Selasa, 16 Maret 2010

Tahsinul Qur'an

Tahsinul Quran

Al Quran sebagai landasan hidup manusia mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab lain. Beberapa keistimewaan itu antara lain:
Keistimewaan Tilawah. Artinya al Quran adalah sebuah kitab yang harus dibaca bahkan dianjurkan untuk dijadikan bacaan harian. Membacanya dinilai oleh Allah sebagai ibadah. Pahala yang diberikan oleh Allah bukan dihitung perkata atau perayat, namun per huruf. RasuluLLah SAW menjelaskan kepada kita, "Saya tidak mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf, namun Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf."

Keistimewaan Tadabbur. Artinya al Quran akan benar-benar menjadi ruh (penggerak) bagi kemajuan kehidupan manusia manakala selalu dibaca dan ditadabburkan makna yang terkandung dalam setiap ayat-ayatnya. Allah SWT berfirman, "Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu sebuah Ruh (al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al Kitab itu dan tidak pula mengerahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al Quran itu cahaya yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (QS. 42:52)

Keistimewaan Hifdz (Hafalan). artinya al Quran selain dibaca atau direnungkan juga perlu di hafal. dipindahkan dari tulisan ke dalam dada. Karena hal ini merupakan ciri khas orang-orang yang diberi ilmu, juga sebagai tolok ukur keimanan dalam hati seseorang. Allah SWT berfirman, "Sebenarnya al Quran itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada-dada orang-orang yang diberi ilmu. dan tidaklah mengingkari ayat-ayat kami kecuali orang-orang dhalim." (QS. 29:49)


Ilmu Tajwid. Lafadz tajwid menurut bahasa artnya membaguskan. Sedangkan menurut istilah adalah "Mengeluarkan setiap huruf dari tempat keluarnya dengan membeikan haknya dan mustahiknya."

Yang dimaksud dengan hak huruf adalah sifat asli yang selalu bersamanya, seperti sifat al-jahr, isti'la, istifal, dlsb. Sedangkan yang dimaksud dengan mustahik huruf adalah sifat yang namak sewaktu-waktu seperti tafkhin, tarqiq, dlsb.

Untuk mempelajari hak hal tersebut di atas, Dept. Tarbiyah akan memfasilitasi apabila ada komunitas yang ingin belajar Tahsin. Program belajar membaca Al Quran dengan baik dan benar yang dilakukan melalui telpon atau internet. Setiap kelompok akan terdiri dari maksimal 6 orang yang mempunyai tingkat pengetahuan membaca Al Quran relatif sama. Waktu belajar akan di tentukan oleh setiap kelompok. Persyaratan peserta adalah:
Telah mengenal dan dapat membaca huruf Al-qur’an (hijaiyah)
Tidak malu-malu dalam tilawah Al-Qur’an
Sangat diharapkan menggunakan qur’an cetakan Madinah, untuk mempermudah pembimbingan dan pembaca itu sendiri.

Pendaftaran dapat dilakukan dgn cara sebagai berikut:
Peminat dapat mengirim email ke: Departemen Tarbiyah [tekan disini] dengan mencantumkan nama, alamat, dan email lengkap dengan nomor telpon yg dapat dihubungi.
Setiap group terdiri dari 5-6 orang
Waktu akan dibicarakan bila telah ada pendaftar dengan jumlah tertentu.

Bagaimana Meningkatkan Kemampuan Membaca Al Quran secara Tartil

Pernahkah anda mendapatkan murobbi yang bagus dalam menyampaikan materi tapi ketika membaca Al Quran belum lancar dan banyak salahnya? Bagaimana kesan anda terhadap murobbi yang seperti itu?

Jujur, saya pernah mengalaminya dan kesan yang timbul dalam hati saya sangat tidak nyaman mendapat murobbi seperti itu. Saya menceritakan hal ini ke murobbi saya sebelumnya, dan saya mendapatkan jawaban yang cukup menenangkan.


Intinya terletak pada husnuzhon, beliau adalah orang yang sudah lama berkiprah dalam dunia dakwah. Bisa jadi, lembaga tahsin pada masa itu belum sebanyak sekarang. Bisa jadi, karena sibuknya dalam berdakwah beliau belum sempat belajar membaca Al Quran secara tartil. Bisa jadi juga beliau belum lancar membaca Al Quran tetapi memiliki keistimewaan ibadah yang lain.


Saya memandang hal ini dari dua sisi, pertama dalam memandang orang lain seperti murobbi saya tersebut. Memandang beliau dengan kacamata husnuzhon, tanpa perlu mencela kekurangan yang beliau miliki. Tetap menghormati beliau sebagai seorang murobbi yang ikhlas dalam membina saya, karena kekurangan beliau bukan dari akhlak tapi keahlian/ilmu.


Yang kedua, dalam menjadikan koreksi diri pribadi saya sebagai murobbi. Untuk terus belajar memperbaiki diri dari segi ilmu, amal dan keikhlasan. Membaca Al Quran secara tartil merupakan keahlian wajib bagi seorang murobbi. Tanpa keahlian ini, para binaan bisa jadi meremehkan dan kurang bersimpati. Karenanya saya berangan-angan semua murobbi memiliki kemampuan membaca Al Quran secara tartil.


Ada juga seorang aktivis yang mencari pembenaran akan kelemahannya dalam tilawah satu juz per hari dengan mengatakan yang terpenting kita memahami apa yang kita baca, meskipun sedikit dan kurang lancar bacaannya.


Menurut saya, akan lebih baik jika kita mengakui kekurangan kita dalam tilawah, kemudian berusaha memperbaiki kekurangan itu daripada mencari pembenaran dengan segala macam dalih.


Memandang orang lain dengan husnuzhon itu wajib, tapi untuk memandang diri sendiri sebaiknya penuh dengan koreksi menuju perbaikan. Inilah keadilan dalam menilai sesuatu, jangan terbalik.


Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam meningkatkan kemampuan tilawah kurang lebih sebagai berikut:

Memahami pentingnya membaca Al Quran secara tartil. Imam Ibnu Al Jazari mengatakan, “Al Quran diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah saw melalui malaikat Jibril dengan tajwid. Maka barangsiapa membacanya tanpa tajwid, ia berdosa.”

Menghadirkan niat untuk memiliki kemampuan tilawah yang baik. Jika ada ustadz yang mengajarkan anda sekali-kali jalan ke mall untuk memperbaiki selera, mengkhayalkan punya rumah mewah dan pesawat jet pribadi, pernahkah anda jalan-jalan ke pesantren tahfizh melihat anak-anak kecil sedang mengulang-ulang hafalan At Taubah nya? Pernahkah anda berkhayal suatu hari nanti, tiga tahun lagi, lima tahun lagi anda sudah hafal surat Al Baqoroh?

Garbage In, Garbage Out. Apa yang masuk ke kepala anda, itulah yang akan keluar. Istilah itu tepat dianalogikan dengan Al Quran. Anda hafal surat Al Fatihah karena sudah ratusan kali mendengarkannya. Jika yang anda dengarkan panjang pendeknya salah, maka anda pun akan salah mengucapkannya. Itulah kenapa banyak orang sering tertukar menyebut maliki (dalam surat An Naas) dengan maaliki (dalam surat Al Faatihah). Maka, sering mendengarkan kaset murottal itu sangat baik untuk membiasakan otak anda dengan panjang pendek huruf Al Quran. Dengarkanlah kaset atau mp3 Syeikh Ali Basfar, Syeikh Musyari Rasyid, misalnya. Hal ini juga dapat membantu anda dalam menghafalkan Al Quran.

Memiliki target dan waktu tilawah khusus. Luangkan waktu sejam dari 24 jam dalam sehari (yang diberikan Allah kepada anda) untuk tilawah, misalnya ba’da shubuh 15 menit, ba’da zuhur 15 menit, ba’da Ashr 15 menit, dan ba’da maghrib 15 menit.

Belajar di Lembaga Tahsin. Luangkan waktu sepekan sekali untuk belajar tahsinul quran. Carilah lembaga-lembaga tahsin terdekat. Kalau di Jakarta misalnya, ada Al Hikmah, Al Manar, Utsmani dan ada juga Muntada Ahlil Quran.

Membuat program kelompok. Belajar berjamaah lebih baik dibanding belajar sendirian, jika suatu saat anda kurang semangat, ada teman yang menyemangati. Buatlah program halaqoh tahsin Al Quran, bisa juga mengundang guru tahsin untuk khusus mengajarkan kelompok anda secara rutin sepekan atau dua pekan sekali.

Jangan lupa berdoa pada Allah, meminta diberi kemudahan dan kenikmatan dalam tilawah secara tartil, dijadikan hamba Allah yang termasuk keluarga Nya dan orang-orang yang diistimewakan oleh Nya.

Sejarah Filsafat

SEJARAH FILSAFAT KLASIK-Filsafat Yunani

SEJARAH FILSAFAT KLASIK
1. Filsafat Yunani

Para sarjana filsafat mengatakan bahwa mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kelahiran filsafat. Karena itu tidak ada pengantar filsafat yang lebih ideal dari pada study perkembangan pemikiran filsafat di negeri Yunani. Alfred Whitehead mengatakan tentang Plato: "All Western phylosophy is but a series of footnotes to Plato". Pada Plato dan filsafat Yunani umumnya dijumpai problem filsafat yang masih dipersoalkan sampai hari ini. Tema-tema filsafat Yunani seperti ada, menjadi, substansi, ruang, waktu, kebenaran, jiwa, pengenalan, Allah dan dunia merupakan tema-tema bagi filsafat seluruhnya.

Filsuf- Filsuf Pertama

Ada tiga filsuf dari kota Miletos yaitu Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Ketiganya secara khusus menaruh perhatian pada alam dan kejadian-kejadian alamiah, terutama tertarik pada adanya perubahan yang terus menerus di alam. Mereka mencari suatu asas atau prinsip yang tetap tinggal sama di belakang perubahan-perubahan yang tak henti-hentinya itu. Thales mengatakan bahwa prinsip itu adalah air, Anaximandros berpendapat to apeiron atau yang tak terbatas sedangkan Anaximenes menunjuk udara.

Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang bumi, Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain. Sedangkan mengenai kehidupan bahwa semua makhluk hidup berasal dari air dan bentuk hidup yang pertama adalah ikan. Dan manusia pertama tumbuh dalam perut ikan. Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagat raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.

Filosof berikutnya yang perlu diperkenalkan adalah Pythagoras. Ajaran-ajarannya yang pokok adalah pertama dikatakan bahwa jiwa tidak dapat mati. Sesudah kematian manusia, jiwa pindah ke dalam hewan, dan setelah hewan itu mati jiwa itu pindah lagi dan seterusnya. Tetapi dengan mensucikan dirinya, jiwa dapat selamat dari reinkarnasi itu. Kedua dari penemuannya terhadap interval-interval utama dari tangga nada yang diekspresikan dengan perbandingan dengan bilangan-bilangan, Pythagoras menyatakan bahwa suatu gejala fisis dikusai oleh hukum matematis. Bahkan katanya segala-galanya adalah bilangan. Ketiga mengenai kosmos, Pythagoras menyatakan untuk pertama kalinya, bahwa jagat raya bukanlah bumi melainkan Hestia (Api), sebagaimana perapian merupakan pusat dari sebuah rumah.


Pada jaman Pythagoras ada Herakleitos Di kota Ephesos dan menyatakan bahwa api sebagai dasar segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Herakleitos juga berpandangan bahwa di dalam dunia alamiah tidak sesuatupun yang tetap. Segala sesuatu yang ada sedang menjadi. Pernyataannya yang masyhur "Pantarhei kai uden menei" yang artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap. Filosof pertama yang disebut sebagai peletak dasar metafisika adalah Parmenides. Parmenides berpendapat bahwa yang ada ada, yang tidak ada tidak ada. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah yang ada 1) satu dan tidak terbagi, 2) kekal, tidak mungkin ada perubahan, 3) sempurna, tidak bisa ditambah atau diambil darinya, 4) mengisi segala tempat, akibatnya tidak mungkin ada gerak sebagaimana klaim Herakleitos.

Para filsuf tersebut dikenal sebagai filsuf monisme yaitu pendirian bahwa realitas seluruhnya bersifat satu karena terdiri dari satu unsur saja. Para Filsuf berikut ini dikenal sebagai filsuf pluralis, karena pandangannya yang menyatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur. Empedokles menyatakan bahwa realitas terdiri dari empat rizomata (akar) yaitu api, udara, tanah dan air. Perubahan-perubahan yang terjadi di alam dikendalikan oleh dua prinsip yaitu cinta (Philotes) dan benci (Neikos). Empedokles juga menerangkan bahwa pengenalan (manusia) berdasarkan prinsip yang sama mengenal yang sama. Pluralis yang berikutnya adalah Anaxagoras, yang mengatakan bahwa realitas adalah terdiri dari sejumlah tak terhingga spermata (benih). Berbeda dari Empedokles yang mengatakan bahwa setiap unsur hanya memiliki kualitasnya sendiri seperti api adalah panas dan air adalah basah, Anaxagoras mengatakan bahwa segalanya terdapat dalam segalanya. Karena itu rambut dan kuku bisa tumbuh dari daging.

Perubahan yang membuat benih-benih menjadi kosmos hanya berupa satu prinsip yaitu Nus yang berarti roh atau rasio. Nus tidak tercampur dalam benih-benih dan Nus mengenal serta mengusai segala sesuatu. Karena itu, Anaxagoras dikatakan sebagai filsuf pertama yang membedakan antara "yang ruhani" dan "yang jasmani". Pluralis Leukippos dan Demokritos juga disebut sebagai filsuf atomis. Atomisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur yang tak dapat dibagi-bagi lagi, karenanya unsur-unsur terakhir ini disebut atomos. Lebih lanjut dikatakan bahwa atom-atom dibedakan melalui tiga cara: (seperti A dan N), urutannya (seperti AN dan NA) dan posisinya (seperti N dan Z). Jumlah atom tidak berhingga dan tidak mempunyai kualitas, sebagaimana pandangan Parmenides atom-atom tidak dijadikan dan kekal.

Tetapi Leukippos dan Demokritos menerima ruang kosong sehingga memungkinkan adanya gerak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari dua hal: yang penuh yaitu atom-atom dan yang kosong. Menurut Demokritos jiwa juga terdiri dari atom-atom. Menurutnya proses pengenalan manusia tidak lain sebagai interaksi antar atom. Setiap benda mengeluarkan eidola (gambaran-gambaran kecil yang terdiri dari atom-atom dan berbentuk sama seperti benda itu). Eidola ini masuk ke dalam panca indra dan disalurkan kedalam jiwa yang juga terdiri dari atom-atom eidola. Kualitas-kualitas yang manis, panas, dingin dan sebagainya, semua hanya berkuantitatif belaka. Atom jiwa bersentuhan dengan atom licin menyebabkan rasa manis, persentuhan dengan atom kesat menimbulkan rasa pahit sedangkan sentuhan dengan atom berkecepatan tinggi menyebabkan rasa panas, dan seterusnya.

Filsafat Islam dewasa ini menjadi domain wacana dan tema diskusi yang kuat di kalangan pemikir (pemerhati filsafat) di Timur maupun di Barat. Setidaknya hal ini terjadi pada abad ke-19 hingga kini.

Sebut saja orang-orang seperti Adam Mez, Henry Corbin, Goldziher, Hitti, HAR. Gibb, atau Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman, Joel Kraemer, dan belakangan Oliver Leaman serta beberapa ahli filsafat muslim yang ada di Eropa lainnya ikut mengkaji filsafat Islam secara intens.

Adapun sebelumnya, wacana filsafat Islam seringkali tidak terjamah bahkan mungkin hampir ditiadakan baik itu di kalangan pemikir Barat, maupun dalam sebagian tradisi Islam sendiri.


Filsafat Islam dipandang sebagai sebuah objek yang asing dan serangkaian ilmu import yang harus dilawan dan diperlakukan sebagai anak yatim oleh para sarjana Barat terutama para sejarawan kuno.

Referensi yang selama ini dirujuk oleh para sarjana Barat ketika menghubungkan antara Kebangkitan (Renaissance) di Eropa adalah tradisi keilmuan Yunani yang dikenal dengan zaman logos. Hal ini sangat kuat diyakini terutama dalam cara pandang tentang kehidupan yang dilandasi oleh pemikiran filosofis Yunani. Selalu saja rujukan awal yang dicari adalah para pemikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Memang hal ini bukanlah sebuah kesalahan fatal. Namun ketika hal tersebut tidak pernah dikaitkan dengan kejayaan yang pernah diraih oleh Islam –dan kita tahu bahwa Islam sangat banyak menyumbangkan pemikiran dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, sejarah, dan beberapa bidang lainnya–, ada keterputusan-sejarah yang pada akhirnya menyebabkan kerancuan-ilmiah dalam memandang filsafat secara umum terutama dalam filsafat Barat pasca Renaissance. Karena pada dasarnya ada kotinuitas-historis yang tidak bisa kita abaikan.

Ketika Islam mengalami kejayaan peradaban pada abad ke-9 hingga abad ke-11, dunia Islam sendiri mengakui adanya andil besar gelombang helenisme yang lebih awal dalam mengais kemajuan peradaban. Dalam hal terakhir ini, pengaruh pemikiran Plato, Aristoteles, dan beberapa tokoh lain, coba ditafsirkan oleh para filosof muslim awal seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.

Hasan Hanafi mencoba mendongkrak asumsi-asumsi salah yang dilancarkan para pengkaji filsafat Islam, baik dari kalangan Islam sendiri, maupun dari kalangan orientalis. Menurut Hanafi, selama ini mereka menduga bahwa para filosof muslim hanya melakukan pembacaan terhadap filsafat Yunani, kemudian mengikuti, melakukan anotasi, dan meringkas karya para filsuf Yunani, serta mencampuradukkannya dengan filsafat Islam, dengan memperburuk pemahaman tentang konsep-konsep filosofis.

Namun saya kira, tradisi Yunani pun tidak bisa lepas dari perkembangan tradisi filsafat Timur-Dekat sebagai pendahulunya. Secara genuin, Joel L. Kraemer menjelaskan bahwa filosof-filosof Yunani pra-Socrates seperti Empedokles, umpamanya, dikatakan telah belajar kepada Luqman “sang filosof” (Luqman al-Hakim) di Syro-Palestina pada masa Nabi Daud; atau Pythagoras diyakini telah belajar fisika dan metafisika pada murid-murid Nabi Sulaiman di Mesir, dan belajar geometri pada orang-orang Mesir. Kemudian para filosof semacam ini membawa tradisi “filosofis” yang mereka serap dari Timur menuju Yunani, untuk dikembangkan lebih lanjut.

Ada khazanah yang cukup berharga dari temuan-temuan pada filsafat Islam yang selama ini tidak diakui oleh filosof dan pemerhati filsafat di Barat. Padahal Islam sendiri memiliki tradisi keilmuan yang begitu kokoh, terutama pada abad pertengahan. Atau mungkin sebenarnya mereka banyak mengambil khazanah pemikiran filsafat Islam, namun mereka enggan untuk mengakui keberadaannya secara ontologis dalam rentetan sejarah peradaban dunia.


MASA DEPAN FILSAFAT ISLAM:
antara cita dan fakta*)

Pengantar
Kata “filsafat Islam” telah lama kita dengar, tetapi apa itu maknanya, lingkup, dan
pandangannya, sepertinya masih harus kita diskusikan. Oleh karena itu dalam paper ini saya
ingin mendiskusikan beberapa topik penting, yaitu: (1) Apa itu filsafat Islam? (2) Peran
filsafat Islam dalam Dunia Modern, (3) Filsafat Islam di Indonesia, dan terakhir (4)
Menyongsong Masa Depan Filsafat Islam. Dengan ini diharapkan pemahamanan kita tentang
filsafat Islam dari sudut cita dan fakta bisa menjadi lebih baik dan bermakna.
1. Apa itu Filsafat Islam?
a. Adakah yang disebut Filsafat Islam?
Dalam buku saya yang berjudul Gerbang Kearifan, saya mendiskusikan beberapa pandangan
sarjana tentang istilah filsafat Islam. Ada yang megatakan bahwa Islam tidak pernah dan
bisa memiliki filsafat yang independen. Adapun filsafat yang dikembangkan oleh para filosof
Muslim adalah pada dasarnya filsafat Yunani, bukan filsafat Islam. Ada lagi yang
mengatakan bahwa nama yang tepat untuk itu adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi
adalah filsafat Yunani yang kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para filosof Muslim.
Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan alasan
bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya filosofis mereka adalah bahasa Arab,
sekalipun para penulisnya banyak berasal dari Persia, dan namanama lainnya seperti filsafat
dalam dunia Islam.
Adapun saya sendiri cenderung pada sebutan filsafat Islam (Islamic philosophy), dengan
setidaknya 3 alasan. Pertama: Ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam
telah mengembangkan sistem teologi yang menekankan keesaan Tuhan dan syari’ah, yang
menjadi pedoman bagi siapapun. Begitu dominannya Pandangan tauhid dan syari’ah ini,
sehingga tidak ada suatu sistem apapun, termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai
dengan ajaran pokok Islam tersebut (tawhid) dan pandangan syari’ah yang bersandar pada
ajaran tauhid. Oleh karena itu ketika memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam, para
filosof Muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan fundamental Islam
tersebut, sehingga disadari atau tidak, telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para filosof
Muslim.
Kedua, sebagai pemikir Islam, para filosof Muslim adealah pemerhati flsafat asing yang
kritis. Ketika dirasa ada kekurangan yang diderita oleh filsafat Yunani, misalanya, maka
tanpa ragu-ragu mereka mengeritiknya secara mendasar. Misalnya, sekalipun Ibn Sina sering
dikelompokkan sebagai filosof Peripatetik, namun ia tak segan-segan mengertik pandangan
Aristoteles, kalau dirasa tidak cocok dan 1menggantikannnya dengan yang lebih baik.
Beberapa tokoh lainnya seperti Suhrawardi, Umar b. Sahlan al-Sawi dan Ibn Taymiyyah,
juga mengeriktik sistem logika Aristotetles. Sementara al-‘Amiri mengeritik dengan pedas
pandangan Empedokles tentang jiwa, karena dianggap tidak sesuai dengan pandangan
Islam.
Ketiga, adalah adanya perkembangan yang unik dalam filsafat islam, akibat dari interaksi
antara Islam, sebagai agama, dan filsafat Yunani. Akibatnya para filosof Muslim telah
mengembangkan beberapa isu filsfat yang tidak pernah dikembangkan oleh para filosof
Yunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian, mikraj dsb.
b. Lingkup Filsafat Islam
Berbeda dengan lingkup filsafat modern, filsafat Islam, sebagaimana yang telah
dikembangkan para filosof agungnya, meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti
logika, fisika, matematika dan metafisika yang berada di puncaknya. Seorang filosof tidak
akan dikatakan filosof, kalau tidak menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang luas ini.

