masyumi diakibatkan, pergesekkan politik kaum intelektual partai Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU yang mengurusi pada persoalan agama saja.



D. MASYUMI

Proklamasi kemerdekaan RI membawa angin Segar bagi perkembangan politik dan demokrasi bangsa ini, setiap anak bangsa larut dalam keindahan nasionalisme, hal itu juga terjadi pada tokoh-tokoh Islam saat itu sebelum kemerdekaan mereka begitu semangat untuk menegakkan cita-cita islam.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia PNI menjadi partai Negara, namun menjelang Oktober 1945, PNI muncul dengan wajah baru karena di mulainya system banyak partai yang juga berarti terbukanya kembali ruang bagi kalangan islam untuk ikut serta di dalamnya serta sebagai sarana bagi mereka untuk menegakkan cita-cita islam

Kebijakan pemarintah dalam pendirian partai-partai ini pada awalnya banyak disesalkan oleh kalangan Islam, argument mereka antara lain didasarkan pada penikiran bahwa di waktu genting setelah proklamasi yang di butuhkan persaudaraan rakyat bukan malah kebijakan atau penerapan sistem banyak partai justru dapat memicu terjadinya perpecahan.

Masyumi didirikan pad 24 oktober 1943 sebagai pengganti MIAI karena jepang memerlukan satu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama islam, meskipun demikian, jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai islam yang telah ada di zaman belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola piker modern, sehingfga pada minggu-minggu pertama, jepang telah melarang partai sarikat islam Indonesia (PSII) dan partai islam Indonesia (PII).

Pada tanggal 7-8 Oktober diadakan muktamar islam di yogyakarta yang di hadiri oleh hamper semua tkoh berbagai organisasi islam dari masa sebelum perang serta masa pendudukan jepang.

Kongres memutuskan untuk mendirikan syuro pusat bagi umat islam Indonesia , masyumi yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat islam pada awal pendiri masyumi, hanya empat organisasi yang masuk masyumi yaitu; Muhammadiyah, NU, perikatan ulama islam, dan persatuan umat islam.

Setelah itu barulah organisasi islam yang lainnya ikut bergabung kemasyumi antara lain persatuan islam (bandung), al-irsyad (Jakarta), Al-jamiatul Washliyah dan Al-ittihadiyah (dari sumatera utara), selain itu pada tahun 1949 setelah rakyat pendudukan belanda mempunyai hubungan leluasa dengan rakyat di daerah yang dikuasai oleh RI, banyak di antara organisasi islam di daerah pendudukan itu bergabung dengan masyumi mudahnya persyaratan untuk masuknya organisasi isalam kedalam Masyumi menjadi slah satu penyebab banyaknya organisasi-organisasi islam yang masuk kedalamnya, namun yang lebih penting mengenai alas an mereka masuk kedalam Masyumi di karenakan semus pihak merasa perlu bergabung dan memperkuat barisan islam. (organisasi islam wordpress.com)

Hampir di seluruh wilayah Indonesia terdapat cabang Masyumi atau organisasi-organisasi islam yang bergabung dengan Masyumi, disamping afiliasi organisasi -organisasi, Faktor penyebab Masyumi cepat berkembang, ialah peranan ulama masing-masing daerah serta ukhwa islamiah yang relatif tinggi pada masa-masa sesudah revolusi.

Tanpa mengetahui dengan dalam dasar dan cita-cita perjuangan Masyumi itu merupakan partai islam, setelah banyak orang yang dalam politik mengidenkkan dengan dirinya dengan partai tersebut. Pada awal pendirinya, yang menjadi perdebatan yaitu mengenai struktur masyumi yang ideal, hal itu disebabkan karena masyumi adalah sebuah organisasi yang terdiri dari berbagai organisasi islam yang mnembuat setiap pembahasan hal itu selalu dinamis. Diantara tokoh-tokoh masyumi yang cukup terkenal adalah:

1. K..H. Hasyim ASy”ri

2. K.H.Wahid Hasyim

3. H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)

4. Muhammad Nasir

5. Syafrudin Prawiranegara.



Setelah diproklamirkannya kemerdekaan RI, Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia, namun dengan kemayoritasan itu tidak dibarengi dengan adanya pandangan yang sama terhadap Islam dan Politik, Dalam hal ini ada dua pandangan masyarakat Indonesia mengenai hubungan tersebut, yang pertama bahwa, Islam merupakan agama yang lengkap, yang mengatur semua sendi kehidupan, termasuk di dalamnya, mengatur hubungan dengan politik (Negara). Sedangkan pandangan kedua, bahwa Islam sebagai sebuah panduan dan kode etik dalam kehidupan bernegara, bahkan juga terdapat pemisahan total antara keduanya.