Ketika Ibn Sina menulis al-Syifa’, yang dipandang sebagai karya utama filsafatnya, ia tidak
hanya menulis tentang metafisika, tetapi juga tentang logika, matematika dan fisika. Dan
ia menulisnya sedeikian lengkap pada setiap bidang tersebut, sehingga kita misalnya
memiliki beberapa jilid tentang logika, meliputi pengantar, kategori, analitika priora,
analitika posteriora, topika, dialektika, retorika, sopistika dan poetika. Sedangkan untuk
matematika, ia menulis beberapa jilid meliputi, aritmatika, geometri, astronomi dan
musik. Untuk fisika, ia juga menulis beberapa jilid yang meliputi bidang kosmologi, seperti
tentang langit, meteorologi, kejadian dan khancuran yang menandai semua benda fisik,
tentang batu-batuan (minerologi), tumbuh-tumbuhan (botani), hewan (zoologi), anatomi,
farmakologi, kedokteran dan psikologi. Dan sebagai puncaknya ia menulis tentang
metafisika (al-‘ilm al-ilahi) yang meliputi bidang ketuhanan, malaikat dan akal-akal, dan
hubungan mereka dengan dunia fisik yang dibahas dalam bidang fisika.
Pembicaraan tentang lingkup filsafat Islam ini perlu dikemukakan, berhubung banyaknya
kesalahpahaman terhadapnya, sehingga filsafat Islam dipahami hanya sejauh ia meliputi
bidang-bidang metafisik. Kebanyakan kita hanya tahu Ibn Sina sebagai filosof, dan hanya
mempelajari doktrin dan metode filsafatnya. Sedangkan Ibn Sina sebagai ahli kedokteran,
ahli fisika, atau dengan kata lain sebagai saintis dan metode-metode ilmiah yang
digunakanaanaya sama sekali luput dari perhatian kita. Jarang sekali, kalau tidak dikatakan
tidak ada, sarjana filsafat Islam di negeri ini yang pernah meneliti teori-teorinya tentang
fisika, psikologi, atau geometri, astronomi dan musiknya. Tidak juga kedokterannya yang
sangat dikenal di dunia Barat berkat karya agungnya al-Qanun fi al-Thibb. Hal ini terjadi,
menurut hemat penulis, karena selama ini filsafat hanya dipahami sebagai disiplin ilmu
yang mempelajari hal-hal yang bersifat metafisik, sehingga fisika, matematika, seolah
dipandang bukan sebagai disiplin ilmu-ilmu filsafat.
c. Pandangan Filsafat yang Holistik
Satu hal lagi yang perlu didiskusikan dalam mengenal filsafat Islam ini adalah pandangannya
yang bersifat integral-holistik.Integrasi ini, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam
karya saya yang lain Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, terjadi pada berbagai
bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Filsafat Islam
mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi
rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai
sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu
antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga
integrasi terjadi di bidang metodoogi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak
hanya mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami
secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti entitas-
entitas yang bersifat abstrak, ‘irfani, untuk melakukan persepsi spiritual dengan
menyaksikan (musyahadah) secara langsung entitas-entitas rohani, yang hanya bisa
dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu sebuah metode untuk memahami teks-teks
suci, seperti al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, filsafat Islam mengakui kebasahan
observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu sebagai sumber-
sumber yang sah dan penting bagi ilmu.
Hal ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi
ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada juga yang
telah merasa menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa
tasawuf bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu menganggap
tak penting filsafat dan sains. Dalam pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang
tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak perlu dipertentangkan apa lagi ditolak,
karena ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin
bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun indera, akal
dan hati bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah pribadi. Namun,
seandainya kita tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya kita tidak perlu
menolak keabsahan dari masing-masing bidang tersebut, karena dalam filsafat Islam ketiga
unsur tersebut dipandang sama realnya.
2. Peran Filsafat Islam dalam Dunia Modern
a. Menjawab Tantangan Kontemporer

Pada saat ini, dalam pandangan saya, umat Islam telah dilanda berbagai persoalah ilmiah
filosofis, yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat yang bersifat sekuler. Berbagai
teori ilmiah, dari berbagai bidang, fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah, atas nama
metode ilmiah, menyerang fondasi-fondasi kepercayaan agama. Tuhan tidak dipandang
perlu lagi dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah. Misalnya bagi Laplace (w. 1827),
kehadiran Tuhan dalam pandangan ilmiah hanyalah menempati posisi hipotesa.Dan ia
mengatakan, sekarang saintis tidak memerlukan lagi hipotetsa tersebut, karena alam telah
bisa dijelaskan secara ilmiah tanpa harus merujuk kepada Tuhan. Baginya, bukan Tuhan
yang telah bertanggung jawab atas keteraturan alam, tetapi adalah hukukm alam itu
sendiri. Jadi Tuhan telah diberhentikan sebagai pemelihara dan pengatur alam.
Demikian juga dalam bidang biologi, Tuhan tidak lagi dipandang sebagai pencipta hewan-
hewan, karena menurut Darwin (w. 1881), munculnya spesies-spesies hewan adalah karena
mekanisme alam sendiri, yang ia sebut sebagai seleksi alamiah (natural selection).
Menurutnya hewan-hewan harus bertransmutasi sendiri agar ia dapat tetap survive, dan
tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Ia pernah berkata, “kerang harus menciptakan
engselnya sendiri, kalau ia mau survive, dan tidak karena campur tangan sebuah agen yang
cerdas di luar dirinya. Oleh karena itu dalam pandangan Darwin, Tuhan telah berhenti
menjadi pencipta hewan.
Dalam bidang psikologi, Freud (w. 1941) telah memandang Tuhan sebagai ilusi. Baginya
bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan Tuhan.
Tuhan, sebagai konsep, muncul dalam pikiran manusia ketika ia tidak sanggup lagi
menghadapi tantangan eksternalnya, serti bencana alam dll., maupun tantangan
internalnya, ketergantungan psikologis pada figur yang lebih dominan. Sedangkan Emil
Durkheim, menyatakan bahwa apa yang kita sebut Tuhan, ternyata adalah Masyarakat itu
sendiri yang telah dipersonifikasikan dari nilai-nilai sosial yang ada. Dengan demikian
jelaslah bahwa, dalam pandangan sains modern Tuhan tidak memiliki tempat yang spesial,
bahkan lama kelamaan dihapus dari wacana ilmiah.
Tantangan yang lain juga terjadi di bidang lain seperti bidang spiritual, ekonomi, rkologi
dll. Tentu saja tantangan seperti ini tidak boleh kita biarkan tanpa kritik, atau respons
kritis dan kreatif yang dapat dengan baik menjawab tantangan-tantangan tersebut secara
rasional dan elegan, dan tidak semata-mata bersifat dogmatis dan otoriter. Dan di sinilah
saya melihat bahwa filsafat Islam bisa berperan sangat aktif dan signifikan.
b. Filsafat sebagai Pendukung Agama
Berbeda dengan yang dikonsepsikan al-Ghazali, di mana filsafat dipandang sebagai lawan
bagi agama, saya melihat filsafat bisa kita jadikan sebagai mitra atau pendukung bagi
agama. Dalam keadaan di mana agama mendapat serangan yang gencar dari sains dan
filsafat modern, filsafat Islam bisa bertindak sebagai pembela atau tameng bagi agama,
dengan cara menjawab serangan sains dan filsafat modern terhadap agama secara filosofis
dan rasional. Karena menurut hemat saya tantangan ilmiah-filosofis harus dijawab juga
secara ilmiah-filosofis dan bukan semata-mata secara dogmatis. Dengan keyakinan bahwa
Islam adalah agama yang menempatkan akal pada posisi yang terhormat, saya yakin bahwa
Islam, pada dasarnya bisa dijelaskan secara rasional dan logis.
Selama ini filsafat dicurigai sebagai disiplin ilmu yang dapat mengancam agama. Ya,
memang betul. Apaalagi filsafat yang selama ini kita pelajari bukanlah filsafat Islam,
melainkan filsafat Barat yang telah lama tercerabut dari akar-akar metafisiknya. Tetapi
kalau kita betul-betul mempelajari filsafat Islam dan mengarahkannya secara benar, maka
filsafat Islam juga adalag sangat potensial untuk menjadi mitra filsafat atau bahwan
pendukung agama. Di sini filsafat bisa bertindak sebagai benteng yang melindungi agama
dari berbagai ancaman dan serangan ilmiah-filosofis seperti yang saya deskrisikan di atas.
Serangan terhadap eksistensi Tuhan, misalnya dapat dijawab dengan berbagai argumen
adanya Tuhan yang telah banyak dikemukakan oleh para filosof Muslim, dari al-Kindi, Ibn
Sina, Ibn Rusyd dll., seperti yang telah saya jelaskan antara lain dalam buku saya
Menembus Batas Waktu. Serangan terhadap wahyu bisa dijawab oleh berbagai teori
pewahyuan yang telah dikemukakan oleh banyak pemikir Muslim dari al-Ghazali, al-Farabi,
Ibn Sina, Ibn Taymiyyah, Ibn Rusyd, Mulla Shadra dll.

Demikian juga serangan terhadap validitas pengalaman mistik dan religius, juga telah
dijawab secara mendalam oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya Reconstruction of
Religiuous Thought in Islam dan Mehdi Ha’iri Yazdi dalam bukunya The Principle of
Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. Dalam kedua karya ini, Iqbal
dan Yazdi telah mencoba menjelaskan secara filosofis tentang realitas pengalaman religius
dan mistik, dan berusaha menjadikan pengalaman mistik sebagai salah satu sumber ilmu
yang sah. Tentu saja masih banyak hal yang dapat dilakukan filsafat Islam untuk mendukung
agama, yang tidak pada tempatnya untuk dijelaskan secara rinci di sini.
3. Filsafat Islam di Indonesia
a. Masa Lalu
Filsafat Islam belum begitu dikenal di Indonesia, karena memang filsfat Islam baru
diperkenalkan ke publik pada tahun 70-an oleh almarhum Prof. Dr. Harun Nasution dalam
bukunya yang terkenal Falsafah & Mistisime dalam Islam, yang diterbitkan Bulan Bintang
pada tahun 1973. Dalam buku ini pak Harun telah memperkenalkan 6 filosof Muslim yang
terkenal yaitu al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, setelah sebelumnya ia
membicarakan tentang “Kontak Pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta falsafah
Yunani.” Dalam buku ini pak Harun dengan singkat tetapi esensial memperkenalkan biografi
dan ajaran para filosof Muslim tersebut, sehingga para mahasiswa Muslim, khususnya
mahasiswa IAIN di seluruh Indonesia, telah menyadari keberadaan filsafat Islam yang
sebelumnya hampir tidak pernah diperkenalkan kepada mereka. Dan dengan dijadikannya
buku tersebut sebagai buku wajib, maka pak Harun boleh dikata telah berhasil
memperkenalkan filsafat Islam di Indonesia ini.
Tetapi karena buku ini merupakan satu-satunya buku yang digunakan dalam matakuliah
filsafat Islam selama puluhan tahun, maka timbul kesan yang keliru bahwa seakan filsafat
Islam hanya menghasilkan 6 orang filosof sebagaimana yang diperkenalkan oleh Pak Harun
di atas. Untunglah pada tahun 1987 Pustaka Jaya telah menerbitkan sebuah buku
terjemahan yang bagus dan komprehensif tentang filsafat Islam karangan Majid Fakhry yang
berjudul Sejarah Filsafat Islam, yang diterjemahkan oleh saya sendiri, sehingga dengan
demikian sadarlah kita bahwa filsafat Islam telah melahirkan bukan hanya 6 filosof,
sebagaimana yang telah diperkenalkan oleh Pak harun, tetapi puluhan bahkan mungkin
ratusan para filosof yang tidak kalah hebatnya daripada filosof-filosof yang telah
diperkenalkan sebelumnya. Buku ini menjelaskan filsafat Islam dari sudut historis, yang
meliputi paparan tentang perkembangan filsafat sebelum Islam, pada masa awal Islam,
masa pertengahan dan masa modern. Dan buku ini telah menikmati posisi yang penting di
universitas-universitas Islam, sebagai buku daras yang tak ada duanya pada saat itu.
Mahasiswa Muslim sangat diuntungkan dengan kehadiran karya terjemahan ini, karena ia
telah banyak mengubah persepsi yang keliru tentang filsafat Islam dari sudut lingkup,
rentangan waktu, ajaran dll. Dengan buku ini pula kita menjadi sadar bahwa ternyata
filsafat Islam tidak berhenti pada Ibn Rusyd sebagaimana dikesankan setelah membaca buku
pak harun, tetapi terus hidup dan berlangsung hingga saat ini.
b. Masa Kini
Yang saya maksud dengan masa kini, adalah kurang lebih periode sepuluh tahun terkahir
dari sekarang. Pada saat ini kita telah menikmati banyak informasi tentang filsafat Islam.
Diterjemahkannya buku yang diedit oleh M.M. Syarif yang berjudul, History of Muslim
Philosophy secara parsial ke dalam bahasa Indonesia telah memperkaya khazanah filsafat
Islam di Indonesia. Tetapi tambahan informasi yang sangat signifikan terjedi setelah
penerbit Mizan menerjemahkan karya besar dalam sejarah filsafat Islam yang diedit oleh
Nasr dan Oliver Leaman, yang berjudul A History of Islamic Philosophy ke dalam bahasa
Indonesia, dengan judul Ensiklopedia Filsafat Islam (dua jilid). Berbagai karya filosofis yang
lebih spesifik (misalnya yang membahas tentang pemikiran para filosof tertentu) juga telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti The Philosophy of Mulla Sadra yang
ditulis oleh Fazlur Rahman, yang membahas beberapa aspek dari pemikiran Mulla Shadra,
atau Knowledge and Illumination, karangan Hussein Ziai, yang membicarakan secara khusus
filsafat iluminasi Suhrawardi. Namun sejauh ini, informasi ini lebih bersandar pada
terjemahan dari karya asing, dan bukan karangan sarjana Muslim Indonesia sendiri. Sedikit
sekali karya filsafat Islam yang ditulis oleh para penulis negeri ini. Ada misalnya buku

tentang Suhrawardi yang ditulis oleh sdr Amroeni, khususnya kritik Suhrawardi terhadap
filsafat peripatetik,atau yang ditulis oleh M. Iqbal tentang Ibn Rusyd, sebagai bapak
rasionalisme. Namun tulisan-tulisan tersebut masih bersifat studi tokoh, dan pada dasarnya
diadaptasi dari sebuah tesis atau disertasi. Tidak banyak penulis Muslim Indonesia yang
menulis buku pengantar terhadap filsafat Islam yang bersifat independen, kecuali pak
Haidar Bagir dengan Buku Saku Filsafat Islam-nya, dan saya sendiri dengan Gerbang
Kearifan-nya.
4. Menyongsong Masa Depan
a. Rekonstruksi Filsafat Islam
Kita pada dasarnya tidak tahu persis apa yang akan terjadi pada filsafat Islam di masa
depan. Tetapi kita bisa menyongsongnya dengan melakukan beberapa kegiatan yang
konstruktif bagi masa depan filsafat Islam yang lebih baik. Tetapi terus terang saja saya
merasa sedih demi memikirkan betapa sedikitnya usaha-usaha dari para sarjana Muslim di
negeri ini untuk mempersiapkan masa depan filsafat Islam yang lebih baik. Banyak sarjana-
sarjana terbaik Muslim, justru lebih tertarik pada filsafat Barat daripada filsafat Islam
sendiri. Nah keadaan inilah yang kemudian mendorong saya untuk menulis beberapa karya
filsafat, bukan saja agar filsafat Islam lebih dikenal, tetapi juga sebagai upaya
merekonstruksi filsafat Islam agar lebih relevan dengan konteks dan tuntutan masa kini.
Nah dalam rangka mengkonstruksi pemikiran filosofis inilah maka saya mencoba untuk
menulis beberapa karya, seperti yang akan saya uraikan berikut ini.
1). Remapping Filsafat Islam
Tidak banyaknya buku pengantar filsafat Islam telah menyebabkan banyak ketidakjelasan
tentang aspek-aspek apa saja yang diliput dalam filsafat Islam. Oleh karena itu saya merasa
terdorong untuk memetakan kembali (remapping) filsafat Islam, dan untuk itu saya menulis
sebuah buku pengantar filsafat Islam yang berjudul Gerbang Kearifan. Buku kecil ini
dimaksudkan untuk memperkenalkan filsafat Islam dalam berbagai aspeknya. Sering buku
pengantar filsafat Islam bersifat monolitik, dalam arti hanya membahas satu aspek tertentu
saja dari filsafat Islam, misalnya alirannya saja, sejarahnya saja, atau tokoh-tokohnya saja.
Tidak banyak buku pengantar yang mencoba mengenalkan beberapa aspek filsafat Islam
sekaligus. Nah, karena itu saya mencoba dalam karya kecil ini memperkenalkan filsafat
Islam dalam berbagai aspeknya, seperti aliran-aliran filsafat yang telah dikembangkan di
dunia Islam, seperti Peripatetik, Illuminasionis, Irfani dan Hikmah Muta’aliyyah. Selain
aliran-aliran, karya ini juga mencoba mediskusikan beberapa topik penting dalam filsafat
seperti tentang Tuhan, alam dan manusia. Digambarkan di sini berbagai konsep filosofis
tentang Tuhan, seperti Tuhan sebagai Sebab Pertama, sebagai Wajib al-Wujud, sebagai
Cahaya dan juga sebagai Wujud Murni. Kemudian beberapa pertanyaan kritis diajukan
berkaitan dengan filsafat alam, misalnya, apakah alam dicipta atas kehendak Tuhan atau
keniscayaan logis? Apakah alam abadi atau dicipta dalam waktu? Apakah alam telah
ditentukan secara deterministik atau berkembang secara evolutif? Dan apakah alam diatur
secara langsung oleh Tuhan atau didelegasikan kepada sebab sekunder? Adapun tentang
manusia, maka dibahas di sini manusia sebagai mikrokosmos, manusia sebagai tujuan akhir
penciptaan, manusia sebagai theomorfis dan juga disinggung tentang manusia dan
kebebasan memilihnya.
Selain aspek historis (dalam bentuk aliran-aliran) dan tema-tema utama, Gerbang Kearifan
juga membahas tentang hubungan filsafat dan disiplin ilmu lainnya. Misalnya dijelaskan di
dalamnya, bagaimana hubungan antara filsafat dan sains, filsafat dan agama, serta
hubungan filsafat dan mistisime atau tasawuf. Dan terkahir buku ini juga membicarakan
tentang ladang-ladang potensial yang bisa digarap untuk kajian masa depan filsafat Islam.
Ladang-ladang potensial tersebut antara lain, (1) studi biografis, yang memperkenalkan
ribuan ilmuan-filosof Muslim, (2) studi gnomologis, yang mencoba membahas berbagai karya
hikmah yang pernah dibuat oleh para filosof Muslim, (3) sains Islam, yang sangat penting
dikaji ulang tetapi yang sangat terabaikan, (4) filsafat perenial, yang membahas pemikiran
dari berbagai pemikir Muslim perenial yang umumnya berasal dari Eropa, yang telah banyak
menghasilkan karya-karya besar, dan terakhir (5) filsafat paska-Ibn Rusyd, yang akan
membicarakan perkembangan filsafat Islam setelah masa Ibn Rusyd hingga saat ini. Dengan
demikian jelas, bahwa Gerbang Kearifan berusaha untuk memetakan kembali seluruh hasil
pemikiran filsafat Islam dalam suatu kesatuan yang padu.

2) Rekonstruksi Epistemologis
Problem lain yang dihadapi filsafat Islam pada saat ini adalah tidak jelasnya pada
kebanyakan pembaca filsafat Islam di negeri ini tentang bangunan epistemologi Islam.
Banyak kesimpang-siuran yang terjadi dan ketidak-jelasan yang dapat ditemukan di bidang
yang satu ini. Saya sampai pada kesimpulan bahwa sebuah karya yang khusus di bidang ini
untuk merekonstruksi bangunan epistemologi Islam perlu ditulis. Inilah yang mendorong
saya kemudian untuk menulis sebuah karya epistemologi yang berjudul Menyibak Tirai
Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Dalam karya yang terbit pada tahun 2003 ini saya
mencoba untuk merekonstruksi epistemologi Islam dalam 14 bab. Menurut saya adalah
penting untuk pertama-tama mengerti betul apa yang disebut ilmu dalam tradisi Islam dan
bedanya dengan sains. Ilmu dibedakan dengan sains terutama dalam lingkupnya. Sementara
sains modern membatasi lingkupnya hanya pada bidang-bidang fisik-empiris, ilmu dalam
tradisi ilmiah Islam meliputi bukan hanya bidang fisik tetapi juga bidang matematik dan
bahkan metafisik.
Isu lain yang perlu mendapat perhatian juga berkaitan dengan objek ilmu dan metode
ilmiah. Dalam filsafat ilmu modern, objek-objek ilmu dibatasi hanya pada objek-objek fisik,
sedangkan dalam tradisi ilmiah Islam, objek ilmu tidak pernah dibatasi hanya pada objek-
objek fisik, tetapi melebar pada objek-objek matematik dan metafisik. Namun sebelum
berbicata tentang objek-objek non-fisik, maka terlebih dahulu perlu didiskusikan tentang
status ontologis objek-objek non-fisik tersebut, mengingat banyak orang-orang modern yang
merasa ragu akan keberadaan dan realitas mereka. Bagi para filosof Muslim, semua objek-
objek ilmu, baik yang fisik maupun yang non-fisik adalah real, dalam arti nyata dan
memiliki status ontologis yang fundamental. Namun justru karena objek ilmu itu berbeda-
beda dalam sifat dasarnya, maka kita juga harus menemukan beberapa metode ilmiah yang
berbeda agar cocok dengan jenis dn sifat dasar objeknya. Observasi tentu sja sangat
berguna untuk meneliti objek-objek yang bersifat fisik tetapi untuk objek-objek yang
bersifat non-fisik maka kita perlu menggunakan metode lain, seperti burhani dan ‘irfani.
Demikian juga untuk memhami naskah-naskah suci, seperti al-Qur’an dan hadits diperlukan
metode lain, yang biasa disebut metode bayani.
Selain isu-isu di atas, filsafat Islam juga, menurut saya, perlu mendiskusikan tentang
realitas pengalaman mistik atau religius, karena sikap skeptik dari banyak kalangan
ilmuwan dan filosof modern terhadapnya. Kita harus bisa menunjukkan secara rasional,
bahwa pengalaman religus (mistik atau kenabian) adalah real, sama realnya dengan
pengalaman indrawi. Dan karena itu bisa untuk dijadikan sebagai sumber yang sah bagi
ilmu, sebagaimana pengalaman indrawi. Selain pengalaman mistik, kita juga perlu
mendiskusikan realitas pewahyuan dan menjelaskan secara rasional kemungkinan
pewahyuan seperti yang dialami oleh para Nabi.
Persoalan lain yang perlu dicermati adalah soal objektivitas ilmu. Sementara ini banyak
kalangan percaya bahwa sains telah mencapai tingkat objektivitas yang demikian tinggi,
sehingga bisa berlaku universal dan bebas nilai. Tetapi peneltian yang cermat,
menunjukkan bahwa objektivitas absolut tidak mungkin bisa dicapai, dan ini terjadi karena
hasil penelitian ilmiah sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman,
kecenderungan bahkan ideologi dan kepercayaan dari ilmuwan-ilmuwan itu sendiri. Seorang
astronom Barat sepeerti Laplace memiliki pemahaman yang sangat berbeda tentang alam
dari astronom Muslim, seperti al-Biruni. Bahkan ketika Darwin dan Rumi percaya kepada
evolusi, namun dalam memberikan keterangan tentang apa yang menyebabkan atau
bertanggung jawab atas terjadinya evolusi tersebut sangat berbeda. Oleh karena itu maka
menurut saya perlu dirumuskan bagaimana pandangan keilmuan yang cocok dengan ajaran
fundamental Islam, sehingga diperoleh kemajuan ilmiah, tetapi tidak bertentangan dengan
kepercayaan agama.
3). Integrasi Ilmu
Hal lain yang perlu dikonstruksi ulang adalah soal integrasi ilmu. Dikotomi yang terjadi
antara ilmu-ilmu agama, di sati pihak, dan ilmu-ilmu umum, di pihak lain telah