Masyumi, yang didirikan oleh hampir semua organisasi Islam, baik pasca maupun pra kemerdekaan RI, adalah sebagai partai yang berniat merealisasikan pandangan Islam dan Politik di Indonesia, Lahirnya partai ini ditujukan guna untuk menjaga dan memperjuangkan kepentingan tanggal 7 November 1945, diadakanlah muktamar umat Islam Indonesia di Yogyakarta, di dalam keputusannya, diambil kesepakatan bahwa diperlukannya suatu wadah untuk menampung aspirasi umat Islam dan menyalurkannya melalui wadah tersebut.

Maka, partai Masyumi pun dibentuk, Besarnya partai Masyumi ternyata tidak bisa dielakkan dari perpecahan bahkan terjadi pembubaran pada tahun 1960 oleh rezim pada saat itu, Setelah bergantinya dua rezim, ternyata tidak mampu menghilangkan roh partai itu, justru sebaliknya, sisa-sisa para pegiatnya sanggup membangkitkan dan melahirkannya kembali, Namun, disayangkan persatuan para pegiatnya itu tidak ada, sehingga melahirkan beberapa bentuk partai Islam yang berbeda dari partai Masyumi atau sebagai metamorfosis partai Masyumi.

Hubungan yang terjadi antara Masyumi dengan partai yang lahir dalam pemilu 1999 dan partai apa yang merupakan partai metamorfosis dari partai Masyumi Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari penyusunan ini, maka pendekatan yang digunakan adalah sosio-historis, yaitu menela’ah fenomena sosial dan partai-partai yang lahir pada pemilu 1999 dengan memaparkan perjalanan Masyumi dari awal berdirinya (1945) hingga partai ini dibubarkan (1960), Kemudian data yang terkumpul dianalisis secara kuantitaif dengan metode berpikir deduktif-induktif Dengan menggunakan pendekatan dan metode tersebut di atas menunjukkan bahwa, mendirikan partai Islam merupakan suatu kemaslahatan bagi umat. Sebagaimana Masyumi, pembentukan partai tersebut selain bertujuan untuk kelangsungan demokrasi, juga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah.

Demikian juga dengan partai-partai Islam yang lahir pada pemilu 1999, adanya kesamaan-kesamaan antara partai Masyumi dengan partai-partai Islam yang lahir pada pemilu 1999 baik dari perjuangannya, ideologinya, asasnya, nama partainya, tanda gambarnya, maupun basis massanya, maka hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya sebuah hubungan historis perjuangan yang tidak terputus antara partai-partai Islam 1999 seperti PBB, PMB, PPIM dan, PPP dengan partai Islam Masyumi.







KESIMPULAN



Dari empat organisasi tersebut dapat di pahami pembaharuan islam yang berkenaan dalam bidang politik, sosial dan budaya bertujuan untuk memperbaiki islam yang murni,oleh karena itu ajaran islam bersifat universal, tidak saja dalam dimensi sejarah, akan tetapi juga universal dalam dimensi sosiologis dan antropologis. Dengan demikian islam adalah agama bagi semua zaman, dan bagi semua orang dalam berbagai posisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik.





DAFTAR PUSTAKA





1. Abdul Munir Mulkhan, 1990, Pemikiran K.H..A. Dahlan dan Muhammadiyah, Bumi aksara; Jakarta .

2. M, Rusli Karim, Muhammadiyah dalam kritik dan komentar, Rajawli, Jakarta .

3. Mulkhan Abdul Munir, 2000, Menggugat muhammadiyah, Fajar pustaka baru, yogya karta.

4. Ismail Faisal, 2004, Dilema NU, Litbang, Jakarta .

5. Jamil. M.Muksin, 2007, Nalar Islam, DEPAG RI, Jakarta .

6. http: // organisasi islam.wordpress.com, 20010.

7. http;// partai islam. Wordpress.com, 20010.