menimbulkan berbagai masalah keilmuan yang merugikan. Terjadinya penolakan terhadap
keabsahan ilmiah dari keduaanya seringkali terjadi. Oleh karena itu perlu sekali dicari jalan
untuk menjembatani dan mengintegrasikan berbagai aspek keilmuan tersebut dalam suatu
pandangan yang holistik-integral. Untuk menjawab tantangan inilah, maka kemudian saya
mencoba merumuskan integrasi ilmu ini dalam karya saya yang lain yang berjudul Integrasi
Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Maka berbagai aspek integrasi ilmu terus ditelusuri dan
diteliti. Dari penelitian ini maka dirmuskan bahwa sumber dari segala integrasi ilmu ini
tidak lain daripada konsep tawhid, yang merupakan ajaran yang paling fundamental dalam
Islam. Adapun integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum terletak pada kenyataan bahwa
objek dari kedua jenis ilmu tersebut adalah sama, yakni sama-sama sebagai ayat Allah.
Ilmu-ilmu agama telah menjadikan al-Qur’an sebagai objek utama penelitiannya, sedangkan
ilmu-ilmu umum telah menjadikan alam sebagai objek utama, Baik al-Qur’an maupun alam
dipandang dalam tradisi ilmiah Islam sebagai ayat-ayat Allah, hanya saja yang pertama ayat
qawliyyah sedangkan yang kedua kawniyyah. Persoalan sebenarnya timbul ketika ilmu-ilmu
umum berhenti memandang alam sebagai ayat Allah, sementara ilmu-ilmu agama masih
memandang al-Qur’an sebagai ayat Allah. Menurut hemat saya kalau saja kita bisa
memandang alam sebagai ayat Allah dalam penelitian ilmiah kita, maka konflik antara
agama dan sains bisa dihindarkan.
Selain menemukan titik temu antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, perlu juga
dirumuskan ulang integrasi di berbagai bidang keilmuan, seperti integrasi objek-objek ilmu,
integrasi bidang ilmu, sumber ilmu, dan metode ilmiah, dll..Dalam soal integrasi objek
ilmu, epistemologi Islam tidak membatasi objek ilmu hanya pada objek-objek fisik, tetapi
juga objek-objek non-fisik, dan ini tentu saja didasarkan pada keyakinan para ilmuwan
Muslim pada realitas atau status ontologis dari objek-objek tersebut, baik yang fisik
maupun non-fisik. Dengan diakuinya objek-objek fisik dan non-fisik tersebut, maka mudah
untuk membayangkan adanya integrasi di bidang-bidang atau cabang-cabang ilmu yang
berbeda sifat-sifatnya. Maka dalam karya ini saya menunjukkan adanya integrasi antara
ilmu-ilmi fisika, yang meliputi minerologi, botani, zoologi, anatomi, kedokteran dan
psikologi, ilmu-ilmu matematika, yang meliputi aritmatika, geometri, aljabar, optik, musik
dan astronomi, dan ilmu-ilmu metafisik, yang meliputi, ontologi, teologi, kosmologi,
antropologi dan eskatologi.
Selain pada objek dan bidang ilmu, integrasi juga perlu dirumuskan dalam kaitannya dengan
sumber ilmu. Dalam epistemologi Islam, sumber ilmu tidak dibatasi hanya pada persepsi
inderawi, tetapi juga meliputi penalaran rasional dan persepsi atau pengalaman intuitif,
dan sekaligus juga wahyu. Sumber-sumber yang berbeda ini, sekalipun dapat dibedakan
satu sama lain, tetapi tidak dipandang secara terpisah-pisah melainkan dibingkai dalam
sebuah bangunan yang holistik. Sumber-sumber yang berbeda ini dipandang sama-sama
sahnya sebagai sumber ilmu, sehingga epistemologi Islam memiliki sumber ilmu yang lebih
kaya ketimbang epistemologi Barat yang hanya menerima persepsi indrawi sebagai sumber
yang sah bagi ilmu. Namun integrasi di bidang sumber-sumber ilmu, ini juga harus diikuti
oleh integrasi di bidang metode ilmiah. Adanya objek-objek ilmu yang berbeda sifat
dasarnya, menyebabkan ilmuwan-ilmuwan Muslim berusaha membangun berbagai metode
ilmiah yang berbeda-beda. Karena metode observasi yang biasa digunakan untuk objek-
objek fisik, tentu saja tidak bisa digunakan untuk meneliti objek-objek akal yang bersifat
abstrak atau immaterial. Tentu untuk itu perlu dicari metode lain yang tepat untuknya.
Dengan demikian maka dalam Integrasi Ilmu ini saya mencoba mendiskusikan sekurangnya
empat macam metode ilmiah yang pernah digunakan oleh para ilmuwan Muslim, yaitu
tajribi (metode eksperimen), burhani (metode logika demonstratif), ‘irfani (metode
intuitif) dan bayani (metode hermeneutik, yang digunakan untuk memahami naskah suci).
b. Reaktualisasi Tradisi Filsafat Islam
1) Membangun Tradisi Ilmiah Baru
Upaya rekonstruksi filsafat Islam seperti yang saya lakukan dalam karya-karya di atas,
tentunya telah memberi sumbangan yang cukup berarti kepada wacana filosofis Islam di
Indonesia. Namun wacana saja, saya anggap tidak akan betul-betul signifikan bagi
perkembangan filsafat di negeri ini. Upaya-upaya yang lebih real dan kongkrit harus terus

dilakukan, agar kehadiran dan perkembangan filsafat Islam semakin terasa. Ada setidaknya
dua upaya yang telah saya lakukan: (1) membangun tradisi ilmiah Islam, dan (2) mendirikan
pusat kajian dan informasifilsafat Islam.
Marilah kita mulai dengan yang pertama. Kemajuan yang berati dari ilmu pengetahuan
nampaknya tidak akan betul-betul tercapai sampai suatu bangsa memiliki tradisi ilmiahnya.
Barat maju dalam ilmu dan memberi banyak sumbangan kepada peradaban dunia karena ia
memiliki tradisi ilmiah yang agung. Demikian juga para ilmuwan Muslim pada masa lalu
telah terbukti secara historis meraih prestasi ilmiah yang sangat gemilang dan memberikan
sumbangan yang sangat signifikan kepada peradaban dunia, karena mereka memiliki sebuah
tradisi ilmiah yang mapan dan karakteristik yang berbeda dengan tradisi ilmiah Barat.
Dengan demikian saya sampai pada kesimpulan bahwa tanpa dimilikinya sebuah tradisi
ilmiah tertentu, maka bangsa kita tidak akan mencapai prestasi yang gemilang dalam hal
kemajuan ilmu. Oleh karena itu, upaya yang sungguh-sungguh perlu dilakukan untuk
membangun sebuah tradisi ilmiah tertentu di negeri ini.
Namun untuk mampu mendirikan sebuah tradisi ilmiah yang didambakan tidaklah mudah,
dan kita membutuhkan sebuah model ideal untuk kita tiru. Untuk keperluan itulah maka
saya mencoba, dalam buku saya yang lain Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, untuk
memberi gambaran yang gamblang tentang bagaimana sebuah tradisi ilmiah dibangun.
Tradisi ilmiah Islam saya pilih sebagai model ideal untuk membangun tradisi ilmiah, karena
pertama tradisi ini lebih cocok kita kembangkan di negeri ini yang berpenduduk mayoritas
Muslim. Kedua karena tradisi ilmiah Barat telah lama diperkenalkan di sini, dan kita
membutuhkan sebuah tradisi ilmiah yang baru sebagai alternatif.
Dalam buku Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam ini saya mencoba memotret tradisi ilmiah
Islam dengan gamblang dengan maksud mencari tahu apa rahasia sukses para ilmuwan
Muslim pada masa kejayaannya, untuk kemudian kita tiru, sehingga terbangunlah sebuah
tradisi ilmiah yang didambakan. Buku ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan penting,
yaitu (1) faktor-faktor apa yang telah mendorong pesatnya ilmu pengetahuan di masa
kejayaan Islam? (2) Lembaga-lembaga pendidikan yang bagaimana yang telah bertanggung
jawab atas munculnya ratusan ilmuwan Muslim yang agung di berbagai bidang, dan (3) apa
sistempendidikan yang diterapkan di sana? Selain tiga pertanyaan di atas adalah lagi tiga
pertanyaan yang tidak kalah fundamentalnya yaitu (4) kegiatan-kegiatan ilmiah apa saja
yang telah dilakukan para ilmuwan Muslim sehingga mereka telah melahirkan ratusan ribu
karya ilmiah di berbagai bidang? (5) riser-riset ilmiah yang bagaimana yang mereka lakukan
sehingga mereka berhasil mengembangkan berbagai disiplin ilmiah, baik yang berkenaan
dengan ilmu-ilmu agama (naqliyyah) maupun umum (‘aqliyyah) dan terakhir (6) metode-
metode ilmiah apa saja yang mereka gunakan dalam mempelajarai dan menganalisa
berbagai objek ilmu yang berbeda-beda jenis dan sifat dasarnya?
Dari upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini maka kita kemudian menjadi tahu apa
yang menjadi kunci sukses mereka. Pertama, faktor-faktor yang mendorong pesatnya ilmu
pengetahuan pada masa itu adalah (1) dorongan religius di mana agama Islam sangat
menekankan pentingnya bagi umat Islam untuk menuntut ilmu, dengan menjadikannya
sebagai kewajiban agama. (2) apresiasi masyarakat yang sangat tinggi terhadap ilmu,
ilmuwan dan buku, dan (3) patronasi yang sangat besar dan tulus dari para penguasa dan
pengusaha terhadap perkembangan ilmu. Sebuah bangsa yang tidak lagi mempedulikan
kewajiban agama dalam menuntut ilmu, tidak adanya apresiasi yang tinggi terhadap ilmu
dan tidak ada pengayoman yang serius terhadap dari para penguasa dan pengusaha
terhadap ilmu, maka di sana sulit dibayangkan ilmu pengetahuan akan mendapat kemajuan.
Selanjutnya tentang lembaga pendidikan yang di bangun pada masa itu, kita jadi mengenal
dua jenis lembaga pendidikan. Pertama lembaga pendidikan formal dan yang kedua
informal. Perdidikan formal berupa madrasah (colleges) yang didirikan para penguasa untuk
mengajarkan ilmu-ilmu agama. Sedangkan lembaga-lembaga informal meliputi banyak
jenis: akademi, perpustakaan, rumah sakit, observatorium, dan zawiyyah. Melalui lembaga-
lembaga informal ini maka disiplin-disiplin ilmu umum telah dikembangkan dengan baik.

Tentang sistem pendidikan, para ilmuwan Muslim telah mengembangkan metode
pengajaran yang khusus, yang sangat berpengaruh pada pesatnya perkembangan ilmu, yaitu
menyalin buku, menghafal dan metode debat yang sangat merangsang daya kritis sang
murid. Bebarapa poin penting yang saya diskusikan antara lain, motivasi mencari ilmu,
yaitu untuk mencari kebenaran, dan bukan sekedar untuk mendapatkan pekerjaan seperti
yang berlaku di negeri ini, menyusun klasifikasi ilmu, sehingga tahu peta ilmu dan saling
hubungan antara bidang, dan kurikulum, yaitu materi-materi apa saja yang harus dipelajari
oleh seorang murid.
Adapun tentang kegiatan ilmiah apa saja yang mereka lakukan, kita kemudian mengenal
beberapa kegiatan ilmiah yang esensial bagi setiap tradisi ilmiah, yaitu memburu
manuskrip, menerjemahkan, membuat komentar atas karya-karya orang-orang terdahulu,
menulis karya-karya orisinal yang bukan saja ekstensif tetapi juga sangan intensif, menyalin
dan mendistribusi buku, rihlah dan khalwat, sebuah upaya untuk mengeksplorasi dunia fisik
dan dunia batin, seminar dan diskusi ilmiah baik yang diselenggarakan di lingkungan istana
atau di tempat kediaman seorang sarjana, melakukan kritik baik yang bersifat ilmiah
(agama maupun umum), sosial dan politik dn terakhir eksperimen-eksperimen yang
menyebabkan ilmuwan-ilmuwan Muslim dipandang sebagai perintis metode eksperiman
dalam kegiatan ilmiah mereka.
Tentang riset-riset ilmiah yang para ilmuwan Muslim lakukan, kita terperangah akan luasnya
bidang yang mereka tekuni. Penelitian atau riset yang mereka lakukan ternyata tidak hanya
ada bidang-bidang ilmu keagamaan sebegaimana yang dikesankan selama ini, tetapi juga
bidang-bidang ilmu rasional yang melipun ilmu-ilmu fisika, matematika dan metafisika.
Ribuan karya telah mereka hasilkan dari penelitian tersebut. Terakhir, berkenaan dengan
metode-metode ilmiah yang mereka gunakan dalam peneliian-penelitian ilmiah mereka.
Dari sini kita tahu bahwa mereka telah menggunakan berbagai metode yang berbeda, sesuai
dengan bidang dan objek yang ditelitinya. Maka setidaknya empat metode telah
teridentifikasa, yaitu, seperti telah disinggung, metode tajribi, burhani, ‘irfani dan bayani.
2) CIPSI dan Masa Depan Filsafat Islam: Implementasi
Selain upaya membangun sebuah tradisi ilmiah, seperti yang dibicarakan di atas, gerakan
yang lebih kongkrit masih perlu dilakukan untuk mengembangkan filsafat Islam di Negeri
ini. Oleh karena itu, saya dan kawan-kawan bertekad mendirikan sebuah lembaga yang bisa
mengaktualkan tradisi ilmiah di atas sebagai implementasi dari citia-cita membangun
sebuah tradisi ilmiah Islam di Indonesia. Oleh karena itulah pada bulan Juli yang lalu, kami
mendirikan Pusat Kajian dan Informasi Filsafat Islam atau Center for Islamic-Philosophical
Studies and Information (CIPSI). Sesuai dengan namanya, maka CIPSI bergerak pada dua
divisi, pertama divisi kajian dan kedua divisi informasi. Divisi kajian meliputi
penerjemahan, kajian dan diskusi, penelitian dan pengajaran. Sedangkan divisi informasi
meliputi database, perpustakaan dan penerbitan.
Sampai saat ini CIPSI baru melakukan beberapa kegiatan ilmiah yang belum seberapa, dan
belum bisa menggarap semua kegitan kedua divisi di atas. Beberapa kegiatan yang telah
dilakukan antara lain (1) mengkoleksi buku-buku klasik, (2) mendata biografi dan karya-
karya para filosof/ilmuwan Muslim (3) menerjemahkan karya-karya terebut dan (4)
menyelenggarakan beberapa kajian/diskusi baik intern maupun ekstern.
(1) Koleksi karya-karya ilmiah.CIPSI berusaha untuk menghidupkan kembali tradisi ilmiah
Islam, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para ilmuwan Muslim. Salah satunya
adalah mengkoleksi karya-karya kasik. Seperti ilmuwan-ilmuwan masa lalu berusaha keras
untuk melakukan pemburuan manusikrip, maka CIPSI juga berusaha untuk menghimpun atau
mengoleksi sebanyak mungkin karya ilmiah yang telah dihasilkan para ilmuwan Muslim dari
masa klasik, abad tengah dan modern. Hingga saat ini CIPSI telah menghimpun sebanyak
110 judul (140 jilid/280 copies) dari karya filosofis bererapa filosof terkenal, dari al-Kindi
hingga Muhammad Taqi Misbah Yazdi. (list karya tersebut dapat dilihat dalam slide
terpisah). Dengan ini maka CIPSI turut melestarikan karya-karya besar
filsafat/mistik/teologis yang sulit sekali diperoleh dan terancam punah kalau tidak ada
usaha-usaha sadar dan terencana untuk melestarikannya.

(2) Proyek Pernerjemahan Serial. Menyadari bahwa orang-orang Indonesia tidak bisa secara
umum diharapkan dapat mengerti bahasa Arab dengan baik, maka merupakan suatu
keharusan, dalam rangka mengembangkan filsafat Islam di negeri ini, untuk
menerjemahkan karya-karya utama tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Sampai saat ini
CIPSI baru berusaha menerjemahkan sebuah karya inseklopidia dari Ikhwan al-Shafa’ yang
berjudul Rasa’il Ikhwan al-Shafa’. Karya ini memiliki 4 jilid rata-rata 400 halaman, dan
diterjemahkan oleh empat orang penerjemah yang masing-masing menerjemahkan satu
jilid. Jilid pertama dari karya ini membahas tentang matematik (aritmatik, geometri, musik
dan astronomi), dan juga logika. Jilid kedua membahas tentang fisika (meliputi topik
materi dan bentuk, ruang, waktu dan gerak), juga tentang minerologi, botani,, zoologi, dan
astronomi. Jilid ketiga, berkenaan dengan psikologi, dan keempat berkenaan dengan
agama. Hingga saat ini penerjemahan telah mencapai sekitar 40 %. Adapun karya lain yang
tengah dipersiapkan untuk penerjemahan berikutnya adalah al-Shifa karya Ibn Sina, yang
meliputi semua cabang ilmu dan memiliki 10 jilid. Dipilihnya karya-karya yang bersifat
ensiklopedis ini dimaksudkan sebagai contoh yang kongkrit dari model sains Islam
sebagaimana yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim dulu bagi orang-orang
modern.
(3) Database Biografis dan Bibliografis. Selain kegiatan di atas CIPSI juga telah membuat
database berkenaan dengan nama-mana para filosof/ilmuwan Muslim, biografi dan karya-
karya filosofis mereka. Dari pendataan ini, maka hingga saat ini CIPSI telah memiliki daftar
sebanyak 800 orang filosof/ilmuwan, dan memiliki daftar karya filosofis sebanyak lebih dari
2000 karya filsfat dalam berbagai cabang ilmu. Tapi jumlah ini itupun baru diidentifikasi
dari 40 filosof, padahal kita memiliki sekitar 800 filosof, sehingga seiring dengan waktu,
kita sangat potensial untuk memperpanjang daftar karya ini hingga mencapai puluhan atau
ratusan ribu karya. Dan karya-karya inilah yang akan kami usahakan mengoleksinya sehingga
CIPSI diperkirakan akan mengoleksi puluhan atau bahwa ratusan ribu karya filsafat Islam di
perpustakaannya.
(3) Kegiatan berikutnya adalah menyelenggarakan kajian-kajian/diskusi/seminar baik yang
bersifat intern maupun ekstern. Untuk kajian intern CIPSI menyelenggarakan kajian-kajian
intensif tentang beberapa isu yang hangat dan relevan dengan perkembangan zaman
seminggu sekali. Sementara ini materi kajian intern diambil dari buku saya yang segera
akan terbit Nalar Perenial: sebuah Respons terhadap Modernitas. Berbagai isu kontemporer
didiskusikan, seperti tentang Islamisasi Ilmu, masyarakat madani, posisi wanita, tentang
evolusi, pengaruh mistisisme atas fisika baru dan tentang etika lingkungan. Diskusi ini
dimaksudkan sebagai upaya untuk menjawab tantangan-tangan kontemporer dari perspektif
filsfat Islam. Adapun kajian ekstern, telah dilakukann di Mesjid Baitul Ihsan B.I. dengan
tema Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Seminar ini dimungkinkan berkat kerjasama CIPSI
dengan BI. Seminar enam kali pertemuan ini disemarakkan oleh pemikir-pemikir terkemuka
negeri ini yang menjadi pembanding saya dalam setiap pertemuannya. Beberapa seminar
juga telah direncanakan dan kerjasama dengan lembaga lain juga telah digalang.
Selain kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan di atas, CIPSI juga telah memetakan bebrapa
lahan potensial untuk penelitian-pemelitian intensif filsafat Islam di Indonesia di masa
depan. Dan itu akan meliputi peneltian di bidang biografis, gnomologis, sains Islam, filsafat
perenial dan filsafat Islam paska Ibn Rusyd. Diharapkan dengan kegiatan-kegiatan ini CIPSI
akan memberi sumbangan yang signifikan dan menentukan bagi perkembangan dan masa
depan filsafat Islam di negeri ini.

Filsafat Pendidikan Islam

Filsafat Pendidikan Islam

A. Pendahuluan

Setiap orang memiliki filsafat walaupun ia mungkin tidak sadar akan hal tersebut. Kita semua mempunyai ide-ide tentang benda-benda, tentang sejarah, arti kehidupan, mati, Tuhan, benar atau salah, keindahan atau kejelekan dan sebagainya. 1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Definisi tersebut menunjukkan arti sebagai informal. 2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan yang sikap yang sangat kita junjung tinggi. Ini adalah arti yang formal. 3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. 4) Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. 5) Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsumg yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat. Dari beberapa definisi tadi bahwasanya semua jawaban yang ada difilsafat tadi hanyalah buah pemikiran dari ahli filsafat saja secara rasio. Banyak orang termenung pada suatu waktu. Kadang-kadang karena ada kejadian yang membingungkan dan kadang-kadang hanya karena ingin tahu, dan berfikir sungguh-sungguh tentang soal-soal yang pokok. Apakah kehidupan itu, dan mengapa aku berada disini? Mengapa ada sesuatu? Apakah kedudukan kehidupan dalam alam yang besar ini ? Apakah alam itu bersahabat atau bermusuhan ? apakah yang terjadi itu telah terjadi secara kebetulan ? atau karena mekanisme, atau karena ada rencana, ataukah ada maksud dan fikiran didalam benda . Semua soal tadi adalah falsafi, usaha untuk mendapatkan jawaban atau pemecahan terhadapnya telah menimbulkan teori-teori dan sistem pemikiran seperti idealisme, realisme, pragmatisme. Oleh karena itu filsafat dimulai oleh rasa heran, bertanya dan memikir tentang asumsi-asumsi kita yang fundamental (mendasar), maka kita perlukan untuk meneliti bagaimana filsafat itu menjawabnya. B. Pengertian Filsafat pendidikan Islam Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Selain itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: philos berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi, Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya disebut Pholosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf. Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dar segi kebahsan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya. Filsafat juga memilki pengertian dari segi istilah atau kesepakatan yang lazim digunakan oleh para ahli, atau pengertian dari segi praktis. Selanjutnya bagaimanakah pandangan para ahli mengenai pendidikan dalam arti yang lazim digunakan dalam praktek pendidikan.Dalam hubungan ini dijumpai berbagai rumusan yang berbeda-beda. Ahmad D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si – terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Berdasarkan rumusannya ini, Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu 1) Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan atau pertolongan yang dilakukan secara sadar. 2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong. 3) Ada yang di didik atau si terdidik. 4) Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut, dan. 5) Dalam usaha tentu ada alat-alat yang dipergunakan. Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah al Qur’an dan al Sunnah. Sebagai sumber ajaran, al Qur’an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Demikian pula dengan al Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di akui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup ( long life education ). Dari uraian diatas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al- Qur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya. Dasar pelaksanaan Pendidikan Islam terutama adalah al Qur’an dan al Hadist Firman Allah : “ Dan demikian kami wahyukan kepadamu wahyu (al Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al Qur’an itu cahaya yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benarbenar memberi petunjuk kepada jalan yang benar ( QS. Asy-Syura : 52 )” Dan Hadis dari Nabi SAW : “ Sesungguhnya orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak taat kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal pikirannya, serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan memperoleh kemenangan ia” (al Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90)” Dari ayat dan hadis di atas tadi dapat diambil kesimpulan : 1. Bahwa al Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kearah jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk kearah jalan yang diridloi Allah SWT. 2. Menurut Hadist Nabi, bahwa diantara sifat orang mukmin ialah saling menasihati untuk mengamalkan ajaran Allah, yang dapat diformulasikan sebagai usaha atau dalam bentuk pendidikan Islam. 3. Al Qur’an dan Hadist tersebut menerangkan bahwa nabi adalah benar-benar pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sehingga beliau memerintahkan kepada umatnya agar saling memberi petunjuk, memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pendidikan Islam. Bagi umat Islam maka dasar agama Islam merupakan fondasi utama keharusan berlangsungnya pendidikan. Karena ajaran Islam bersifat universal yang kandungannya sudah tercakup seluruh aspek kehidupan ini. Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama, dengan sebaik-baiknya. Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap untuk memasuki lapangan penghidupan itu. Pendidikan itu memang suatu usaha yang sangat sulit dan rumit, dan memakan waktu yang cukup banyak dan lama, terutama sekali dimasa modern dewasa ini. Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari para ahli pendidik dan juga ahli dari filsafat, guna melancarkan jalan dan memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para peserta didik. Kalau teori pendidikan hanyalah semata-mata teknologi, dia harus meneliti asumsi-asumsi utama tentang sifat manusia dan masyarakat yang menjadi landasan praktek pendidikan yang melaksanakan studi seperti itu sampai batas tersebut bersifat dan mengandung unsur filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul dari setiap dua tendensi itu, teknologi mungkin terjerumus, tanpa dipikirkan buat memperoleh beberapa hasil konkrit yang telah dipertimbangkan sebelumnya didalam sistem pendidikan, hanya untuk membuktikan bahwa mereka dapat menyempurnakan suatu hasil dengan sukses, yang ada pada hakikatnya belum dipertimbangkan dengan hati-hati sebelumnya. Sedangkan para ahli filsafat pendidikan, sebaiknya mungkin tersesat dalam abstraksi yang tinggi yang penuh dengan debat tiada berkeputusan,akan tetapi tanpa adanya gagasan jelas buat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang ideal. Tidak ada satupun dari permasalahan kita mendesak dapat dipecahkan dengan cepat atau dengan mengulang-ulang dengan gigih kata-kata yang hampa. Tidak dapat dihindari, bahwa orang-orang yang memperdapatkan masalah ini, apabila mereka terus berpikir,yang lebih baik daripada mengadakan reaksi, mereka tentu akan menyadari bahwa mereka itu telah membicarakan masalah yang sangat mendasar. Sebagai ajaran (doktrin) Islam mengandung sistem nilai diatas mana proses pendidikan Islam berlangsung dan dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya. Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikir-pemikir sesepuh muslim, maka sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan (struktur) pendidikan islam yang memiliki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan. Pendidikan Islam mengidentifikasi sasarannya yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al Quran dan Hadist, meliputi empat pengembangan fungsi manusia : 1) Menyadarkan secara individual pada posisi dan fungsinya ditengah-tengah makhluk lain serta tanggung jawab dalam kehidupannya. 2) Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya. 3) Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada Nya Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah tuhan menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya Setelah mengikuti uraian diatas kiranya dapat diketahui bahwa Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al Qur’an dan al Hadist sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof Muslim, sebagai sumber sekunder. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya. C. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam Penjelasan mengenai ruang lingkup ini mengandung indikasi bahwa filsafat pendidikan Islam telah diakui sebagai sebuah disiplin ilmu. Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa sumber bacaan, khususnya buku yang menginformasikan hasil penelitian tentang filsafat pendidikan Islam. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mau tidak mau filsafat pendidikan Islam harus menunjukkan dengan jelas mengenai bidang kajiannya atau cakupan pembahasannya. Muzayyin Arifin menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik. Logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, ysng tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Pendapat ini memberi petunjuk bahwa ruang lingkup filsafat Pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan. D. Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam Prof. Mohammad Athiyah abrosyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan 5 tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “ At Tarbiyah Al Islamiyah Wa Falsafatuha “ yaitu : 1. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. 2. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan saja, tetapi dia menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus. 3. Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu bukan sekedar sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan minat pada sains, sastra, kesenian, dalam berbagai jenisnya. 4. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat mengusai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya dapat ia mencari rezeki dalam hidup dengan mulia di samping memelihara dari segi kerohanian dan keagamaan. 5. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau sprituil semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi-segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Tidak lah tercapai kesempurnaan manusia tanpa memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan. E. Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam Sebagai suatu metode, pengembangan filsafat pendidikan Islam biasanya memerlukan empat hal sebagai berikut : Pertama, bahan-bahan yang akan digunakan dalam pengembangan filsafat pendidikan. Dalam hal ini dapat berupa bahan tertulis, yaitu al Qur’an dan al Hadist yang disertai pendapat para ulama serta para filosof dan lainnya ; dan bahan yang akan di ambil dari pengalaman empirik dalam praktek kependidikan. Kedua, metode pencarian bahan. Untuk mencari bahan-bahan yang bersifat tertulis dapat dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang masing-masing prosedurnya telah diatur sedemikian rupa. Namun demikian, khusus dalam menggunakan al Qur’an dan al Hadist dapat digunakan jasa Ensiklopedi al Qur’an semacam Mu’jam al Mufahras li Alfazh al Qur’an al Karim karangan Muhammad Fuad Abd Baqi dan Mu’jam al muhfars li Alfazh al Hadist karangan Weinsink. Ketiga, metode pembahasan. Untuk ini Muzayyin Arifin mengajukan alternatif metode analsis-sintesis, yaitu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif, dedukatif, dan analisa ilmiah. Keempat, pendekatan. Dalam hubungannya dengan pembahasan tersebut di atas harus pula dijelaskan pendekatan yang akan digunakan untuk membahas tersebut. Pendekatan ini biasanya diperlukan dalam analisa, dan berhubungan dengan teori-teori keilmuan tertentu yang akan dipilih untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam hubungan ini pendekatan lebih merupakan pisau yang akan digunakan dalam analisa. Ia semacam paradigma (cara pandang) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena. F. Penutup. Islam dengan sumber ajarannya al Qur’an dan al Hadist yang diperkaya oleh penafsiran para ulama ternyata telah menunjukkan dengan jelas dan tinggi terhadap berbagai masalah yang terdapat dalam bidang pendidikan. Karenanya tidak heran ntuk kita katakan bahwa secara epistimologis Islam memilki konsep yang khas tentang pendidikan, yakni pendidikan Islam. Demikian pula pemikiran filsafat Islam yang diwariskan para filosof Muslim sangat kaya dengan bahan-bahan yang dijadikan rujukan guna membangun filsafat pendidikan Islam. Konsep ini segera akan memberikan warna tersendiri terhadap dunia pendidikan jika diterapkan secara konsisten. Namun demikian adanya pandangan tersebut bukan berarti Islam bersikap ekslusif. Rumusan, ide dan gagasan mengenai kependidikan yang dari luar dapat saja diterima oleh Islam apabila mengandung persamaan dalam hal prinsip, atau paling kurang tidak bertentangan. Tugas kita selanjutnya adalah melanjutkan penggalian secara intensif terhadap apa yang telah dilakukan oleh para ahli, karena apa yang dirumuskan para ahli tidak lebih sebagai bahan perbangdingan, zaman sekarang berbeda dengan zaman mereka dahulu. Karena itu upaya penggalian masalah kependidikan ini tidak boleh terhenti, jika kita sepakat bahwa pendidikan Islam ingin eksis ditengah-tengah percaturan global. DAFTAR PUSTAKA Ahmad Hanafi, M.A., Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990. Prasetya, Drs., Filsafat Pendidikan, Cet. II, Pustaka Setia, Bandung, 2000 Titus, Smith, Nolan., Persoalan-persoalan Filsafat, Cet. I, Bulan Bintang, Jakarta, 1984. Ali Saifullah H.A., Drs., Antara Filsafat dan Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1983. Zuhairini. Dra, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II, Bumi Aksara, Jakarta, 1995. Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997.

Pengertian filsafat pendidikan

Makna Filsafat menurut James K. Feibleman:
1. Filsafat sebagai penjelasan rasional dari segala sesuatu (the rational explanation of anything).
2. Filsafat merupakan prinsip-prinsip umum yang berdasarkan segala fakta yang dapat diterangkan
3. Filsafat merupakan ilmu tentang prinsip-prinsip pertama dari peradaban
4. Filsafat merupakan penjajagan terhadap realita yang mutakhir
5. filsafat adalah kebijaksanaan yang bersifat sendiri
6. Filsafat adalah suatu ilmu dari ilmu-ilmu
7. Filsafat merupakan suatu kritik dan sistematisasi atau pengorganisasian dari segala pengetahuan yang diendapkan dari ilmu emperis, rasional, pengalaman umum, atau apapun

Makna Filsafat menurut Harold H. Titus, dll:
8. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara kritis
9. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat dijunjung tinggi
10. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan
11. Filsafat adalah suatu analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep
12. Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung mendapat perhatian dari manusia dan dicarikan jawabannya oleh para ahli filsafat

Makna Filsafat menurut John Passmore:
13. Filsafat adalah pengetahuan tentang keabadian
14. Filsafat adalah suatu ilmu yang dimiliki oleh manusia
15. Filsafat adalah kosmologi perekaan
16. Filsafat adalah suatu teori bahasa
17. Filsafat adlah suatu teori tentang perbincangan kritis

Makna Filsafat menurut Ricard T. De George:
18. Filsafat adalah suatu analisis tentang konsep-konsep
19. Filsafat adalah bangunan sistematis dari skema-skema konseptual
20. Filsafat adalah suatu penelitian terhadap sebab-sebab yang terakhir
21. Filsafat merupakan kombinasi dari analisis konsep-konsep, bangunan sistematis, skema-skema konseptual maupun penelitian terhadap sebab-sebab yang terakhir atau lainnya.

Makna Filsafat menurut Max Rosenberg, 1955:
22. Filsafat tersusun dari 6 unsur:
a. Pertanyaan-pertanyaan dan keheranan dari manusia terhadap sesuatu
b. Aturan dan ukuran-ukuran dari perbuatan dan putusan-putusan
c. Sistem kepercayaan
d. Usaha untuk meninjau berbagai hal secara keseluruhan (comprehensive)
e. Usaha untuk memberi makna kepentingan terhadap dunia pengalaman
f. Kearifat hidup.

I. FILOSOFIS PENDIDIKAN


1. PENGERTIAN FILSAFAT

Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.

Ciri-ciri berfikir filosfi :

Berfikir dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi.

Berfikir secara sistematis.

Menyusun suatu skema konsepsi, dan

Menyeluruh.

Empat persoalan yang ingin dipecahkan oleh filsafat ialah :

Apakah sebenarnya hakikat hidup itu? Pertanyaan ini dipelajari oleh Metafisika

Apakah yang dapat saya ketahui? Permasalahan ini dikupas oleh Epistemologi.

Apakah manusia itu? Masalah ini dibahas olen Atropologi Filsafat.

Beberapa ajaran filsafat yang telah mengisi dan tersimpan dalam khasanah ilmu adalah:

Materialisme, yang berpendapat bahwa kenyatan yang sebenarnya adalah alam semesta badaniah. Aliran ini tidak mengakui adanya kenyataan spiritual. Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme humanistis.

Idealisme yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani atau intelegesi. Variasi aliran ini adalah idealisme subjektif dan idealisme objektif.

Realisme. Aliran ini berpendapat bahwa dunia batin/rohani dan dunia materi murupakan hakitat yang asli dan abadi.

Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap mutlak (absolut) tidak doktriner tetapi relatif tergantung kepada kemampuan minusia.

Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah :

Sebagai dasar dalam bertindak.

Sebagai dasar dalam mengambil keputusan.

Untuk mengurangi salah paham dan konflik.

Untuk bersiap siaga menghadapi situasi dunia yang selalu berubah.

2. FILSAFAT PENDIDIKAN

Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.

Beberapa aliran filsafat pendidikan;

Filsafat pendidikan progresivisme. yang didukung oleh filsafat pragmatisme.

Filsafat pendidikan esensialisme. yang didukung oleh idealisme dan realisme; dan

Filsafat pendidikan perenialisme yang didukung oleh idealisme.

Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

3. ESENSIALISME DAN PERENIALISME

Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada.

Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut.

Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang mengenai nilai tersehut. Menunut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai- nilai yang telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.

Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.

Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:

Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal (Plato)

Perkemhangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya ( Aristoteles)

Pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. (Thomas Aquinas)

Adapun norma fundamental pendidikan menurut J. Maritain adalah cinta kebenaran, cinta kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi serta cinta kerjasama.

4. PENDIDIKAN NASIONAL

Pendidikan nasional adalah suatu sistem yang memuat teori praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat bangsa yang bersangkutan guna diabdikan kepada bangsa itu untuk merealisasikan cita-cita nasionalnya.

A. Plato (427sm – 347sm) seorang filsuf yunani yang termasyhur murid socrates dan guru aristoteles, mengatakan: filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).

B. Aristoteles (384 sm – 322sm) mengatakan : filsafat adalah ilmua pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).

C.Marcus tullius cicero (106 sm – 43sm) politikus dan ahli pidato romawi, merumuskan: filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya.

D. Al-farabi (meninggal 950m), filsuf muslim terbesar sebelum ibnu sina, mengatakan : filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.

E. Immanuel kant (1724 -1804), yang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan : filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu: ” apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika) ” apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika) ” sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi)

F. Prof. Dr. Fuad hasan, guru besar psikologi ui, menyimpulkan: filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.

G. Drs h. Hasbullah bakry merumuskan: ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu. Kesimpulan setelah mempelajari rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa:

A. Filsafat adalah ‘ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa kerana masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa.

B. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada, yaitu: ” hakikat tuhan, ” hakikat alam semesta, dan ” hakikat manusia, serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham tersebut. Perlu ditambah bahwa definisi-definisi itu sebenarnya tidak bertentangan, hanya cara mengesahkannya saja yang berbeda.

2. Cara membatasi filsafat

Kerana sangat luasnya lapangan ilmu filsafat, maka menjadi sukar pula orang mempelajarinya, dari mana hendak dimulai dan bagaimana cara membahasnya agar orang yang mempelajarinya segera dapat mengetahuinya. Pada zaman modern ini pada umunya orang telah sepakat untuk mempelajari ilmu filsafat itu dengan dua cara, yaitu dengan memplajari sejarah perkembangan sejak dahulu kala hingga sekarang (metode historis), dan dengan cara mempelajari isi atau lapangan pembahasannya yang diatur dalam bidang-bidang tertentu (metode sistematis). Dalam metode historis orang mempelajari perkembangan aliran-aliran filsafat sejak dahulu kala sehingga sekarang. Di sini dikemukakan riwayat hidup tokoh-tokoh filsafat di segala masa, bagaimana timbulnya aliran filsafatnya tentang logika, tentang metafisika, tentang etika, dan tentang keagamaan. Seperti juga pembicaraan tentang zaman purba dilakukan secara berurutan (kronologis) menurut waktu masing masing. Dalam metode sistematis orang membahas langsung isi persoalan ilmu filsafat itu dengan tidak mementingkan urutan zaman perjuangannya masing-masing. Orang membagi persoalan ilmu filsafat itu dalam bidang-bidang yang tertentu. Misalnya, dalam bidang logika dipersoalkan mana yang benar dan mana yang salah menurut pertimbangan akal, bagaimana cara berpikir yang benar dan mana yang salah. Kemudian dalam bidang etika dipersoalkan tentang manakah yang baik dan manakah yang baik dan manakah yang buruk dalam pembuatan manusia. Di sini tidak dibicarakan persoalan-persoalan logika atau metafisika. Dalam metode sistematis ini para filsuf kita konfrontasikan satu sama lain dalam bidang-bidang tertentu. Misalnya dalam soal etika kita konfrontasikan saja pendapat pendapat filsuf zaman klasik (plato dan aristoteles) dengan pendapat filsuf zaman pertengahan (al-farabi atau thimas aquinas), dan pendapat filsuf zaman ‘aufklarung’ (kant dan lain-lain) dengan pendapat-pendapat filsuf dewasa ini (jaspers dan marcel) dengan tidak usah mempersoalkan tertib periodasi masing-masing. Begitu juga dalam soal-soal logika, metafisika, dan lain-lain.

3. Cabang-cabang filsafat

Telah kita ketahui bahwa filsafat adalah sebagai induk yang mencakup semua ilmu khusus. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu khusus itu satu demi satu memisahkan diri dari induknya, filsafat. Mula-mula matematika dan fisika melepaskan diri, kemudian diikuti oleh ilmu-ilmu lain. Adapun psikologi baru pada akhir-akhir ini melepaskan diri dari filsafat, bahkan di beberapa insitut, psikologi masih terpaut dengan filsafat. Setelah filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu khusus, ternyata ia tidak mati, tetapi hidup dengan corak baru sebagai ‘ilmu istimewa’ yang memecahkan masalah yang tidak terpecahkan oleh ilmu-ilmu khusus. Yang menjadi pertanyaan ialah : apa sajakah yang masih merupakan bagian dari filsafat dalam coraknya yang baru ini? Persoalan ini membawa kita kepada pembicaraan tentang cabang-cabang filsafat. Ahi filsafat biasanya mempunyai pembagian yang berbeda-beda. Cuba perhatikan sarjana-sarjana filsafat di bawah ini:

1. H. De vos menggolongkan filsafat sebagai berikut: ” metafisika, ” logika, ” ajaran tentang ilmu pengetahuan ” filsafat alam ” filsafat sejarah ” etika, ” estetika, dan ” antropologi.

2. Prof. Albuerey castell membagi masalah-masalah filsafat menjadi enam bagian, yaitu: ” masalah teologis ” masalah metafisika ” masalah epistomologi ” masalah etika ” masalah politik, dan ” masalah sejarah

3 dr. Richard h. Popkin dan dr avrum astroll dalam buku mereka, philosophy made simple, membagi pembahasan mereka ke dalam tujuh bagian, yaitu: ” section i ethics ” section ii political philosophy ” section iii metaphysics ” section iv philosophy of religion ” section v theory of knowledge ” section vi logics ” secton vii contemporary philosophy,

4. Dr. M. J. Langeveld mengatakan: filsafat adalah ilmu kesatuan yang terdiri atas tiga lingkungan masalah: ” lingkungan masalah keadaan (metafisika manusia, alam dan seterusnya) ” lingkungan masalah pengetahuan (teori kebenaran, teori pengetahuan, logika) ” lingkungan masalah nilai (teori nilai etika, estetika yang bernilai berdasarkan religi)

5. Aristoteles, murid plato, mengadakan pembagian secara kongkret dan sistematis menjadi empat cabang, yaitu:

A) logika. Ilmu ini dianggap sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat.

B) filsafat teoretis. Cabang ini mencangkup: ” ilmu fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam nyata ini, ” ilmu matematika yang mempersoalkan hakikat segala sesuatu dalam kuantitasnya, ” ilmu metafisika yang mempersoalkan hakikat segala sesuatu. Inilah yang paling utama dari filsafat.

C) filsafat praktis. Cabang ini mencakup: ” ilmu etika. Yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup perseorang ” ilmu ekonomi, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran di dalam negara.

D) filsafat poetika (kesenian). Pembagian aristoteles ini merupakan permulaan yang baik sekali bagi perkembangan pelajaran filsafat sebagai suatu ilmu yang dapat dipelajari secara teratur. Ajaran aristoteles sendiri, terutama ilmu logika, hingga sekarang masih menjadi contoh-contoh filsafat klasik yang dikagumi dan dipergunakan. Walaupun pembagian ahli yang satu tidak sama dengan pembagian ahli-ahli lainnya, kita melihat lebih banyak persamaan daripada perbedaan. Dari pandangan para ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat dalam coraknya yang baru ini mempunyai beberapa cabang, yaitu metafisika, logika, etika, estetika, epistemologi, dan filsafat-filsafat khusus lainnya.

1. Metafisika: filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, hakikat yang bersifat transenden, di luar jangkauan pengalaman manusia.

2. Logika: filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah.

3. Etika: filsafat tentang perilaku yang baik dan yang buruk.

4. Estetika: filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelek.

5. Epistomologi: filsafat tentang ilmu pengetahuan.

6. Filsafat-filsafat khusus lainnya: filsafat agama, filsafat manusia, filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat pendidikan, dan sebagainya. Seperti telah dikatakan, ilmu filsafat itu sangat luas lapangan pembahasannya. Yang ditujunya ialah mencari hakihat kebenaran dari segala sesuatu, baik dalam kebenaran berpikir (logika), berperilaku (etika), maupun dalam mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Maka persoalannya menjadi apakah sesuatu itu hakiki (asli) atau palsu (maya). Dari tinjauan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam tiap-tiap pembagian sejak zaman aristoteles hingga dewasa ini lapangan-lapangan yang paling utama dalam ilmu filsafat selalu berputar di sekitar logika, metafisika, dan etika.

Kalau ngomong filsafat jujur aku bukan ahlinya, namun aku berusaha untuk belajar lebih baik dari hari ini , itu jelas setiap manusia juga akan mendambakan hal yang lebih baek dari yang sekarang ini, namun tidak semua orang bias berpikir demikian..
Layaknya kita yang selalu dapat kritikan dengan apa adanya ..
Namun aku yakin dengan pendirian yang sedikit kurang ini , untuk selalu memperbaiki diri disela sela kesalahan yang selalu ada dan selalu berjalandengan seiring berjalannya waktu…

Namun sungguh tiada salahnya kita manusia yang bodoh ini mencoba untuk memperbaiki diri dengan sedikit belajar dari apa yang belum kita ketahui, namun ketahuilah yang salah adalah ketidak inginan kita untuk mencoba dan rasa takut salah dengan apa yang akan kita belum lakukan untuk saat ini……

Pendidikan nasional Indonesrn adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan pratek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh flisafat bangsa Indonesia yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia guna memperlanar mencapai cita-cita nasional Indonesia.

Filsafat pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa "Pancasila" yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia.
Filsafat pendidikan merupakan bidang filsafat terapan, mulanya juga dari bidang tradisional filsafat seperti ontologi, etika, epistemologi, me dan pendekatan (filsafat spekulatif, preskriptif, dan / atau analitis) untuk menjawab pertanyaan mengenai kebijakan pendidikan, perkembangan manusia, dan teori kurikulum. Dengan kata lain, filsafat pendidikan adalah studi filosofis tentang tujuan, proses, alam dan cita-cita pendidikan. Sebagai contoh, filsafat pendidikan mencakup hal berikut:
Mempelajari apa yang dimaksud dengan mengasuh dan mendidik
Mendalami dan mempelajari pengaplikasian nilai-nilai dan norma-norma lalu diterapkan melalui sistem pendidikan dan praktek pendidikan itu sendiri
Mempelajari batas-batas dan legitimasi pendidikan sebagai disiplin akademis
Mempelajari hubungan antara teori dan praktek pendidikan pada umumnya


Filsafat pendidikan dapat dianggap sebagai cabang dari filsafat mau pun pendidikan. Banyaknya cara dalam memahami pendidikan ditambah lagi dengan berbagai bidang dan pendekatan filsafat, membuat filsafat pendidikan tidak hanya menjadi bidang yang memiliki konteks sangat beragam, tetapi juga membuat filsafat pendidikan itu sendiri tidak mudah didefinisikan. Meskipun ada ketimpangan di sini, filsafat pendidikan tidak boleh digabungkan dengan teori pendidikan, alasannya tentu filsafat pendidikan tidak mendefinisikan secara  khusus karena teori pendidikan itu sendiri nantinya malah ditanyakan oleh filsafat Kalau teori pendidikan sama dengan filsafat pendidikan, nantinya bidang apa yang mem-verifikasi atau mengkritisi teori pendidikan? Soalnya ‘kan filsafat mempertanyakan segala teori dan berfungsi mensintesiskannya menjadi teori lebih baik.

Meskipun filsuf di seluruh dunia telah mengajukan pertanyaan mengenai pendidikan selama ribuan tahun, tetapi sebagai disiplin akademis (bidang akademis di universitas) filsafat pendidikan sendiri merupakan ‘ilmu’ baru. Hebatnya lagi filsafat pendidikan merupakan bidang internasional yang telah mapan bekerja sama dengan departemen dan berbagai program di seluruh dunia.

Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam Filsafat Paripatetik

Sejarawan Barat dan mereka yang memandang filsafat Islam dengan kaca mata Barat, menganggap bahwa kemunduran filsafat Islam di belahan timur dunia Islam menjadikan filsafat secara umum telah musnah di kawasan itu. Sekalipun anggapan ini tidak benar sepenuhnya, namun dapat menunjukkan semangat penentangan terhadap filsafat. Hebatnya penentangan yang dilakukan oleh para arif dan teolog membuat tidak ada lagi filosof yang muncul dari kawasan timur dunia Islam.


Buku pemenang pertama festival tahunan buku Iran yang ke 24, tahun ini (1385, 2007), dalam kategori filsafat Islam.

Di dunia Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan filsafat Islam dimulai secara resmi di abad ke dua dan tiga Hijriyah, berbarengan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya, sekalipun kajian teologi cukup digandrungi, namun filsafat tidak memiliki posisi tersendiri. Filosof muslim pertama adalah Abu Ishaq al-Kindi (185-260 H).

Abu Nasr al-Farabi adalah filosof pertama yang mengonsep filsafat Islam. Al-Farabi selama hidupnya berusaha untuk mengharmoniskan ide-ide Plato dan Aristoteles. Ia sebagaimana mayoritas pemikir muslim lainnya, salah menganggap buku Ontologia tulisan Plotinus sebagai milik Aristoteles. Itulah mengapa tanpa disadarinya ia terpengaruh Neo Platonisme. Farabi termasuk penggagas filsafat Paripatetik yang pada akhirnya berhadap-hadapan dengan filsafat-irfani Syaikh Maqtul Suhrawardi. Abu Ali Sina adalah salah satu filosof lain yang menggabungkan aliran filsafat Paripatetik ini. Dengan kejeniusannya, ia menuangkan ide-idenya kedalam tulisan-tulisan filsafat. Ia juga berhasil mendidik muridnya Bahmaniyar menjadi salah satu pemikir berbakat dalam filsafat Paripatetik.

Masa keemasan filsafat Paripatetik berada di tangan Ibnu Sina. Faktor ini membuat filsafat menjadi faktor penentu budaya dan penentu ilmu-ilmu yang lain. Dengan Ibnu Sina, para teolog dan arif menjadi tertantang. Para arif, yang menganggap argumentasi falsafi bak tongkat kayu yang rapuh, mulai kasak-kusuk untuk menjauhkan filsafat dari kaum muslimin. Mereka mengatakan bahwa jalan terdekat dan satu-satunya cara untuk mengenal al-Haq adalah dengan membersihkan hati dan ibadah. Filsafat hanya akan membuat orang jauh dari jalan yang sebenarnya.

Di sisi lain, para teolog juga tidak dapat menerima filsafat. Mereka berpendapat bahwa apa yang diungkapkan oleh para filosof muslim bertentangan dengan al-Quran dan Hadis, bahkan Islam menolak filsafat. Salah satu ahli teolog besar yang menetang keras filsafat adalah Abu Hamid al-Ghazali. Ghazali yang dipengaruhi oleh pemikiran tasawwuf menyebutkan bahwa dalam 20 pendapat Ibnu Sina bertentangan dengan Islam dan dalam tiga pandangannya telah sampai pada batas kafir. Tiga pandangan Ibnu Sina yang dianggap kafir oleh Ghazali adalah:

1. Keyakinan akan qidamnya alam.
2. Pengingkaran akan ilmu Allah atas obyek-obyek parsial dan kasuistik.
3. Pengingkaran terhadap hari kebangkitan manusia dengan jasad.

Setelah Ghazali, pemikir yang paling menentang filsafat adalah Fakhruddin ar-Razi. Ia meyakini bahwa ide-ide filsafat Paripatetik dan semua terjemahan pemikiran Yunani membuat agama menjadi kering. Penentangan terhadap filsafat dan pembakaran buku-buku filsafat membuat filsafat Islam mengalami kemunduran.

Sejarawan Barat dan mereka yang memandang filsafat Islam dengan kaca mata Barat, menganggap bahwa kemunduran filsafat Islam di belahan timur dunia Islam menjadikan filsafat secara umum telah musnah di kawasan itu. Sekalipun anggapan ini tidak benar sepenuhnya, namun dapat menunjukkan semangat penentangan terhadap filsafat. Hebatnya penentangan yang dilakukan oleh para arif dan teolog membuat tidak ada lagi filosof yang muncul dari kawasan timur dunia Islam.

Ketika filsafat mengalami kemunduran di kawasan timur, muncul beberapa filosof di kawasan Barat. Mereka adalah Ibnu Bajah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd. Ibnu Bajah mengkonsentrasikan ide-idenya untuk melawan tasawwuf. Ia menganggap tasawwuf sendiri sebagai hijab dan penutup manusia dari kebenaran. Kebalikan dari cara pandang urafa, Ibnu Bajah menganggap satu-satunya jalan untuk mengenal adalah filsafat. Karena filsafat tidak dicampuri oleh segala macam kelezatan fisik. Ia menambahkan bahwa kemungkinan inilah yang membuat para filosof diasingkan oleh masyarakat yang bodoh.

Setelah Ibnu Bajah, muncul Ibnu Thufail dengan kisah monumentalnya Hayyu bin Yaqzhan. Kisah itu membuatnya terkenal. Dalam cerita falsafinya itu ia berusaha untuk membuktikan bahwa manusia dengan akalnya dapat mengenal Allah. Kemampuan itu dapat diraih sekalipun tanpa bantuan wahyu dan Nabi. Cerita ini sangat mendapat perhatian Barat, sehingga mereka menerjemahkannya dalam berbagai bahasa. Semua peneliti mengetahui bahwa Daniel Defoe yang menciptakan tokoh Robinson Crusoe benar-benar dipengaruhi oleh ide Ibnu Thufail.

Sebegitu terkenalnya kedua pemikir ini, masih di bawah bayang-bayang Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd (520-595 H). Hal itu karena pengaruh Ibnu Rusyd lebih kuat dari keduanya. Ibnu rusyd seperti tokoh-tokoh filsafat Paripatetik lainnya, senantiasa berusaha untuk mengharmoniskan antara filsafat dan agama. Selain itu, ia juga menulis buku "Tahafut at-Tahafut" untuk menjawab tulisan Ghazali "Tahafut al-Falasifah". Dalam membela pemikiran filsafat, ia sampai pada kesimpulan bahwa hanya filosof saja yang mengetahui rahasia-rahasia al-Quran dan yang berhak untuk mentakwilkannya. Ibnu Rusyd menganggap bahwa kritikan Ghazali terhadap filsafat muncul karena Ibnu Sina tidak mampu menjelaskan filsafat sebagaimana yang dijelaskannya. Dengan itu, sebenarnya, bukan saja Ibnu Rusyd melakukan menjawab kritikan Ghazali tapi sekaligus mengkritik ibnu Sina.

Perbedaan ibnu Rusyd dengan farabi dan Ibnu Sina pada pengaruh ide-ide Neo Platonisme. Ia lebih sedikit dipengaruhi oleh ide Neo Platonisme. Ia menolak ide penciptaan dari tiada dan menetapkan keabadian materi. Ia menulis syarah buku-buku Aristoteles yang sampai saat ini masih dikaji oleh pengamat pikiran-pikiran Aristoteles. Begitulah William David Rush peniliti pikiran-pikiran Aristotels dalam buku-bukunya masih mempergunakan penjelasan Ibnu Rusyd. Dengan syarah-syarahnya atas buku Aristoteles pemikirannya banyak di kaji di Barat. Ernest Renan menganggapnya orang yang bebas. Sebelum menetapkan sebuah istilah ia adalah seorang yang bebas dalam berpikir. Pengaruh Ibnu Rusyd di Barat dapat juga dilacak lewat tulisan-tulisan pemikir Barat pada abad pertengahan yang menimbulkan semakin luasnya ide Rasionalisme di Barat. Ironisnya, pengaruhnya di Barat tidak sepadan dengan respon kaum muslimin di kawasan timur dunia Islam. Pengaruh tasawwuf yang cukup kuat membuat pikiran-pikiran filsafat Ibnu Rusyd tidak dikenal orang di sana.

Denga penjelasan yang lebih detil, pada periode ini perjalanan filsafat Islami ada ketaktertautan yang menganga. Di satu sisi, Ibnu Rusyd tidak dikenal oleh kaum muslimin dan di sisi lain, dengan meninggalnya ibnu Rusyd Barat menganggap filsafat islam telah tutup mata dan musnah. Akhirnya, filosof seperti Suhrawardi, Khajah Nashiruddin at-Thusi, Mir Damad dan Mulla Shadra tidak dikenal.

Buku "Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik" (Derakhshesh-e Ibnu Rusyd Dar Falsafe-ye Massha), merupakan buku dalam bahasa Parsi yang secara terperinci membahas ide-ide filsafat Ibnu Rusyd. Profesor Ghulam Hossein Ebrahimi Dinani, dengan pengalaman bertahun-tahun mengajar dan menulis berusaha untuk memperkenalkan kecemerlangan pemikiran Ibnu Rusyd yang tidak terlalu dikenal di dunia Islam. Ia menyebutkan:

"Ibnu Rusyd begitu terkenal di pusat-pusat penelitian dunia. Di antara filosof Iran ia tidak begitu dikenal. Bukan omong kosong bila ada yang mengatakan bahwa selama delapan abad setelah meninggalnya ibnu Rusyd, belum ada buku berbahasa Parsi yang ditulis menjelaskan pemikirannya. Inilah yang mendorong penulis untuk menulis buku ini. Penulis berusaha untuk membahas dan menganalisa pikiran-pikiran Ibnu Ruysd. Sekaligus sebagai buku pertama bahasa Parsi yang ditulis dalam rangka mengkaji secara terperinci pemikiran Ibnu Rusyd."

Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik dimulai dengan kata pengantar yang cukup panjang. Karena di sana, dibahas juga tentang hubungan antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani. Di akhir kata pengantar ini, Ibnu Rusyd diperkenalkan sebagai filosof yang mengikuti ide-ide Aristoteles dan membela pemikiran Yunani.

Dinani menganggap bahwa Kebanyakan filosof muslim, terutama Farabi dan Ibnu Sina, dalam mengkaji ide-ide Aristoteles tidak mengambil sikap pasif, namun aktif melakukan kritik. Dengan alasan ini, kedua filosof ini tidak murni menganut pikiran Aristoteles. Pikiran filsafat mereka dipengaruhi Plato, Neo Platonisme dan pikiran mereka sendiri yang muncul ketika mereka melakukan kritik terhadap pikiran Aristoteles. Atas dasar inilah, Ibnu Rusyd menganggap ibnu Sina telah keluar dari bingkai pemikiran Aristoteles. Ebrahimi Dinani meyakini kebenaran tuduhan Ibnu Rusyd terhadap ibnu Sina. Namun, itu tidak berarti kekurangan ibnu Sina, melainkan untuk menunjukkan kebebasan berpikir dari Ibnu Sina. Dan di situlah kelebihan ibnu Sina. Dengan melihat penilaian Ibnu Rusyd atas Ibnu Sina dapat diketahui bahwa ia benar-benar sebagai perwakilan pemikiran Aristoteles.

Bab pertama buku ini "Pengaruh pemikiran Ibnu Ruysd dan Ibnu Sina terhadap karya-karya filsafat Barat di abad pertengahan". Dalam bab ini, Dinani membeberkan juga bagaimana Ibnu Ruysd dipengaruhi oleh ide-ide pemikir Islam sebelumnya. Selain itu, penulis juga menjelaskan pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd selama empat abad dalam pemikiran Barat. Ia membawakan dialog antara pemikiran Ibnu Ruysd dengan para pendeta.

Karya ibnu Rusyd pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa latin pada abad tiga belas. Bukunya diajarkan dan menjadi primadona di universitas-universitas Eropa. St. Aquinas pemikir paling terkenal di abad pertengahan yang dipengaruhi oleh ide-ide ibnu Rusyd. Di kalangan Yahudi yang terpengaruh pemikiran Ibnu Ruysd seperti; Musa bin Maimun, Yossef bin Yahuda dan pemikir-pemikir Yahudi Andalusia. Mereka menyebut Ibnu Rusyd sebagai semangat dan akal Aristoteles.

Bab kedua "Hakikat ganda atau dua hal yang dicerap dari hakikat yang satu". Bab kedua ini membicarakan tentang substansi hakikat menurut pandangan Ibnu Rusyd. "Hakikat ganda" atau "hakikat muzdawij" merupakan pandangan khas milik Ibnu Rusyd. Pendapat ini sangat menarik perhatian pemikir-pemikir Barat. Yang dimaksud dengan ide hakikat ganda Ibnu Rusyd adalah "Memiliki arti bahwa Ibnu Rusyd ingin membedakan antara hakikat yang dibawa oleh agama dan hakikat yang dipahami oleh para filosof". Setelah menukilkan dan menjelaskan teori hakikat ganda milik Rusyd, penulis kemudian melakukan analisa kritis terhadapnya. Yang paling menarik dalam bab ini adalah usaha penulis untuk menerapkan teori ini dalam berbagai disiplin ilmu; dimulai dari hubungan antara agama dan negara sampai masalah pluralisme agama. Pada akhir dari bab ini, Dinani menukil ibarat Ibnu Rusyd dan menganalisanya dan menyimpulkan bahwa sebenarnya ide Rusyd tidak bermakna ada dua hakikat tapi ada dua tingkatan hakikat; batin dan lahir. Mereka yang meyakini bahwa hakikat ada dua, dan bukan dua tingkatan, tidak tepat dalam memahami ibarat Ibnu Rusyd.

Bab ketiga "Musuh para teolog telah menggantikan mereka". Pada bab ini, dapat ditemukan kajian Dinani tentang hubungan pemikiran keagamaan Ibnu Rusyd dan Ghazali. Di sini, penulis membawakan contoh-contoh pentakwilan dari Ibnu Rusyd. Setelah membawakan contoh-contoh itu, penulis kemudian melakukan analisa. Akhirnya, Dinani meyakini bahwa kritikan dan cibiran Ibnu Rusyd terhadap para teolog mencakup dirinya juga. Mengapa demikian? Dinani melihat bahwa Ibnu Rusyd dari sisi kefaqihan dan pemikirannya membuatnya lebih mirip ahli teolog.

Bab keempat membicarakan usaha Ibnu Rusyd untuk mengharmoniskan fiqih dan filsafat. Cara pandang ibnu Rusyd terhadap fiqih membawa pada keyakinan akan terbukanya pintu ijtihad. Sayangnya, itu tidak diikuti dengan penjelasan yang lebih tentang substansi ijtihad dan bagaimana terbukanya pintu ijtihad itu.

Bab kelima "Tahafut at-Tahafut Ibnu Ruysd kritikan terhadap Ghazali ataukah kepada Ibnu Sina?". Bab ini menganalisa dua buku masyhur Ghazali dan Ibnu Rusyd. Di sela-sela itu, penulis membawakan pemikiran Ibnu Sina. Bab ini sangat menarik, karena penulis secara terperinci dan luas mengkaji kehidupan dan aktivitas sosial Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina. Informasi ini sangat menarik karena menyingkap banyak hubungan-hubungan yang selama ini tidak diperhatikan. Dan denganmembaca buku ini, semua itu dapat teraba dengan baik.

Bab keenam masih merupakan kelanjuta bahasan sebelumnya. Bab ini merupakan bagian paling sensasional. Karena membahas perbedaan antara Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina. Perbedaan mendasar pada masalah paling prinsip "hubungan antara mahiyah dan wujud". Penulis meyakini akan pentingnya masalah ini. Oleh karenanya, dengan sabar ia membahas masalah ini sejelas mungkin. Di akhir bab ini, penulis membawakan pandangan Ibnu Rusyd sambil juga membawakan pandangan pemikir-pemikir Islam dan kemudian menganalisanya.

Bab ketujuh "Ibnu Rusyd dan usaha menetapkan keberadaan Allah dengan dua dalil; Inayah dan Ikhtira'". Cara menetapkan keberadaan Allah lewat argumentasi imkan dan wujub tidak diterima oleh Ibnu Rusyd. Untuk itu, ia menawarkan argumentasi lain. Pertama, argumentasi Inayah yang berlandaskan kesiapan dunia untuk manusia dan tersedianya segala sesuatu untuk mannusia di dunia. Kedua, argumentasi Ikhtira', di mana manusia adalah mukhtara' (yang dibuat/dicipatakan) perlu akan mukhtari' (pencipta). Dalam bab ini, Dinani menganalisa pendapat ibnu Rusyd dengan membandingkannya dengan pendapat para filosof lainnya.

Bab kedelapan penulis membahas pengertian "Ghair Mutanahi bil Fi'l". Apakah pengertian ini kontradiksi atau tidak, dikaji secara terperinci. Pengertian istilah ini merupakan kajian yang dibahas baik dalam filsafat Yunani dan Islam. Istilah ini sangat erat kaitannya dengan teori fisika dan meta fisika. Di sini, Dinani membahasnya dari sudut pandang Ibnu Rusyd dan pemikir lainnya.

Bab kesembilan membahas tentang "Kulli Tabi'i". Pertanyaan penting dalam masalah ini adalah, "apakah kulli tabi'i ada secara faktual?" Masalah wujud kulli merupakan kajian paling penting dalam sejarah filsafat. Dinani, membawakan pandangan para filosof Paripatetik, khususnya Ibnu Rusyd, sekaligus bentuk penafsiran-penafsirannya atas masalah ini.

Bab kesepuluh "Ibnu Rusyd beribicara tentang Maqashid Syariah". Filosof paling pertama yang berbicara tentang masalah ini adalah Ibnu Rusyd. Ia menolak cara pandang Mu'tazilah dan Asya'irah dan membawakan pandangannya dalam masalah ini. Menurutnya, mengetahui maqashid syariah sangat membantu seorang teolog dan faqih.

Bab sebelas "Tanpa akal fa'al tidak ada yang dapat berpikir". Posisi Ibnu Rusyd dalam masalah akal dijelaskan panjang lebar. Dalam bab ini dijelaskan mengenai tahapan-tahapan pengetahuan mulai dari akal hayulani hingga akal fa'al. Dijelaskan juga mengenai kekhususan setiap tahapan dan bagaimana mendapatkan pengetahuan. Akal fa'al bagi para pensyarah Aristoteles merupakan bahasan yang penting, namun senantiasa buram dan ambigu. Itulah yang membuat Ibnu Rusyd membahas masalah ini juga. Di akhirnya dijelaskan pandangan Ibnu Rusyd tentang akal fa'al.

Bab kedua belas membahas kekhususan metode Ibnu Rusyd dalam tafsirannya terhadap filsafat Aristoteles. Bab ini masih merupakan kelanjutan kajian epistemologi filosof Andalusia ini dan hubungannya dengan disiplin lain seperti teologi.

Bab terakhir "Menurut Ibnu Rusyd, argumentasi rasional merupakan masalah batin". Pertemuan Ibnu Rusyd dengan Ibnu Arabi dan apa saja yang terjadi dengan keduanya dijelaskan di sini. Dari sini, penulis menuliskan kesamaan dan perbedaan antara dua pemikir besar ini. Yang satunya adalah tokoh Paripatetik dan satunya lagi tokoh tasawwuf. Selain itu, penulis juga membahas pikiran-pikiran lain Ibnu Rusyd.

Pentingnya buku ini karena ditulis oleh filosof tentang seorang filosof yang tidak begitu dikenal. Padahal, Ibnu Rusyd merupakan filosof penting Islam. Buku ini tidak hanya sekedar sejarah. Namun, sebagaimana tulisan lain profesor Dinani "Ma Jara-ye Fekre Falsafi Dar Jahan-e Eslam", buku ini dipenuhi dengan analisa mendalam dan menarik petualangan akal dalam pemikiran dan hati kaum muslimin. Mungkin itulah yang mendasari penulis untuk tidak memberikan sebuah tempat khusus untuk menuliskan sejarah hidup Ibnu Rusyd secara lengkap. Namun, di sela-sela pembahasannya setiap kali perlu menjelaskan kehidupan Ibnu Rusyd itu dilakukannya.

Penjelasan global seperti ini tidak dapat menjelaskan substansi buku ini. Sudah pasti bahwa tidak ada model pengetahuan apapun yang dapat menggantikan membaca. Bagi yang ingin membaca buku ini disyaratkan sedikit banyak telah mengetahui tentang filsafat Islam dan sejarahnya.

Buku ini dapat menjadi jembatan untuk lebih mengenal siapa Ibnu Rusyd, sekaligus menghidupkan kembali sisi-sisi yang selama ini tersembunyi dari filsafat dan budaya Islam. Kecemerlangan filsafat Islam membutuhkan karya-karya seperti ini.

Tentang Profesor Ghulam Hossein Ebrahimi Dinani

Doktor Ghulam Hossein Ebrahim Dinani lahir pada tahun 1313 HS atau kira-kira 72 tahun lalu di desa Dinan bagian dari propinsi Isfahan. Di tempat kelahirannya ia menyelesaikan SD nya. Pada waktu itu, keinginannya keras sekali untuk belajar agama. Ini mengantarkannya belajar fiqih, usul fiqih, nahwu, saraf, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Ia belajar pada Syaikh Muhammad Ali Habib Abadi dan Syaikh Abbas Ali Habib Abadi.

Beliau pada tahun pertama dari dekade 1330, 55 tahun lalu, pergi ke Qom. Di sana, secara serius ia melanjutkan pendidikannya. Di Qom, ia belajar Syarah Lum'ah, Rasail, Makasib. Begitu juga ia mengikuti bahts kharijnya di sana. Ia belajar pada Syaikh Abdul Javad Sedehi, Sulthani Thaba'taba'i, Mujahidi, Imam Khomeini, Sayyid Muhammad Damad, Ayatullah Boroujerdi dan lain-lain. Pada saat yang sama, ia juga belajar Asfar Mulla Shadra dan Syifa Ibnu Sina kepada Allamah Thaba'thaba'i. Daya tarik pelajaran Allamah membuat profesor Dinani mengikuti kelas khususnya. Dan dengan izin dari Allamah ia mengikutinya.

Pada tahun 1340, 40 tahun lalu, ia berhijrah menuju Teheran. Ia mengikuti ujian dan berhasil mengikuti kuliah di fakultas ushuluddin universitas Teheran. Di fakultas ini, ia bertemu dengan pemikir-pemikir seperti doktor Javad Muslih, Malekshahi dan Rashid memberikan mata kuliah. Pada masa-masa itu, ia diterima oleh kementrian pendidikan sebagai pegawai negeri.

Pada tahun 1350, berdasarkan usulan Syahid Murtadha Muthahhari ia mengikuti ujian untuk menjadi asisten dosen di universitas Ferdousi Mashad. Ia di dua bidang; sejarah agama dan filsafat meraih urutan pertama. Ia kemudian memilih untuk lebih banyak aktif di bagian filsafat. Pada saat yang sama ia menyelesaikan program doktornya di Teheran. Akhirnya beliau secara resmi di terima di bagian filsafat universitas Ferdousi Mashad.

Doktor Dinani pada tahun 1361 dipindahkan ke Teheran masih dalam kelompok yang sama, filsafat. Semenjak itu, ia menjadi anggota tim studi filsafat universitas Teheran. Selain di bidang filsafat punya pandangan-pandangan khusus, ia juga seorang pemikir dalam bidang irfan dan fiqih. Dan dalam dua bidang ini, ia mempunyai banyak tulisan.[Saleh L].

FILSAFAT IBNU SINA





I. PENDAHULUAN

Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad[1].

Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode - metode dan alasan - alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam[2].



II. BIOGRAFI

Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman[3].Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya[4]. Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.

Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang - cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi [5]

Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang - orang sakit[6].Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku - buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering - sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya[7].

Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu[8] .Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya secara sistematis.

Dalam bidang materia medeica, Ibnu Sina telah banyak menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga - dimana tumbuh - tumbuhan banayak membantu terhadap bebebrapa penyakit tertentu seperti radang selaput otak (miningitis).

Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali pusarnya.

Dia jugalah yang mula - mula mempraktekkan pembedahan penyakit - penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan last but not list dia juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa dengan cara - cara modern yang kini disebut psikoterapi.

Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan - peperangan yang meraja lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.”[9]

Selain kepandaiannya sebagai flosof dan dokter, iapun penyair. Ilmu - ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati buku - buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair.

Kebanyakan buku - bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang - orang Eropa diabad tengah, mulai mempergunakan buku - buku itu sebagai textbook, dipelbagai universitas. Oleh karena itu nama Ibnu Sina dalam abad pertengahan di Eropah sangat berpengaruh[10].

Dalam dunia Islam kitab - kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku - bukunya dalam bahasa Persia, telah diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954.

Karya - karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan - karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya[11].

Sekalipun ia hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk dengan soal negara, ia menulis sekitar dua ratus lima puluh karya. Diantaranya karya yang paling masyhur adalah “Qanun” yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke baasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di Universita Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental “Kitab As-Syifa”. Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam. [12]

Diantara karangan - karangan Ibnu Sina adalah :

1. As- Syifa’ ( The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku tentang Penyembuhan).

Buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu :

1.1 Logika (termasuk didalamnya terorika dan syair) meliputi dasar karangan Aristoteles tentang logika dengan dimasukkan segala materi dari penulis - penulis Yunani kemudiannya.

1.2 Fisika (termasuk psichologi, pertanian, dan hewan). Bagian - bagian Fisika meliputi kosmologi, meteorologi, udara, waktu, kekosongan dan gambaran).

1.3 Matematika. Bagian matematika mengandung pandangan yang berpusat dari elemen - elemen Euclid, garis besar dari Almagest-nya Ptolemy, dan ikhtisar - ikhtisar tentang aritmetika dan ilmu musik.

1.4 Metafisika. Bagian falsafah, poko pikiran Ibnu sina menggabungkan pendapat Aristoteles dengan elemen - elemennya Neo Platonic dan menyusun dasar percobaan untuk menyesuaikan ide-ide Yunani dengan kepercayaan - kepercayaan.

Dalam zaman pertengahan Eropa, buku ini menjadi standar pelajaran filsafat di pelbagai sekolah tinggi.

2. Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.

3. Qanun, buku ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).

4. Sadidiyya. Buku ilmu kedokteran.

5. Al-Musiqa. Buku tentang musik.

6. Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.

7. Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat.

8. Danesh Nameh. Buku filsafat.

9. Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.

10. Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar ilmu logika secara lengkap.

11. Hikmah el Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).

12. Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati.

13. Al-Hudud. Berisikan istilah - istilah dan pengertian - pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat.

14. Al-Isyarat wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil - dalil dan peringatan - peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.

15. An-Najah, (buku tentang kebahagiaan Jiwa)

16. dan sebagainya[13]

Dari autobiografi dan karangan - kaangannya dapat diketahui data tentang sifat - sifat kepribadianhya, misalnya :

1. Mengagumi dirinya sendiri

Kekagumannya akan dirinya ini diceritakan oleh temannya sendiri yakni Abu Ubaid al-Jurjani. Antara lain dari ucapan Ibnu Sina sendiri, ketika aku berumur 10 tahun aku telah hafal Al-Qur’an dan sebagian besar kesusateraan hinga aku dikagumi.

2. Mandiri dalam pemikiran

Sifat ini punya hubungan erat sudah nampak pada Ibnu Sina sejak masa kecil. Terbukti dengan ucapannya “Bapakku dipandang penganut madzhab Syi’ah Ismailiah. Demikian juga saudaraku. Aku dengar mereka menyebtnya tentang jiwa dan akal, mereka mendiskusikan tentang jiwa dan akal menurut pandangan mereka. Aku mendengarkan, memahami diskusi ini, tetapi jiwaku tak dapat menerima pandangan mereka”.

3. Menghayati agama, tetapi belum ke tingkat zuhud dan wara’.

Kata Ibnu Sina, setiap argumentasi kuperhatikan muqaddimah qiyasiyahnya setepat - tepatnya, juga kuperhatikan kemungkinan kesimpulannya. Kupelihara syarat - syarat muqaddimahnya, sampai aku yakin kebenaran masalah itu. Bilamana aku bingung tidak berhasil kepada kesimpulan pada analogi itu, akupun pergi sembahyang menghadap maha Pencipta, sampai dibukakan-Nya kesulitan dan dimudahkan-Nya kesukaran.

4. Rajin mencari ilmu, keterangan beliau “saya tenggelam dalam studi ilmu dan membaca selama satu setengah tahun. Aku tekun studi bidang logika dan filsafat, saya tidak tidur satu malam suntuk selama itu. Sedang siang hari saya tidak sibuk dengan hal - hal lainnya”

5. Pendendam. Dia meredam dendam itu dalam dirinya terhadap orang yang menyinggung perasaannya. Dia hormat bila dihormati.

6. Cepat melahirkan karangan

Ibnu Sina dengan cepat memusatkan pikirannya dan mendapatkan garis - garis besar dari isi pikirannya serta dia dengan mudah melahirkannya kepada orang lain. Menuangkan isi pikiran dengan memilih kalimat/ kata-kata yang tepat, amat mudah bagi dia. Semua itu berkat pembiasaan, kesungguhan dan latihan dan kedisiplinan yang dilakukannya.[14]

Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicena (Spanyol aven Sina) dan kemasyhurannya di dunia Barat sebagai dokter melampaui kemasyhuran sebagai Filosof, sehingga ia mereka beri gelar “the Prince of the Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama Al-Syaikh- al-Rais. Pemimpin utama (dari filosof - filosof)[15].

Meskipun ia di akui sebagai seorang tokoh dalam keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi baginya minum – minuman keras itu boleh, selama tidak untuk memuaskan hawa nafsu. Minum – minuman keras dilarang karena bias menimbulkan permusuhan dan pertikaian, sedangkan apabila ia minum tidak demikian malah menajamkan pikiran.

Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal, al-Ghazali bahwa Ibnu Sina pernah berjanji kepada Allah dalam salah satu wasiatnya, antara lain bahwa ia akan menghormati syari’at tidak melalaikan ibadah ruhani maupun jasmani dan tidak akan minum – minuman keras untuk memuaskan nafsu, melainkan demi kesehatan dan obta.

Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas -aktifitas kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis, sehingga ia mempunyai sakit maag yang tidak dapat terobati. Di usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan.



III. PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU Sina

A. Filsafat Jiwa

Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku - buku yang khusus untuk soal - soal kejiwaan ataupun buku - buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.

Memang tidak sukar untuk mencari unsur - unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran - piiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran- pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri atau pikiran - pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan metafisika.

Dalam segi fisika, ia banyak memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika terdapat kedalaman dan pembaharuan yang menyebabkan dia mendekati pendapat - pendapat filosof modern[16].

Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot[17].

Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.

Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mngandung arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan – akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan.

Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke peniadaan sifat – sifat Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt, maka kaum filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi ke faham emanasi atau al-faidh. Lebih dari mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat faham tauhid tidak murni lagi[18].

Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada[19]. Berfikirnya Allah tentang dzatnya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya[20]

Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya[21]

Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.

Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :

1. Segi fisika yang membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan - kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain - lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.

2. Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa[22].

Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :

1. Jiwa tumbuh - tumbuhan ( ) dengan daya - daya :

- Makan ( nutrition)

- Tumbuh ( growth)

- Berkembang biak ( reproduction)

2. Jiwa binatang ( ) dengan daya - daya :

- Gerak ( locomotion)

- Menangkap ( perception) dengan dua bagian :

* Menagkap dari luar dengan panca indera

* Menangkap dari dalam dengan indera - indera dalam.

- Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera

- Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama

- Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi

- Estimasi yang dapat menangkap hal - hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.

- Rekoleksi yang menyimpan hal - hal abstrak yang diterima oleh estimasi.



3. Jiwa manusia ( ) dengan daya - daya :

- Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal - hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :

a. Akal materiil yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.

b. Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal abstrak.

c. Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.

d. Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya[23].

Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh - tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan.

Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir[24].

Sedangkan menurut al-Ghazali di dalam buku – buku filsafatnya dia menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah – ubah yaitu al-Nafs atau jiwanya[25]. Adapun yang dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri yang tidak bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan – pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr. Hal ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Substansi yang pertama dinamakan badan (al-jism) dan substansi yang kedua disebut jiwa (al-nafs).[26]

Jiwa (al-Nafs) memiliki daya – daya sebagai derivatnya dan atas dasar tingkatan daya – daya tersebut, pada diri manusia terdapat tiga jiwa (al-nufus al-tsalatsah) :

Pertama jiwa tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah) merupakan tingkatan jiwa yang paling rendah dan memiliki tiga daya 1) daya nutrisi (al-ghadiya), 2) daya tumbuh (al-munmiyah) dan 3) daya reproduksi (al-muwallidah), dengan daya ini manusia dapat berpotensi makan, tumbuh dan berkembang biak sebagaimana tumbuh – tumbuhan.

Kedua, jiwa hewani/sensitive (al-nafs al-hayawaniyah) yang memiliki dua daya 1) daya penggerak (al-mukharikah) dan 2) daya persepsi (al-mudrikah). Pada penggerakn (al-mukharikah) terdapat dua daya lagi yaitu 10 daya pendorong (al-baitsah) dan 2) daya berbuat (al-fa’ilah). Hubungan antara daya pertama dengan daya kedua sebagaimana hubungan daya potensi dan aktus, tetapi keduanya bersifat potensial sebelum mencapai aktualisasinya. Yang pertama merupakan kemauan dan yang kedua merupakan kemampuan. Karena itu al-Ghazali menyebut yang pertama iradah dan yang kedua qudrah.

Ketiga, jiwa rasional (al-nafs al-natiqah). Mempunyai dua daya !) daya praktis (al-‘amilah) dan 20 daya teoritis (al-alimah). Yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui daya – daya jiwa sensitive / hewani. Sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh akal teorities. Yang dimaksud akal teoritis adalah al-‘alimah, sebab jiwa rasional disebut juga al ‘aql. Al-‘alimah disebut juga akal praktis. Akal praktis merupakan saluran yang menyampaikan gagasan akal teoritis kepada daya penggerak[27].

Al-Ghazali didalam Tahafut al-Falasifah menyangkal 20 buah kesalahan para filosof muslim beserta pendahulu – pendahulu mereka yang berpaham teistik di Yunani. Para filosof yang disangkal oleh al-Ghazali ini terbagi kedalam tiga kelompok[28] :

1. Filosof – filosof materialistik (dahriyyun)

Mereka adalah ateis – ateis yang menyangkal adanya Allah dan merumuskan kekekalan alam dan terciptanya alam dengan sendirinya.

2. Filosof – filosof naturalis atau desitik (thabi’iyyun).

Mereka melaksanakan berbagai riset di dalam alam semesta dan segala sesuatu yang menakjubkan di dalam dunia binatang dan tumbuh – tumbuhan. Melalui riset-riset itu mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban – keajaiban di dalam ciptaan Allah dan mereka menemukan kebijaksanaan-Nya sehingga akhirnya mereka mau tak mau mengakui adanya satu pencipta yang Maha Bijaksana. Walaupun demikian mereka tetap menyangkal adanya hari pengadilan, kebangkitan kembali dan kehidupan akhirat. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa, karenanya mereka memuaskan nafsu – nafsu mereka seperti binatang.

3. Filosof – filosof teis (ilahiyyun).

Mereka adalah filosoh – filosof Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah mengkritik filosof – fiosof teis sebelumnya, termasuk Socrates dan Plato. Walaupun begitu, menurut al-Ghazali, Aristoteles masih mempertahankan sisa – sisa kekafiran dan kebid’ahan mereka yang tak berhasil dilepaskannya.

Filsafat Aristoteles seperti yang disebarluaskan oleh penerjemah – penerjemah dan komentator – komentator karyanya (pengikutnya) khususnya al-Farabi dan Ibnu Sina terbagi ke dalam 3 kelompok :

a. Filsafat – filsafatnya yang harus dipandang kufur.

b. Filsafat – filsafatnya yang menurut Islam adalah bid’ah.

c. Filsafat – filsafatnya yang sama sekali tak perlu disangkal.

Tiga masalah yang menyebabkan kufur tersebut adalah :

Pertama, bahwa Allah hanya mengetahui hal – hal yang besar – besar dan tidak mengetahui hal – hal yang kecil - kecil[29].

Kedua, bahwa alam ini azali atau kekal, tanpa permulaan[30].

Ketiga, bahwa di akhirat kelak yang dihimpun adalah ruh manusia bukan jasadnya[31]

Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu :

1. Dalil alam - kejiwaan (natural psikologi).

2. Dalil Aku dan kesatuan gejala - gejala kejiwaan.

3. Dalil kelangsungan (kontinuitas).

4. Dalil orang terbang atau orang tergantung di udara[32]







Dalil – dalil tersebut apabila diuraikan satu persatu adalah sebagai berikut :

1. Dalil Alam Kejiwaan

Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa – peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan (idrak, pengetahuan).

Gerak ada dua macam yaitu :

1) Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.

2) Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :

a. Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.

b. Gerak yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sdang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur – unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut ialah jiwa.

Pengenalan (pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua – duanya dari Aristoteles.

Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan – kelemahan antara lain bahwa natural (physic) pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda – benda tersebut hanya terdiri dari unsur – unsur yang satu maca, sedang benda – benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur – unsurnya). Oleh karena itu maka tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda – benda yang bergerakmelawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsur – unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat – alat (mesin ) yang bergerak dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun tidak mengira bahwa alat – alat (mesin – mesin) terseut berisi jiwa atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ulama – ulama biologi sendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis dan dinamis, tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi (kejiwaan).

Nampaknya Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam kitab – kitab yang dikarang pada masa kematangan ilmunya, seperti al-syifa dan al-Isyarat, dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan ia lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan atas segi – sehi pikiran dan jiwa, yang merupakan genitalianya Ibnu sina.[33]

2. Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.

Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya keluar atau saya tidur, maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.[34]

3. Dalil Kelangsungan (kontinuitas).

Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada hubngannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Kalau kita ini bergerak dalam mengalami perubahan, maka gerakan – gerakan dan perubahan tersebut bertalian satu sama lain dan berangkai – rangkai pula. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi karena peristiwa – peristiwa jiwa merupakan limphan dari sumber yang satu dan beredar sekitar titik tarik yang tetap.

Ibnu Sina dengan dalil kelangsungan tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam, bahkan telah mendahului masanya beberapa abad, karena pendapatnya tersebut dipegangi oleh ilmu jiwa modern dan telah mendekati tokoh – tokoh pikir masa sekarang.[35]

4. Dalil Orang Terbang atau Tergantung di Udara.

Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota – anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut tidak akan ragu – ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.

Dalil Ibnu Sina tersebut seperti halnya dengan dalil Descartes, didasarkan atas suatu hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda – beda mengharuskan adanya perkara – perkara yang berbeda – beda pula. Seseorang dapat melepaskan dirinya dari segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar kepribadian dan dzatnya sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita ketahui dengan adanya perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja yang kita ketahui dengan langsung, yaitu jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang wujudnya, meskipun sebentar saja, karena pekerjaan – pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan adanya jiwa tersebut.[36]



B. Filsafat Wujud.

Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain.

Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :

1. Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’ ( ) yaitu sesuatu yang mustahil berwujud ( - impossible being).

2. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin ( ) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.

3. Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut mestiberwujud ( ) yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud[37].

Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib[38]. Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman[39].

Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah “kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.

“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :

Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah (hal. 372) Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar) - dari wuwud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.

Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.

Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.

Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia, akrena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih - lebih lagi pada dzat-Nya.

Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan[40].

Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan.


C. Falsafat Wahyu dan Nabi

Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.

Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi - nabi[41].

Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol – simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong ?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan – tujuan dan prinsip – prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi – memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.[42]



III. PENUTUP

¨ Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya secara simultan mewarnai alam pikirannya. Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai seorang yang agamis dalam berfilsafat, sementara al-Ghazali menjulukinya sebagai Filsuf yang terlalu banyak berfikir.

¨ Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dariNyalah memancar segala yang ada.

¨ Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).

¨ Pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah.












DAFTA PUSTAKA



Al-Ahwan, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1984

Al-Ghazali Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, al-Munqidz min al-Dlalah wa al-Muwassil ila dzi al-Izzah wa al-Jalal, Lebanon, Beirut, 1967

____________, Madarij al-Salikin, Kairo, tsaqofah Islamiyah, 1964

____________, Ma’rij al-Quds fi Madaarij Ma’rofah al-Nafs, Kairo, Maktabah al-Jund, 1968

____________, Tahafut al-Falasifah, Kairo, Mesir, Maktaba’ah al-Qahirah, 1903

Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para filosof Muslim, Yogyakarta, Al-Amin Press, 1997

Daudy Ahmad, Dr. MA., Kuliah Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986

_____________, Segi - Segi Falsafi dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984

Hanafi, Ahmad, MA, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986

Imam Munawir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1985

Nasution, harun, Prof., Dr., Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 1996

_____________, Falsafat dan Msitisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1992

Oemar Amin Husein, Dr., Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975

Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung, PT remaja Rosdakarya, 1991

Syarif, MM., MA., Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan, 1994

Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Semarang, Dina Utama Semarang, 1993

Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Sina (Avecenna) sarjana dan Filosof Dunia, Jakarta, Bulan Bintang, 1949






SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA

Teori G.H. Mead berpendapat ”Dalam proses sosialisasi itu individu mengadopsi kebiasaan, sikap dan ide-ide dari orang lain, dan menyusunnya kembali sebagai suatu sistem dalam diri pribadinya”[1]

TANGGAPAN SOSIOLOGIS

TERHADAP SISTEM PENDIDIKAN NASIOAL INDONESIA.

Pembangunan nasional dalam bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kwalitas manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlaq mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pasal 31 Ayat (3) menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlaq yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang, Untuk itu seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupan salah satu tujuan negara Indonesia.[2]. Dan salah satu sistem untuk dapat mencapai tujuan negara tersebut adalah memrenovasi, dan membetulkan sistem pendidikan yang hasilnya kurang memuaskan pada saat ini.

Pendidikan dalam konteks upaya merekonstruksi suatu peradaban makhluk sosial merupakan salah satu kebutuhan (jasa) asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya.

Menurut Sumadi Suryabrata dalam buku psikologi pendidikan mengatakan ”Pendidikan adalah perlakuan terhadap anak didik yang secara psikologis perlakuan tersebut harus selaras dengan keadaan anak didik”.[3] Dan dalam proses pendidikan perlunya pendidik yang dapat memberikan bantuan kepada anak didik agar dapat berkembang secara wajar melalui bimbingan, pemberian bahan pelajaran yang berstruktur dan berkualitas.

Menurut Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan.[4]

Berdasarkan beberapa teori tersebut bagaimanakah dengan keadaan pendidikan nasioanal Indonesia saat ini? Menurut tanggapan penulis bahwa sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya jangan sampai terlepas dari fitrah kehidupan manusia itu sendiri sebagai mahluk yang percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa serta mahluk sosial diantaranya adalah menjalani kehidupan ini sesuai dengan aturan-aturan kehidupan yang telah ditetapkan oleh penciptanya, yaitu Allah Swt karena Dia yang paling mengetahui segalanya tentang makhluk ciptaan-Nya. Mengenai upaya negara untuk dapat mencapai sebagai mana termaktub dalam UUD Pasal 13 Ayat (3). Itu pada saat ini memang sudah ada usaha, namun dalam usahanya masih kurang maksinal dan salah kaprah, Mengapa?

1. Kurang konsisten dan tegasnya serta jelasnya pemerintah terhadap tujuan yang akan dicapai. Hal ini bukan tanpa alasan tetapi penulis dapat melihat pada eksestensi sistem dan proses pendidikan nasioanl yang berjalan pada saat ini?, dimana sistem pendidikannnya baik melihat dari kurikulum yang sering berubah-ubah lain mentri lain sistem, lain presiden lain sistem, hal ini menunjukkan kebingungan pemerintah dalam menentukan teori dan metode yang akan digunakanya. Sehingga tidak salah jika ada orang yang mengatakan bahwa sistem pendidikan nasioanal Indonesia adalah sistem kebingungan dan sistem coba-coba, memangnya enak coba-coba pada anaknya sendiri, anak kok dibuat coba-coba iya kalau kena pada madu tidak masalah tetapi jika kena pada racun akan berakibat pada generasi Indonesia yang tercinta ini akan hamblas dan hancur.

2. Membaurnya pengertian modernisasi terhadap kemajuan pendidikan yang kurang jelas, dan kurang spesifikasi tentang modernisasi dan kemajuan. Sehingga para peserta didik atau anak bangsa Indonesia tidak bisa membedakan modernisasi dibidang apa? Dan kemajuan dibidang apa? Apakah kemajuan dibidang kemaksiatan, kenakalan remaja, koropsi, trafingking, buruknya moral dan pelanggaran terhadap norma agama, apa ini yang di namakan kemajuan atau modernis. Ini adalah merupakan suatu permasalah yang lagi ada dalam dunia nyata dan telah memasuki bahkan telah menjadi racun dalam dada penerus bangsa ini. Dan hal ini jangan sampai kita terlena atau diam seribu bahasa dengan keadaan yang sangat membahayakan atau akan merusak bahkan bisa juga menghancurkan bangsa ini, atau bisa juga akan menjatuhkan pada kehancuran. Kalau kita mau ayo berteriak dengan lantang bahwa pendidikan kita kurang berhasil untuk mencetak manusia yang di agan-agankan dalam pasal UUD Pasal 13 Ayat (3). Jadi solusinya adalah kita harus bangkit kembali dan mereformasi untuk memperjelas kemajuan dibidang apa? Dan moderen dibidang apa?, yang akan kita kembangkan untuk menunjang dan berkembangnya sosial budaya dan kemasyarakat yang ada dalam negeri kita ini. soalnya mengapa? Karena tidak semua sistem pendidikan yang ada di negeri ini yang telah ditrapkan sejak dahulu adalah merupakan suatu sistem yang kurang baik salah satu contoh adalah tidak sedikitnya hasil dari sistem pendidikan yang telah di kalukan terdahulu, bisa menghasilkan generasi yang berakhlakul karimah, tidak korupsi, dan cinta pada tanah air ini dengan ikhlas, tapi tidak bisa membuat lek top atau bom nuklir itu saja. Dengan demikian maka hendaknya dalam sistem pendidikan nasional kita hendaknya selalu mengambil pada sesuatu pedoman yang lama dan bermanfaat dan mengambil sesuatu yang baru juga ber manfaat. Namun dalam batasan tidak mengambil asal-asalan kita harus konsesten terhadap tujuan bersama kita.

3. Terlalu banyak mengadopsi kebiasaan, sikap dan ide-ide dari orang barat yang tidak disaring apakah sesuai dengan religius dan keadaan sosial budaya nasional Indonesia atau tidak itu kurang dipikirkan salah satu contohnya adalah: banyaknya kebudayaan sosial orang-orang barat yang diambil baik dalam tiori pembelajaran, penyampaian pembelajaran dan bahkan cara penyampainyan juga ala barat dan lain sebagainya, sehingga kadang kala kita jumpai dalam mengadakan interaksi antara murid dan guru, gurunya ada diatas meja dan murid duduk di kursi, budaya interaksi seperti ini adalah merupakan budaya orang barat, sebenarnya tidak dosa namun kurang sopan, karena guru adalah di gugu dan ditiru jadi jangan salahkan siapa-siapa jika muridnya kurang ajar. Dahulu tanaman pendidikan kita selalu dibatasi dan di naungi dengan budaya sosial agamis dan moralits yang tinggi sampai di terkenal dengan istilah ”molimo” kata orang jawa yaitu merupakan suatu aturan sosial kemasyarakatan sehingga menyebabkan interaksi sosial yang damai dan tentram, dan jika terjadi pelanggaran terhadapnya mereka akan mengalami tekanan mental dan hubungan interaksi sosila kemasyarakatan yang kurang harmonis. Maksud dari istilah molimo itu adalah minum( arak), Medon( berzinah/ main perempuan), Maling (mencuri), madat (pengisap candu),maksiyat (melakukan perbuatan yang kurang baik). Namun sekarang tanaman pendidikan nasional kita yang terdapat, tidak dapat menyentuh dan memperbaiki moral genrasi penerus bangsa ini, hal ini disebabkan karena kurangnya proses sosialisasi tentang tanaman sosilal budaya yang sifatnya moralitas tidak di berikan sejak dini atau sejak anak masih belum bisa menggunakan fikirannya secara sempurna, ia itu ketika anak masih aktif dan besar untuk mengadopsi kebiasaan orang tua atau guru atau pendidik, sehingga anak akan mudah untuk melakukan sesuatu yang telah diberikan baik berupa contoh atau tauladan dari apa yang telah ia lihat atau yang ia baca. Dan pendapat ini diperkuat oleh salah satu pakar sosiologi, G.H. Mead berpendapat ”Dalam proses sosialisasi itu individu mengadopsi kebiasaan, sikap dan ide-ide dari orang lain, dan menyusunnya kembali sebagai suatu sistem dalam diri pribadinya”[5]. Dari teori ini penulis mengatakan bahwa, mengadopsi kebiasaan, sikap dan ide-ide orang lain ini akan lebih berhasil jika dilakukan sejak usia anak masih belum bisa menggunakan akalnya secara sempurna, yaitu ketika anak masih usia muda, sehingga orang tua atau pendidik dengan mudah untuk mengarahkan cara berinteraksi dan menciptakan budaya anak-anaknya yang sesuai dengan apa yang ia cita-citakan.

4. Kurangnya pembuat kurikulum untuk melihat kemampuan anak didik dalam program pendidikan yang kita gunakan saat ini. Hal ini dapat kita lihat pada jumlah pembelajaran yang sodorkan atau di cekoki pada anak didik kita, sehingga banyak mengalami pembelajaran yang tumpang tindih dan tidak membuahkan keberhasilan yang maksimal. Keberadaan ini sebenarnya juga disebabkan karena pembuat kurikulum itu sendiri kurang memperhatikan berapa kekuatan penerima pembelajaran itu. Sehingga pelajaran yang diajarkan tidak terulang ulang misalnya; dapat kita lihat pada pelaksanaan pebelajaran di tingkat sekolah dasar ada pelajaran bahasa Indonesia , sekolah tingkat menengah juga ada, bahkan sampai perguruan Tinggi juga ada, kalau begini terus ini lama-kelamaan kita bisa menjadai generasi bahasa Indonesia yang handal namun kenyataannya kok tidak, ini kan menunjukkan kekurang berhasilan kita dalam sistem dam metode mendidik. Mengapa perlu pengulangan yang ber ulang-ulang ini bisa terjadi, karena sistem pelajaran yang di gunakan tidak sesuai dengan kemampuan anak jadi sebenarnya anak yang haya mampu untuk menerima lima pelajaran di beri sampai dua belas pelajaran akhirnya berakibat tidak sampainya pada tujuan yang diinginkan, ia itu anak tidak bisa berinteraksi dan berkomonikasi dengan baik Karena adanya pemaksaan pembelajaran yang begitu banyak dan tidak kuatnya penerima pembelajaran sehinga anak tersebut tidak bisa beraksi untuk dapat menerima atau meniru ide- ide atau sikap yang diberikan.


[1] Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan,( jakarta: PTRineka Cipta, 2004 ), hal 154.

[2] Standar Nasional Pendididkan(SNP) ,(Jakarta:Asa Mandiri,2006)hal,271.

[3] Surya subrata, Psikologi Pendidikan , (Jakarta: PTRaja Gravindo Persada,2006),hlm.5

[4] http://ayok.wordpress.com/2007/06/18/problematika-sistem-pendidikan-indonesia-gagasan-based-syaria-education/ ( diakses hari kamis tanggal 27 Nopember 2008).

[5] Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan,( jakarta: PTRineka Cipta, 2004 ), hal 154.

FILSAFAT PENDIDIKAN DAN SISTEM PENDIDIKAN TERHADAP PERAN BUDAYA DAN PEMBANGUNAN BANGSA

BAB I

PENDAHULUAN


Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Allah Yang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.

Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa, “Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap si terdidik dalam hal perkembangan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama.

Dalam tujuan Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan ditujukan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas yang dideskripsikan dengan jelas dalam UU No. 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani, berjiwa patriotik, cinta tanah air, mempunyai semangat kebangsaan, kesetiakawanan sosial, kesadaran pada sejarah bangsa, menghargai jasa pahlawan, dan berorientasi pada masa depan.

Pendidikan tidak hanya untuk kepentingan individu atau pribadi, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 1990. Selain pendidikan dipusatkan untuk membina kepribadian manusia, pendidikan juga diperuntukkan guna pembinaan masyarakat.














BAB II

PEMBAHASAN

A. Sistem Pandidikan di Indonesia.

Pembangunan nasional dalam bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kwalitas manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlaq mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pasal 31 Ayat (3) menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlaq yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang, Untuk itu seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupan salah satu tujuan negara Indonesia.[2]. Dan salah satu sistem untuk dapat mencapai tujuan negara tersebut adalah memrenovasi, dan membetulkan sistem pendidikan yang hasilnya kurang memuaskan pada saat ini.

Pendidikan dalam konteks upaya merekonstruksi suatu peradaban makhluk sosial merupakan salah satu kebutuhan (jasa) asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya.

Menurut Sumadi Suryabrata dalam buku psikologi pendidikan mengatakan ”Pendidikan adalah perlakuan terhadap anak didik yang secara psikologis perlakuan tersebut harus selaras dengan keadaan anak didik”.[3] Dan dalam proses pendidikan perlunya pendidik yang dapat memberikan bantuan kepada anak didik agar dapat berkembang secara wajar melalui bimbingan, pemberian bahan pelajaran yang berstruktur dan berkualitas.

Menurut Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan.[4]

Berdasarkan beberapa teori tersebut bagaimanakah dengan keadaan pendidikan nasioanal Indonesia saat ini? Menurut tanggapan penulis bahwa sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya jangan sampai terlepas dari fitrah kehidupan manusia itu sendiri sebagai mahluk yang percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa serta mahluk sosial diantaranya adalah menjalani kehidupan ini sesuai dengan aturan-aturan kehidupan yang telah ditetapkan oleh penciptanya, yaitu Allah Swt karena Dia yang paling mengetahui segalanya tentang makhluk ciptaan-Nya. Mengenai upaya negara untuk dapat mencapai sebagai mana termaktub dalam UUD Pasal 13 Ayat (3). Itu pada saat ini memang sudah ada usaha, namun dalam usahanya masih kurang maksinal dan salah kaprah, Mengapa?

1. Kurang konsisten dan tegasnya serta jelasnya pemerintah terhadap tujuan yang akan dicapai.
Hal ini bukan tanpa alasan tetapi penulis dapat melihat pada eksestensi sistem dan proses pendidikan nasioanl yang berjalan pada saat ini?, dimana sistem pendidikannnya baik melihat dari kurikulum yang sering berubah-ubah lain mentri lain sistem, lain presiden lain sistem, hal ini menunjukkan kebingungan pemerintah dalam menentukan teori dan metode yang akan digunakanya. Sehingga tidak salah jika ada orang yang mengatakan bahwa sistem pendidikan nasioanal Indonesia adalah sistem kebingungan dan sistem coba-coba, memangnya enak coba-coba pada anaknya sendiri, anak kok dibuat coba-coba iya kalau kena pada madu tidak masalah tetapi jika kena pada racun akan berakibat pada generasi Indonesia yang tercinta ini akan hamblas dan hancur.

2. Membaurnya pengertian modernisasi terhadap kemajuan pendidikan yang kurang jelas, dan kurang spesifikasi tentang modernisasi dan kemajuan.
Sehingga para peserta didik atau anak bangsa Indonesia tidak bisa membedakan modernisasi dibidang apa? Dan kemajuan dibidang apa? Apakah kemajuan dibidang kemaksiatan, kenakalan remaja, koropsi, trafingking, buruknya moral dan pelanggaran terhadap norma agama, apa ini yang di namakan kemajuan atau modernis. Ini adalah merupakan suatu permasalah yang lagi ada dalam dunia nyata dan telah memasuki bahkan telah menjadi racun dalam dada penerus bangsa ini. Dan hal ini jangan sampai kita terlena atau diam seribu bahasa dengan keadaan yang sangat membahayakan atau akan merusak bahkan bisa juga menghancurkan bangsa ini, atau bisa juga akan menjatuhkan pada kehancuran. Kalau kita mau ayo berteriak dengan lantang bahwa pendidikan kita kurang berhasil untuk mencetak manusia yang di agan-agankan dalam pasal UUD Pasal 13 Ayat (3). Jadi solusinya adalah kita harus bangkit kembali dan mereformasi untuk memperjelas kemajuan dibidang apa? Dan moderen dibidang apa?, yang akan kita kembangkan untuk menunjang dan berkembangnya sosial budaya dan kemasyarakat yang ada dalam negeri kita ini. soalnya mengapa? Karena tidak semua sistem pendidikan yang ada di negeri ini yang telah ditrapkan sejak dahulu adalah merupakan suatu sistem yang kurang baik salah satu contoh adalah tidak sedikitnya hasil dari sistem pendidikan yang telah di kalukan terdahulu, bisa menghasilkan generasi yang berakhlakul karimah, tidak korupsi, dan cinta pada tanah air ini dengan ikhlas, tapi tidak bisa membuat lek top atau bom nuklir itu saja. Dengan demikian maka hendaknya dalam sistem pendidikan nasional kita hendaknya selalu mengambil pada sesuatu pedoman yang lama dan bermanfaat dan mengambil sesuatu yang baru juga ber manfaat. Namun dalam batasan tidak mengambil asal-asalan kita harus konsesten terhadap tujuan bersama kita.

3. Terlalu banyak mengadopsi kebiasaan.
Sikap dan ide-ide dari orang barat yang tidak disaring apakah sesuai dengan religius dan keadaan sosial budaya nasional Indonesia atau tidak itu kurang dipikirkan salah satu contohnya adalah: banyaknya kebudayaan sosial orang-orang barat yang diambil baik dalam tiori pembelajaran, penyampaian pembelajaran dan bahkan cara penyampainyan juga ala barat dan lain sebagainya, sehingga kadang kala kita jumpai dalam mengadakan interaksi antara murid dan guru, gurunya ada diatas meja dan murid duduk di kursi, budaya interaksi seperti ini adalah merupakan budaya orang barat, sebenarnya tidak dosa namun kurang sopan, karena guru adalah di gugu dan ditiru jadi jangan salahkan siapa-siapa jika muridnya kurang ajar. Dahulu tanaman pendidikan kita selalu dibatasi dan di naungi dengan budaya sosial agamis dan moralits yang tinggi sampai di terkenal dengan istilah ”molimo” kata orang jawa yaitu merupakan suatu aturan sosial kemasyarakatan sehingga menyebabkan interaksi sosial yang damai dan tentram, dan jika terjadi pelanggaran terhadapnya mereka akan mengalami tekanan mental dan hubungan interaksi sosila kemasyarakatan yang kurang harmonis. Maksud dari istilah molimo itu adalah minum( arak), Medon( berzinah/ main perempuan), Maling (mencuri), madat (pengisap candu),maksiyat (melakukan perbuatan yang kurang baik). Namun sekarang tanaman pendidikan nasional kita yang terdapat, tidak dapat menyentuh dan memperbaiki moral genrasi penerus bangsa ini, hal ini disebabkan karena kurangnya proses sosialisasi tentang tanaman sosilal budaya yang sifatnya moralitas tidak di berikan sejak dini atau sejak anak masih belum bisa menggunakan fikirannya secara sempurna, ia itu ketika anak masih aktif dan besar untuk mengadopsi kebiasaan orang tua atau guru atau pendidik, sehingga anak akan mudah untuk melakukan sesuatu yang telah diberikan baik berupa contoh atau tauladan dari apa yang telah ia lihat atau yang ia baca. Dan pendapat ini diperkuat oleh salah satu pakar sosiologi, G.H. Mead berpendapat ”Dalam proses sosialisasi itu individu mengadopsi kebiasaan, sikap dan ide-ide dari orang lain, dan menyusunnya kembali sebagai suatu sistem dalam diri pribadinya”[5]. Dari teori ini penulis mengatakan bahwa, mengadopsi kebiasaan, sikap dan ide-ide orang lain ini akan lebih berhasil jika dilakukan sejak usia anak masih belum bisa menggunakan akalnya secara sempurna, yaitu ketika anak masih usia muda, sehingga orang tua atau pendidik dengan mudah untuk mengarahkan cara berinteraksi dan menciptakan budaya anak-anaknya yang sesuai dengan apa yang ia cita-citakan.

4. Kurangnya pembuat kurikulum untuk melihat kemampuan anak didik dalam program pendidikan yang kita gunakan saat ini.
Hal ini dapat kita lihat pada jumlah pembelajaran yang sodorkan atau di cekoki pada anak didik kita, sehingga banyak mengalami pembelajaran yang tumpang tindih dan tidak membuahkan keberhasilan yang maksimal. Keberadaan ini sebenarnya juga disebabkan karena pembuat kurikulum itu sendiri kurang memperhatikan berapa kekuatan penerima pembelajaran itu. Sehingga pelajaran yang diajarkan tidak terulang ulang misalnya; dapat kita lihat pada pelaksanaan pebelajaran di tingkat sekolah dasar ada pelajaran bahasa Indonesia , sekolah tingkat menengah juga ada, bahkan sampai perguruan Tinggi juga ada, kalau begini terus ini lama-kelamaan kita bisa menjadai generasi bahasa Indonesia yang handal namun kenyataannya kok tidak, ini kan menunjukkan kekurang berhasilan kita dalam sistem dam metode mendidik. Mengapa perlu pengulangan yang ber ulang-ulang ini bisa terjadi, karena sistem pelajaran yang di gunakan tidak sesuai dengan kemampuan anak jadi sebenarnya anak yang haya mampu untuk menerima lima pelajaran di beri sampai dua belas pelajaran akhirnya berakibat tidak sampainya pada tujuan yang diinginkan, ia itu anak tidak bisa berinteraksi dan berkomonikasi dengan baik Karena adanya pemaksaan pembelajaran yang begitu banyak dan tidak kuatnya penerima pembelajaran sehinga anak tersebut tidak bisa beraksi untuk dapat menerima atau meniru ide- ide atau sikap yang diberikan.











B. Permasalahan Pendidikan

Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama dengan sebaik-baiknya.

Filsafat dalam pendidikan (filsafat pendidikan) digunakan untuk memecahkan problem hidup dan kehidupan manusia sepanjang perkembangannya dan digunakan untuk memecahkan problematika pendidikan masa kini.
Beberapa masalah pendidikan yang memerlukan filsafat, yaitu :
1. Masalah pertama dan yang mendasar ialah tentang hakikat pendidikan.
Mengapa pendidikan itu harus ada pada manusia. Adalah merupakan hakikat hidup dan kehidupan.
Apakah hakikat manusia itu dan bagaimana hubungan antara pendidikan dengan hidup dan kehidupan manusia?
2. Apakah pendidikan itu berguna untuk membina kepribadian manusia?
Apakah potensi hereditas yang menentukan kepribadian manusia?
Apakah ada faktor yang dari luar dan lingkungan, tetapi tidak berkembang dengan baik?
3. Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu?
Apakah pendidikan itu untuk individu atau untuk kepentingan masyarakat?
Apakah pembinaan itu untuk dan demi kehidupan riil dan material di dunia ataukah untuk kehidupan di akhirat kelak?
4. Siapakah hakikatnya yang bertanggung jawab atas pendidikan?
Bagaimana hubungan tanggung jawab antara keluarga, masyarakat, dan sekolah terhadap pendidikan?
5. Apakah hakikat kepribadian manusia itu?
Manakah yang lebih untuk dididik; akal, perasaan, atau kemauannya, pendidikan jasmani atau mentalnya, pendidikan skill ataukah intelektualnya atau kesemuanya itu?
6. Apakah hakikat masyarakat dan bagaimana kedudukan individu dalam masyarakat? Apakah individu itu independen, ataukah dependen dalam masyarakat?
7. Apakah isi kurikulum yang relevan dengan pendidikan yang ideal?
Apakah kurikulum itu mengutamakan pembinaan kepribadian?
8. Bagaimana metoda pendidikan yang efektif untuk mencapai tujuan pendidikan yang ideal?
Bagaimana kepemimpinannya dan pengaturan aspek-aspek sosial paedagogis lainnya?
9. Bagaimana asas penyelenggaraan pendidikan yang baik, apakah sentralisasi, desentralisasi, ataukah otonomi, apakah oleh Negara, ataukah swasta?







Permasalahan-permasalahan tersebut dapat dijawab dengan analisa filsafat sebagai berikut :
1. Pendidikan mutlak harus ada pada manusia, karena pendidikan merupakan hakikat hidup dan kehidupan.
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk Allah yang dibekali dengan berbagai kelebihan, di antaranya kemampuan berfikir, kemampuan berperasaan, kemampuan mencari kebenaran, dan kemampuan lainnya. Kemampuan-kemampuan tersebut tidak akan berkembang apabila manusia tidak mendapatkan pendidikan. Allah SWT dengan jelas memerintahkan kita untuk “IQRO” dalam surat Al-Alaq yang merupakan kalamullah pertama pada Rosulullah SAW. Iqro di sini tidak bisa diartikan secara sempit sebagai “bacalah”, tetapi dalam arti luas agar manusia menggunakan dan mengembangkan kemampuan-kemampuan yang telah Allah SWT berikan sebagai khalifah fil ardl. Sehingga pendidikan merupakan sarana untuk melaksanakan dan perwujudan tugas manusia sebagai utusan Allah di bumi ini.
Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Sang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
2. Pendidikan berguna untuk membina kepribadian manusia.
Dengan pendidikan maka terbentuklah pribadi yang baik sehingga di dalam pergaulan dengan manusia lain, individu dapat hidup dengan tenang. Pendidikan membantu agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa kehilangan pribadinya masing-masing. Sejak dahulu, disepakati bahwa dalam pribadi individu tumbuh atas dua kekuatan yaitu : kekuatan dari dalam (kemampuan-kemampuan dasar), Ki Hajar Dewantara menyebutnya dengan istilah “faktor dasar” dan kekuatan dari luar (faktor lingkungan), Ki Hajar Dewantara menyebutnya dengan istilah “faktor ajar”.
Teori konvergensi yang berpendapat bahwa kemampuan dasar dan faktor dari luar saling memberi pengaruh, kedua kekuatan itu sebenarnya berpadu menjadi satu. Si pribadi terpengaruh lingkungan, dan lingkungan pun diubah oleh si pribadi. Faktor-faktor intern (dari dalam) berkembang dan hasil perkembangannya digunakan untuk mengembangkan pribadi di lingkungan. Factor dari luar dan lingkungan kadang tidak berkembang dengan baik, misalnya ketika pribadi terpengaruh oleh hal-hal negatif yang timbul dari luar dirinya.
3. Pendidikan adalah proses penyesuian diri.
Pendidikan dan proses penyesuaian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Sang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
Secara sederhana Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa, “Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh si pendidik terhadap si terdidik dalam hal perkembangan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama.Tujuan Pendidikan Nasional adalah menghasilkan manusia yang berkualitas yang dideskripsikan dengan jelas dalam UU No 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan GBHN 1993, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani, berjiwa patriotik, cinta tanah air, mempunyai semangat kebangsaan, kesetiakawanan sosial, kesadaran pada sejarah bangsa, menghargai jasa pahlawan, dan berorientasi pada masa depan.
Pendidikan tidak hanya untuk kepentingan individu atau pribadi, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam UUSPN dan PP No 29 Tahun 1990. selain pendidikan dipusatkan untuk membina kepribadian manusia, pendidikan juga diperuntukkan guna pembinaan masyarakat. Berikut adalah penjelasannya :
a. Pengembangan kehidupan sebagai pribadi sekurang-kurangnya mencakup upaya untuk:
1). Memperkuat dasar keimanan dan ketakwaan,
2). Membiasakan untuk berprilaku yang baik,
3). Memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar,
4). Memelihara kesehatan jasmani dan rohani,
5). Memberikan kemampuan untuk belajar, dan membentuk kepribadian yang mantap dan mandiri.
b. Pengembangan kehidupan sebagai anggota masyarakat :
1) memperkuat kesadaran hidup beragama dalam masyarakat,
2) menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam lingkungan hidup,
3) memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat.
c. Pengembangan kehidupan sebagai warga Negara mencakup upaya untuk :
1) mengembangkan perhatian dan pengetahuan hak dan kewajiban sebagai warga Negara RI, 2) menanamkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa dan Negara,
3) memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
d. Pengembangan kehidupan sebagai umat manusia mencakup upaya untuk :
1) meningkatkan harga diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat,
2) meningkatkan kesadaran tentang HAM,
3) memberikan pengertian tentang ketertiban dunia,
4) meningkatkan kesadaran tentang pentingnya persahabatan antar bangsa,
5) mempersiapkan peserta didik untuk menguasai isi kurikulum.
Pembinaan tersebut pada dasarnya dipersiapkan untuk kehidupan riil dan material di dunia serta kehidupan di akhirat kelak.
4. Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama.
Yakni keluarga, masyarakat, dan sekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama pendidikan, masyarakat sebagai tempat berkembangnya pendidikan, dan sekolah sebagai lembaga formal dalam pendidikan.
Pendidikan keluarga sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian anak. Keluarga yang menghadirkan anak ke dunia, secara kodrat bertugas mendidik anak. Kebiasaan-kebiasaan yang ada di keluarga akan sangat membekas dalam diri individu setelah individu makin tumbuh berkembang. Selanjutnya pengaruh dari sekolah dan masyarakat yang akan tertanam dalam diri anak.
5. Kata kepribadian berasal dari kata personality (bahasa Inggris) yang berasal dari kata persona (bahasa Latin yang berarti kedok/ topeng) yang maksudnya menggambarkan perilaku, watak/ pribadi seseorang.
Hal itu dilakukan oleh karena terdapat ciri-ciri yang khas yang dimiliki oleh seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian yang baik ataupun yang kurang baik.
Kepribadian adalah suatu totalitas psikophisis yang kompleks dari individu sehingga nampak di dalam tingkah lakunya yang unik. Hal-hal yang ada pada diri individu atau pribadi manusia pada dasarnya harus mendapatkan pendidikan, yakni akal, perasaan, kemauan, pendidikan jasmani atau mental, kemampuan atau keterampilan, serta intelektualnya. Semua hal tersebut dididik guna mencapai kepribadian yang baik.
6. Masyarakat merupakan tempat kedua bagi individu dalam berinteraksi.
Karena keluarga terdapat dan berkumpul dalam suatu masyarakat. Secara sadar atau tidak keadaan masyarakat cukup memberi pengaruh kepada kepribadian seseorang. Kedudukan individu dalam masyarakat merupakan kondisi atau situasi yang tidak dapat dihindari karena individu juga merupakan makhluk social yang pasti membutuhkan manusia lain dalam hidupnya. Artinya, individu itu dependen dalam masyarakat.
7. Kurikulum yang relevan dengan pendidikan yang ideal adalah kurikulum yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman.
Kurikulum menekankan pada aspek kognitif, afektif, dan pertumbuhan yang normal. Pembinaan kepribadian merupakan kajian utama kurikulum. Materi program berupa kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan self-esteem, motivasi berprestasi, kemampuan pemecahan masalah perumusan tujuan, perencanaan, efektifitas, hubungan antar pribadi, keterampilan berkomunikasi, keefektifan lintas budaya, dan perilaku yang bertanggung jawab.
8. Metode pendidikan sangat berpengaruh terhadap tercapainya tujuan pendidikan yang ideal.
Metode yang tepat jika mengandung nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik yang sejalan dengan mata pelajaran dan secara fungsional dapat dipakai untuk merealisasikan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam. Guru sebagai pendidik mempunyai tanggung jawab untuk memilih, menggunakan dan memberikan metode yang efektif dalam mencapai tujuan pendidikan yang tercantum dalam kurikulum. Kepemimpinan dan pengaturan aspek-aspek paedagogis harus dilakukan para pelaku pendidikan guna memperlancar proses tercapainya tujuan pendidikan yang ideal.
9. Pengertian-pengertian :
a. Sentralisasi, yaitu wewenang mengenai segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan diatur oleh pemerintah pusat.
b. Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan dan pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Otonomi Daerah, yaitu kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pengamatan penyusun, asas penyelenggaraan pendidikan yang baik yaitu dengan otonomi, yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan terselenggaranya proses pendidikan diatur dan dilaksanakan oleh daerah otonom berdasarkan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat, sehingga kelak para pelaku pendidikan mampu mengembangkan segala kompetensi di daAda sejumlah paradigma baru yang diharapkan mendorong perkembangan kebudayaan di tanah air, dan berperan dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Paradigma baru itu antara lain komitmen terhadap pendidikan yang bermutu, demokratis, berkeadilan dan tidak diskriminatif; pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik; peningkatan partisipasi masyarakat; kurikulum berbasis kompetensi; standar nasional pendidikan; pendanaan yang cukup dengan pengelolaan yang berdasarkan prinsip keadilan, transparansi, efisiensi dan akuntabilitas publik; menjamin keprofesionalan; serta keseimbangan antara akhlak mulia dan kecerdasan.
Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang
terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, berdasar Pancasila dan UUD 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional lndonesia dan tanggapterhadap tuntutan perubahan zaman. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dan terbuka dan multi makna, dan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural (budaya) dan kemajemukan bangsa.

C. Pendidikan dan Kebudayaan

Salah satu fungsi pendidikan secara umum yang amat penting dan strategis ialah mendorong perkembangan kebudayaan dan peradaban pada tingkatan sosial yang berbeda. Secara umum pendidikan pada level individu, membantu mengembangkan potensi dirinya menjadi manusia yang berakblak mulia, berwatak, cerdas, kreatif, sehat, estetis serta mampu melakukan sosialisasi dan transformasi, dari manusia pemain menjadi manusia pekerja dan dari manusia pekerja menjadi manusia pemikir.
Pada level yang lain pendidikan juga menimbulkan kemampuan individu menghargai dan menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka dan demokratis. Dengan demikian semakin banyak orang yang terdidik baik, maka semakin dapat dijamin adanya toleransi dan kerjasama antar budaya dalam suasana yang demokratis,yang pada gilirannya akan membentuk integrasi budaya nasional dan regional.

Peranan pendidikan terhadap kebudayaan diakui oleh semua negara. Itulah sebabnya semua negara maju menganut paradigma bahwa pendidikan adalah sektorpublik. Artinya publik dengan berdasarkan kemampuan penalaran individual yang didukung oleh akhlak mulia, maka setiap individu memiliki akses secara demokratis untuk mendapatkan pendidikan yang mutu. Jalur yang paling demokratis untuk meningkatkankualitas diri dan melakukan mobilitas sosial, adalah pendidikan. Itulah sebabnya endidikan tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar. Artinya siapa yang berani embayar mahal itulah yang dapat. Hal ini akan meruntuhkan kebudayaan dan eradaban. Justru itu negara harus mengambil peranan dengan menyediakan dana yang cukup agar pendidikan tidak terjebak pada mekanisme pasar, dan supaya pendidikan tetap berada dijalur yang benar sebagai sektor publik yang mampu berperan dalam mengembangkan kebudayaan yang rasional, demokratis, berkeadilan dan tidak
diskriminatif.

Dalam Undang-undang Sisdiknas yang akan mengikat segenap bangsa Indonesia dalam kurung waktu ke depan, telah ditetapkan tentang pendanaan pendidikan (Bab XIII) yang menjadi tanggung jawab Pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan masyarakat. Demikian juga dana pendidikan diluar gaji pendidik, dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN kesektor pendidikan dan 20% dari APBD. Jelas kemauan politik untuk menjadikan pendidikan sebagai sektor publik yang harus dibiayai oleh pemerintah, telah ditetapkan dalam Undang-undang Sisdiknas sebagai penjabaran UUD 1945 (pasal 31 ayat 4).
Selain itu dalam Undang-undang Sisdiknas sebagai salah satu prinsip pendidikan, yaitu bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, dan memberdayakan semua komponen masyarakat masyarakat (pasal 4). Bahkan secara khusus pendidikan nasional digariskan fungsinya secara jelas. yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (pasal 3). Demikian juga tujuannya jelas berkaitan dengan kebudayaan dan peradaban, yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3).
Iman dan taqwa serta akhlak mulia, sehat dan ilmu sangat diperlukan oleh setiap
individu untuk menopang kebudayaannya. Sedangkan kebudayaan dapat dipahami sebagai gagasan vital yang dimiliki oleh setiap orang dalam merespons lingkungannya.
Itulah sebabnya kebudayaan akan merasuk kesemua sektor, sehingga kini semakin dikenal istilah kebudayaan politik, kebudayaan ekonomi. kebudayaan birokrasi dan kebudayaan hukum.

D. Kebudayaan Sebagai Penguat Pembangunan

Perhatian para ilmuwan kepada kebudayaan dalam dua dekade terakhir ini memperlihatkan betapa pentingnya kebudayaan sebagai faktor utama dalam hidup manusia. Dalam era Soeharto yang menggunakan paradigma modernisasi yang telah gagal itu, memang selalu terdengar bahwa kebudayaan Indonesia tidak kondusif untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Untuk itu diperlukan suatu perobahan budaya agar pembangunan nasional yang dijalankan bangsa Indonesia dapat membuat hasil yang optimal.

Tak dapat disangkal bahwa selama periode yang menonjolkan pembangunan ekonomi dengan menggunakan paradigma modernisasi yang dicangkok dari Amerika Serikat (kedatipun paradigma itu sesungguhnya sudah runtuh di negerinya dalam decade 6O-an), banyak sekali upaya pembaharuan yang dilakukan di Indonesia yang kemudian dianggap gagal karena tertumbuk oleh kebudayaan. Itulah sebabnya kebudayaan selalu dipandang sebagai faktor penghambat pembangunan ekonomi, penghambat demokrasi dan sebagainya.
Padahal sesungguhnya kebudayaan yang kita miliki seharusnya menjadi kekuatan yang prima dalam pembangunan yang berkelanjutan, Hal ini disebabkan karena selama ini kita selalu mengambil teori dari luar untuk membangun negeri kita sendiri, yang relevansinya masih perlu diragukan.

Kini sudah waktunya kita sadar bahwa teori yang dibuat dari hasil masyarakat Barat, belum tentu berguna bagi Indonesia, sehingga kita perlu melakukan penemuan kembali kebudayaan Indonesia untuk dijadikan kekuatan pembangunan, dengan mengubah paradigma modernisasi menjadi paradigma Indonesianisasi. Disinilah diperlukan pendidikan dan penelitian yang serius tentang masyarakat Indonesia sendiri, dan menerbitkan buku teks untuk dikonsumsi oleh mahasiswa. Selama ini diakui bahwa sekitar 85 % buku teks yang beredar di Indonesia adalah hasil pemikiran pakar asing, yang secara tidak sadar telah membuat masyarakat Indonesia telah mengalami penetrasi kebudayaan asing secara besar-besaran selama 50 tahun lamanya. Hingga kini ilmuwan Indonesia belum banyak yang mampu membikin ilmu sendiri, karena selama ini penelitian ilmiah di Indonesia tidak berkembang pesat. Budaya sebagai konsumen ilmu juga tumbuh pesat sejalan dengan kebiasaan sebagai konsumen barang dan jasa dalam segala jenis. Paradigma modernisasi yang dominan di Indonesia selama ini memang pada dasarnya melihat kebudayaan sebagai penghambat. Justru itu sasaran utama dari modernisasi itu ialah mengubah kebudayaan tradisional menjadi kebudayaan modern.

Budaya tradisonal ialah menyerah pada alam, sedang budaya modern adalah menundukkan alam (akhimya merusak lingkungan). Itulah sebabnya modernisasi diiringi oleh rasionalisasi, sekularisasi, modal asing dan konsumenisasi, sehingga semua yang dari luar itu dipandang sangat baik. Akhirnya bangsa Indonesia mengalami nasib seperti :
"Si Malin Kundang yang durhaka pada ibunya" atau "Si Doel Anak Betawi" atau "Si Doe Anak Sekolahan yang tersingkir ke pinggir Jakarta" (Bangsa Indonesia sekarang dililit oleh utang luar negeri, sebagai akibat modernisasi).

Dengan gagalnya paradigma modernisasi sebagai landasan pembangunan, makasudah saatnya kita memperkenalkan paradigma baru pembangunan yaitu Pembangunan Diri dengan menggunakan kebudayaan Indonesia sebagai kekuatan dasar. Demikian juga kekuatan lokal genius yang selama ini diremehkan dan dipinggirkan oleh modernisasi, sudah waktunya diberikan perhatian dan peranan yang sentral. Dengan kata lain paradigma modernisasi harus diganti dengan paradigma baru pembangunan, yaitu paradigma Indonesianisasi atau pembangunan diri.

Dalam paradigma Indonesianisasi, kita dapat melakukan redefenisi tentang pembangunan, yaitu bagaimana bangsa Indonesia mau dan mampu menolong dirinya sendiri. Dengan demikian kita dapat menetapkan dan memilih defenisi baru pembangunan yang betkelanjutan yaitu: "suatu proses partisipasi disegala bidang dalam perubahan sosial dalam suatu masyarakat dengan tujuan membuat kemajuan sosial dan material (termasuk pemerataan, kebebasan serta berbagai kualilas lainnya secara lebihbesar) bagi sebagian besar masyarakat dengan kemampuan yang lebih besar untukmengatur lingkungannya".

Bangsa Indonesia harus sadar bahwa pembangunan harus dari dan oleh bangsa Indonesia untuk bangsa Indonesia (bukan seperti pembangunan Jakarta yang telah melempar warganya seperti Si Doel Anak Betawi ke pinggir Jakarta). Justru itu bangsa Indonesia harus mampu menentukan sendiri model dan paradigma pembangunan dengan erlebih dahulu menentukan tujuan pembangunannya sendiri, yaitu masyarakat macam pa yang harus kita bangun. Pembangunan tidak boleh membuat bangsa lndonesia enjadi asing atau menjadi kuli di negerinya sendiri. Harus disadari bahwa tidak ada aradigma pembangunan yang berlaku secara universal, karena setiap masyarakat emiliki ciri tersendiri dan memiliki cara sendiri dalam membangun bangsanya sendiri.

Pada hakekatnya setiap bangsa dalam membangun dirinya sendiri senantiasa memiliki kekuatan sendiri dalam dinamika internalnya. Hal ini mampu pendukung dan menyukseskan pembangunannya, yang sesungguhnya bersumber dari kebudayaan dan tradisi masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain kebudayaan dan tradisi tertentu tidak boleh dipandang sebagai penghambat, melainkan merupakan potensi dan kekuatan bagi proses kemajuan suatu bangsa.

E. Indonesianisasi dan Globalisasi

Paradigma Indonesianisasi adalah paradigma yang berwawasan keindonesiaan, dan paling tepat dalam pembangunan berkelanjutan, karena sejalan dengan globalisasiyang digerakkan oleh revolusi informasi. Artinya Indonesianisasi dan globalisasi sangat sejalan dan bahkan juga dapat memenuhi tuntutan pelaksanaan otonomi daerah.

Revolusi komunikasi yang mendorong globalisasi pada hakekatnya meningkatkan kemampuan manusia menghemat waktu dan menaklukkan ruang, dengan lahirnya kegiatan jarak jauh seperti belanja jarak jauh, menabung jarak jauh, bekerja jarak jauh, pendidikan jarak jauh, konfrensi jarak jauh, dan sebagainya. Salah satu prinsip dalam revolusi informasi atau komunikasi dan dalam tatanan global baru (global paradox), ialah terjadinya lokalisasi, kecilisasi, dan spesifikasi (unikisasi). Dibidang ekonomi disebutkan oleh John Naisbitt, bahwa semakin besar ekonomi dunia semakin kuat perusahaan kecil.

Hal itu telah terbukti ketika terjadi krisis moneter dunia tahun 1998, dimana perusahaan besar mengalami keruntuhan dan justru yang dapat bertahan adalah perusahaan-perusahaan kecil. Di Amerika Serikat dan di Jerman selama satu dekade terakhir ini, sudah terdiri 50% ekspor kedua negara itu diciptakan oleh perusahaan-perusahaan kecil dengan maksimal hanya 19 orang karyawan.
Ciri lain dari globalisasi ialah perlunya produk dengan ciri dan keunggulan lokal,
untuk dipasarkan secara global, semboyannya: "Berpikir lokal bertindak global". Maksudnya gunakanlah kekuatan lokal (ciri dan keunggulan lokal) untuk meraih sukses global. Hal-hal yang bersifat lokal dengan segala keunikan dan keunggulannya dapat diterima dalam ekonomi global oleh bantuan teknologi komunikasi yang canggih. Hal ini juga berkembang melalui aktivitas industri dan kegiatan parawisata, yang menjadi ciri dan salah satu Penggerak ekonomi global.

Berdasarkan paradigma keIndonesiaan yang sejalan dengan globalisasi itu, maka struktur pendidikan di Indonesia itu harus juga diuba dengan memberikan muatan local yang banyak. Itulah sebabnya dalam Undang-undang Sisdiknas yang disahkan tanggal 11 Juni 2003, telah dimasukkan sebuah paradigma baru pendidikan yang mampu memperkaya kebudayaan Indonesia pada masa depan dan menjadikannya kekuatan pembangunan. Hal itu dituangkan dalam pasal 50 ayat (5), berbunyi : "Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal". Hal ini merupakan substansi progresif sehingga dapat mengubah nasib masyarakat lokal pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya di masa depan, jika hal ini diaplikasikan dengan baik.

Pendidikan yang berbasis keunggulan lokal dimaksudkan, selain peserta didik memiliki keakraban dengan lingkungan terdekatnya, juga untuk melahirkan lulusan yang siap mengembangkan potensi lokal, dan dengan keunggulan dan keunikan lokal itu dapat memenangkan persaingan dalam globalisasi. Demikian juga substansi tersebut berkaitan dengan penyerapan tenaga kerja lokal di daerah otonom, mencegah urbanisasi, mendorong pertumbuban ekonomi lokal dan pembangunan daerah. Hasil-hasil produksi lokal itu dapat dipasarkan secara global melalui jaringan teknologi informasi (internet).

Selain itu juga dimaksudkan substansi baru yang dapat mengembangkan kebudayaan Indonesia pada pasal 50 ayat (3) yang berbunyi : "Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional". Substansi ini dimaksudkan agar satuan-satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah (pusat) atau pemerintah daerah maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat, dapat dikembangkan menjadi satuan yang bertaraf internasional, paling kurang dapat sejajar dengan satuan pendidikan di negara-negara tetangga, Dengan demikian putra-putri kita tidak perlu lagi ke luar negeri untuk memperoleh pendidikan dengan mutu internasional. Standar internasional pendidikan dapat dirumuskan melalui peraturan pemerintah, sejalan dengan standar nasional pendidikan yang dirumuskan pada pasal 35 Undang-undang Sisdikna.











































BAB III

PENUTUP

Reformasi pendidikan sebagai awal reformasi budaya telah dilakukan dengan pembentukan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang telah disahkan tanggal 11 Juni 2003. Melalui penerapan undang-undang itu dilapangan reformasi budaya akan berlangsung untuk melancarkan reformasi secara keseluruhan. Kebudayaan Indonesia hendaknya tidak dilihat sebagai penghambat pembangunan melainkan sebaliknya kebudayaan harus digunakan sebagai kekuatan yang memainkan peranan strategis dalam pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam upaya memanfaatkan peran budaya sebagai kekuatan pembangunan itu,
maka paradigma modernisasi yang selama ini digunakan sebagai acuan pembangunan, harus diganti dengan paradigma baru yang berwawasan keIndonesiaan, yaitu paradigma pembangunan diri atau paradigma Indonesianisasi. Paradigma Indonesianisasi itu akan mengembangkan budaya dan sumber daya Indonesia, dan sekaligus menggunakannya sebagai kekuatan dan motivasi pembangunan. Hal ini sejalan dengan tuntutan globalisasi (tatanan global baru) yang digerakkan oleh teknologi informasi (revolusi informasi) dan sekaligus sesuai dengan aplikasi otonomi daerah. s.erah tempat mereka hidup.

Pendidikan adalah proses penyesuian diri secara timbal balik antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia atau juga pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua potensi moral, intelektual, dan jasmaniah manusia oleh dan untuk kepentingan pribadi dirinya dan masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan tersebut dalam hubungannya dengan Sang Maha Pencipta sebagai tujuan akhir.
Pendidikan mutlak harus ada pada manusia, karena pendidikan merupakan hakikat hidup dan kehidupan. Pendidikan berguna untuk membina kepribadian manusia. Dengan pendidikan maka terbentuklah pribadi yang baik sehingga di dalam pergaulan dengan manusia lain, individu dapat hidup dengan tenang. Pendidikan membantu agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa kehilangan pribadinya masing-masing.
Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yakni keluarga, masyarakat, dan sekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama pendidikan, masyarakat sebagai tempat berkembangnya pendidikan, dan sekolah sebagai lembaga formal dalam pendidikan. Pendidikan keluarga sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian anak.

Pendidikan di Indonesia

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.


Jenjang pendidikan

Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

1. Pendidikan anak usia dini
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

2. Pendidikan dasar
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

3. Pendidikan menengah
Pendidikan menengah merupakan jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar.

4. Pendidikan tinggi
Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
Jalur pendidikan
Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

5. Pendidikan formal
Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi.

6. Pendidikan nonformal
Pendidikan nonformal paling banyak terdapat pada usia dini, serta pendidikan dasar, adalah TPA, atau Taman Pendidikan Al Quran,yang banyak terdapat di setiap mesjid dan Sekolah Minggu, yang terdapat di semua gereja.

Selain itu, ada juga berbagai kursus, diantaranya kursus musik, bimbingan belajar dan sebagainya.

a. Pendidikan informal
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Jenis pendidikan
Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.


1). Pendidikan umum
Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bentuknya: Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
2). Pendidikan kejuruan
Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Bentuk satuan pendidikannya adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
3). Pendidikan akademik
Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu.
4). Pendidikan profesi
Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memasuki suatu profesi atau menjadi seorang profesional.
5). Pendidikan vokasi
Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal dalam jenjang diploma 4 setara dengan program sarjana (strata 1).
6). Pendidikan keagamaan
Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
7). Pendidikan khusus
Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif (bergabung dengan sekolah biasa) atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah (dalam bentuk Sekolah Luar Biasa/SLB).

Filosofi pendidikan

Pendidikan biasanya berawal pada saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa (mengajar) bayi mereka sebelum kelahiran.

Banyak orang yang lain, pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, “Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya.”

Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam — sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka — walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.




Kualitas pendidikan

Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan khususnya di Indonesia yaitu:

Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.
Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.

Peranan Pendidikan Nasional Dalam Pembangunan Karakter Bangsa

Pada sesi kedua pembukaan Rembuk Nasional Pendidikan 2010 (3/03), menghadirkan mantan Menteri Pertahanan Nasional Prof Dr Juwono Sudarsono sebagi pembicara dalam seminar yang berjudul “ Peranan Pendidikan dalam Pembangunan Karakter Bangsa “. Seminar yang dipandu oleh Wakil Menteri Pendidikan Nasional Prof dr. Fasli Jalal PhD, SpGk ini banyak membahas mengenai pembentukan identitas bangsa sebagai wahana pendidikan yang berkarakter.

Bapak Juwono Sudarsono menjelaskan bahwa pendidikan kebangsaan bila dilihat dari kacamata pertahanan sebuah negara, dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pendidikan militer dan non militer. Di negara maju seperti Jepang, mereka menerapkan pertahanan rakyat semesta atau wajib militer. Dalam wajib militer ini tidak hanya diberikan pelatihan fisik saja namun diberikan juga pendidikan bela negara yang menanamkan pembentukan karakter sebuah bangsa.

Bapak Juwono melihat pendidikan dan pertahanan sebuah bangsa selalu berkaitan, karena dengan pendidikan kebangsaan yang baik akan tercipta suatu kebhinekaan, dimana hal tersebut akan menjadi modal pertahanan sebuah negara. Beliau berpendapat setiap percikan budaya merupakan bagian dari ke-Indonesiaan untuk mengisi ulang jati diri bangsa Indonesia.

Dalam kesempatan ini pula bapak Juwono menghimbau seluruh peserta Rembuk Nasional menjaga nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, termasuk bahasa. Hal ini menjadi penting karena beliau melihat bahasa sebagai suatu proses pertama transformasi nilai-nilai karakter bangsa. Beliau berharap dengan pengamalan budaya ini dapat menyaring persepsi dan pandangan-pandangan yang mengikis karakter

Di tengah derasnya arus informasi, beliau menganggap bahwa masyrakat Indonesia cenderung tidak tertarik lagi pada buku dan bacaan-bacaan. Masyarakat Indonesia lebih tertarik kepada gambar dan tayangan-tayangan, hal ini mempengaruhi persepsi kita sebagai bangsa Indonesia. Bapak Juwono mengharapkan pendidikan Indonesia kembali pada budaya gemar membaca buku.

Pada akhir pidatonya, beliau mengatakan bahwa pendidikan karakter yang terpenting dimulai dari seorang ibu. Betapapun kuatnya pengaruh sekolah formal, informal dan non formal, Ibulah yang menanamkan nilai-nilai yang diperlukan dalam kehidupan. Ibu mengajarkan semangat juang dan pantang menyerah. Selain ibu, faktor lingkungan seperti rumah yang nyaman dan kondusif adalah tempat yang paling tepat bagi seorang anak untuk menumbuhkan rasa percaya diri, berdaya saing dan beradab.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan,( jakarta: PTRineka Cipta, 2004 ), hal 154.

Standar Nasional Pendididkan(SNP) ,(Jakarta:Asa Mandiri,2006)hal,271.

Surya subrata, Psikologi Pendidikan , (Jakarta: PTRaja Gravindo Persada,2006),hlm.5

http://ayok.wordpress.com/2007/06/18/problematika-sistem-pendidikan-indonesia-gagasan-based-syaria-education/ ( diakses hari kamis tanggal 27 Nopember 2008).

Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan,( jakarta: PTRineka Cipta, 2004 ), hal 154.